"Apa? Hamil?"Lily menunduk takut. Doni cepat tanggap memegang tangan Lily. Pak Rendra nampak kesal dengan pernyataan Doni barusan. Ya dia tahu, Doni dan Lily sudah menikah, tapi apa mereka tidak mampu menahan diri lebih lama? Atau setidaknya tunda dululah kehamilannya."Don, kamu baru lulus. Apa kamu siap jadi orang tua hah? Kamu kira melahirkan anak untuk main-main?" hardik pak Rendra. Mama diam saja. Beliau juga kaget dengan kabar yang dibawa Doni. Tapi tidak serta merta menyalahkan mereka. Sebagai seorang wanita sekaligus ibu, mama lebih peka dan berperasaan."Argh! Papa tidak habis pikir Don. Dimana otakmu? Hah! Kuliah dulu yang bener. Baru kalau mau punya anak, terserahmu!"Doni mengusap lembut punggung tangan Lily yang terasa gemetar dan berkeringat dingin."Pa, Doni belum melanjutkan ucapan Doni, tapi papa selalu begini. Mar
Bu Diah terkejut setengah mati. Sementara Mukhtar terpaku di tempatnya."Apa-apaan kamu, Ndra! Jangan menuduh Mukhtar sembarangan!"Pak Rendra tersenyum tipis. Menoleh ke dua polisi itu, memberi kode."Maaf, kami menerima laporan tindak kriminal. Saudara Mukhtar kami tahan untuk pemeriksaan lebih lanjut."Bu Diah histeris melihat anak kesayangannya di borgol."Pak polisi, anda salah tangkap! Anak saya tak mungkin berbuat jahat pak polisi.""Mukhtar, katakan nak, kamu tidak salah kan? Ayo katakan sayang." Bu Diah memegang lengan Mukhtar, sementara dua polisi itu bersiap membawa Mukhtar."Jangan diam saja, Nak. Katakan kamu tidak salah kan?"Mukhtar menghela napas pelan."Mari, brip Anton."Polisi itu membawa Mukhtar. Diikuti Doni dan Pak Rendra
Hasil sidang ditutup dan menghasilkan keputusan bahwa Mukhtar tetap mendapatkan ganjarannya. Ditambah kasus lama yang kembali terkuak. Itu akan semakin memberatkannya. Tapi itu sebanding dengan kesalahannya. Dipikir, merebut keperawanan itu tindakan yang remeh? Tentu saja tidak. Pelakunya harus mendapatkan hukuman seberat-beratnya. Pelecehan, bagaimanapun bentuknya, selain merusak juga menciptakan trauma berkepanjangan. Meskipun sang wanita sudah bersuami. Hukum harus tetap berjalan. Entah bagaimana kehidupan Mukhtar dimasa depan.Kini pemuda tampan itu termenung di ruang selnya. Tak terasa tetes bening mengalir di pipinya. Kesalahan demi kesalahan terbayang di pelupuk matanya. Menyesal? Sebenarnya hati kecilnya mengatakan untuk mengakuinya. Apalagi sebenarnya dia sudah mencoba berhenti dari ketergantungan obat itu. Frustasi akan dikekang mamanya selalu itulah yang membuatnya mengambil jalan pintas dari sebuah pemberontakan. Bahkan dia tidak tahu, kena
"Lily! Hiks... hiks..."Doni masih mematung. Kakinya lemas begitu menyadari wanitanya di kelilingi perawat yang membawanya ke ruang gawat darurat. Billa meraung-raung sampai jatuh terduduk. Bajunya, tangannya, terkena darah Lily. Bram sibuk menenangkan Billa. Sedang Doni, dia masih syok.Kejadian itu berlangsung cepat. Saat ada mobil yang hampir menabraknya itu sebenarnya hanya pengalihan. Ada mobil lain yang mengincar dua wanita itu. Entah bagaimana ceritanya, justru Lily lah yang tertabrak. Tubuhnya sampai terpental saking kerasnya tabrakan. Untung saja orang-orang yang melihat kejadian itu dengan sigap menolongnya. Doni sampai di tarik Bram karena mematung. Jadi saat membawa Lily pun Bram yang menyetir. Doni memangku kepala berdarah Lily menangis khawatir.Mama dan papa tergopoh datang. Menghampiri Doni yang mematung dengan air mata menetes."Sayang, bagaimana istrimu, nak?""Ma," Doni reflek memeluk mamanya. Me
After the years.."Mama! Papa nakal!"Wanita cantik yang sedang berkutat di dapur menggelengkan kepala. Sudah tidak heran dengan kelakuan suaminya itu."Papa! Jangan ganggu anaknya."Terdengar teriakan dari ruang tengah. Rupanya teriakannya diabaikan. Jerit putrinya makin menjadi.Bergegas wanita cantik itu menghampiri ruang tengah. Terpekik kaget melihat wajah putrinya yang cemong-cemong. Bedak asal-asalan. Alis tebal yang mencong, dan lipstik merah menyala membuat bibir putrinya seperti dower."Astaga! Papa! Anakmu kamu apain," omelnya."Papa lusakin make up Hana, Ma. Ih, papa jahil. Sebel."Gadis berusia empat tahun sembilan bulan itu memanyunkan bibirnya. Sedangkan yang jadi objek cuma nyengar nyengir gak jelas."Bisa gak sih sehari aja jangan jahilin putrinya, hm?" Tatapnya ta
"Gimana, Don. Kamu udah dapat kabar dari Billa?"Yah, sudah dua minggu lebih, semenjak Billa memutuskan pergi melanjutkan studinya ke luar negeri, dia menghilang tanpa kabar. Tentu saja membuat Lily merasa khawatir. Itu bukan Billa yang biasanya. Yang sering merecokinya dengan chat gaje alias gak jelas.Doni menggeleng. Ya gimana, dia bukan detektif."Gak tahu kak. Si kampret juga bilang malah dia dari lama gak komunikaso dengan kak Billa."Yang dimaksud si kampret tentu adalah Bram. Lily mengela napas. Meletakkan pantatnya disamping kursi Doni."Lah, kok malah duduk disitu kak?"Lily menoleh bingung."Memang kemana?""Disini dong," Doni menunjuk pahanya dengan isyarat. Tak lupa dengan raut menyebalkannya.Plak!Doni mengaduh, mengelus lengannya yang terkena geplakan."Uh! Galak nya," keluhnya. Lily melotot kesal
Season 2 ini nanti ada hubungannya dengan season 3. Happy reading______"Apa? Nikah?"Dara tersentak kaget. Mata bulatnya makin membulat. Mama dan papanya serta tamu yang ada dirumahnya saja sampai terkejut. Halah, jangankan mereka, dia yang baru saja pulang dari rumah cantik miliknya juga terkejut dengan pernyataan mamanya tadi. Untung saja tidak jantungan."Astaga sayang. Duduk dulu."Dara mendesah kesal. Saking terkejutnya dia tadi sontak berdiri."Gini, dengar sayang. Mama papa sama om Deri dan tante Windi...""Gak mau. Emang Dara apaan. Dara bisa kok cari jodoh sendiri. Gak perlu dicariin."Mama dan tante Windi saling tatap."Sayang. Mama percaya kamu bisa cari sendiri. Ya meskipun sampai saat ini gak ada buktinya sih. Malah ditinggal nikah lagi."Dara mendengkus. Secara terang-terangan mama menyindirnya."Tapi mama mohon, kali ini saja. Lagipula Dirga itu pria mapan. Ganteng lagi. Gak akan nyes
Lucunya, Dara dan Dirga menolak untuk saling bertemu lebih dulu. Sibuk. Alasan yang sama dari keduanya. Bahkan melihat poto masing-masing saja mereka malas. Ya mereka pikir untuk apa, percuma juga melihat poto kalau ujung-ujungnya, suka tidak suka tetap harus menikah.Hari ini wedding day mereka. Pesta besar-besaran digelar. Jangan ditanya, mereka sama sekali tak ikut campur. Jadi kedua orang tua lah yang menyiapkan semuanya. Mungkin kalau bukan karena para orang tua yang ngebet pengen jodohin kedua anak mereka, mereka tak akan mau serepot ini.Beauty and Care Salon yang jadi penata riasnya. Mama dan papa menyambut tamu di luar sana dengan senyum sumringah. Raut bahagia kedua orang tua itu tercetak jelas. Sangat berbeda dengan pria tampan berjas yang memasang wajah angkuhnya."Mbak yakin? Mau berpenampilan seperti ini?" Nana menatap berkedip, tak percaya dengan tingkah nekat bossnya itu."Lakukan saja, Na."Nana mengoleskan make up ragu-ragu. Dia tak k
Rapat direksi berjalan lumayan alot. Menguras tenaga dan pikiran. Ditambah Farel yang meski berada di ruang ber-Ac merasakan panas dingin. Mungkin karena dia kepikiran yang di rumah. Beruntung presentasinya lancar. Mendapatkan aplouse dari yang lain. Kembali ke mejanya dengan gugup. Papanya menepuk pundaknya, mengacungkan jempol.Tak lama rapat selesai. Tapi masih dilanjut dengan obrolan ala-ala bapak-bapak khas. Farel bergerak gelisah. Dan rupanya itu disadari Dirga. Belum sempat Dirga mengatakan sesuatu, ponselnya berdering."Ah, maaf. Ada panggilan."Pak Manaf mengangguk.Dirga berjalan agak menjauh."Halo sayang--""Farel ada sama kamu kan?""Em, iya. Kenapa?""Cepat ke rumah sakit. Hana akan melahirkan."Dirga terkejut. Menoleh ke arah Farel. Pantas saja putranya sedari tadi gelisah."Oh, oke. Segera."Telpon dimatikan. Dirga segera menghampiri Farel."Segera ke rumah sakit. Istrimu mau melahirkan."Mulut Farel ternganga, tapi dia malah bingung."Tunggu apalagi. Ajak mertuamu, na
Beberapa hari kemudian, Farel sudah boleh dibawa pulang. Merayakan kepulangan Farel dengan mengadakan pesta kecil-kecilan. Tentu hadir juga David dan keluarga Billa.Disela obrolan itu Bram mengomeli Farel karena dikiranya selingkuh dengan wanita waktu itu. Untung saja Bram belum mengatakan pada yang lainnya. Hanya dia pendam sendiri. Dan setelah tahu kenyataannya, dia lega. Yang paling membuat terkejut adalah pernyataan Billa, bahwa Yulia adalah putrinya dengan pria brengsek waktu itu. Dia tahu karena melihat berita yang ramai dibicarakan di televisi dan portal berita online lainnya. Menelisik asal negara dan nama ayahnya, Billa yakin, Yulia itu benar putrinya. Tentu saja itu menggemparkan. Mereka jadi tak enak pada Billa. Tapi Billa bilang tak apa. Mungkin karena didikan ayahnya sehingga Yulia seperti itu. Billa sendiri nanti rencananya akan menemui Yulia saat kondisi sudah kondusif.Pesta dilanjut dengan kecerewetan dari Devan. Dia memang mood booster. Tahu sendirilah, keturunan D
Kenapa harus ada session rumah sakit lagi untuk kisahnya? Dan kali ini pun, pria itu yang terbaring di ranjang pesakitan. Hana menggenggam tangan Farel. Beberapa jam yang lalu, Farel memasuki ruang gawat darurat untuk mengeluarkan peluru di pinggir punggungnya. Untung saja tak sampai tembus mengenai organ dalamnya. Tapi yang namanya peluru panas tetap saja membuat korbannya terbaring tak berdaya. Kini Farel dipindahkan di ruang yang sama dengannya. Frans mati di tempat akibat tiga peluru yang dia tembakkan. Sedang Yulia kini juga dirawat di ruang yang berbeda. Wanita itu rupanya tahan banting. Devan, David dan papanya mendapat perawatan ringan atas luka yang mereka peroleh dari hasil gulat dini hari tadi. Sedangkan kawanan penjahat lain berhasil di ringkus polisi. Termasuk penjahat yang hanya memakai celana dalam itu. Dia terbangun bingung saat mendapati keadaannya yang memalukan.Sampai saat ini, Hana masih tak paham dengan yang dilakukan Farel. Kenapa pria itu datang bersama yang
"Dor! Dor!"Langkah Farel terhenti. Terkejut. Devan segera menariknya ke tempat tersembunyi."Van, siapa?"Devan menggeleng. Tatapannya awas. Mencoba bersikap tenang. Suara ini masih di dekat sini. Jantungnya berdegup kencang. Terpikirkan keberadaan papanya. Ck! Harusnya dia tadi bersama papanya. Tapi, ah...Totalnya ada empat orang yang berhasil mereka lumpuhkan tadi. Jadi, sebenarnya ada berapa orang yang ada disini.Sebuah bayangan hitam berkelebat melewati mereka. Secepat kilat Devan merebut pistol dari tangan Farel. Bersiaga. "Om! Cari keberadaan Farel!"Astaga! Itu, David. Spontan Devan keluar."Bang David."Sontak bayangan itu menoleh."Farel?"Farel muncul.Baru saja David hendak berkata, terdengar suara lain."Itu mereka!"Suara tembakan kembali terdengar. Secepat kilat mereka merunduk mencari tempat aman. "Brengsek! Sial! Dimana curut-curut itu!"Degh!Farel tersentak. Dia tak asing dengan suara itu. Mirip dengan pria yang mendorongnya ke jurang itu. Pria yang bersama deng
Sebuah gudang bekas pabrik lama. Di ruangan yang samar akan penerangan. Sesosok wanita tertunduk dengan kaki dan tangan yang diikat. Mulutnya tersumpal plester besar. Dia masih pingsan akibat bius yang terhirup olehnya beberapa jam yang lalu. Ada dua penjaga yang bersiaga di luar pintu.Sementara di ruangan yang lain, tiga orang pria dan satu wanita tengah menikmati minuman keras di hadapan mereka."Brengsek! Dia masih belum sadar juga?" Wanita itu berkata."Sepertinya kalian tadi memberinya bius terlalu banyak," tukas sang pria."Sory, boss. Dia memberontak kuat. Jadi terpaksa," ucap salah satu dari dua orang yang lain itu. Menuangkan isi botol ke gelas yang diacungkan oleh pria itu."Argh! Aku gak sabar buat nyiksa dia. Frans, ayo kita kunjungi dia sekarang.""Tapi dia belum sadar sayang...""Akan kubuat dia sadar. Ayo! Tanganku sudah gatal menyiksanya."Frans tersenyum. Membelai pipi wanita itu. Lalu mengecup bibirnya singkat."Kau ini bernafsu sekali, hmm? Baiklah, ayo."Keduanya
Pukul setengah sembilan malam saat dia memutuskan pergi. Belum terlalu malam, tapi mama dan papanya juga sudah pergi tidur. Dengan mengendap-endap, Hana menuruni tangga, membuka pintu depan, dan menutupnya kembali.Angin dingin langsung menerpanya. Untung dia memakai sweater yang lumayan tebal. Juga syal merah jambu yang dia lilitkan di lehernya. Dan juga topi rajut menutupi rambut dan telinganya. Mendongak ke langit, gelap. Bahkan tak ada bintang yang tampak. Wajar saja mendung. Anginnya saja dingin luar biasa.Nekat, Hana melongok ke pos satpam. Aman. Mungkin pak Dito sedang di dalam. Mengendap-endap dia membuka gerbang, dan menutupnya lagi. Bergegas mencari tempat aman.Dia sudah memesan taksi online dari aplikasi di ponselnya. Hanya saja taksi pesanannya belum datang. Wanita itu melongok ke arah jalanan dengan tangan dimasukkan ke dalam saku. Menghalau dingin yang teramat menusuk. Menyesal, kenapa dia malah hanya memakai sweater, bukan langsung jaket. Tahu dinginnya begini, dia p
Seharian ini, David mengantarnya kemanapun Hana mau. Jelang sore, mereka kembali. Senyum kembali terpatri di bibir Hana. Meski sebenarnya itu palsu."Makasih, Vid, udah jadi sopirku sehari," kekehnya kecil. David tertawa."Siap tuan putri. Kemana tuan putri mengajak pergi, sang supir siap mengantar."Hana terkekeh."Mampir?"tawarnya."Em, lain kali aja deh, Na. Gak bawa apa-apa. Malu.""Haha. Kayak apa aja. Yuk, gak papa. Mampir."David tetap menggeleng."Udah sore juga, Na. Lain kali deh.""Emm, ya udah. Makasih ya Vid."David mengangguk, tersenyum. Lalu memutar laju mobilnya, melesat pergi. Hana memandangi mobil itu hingga menghilang dari pandangannya. Menghela napas sejenak, dan membuka gerbang rumahnya. Melangkah dengan tak semangat. Tanpa dia tahu, ada orang asing yang sedari tadi memperhatikannya.*******"Baru pulang sayang?"Hana menghentikan langkahnya. Mendapati mamanya yang tengah menyiram bunga. Lalu menghampirinya."Iya, Ma. Jalan-jalan dulu. Hehe."Lily tersenyum. Syukur
Aku menunduk. Terpaksa harus menjelaskan semuanya. Bahkan percuma juga berbohong. Yulia juga sudah tahu. Tapi, tentunya aku akan menyembunyikan alasan pribadi melakukan penipuan ini."Jadi--- ah, aku bahkan gak habis pikir, Rel. Tega kamu ya."Yulia menangis. Meski aku tahu, air mata buaya."Maafkan aku Yulia. Aku hanya tidak mau kamu sakit hati karena membayangkan yang tidak-tidak tentangku dan kak Hana. Jadi, aku terpaksa harus berbohong.""Lalu, kenapa saat berada di Singapura kamu berpura tidak mengenalku?" tukasnya tajam."Maaf. Saat itu aku belum ingat. Tapi, saat sudah di tanah air, aku mengingatmu. Makanya pas kamu ke kantor, aku langsung mengenalimu. Itu karena aku tak bisa berbohong tentang perasaanku Yulia."Yulia mendengkus. Ayolah, kenapa susah sekali membuatnya percaya."Dan, kenapa aku berpura tak mengenal kak Hana, itu karena aku takut kamu sakit hati membayangkan hari yang telah aku lalui bersama wanita itu karena selalu menganggap dia adalah kamu, sayang."Kugenggam
Sampai di kantor, aku bergegas menuju ruang meeting. Ada klien dari Australia dan salah satunya orang lokal yang harus kutemui. Yulia? Entah kemana dia. Posisinya sebagai sekretaris semakin tak terurus semenjak dia mengakui sebagai istriku waktu itu. Untung saja sekretaris lamaku masih bisa kuandalkan. Sebenarnya aku muak, ditambah sikapnya yang angkuh dan semaunya sendiri. Tidak hanya aku saja yang jengah, melainkan karyawanku yang lain mengeluhkan hal yang sama. Hanya saja mereka menutupinya meski terlihat jelas mereka hanya pura-pura."Oh, kamu ya menantunya Doni. Aku sering mendengarmu dari istriku. Tapi baru kali ini ketemu. Haha."Salah satu klien yang mengenalkan diri bernama om Bram itu menyapaku. Aku tersenyum tipis. Bagaimana pula aku harus menjawabnya."Who's?""Ah, begini mr. Smith. Dia ini ternyata menantu Doni, rekan bisnis kita," jelas om Bram. "Oh, really?"Aku semakin bimbang. Mengakui, itu jelas mereka akan terbongkar seandainya mereka tahu Yulia yang menjadi istrik