Setiap pecinta, dia akan kembali pada yang dicintainya. Tak peduli sebesar apapun rasa kecewa yang sempat menerpa. Dia akan menemukan jalan kembalinya.
Gadis itu terus saja bergerak-gerak tak tenang dalam tidurnya. Sesekali keningnya berkerut seolah sedang mengalami mimpi buruk. Butir keringat dingin laksana titik-titik di wajahnya.
"Jangan! Jangan! Hentikan, aku mohon. Hentikan!"
"Argh!"
Gadis itu terjangkit kaget. Reflek terbangun dari tidurnya. Keringat dingin menetes. Kejadian itu, kerap hadir dalam mimpinya. Membuat tidurnya tak nyenyak.
"Hiks... hiks..."
Lily memeluk lututnya. Dia takut. Selama ini ketegarannya hanya topeng belaka. Hanya untuk membuat Billa tak khawatir padanya. Tapi kali ini dia sendirian. Kesepian yang membuat ketakutannya hadir berkali lipat.
"Aaarh... huhu... aku benci... hiks... aku benci!" pekiknya tertahan. Memukul-mukul kasurnya. Kembali menyembunyikan wajah diantara lututnya.
Sebuah tangan menyen
Pagi.Lily meniti wajah yang tersaji dihadapannya itu. Bibirnya menyunggingkan senyum antara bahagia, juga bersalah. Pemuda berandal yang dulu menyebalkan itu, kini justru dialah yang menyejukkannya dari perasaan menyakitkan yang dialami sebulan yang lalu. Bocah itu memang masih Sma, emm... tidak, dia kini sudah lulus, tapi lihatlah, betapa dewasanya dia dalam menyikapi masalah rumah tangganya. Memang benar dia sempat pergi, tapi bukan untuk melarikan diri, melainkan menenangkan pikirannya.Jemari lentik Lily meniti lekuk wajah Doni, membelai lembut pipi yang agak tirus itu. Ah, pasti gara-gara dirinya Doni jadi kehilangan berat badannya."Andai waktu itu aku menuruti perkataanmu, huft, pasti gak akan kayak gini jadinya," sesalnya."Justru, bisa-bisanya aku lebih percaya dengan baj*ngan itu," tambahnya.Doni menggeliat pelan. Buru-buru Lily men
"Apalagi, Don? Aku lagi masak," tukas Lily saat tiba-tiba Doni memeluknya dari belakang. Meletakkan kepalanya di dagunya."Kangen."Lily meliriknya selintas. "Kayaknya beneran kesambet deh kamu," tukasnya sembari memecah telurnya, mencampurkan dengan sedikit garam dan irisan daun bawang. Lalu mengocoknya."Iya. Kan aku udah bilang tadi, kesambet bidadari. Makanya gak bisa jauh-jauh. Pengennya nempel terus.""Aneh, yang hamil siapa, yang manja siapa?" Doni tertawa. Melepas pelukannya dan pindah disisi Lily."Sini, biar aku yang goreng kak.""Yakin bisa?" Lily menatap tak percaya pada Doni."Cuma goreng telur mah gampang.""Oke. Jangan sampai gosong ya?"Doni mengacungkan jempolnya. Sementara Lily mengambil nasi untuk dibuat nasi goreng. Bahan-bahan masak habis, belum sempat bela
"Apa? Hamil?"Lily menunduk takut. Doni cepat tanggap memegang tangan Lily. Pak Rendra nampak kesal dengan pernyataan Doni barusan. Ya dia tahu, Doni dan Lily sudah menikah, tapi apa mereka tidak mampu menahan diri lebih lama? Atau setidaknya tunda dululah kehamilannya."Don, kamu baru lulus. Apa kamu siap jadi orang tua hah? Kamu kira melahirkan anak untuk main-main?" hardik pak Rendra. Mama diam saja. Beliau juga kaget dengan kabar yang dibawa Doni. Tapi tidak serta merta menyalahkan mereka. Sebagai seorang wanita sekaligus ibu, mama lebih peka dan berperasaan."Argh! Papa tidak habis pikir Don. Dimana otakmu? Hah! Kuliah dulu yang bener. Baru kalau mau punya anak, terserahmu!"Doni mengusap lembut punggung tangan Lily yang terasa gemetar dan berkeringat dingin."Pa, Doni belum melanjutkan ucapan Doni, tapi papa selalu begini. Mar
Bu Diah terkejut setengah mati. Sementara Mukhtar terpaku di tempatnya."Apa-apaan kamu, Ndra! Jangan menuduh Mukhtar sembarangan!"Pak Rendra tersenyum tipis. Menoleh ke dua polisi itu, memberi kode."Maaf, kami menerima laporan tindak kriminal. Saudara Mukhtar kami tahan untuk pemeriksaan lebih lanjut."Bu Diah histeris melihat anak kesayangannya di borgol."Pak polisi, anda salah tangkap! Anak saya tak mungkin berbuat jahat pak polisi.""Mukhtar, katakan nak, kamu tidak salah kan? Ayo katakan sayang." Bu Diah memegang lengan Mukhtar, sementara dua polisi itu bersiap membawa Mukhtar."Jangan diam saja, Nak. Katakan kamu tidak salah kan?"Mukhtar menghela napas pelan."Mari, brip Anton."Polisi itu membawa Mukhtar. Diikuti Doni dan Pak Rendra
Hasil sidang ditutup dan menghasilkan keputusan bahwa Mukhtar tetap mendapatkan ganjarannya. Ditambah kasus lama yang kembali terkuak. Itu akan semakin memberatkannya. Tapi itu sebanding dengan kesalahannya. Dipikir, merebut keperawanan itu tindakan yang remeh? Tentu saja tidak. Pelakunya harus mendapatkan hukuman seberat-beratnya. Pelecehan, bagaimanapun bentuknya, selain merusak juga menciptakan trauma berkepanjangan. Meskipun sang wanita sudah bersuami. Hukum harus tetap berjalan. Entah bagaimana kehidupan Mukhtar dimasa depan.Kini pemuda tampan itu termenung di ruang selnya. Tak terasa tetes bening mengalir di pipinya. Kesalahan demi kesalahan terbayang di pelupuk matanya. Menyesal? Sebenarnya hati kecilnya mengatakan untuk mengakuinya. Apalagi sebenarnya dia sudah mencoba berhenti dari ketergantungan obat itu. Frustasi akan dikekang mamanya selalu itulah yang membuatnya mengambil jalan pintas dari sebuah pemberontakan. Bahkan dia tidak tahu, kena
"Lily! Hiks... hiks..."Doni masih mematung. Kakinya lemas begitu menyadari wanitanya di kelilingi perawat yang membawanya ke ruang gawat darurat. Billa meraung-raung sampai jatuh terduduk. Bajunya, tangannya, terkena darah Lily. Bram sibuk menenangkan Billa. Sedang Doni, dia masih syok.Kejadian itu berlangsung cepat. Saat ada mobil yang hampir menabraknya itu sebenarnya hanya pengalihan. Ada mobil lain yang mengincar dua wanita itu. Entah bagaimana ceritanya, justru Lily lah yang tertabrak. Tubuhnya sampai terpental saking kerasnya tabrakan. Untung saja orang-orang yang melihat kejadian itu dengan sigap menolongnya. Doni sampai di tarik Bram karena mematung. Jadi saat membawa Lily pun Bram yang menyetir. Doni memangku kepala berdarah Lily menangis khawatir.Mama dan papa tergopoh datang. Menghampiri Doni yang mematung dengan air mata menetes."Sayang, bagaimana istrimu, nak?""Ma," Doni reflek memeluk mamanya. Me
After the years.."Mama! Papa nakal!"Wanita cantik yang sedang berkutat di dapur menggelengkan kepala. Sudah tidak heran dengan kelakuan suaminya itu."Papa! Jangan ganggu anaknya."Terdengar teriakan dari ruang tengah. Rupanya teriakannya diabaikan. Jerit putrinya makin menjadi.Bergegas wanita cantik itu menghampiri ruang tengah. Terpekik kaget melihat wajah putrinya yang cemong-cemong. Bedak asal-asalan. Alis tebal yang mencong, dan lipstik merah menyala membuat bibir putrinya seperti dower."Astaga! Papa! Anakmu kamu apain," omelnya."Papa lusakin make up Hana, Ma. Ih, papa jahil. Sebel."Gadis berusia empat tahun sembilan bulan itu memanyunkan bibirnya. Sedangkan yang jadi objek cuma nyengar nyengir gak jelas."Bisa gak sih sehari aja jangan jahilin putrinya, hm?" Tatapnya ta
"Gimana, Don. Kamu udah dapat kabar dari Billa?"Yah, sudah dua minggu lebih, semenjak Billa memutuskan pergi melanjutkan studinya ke luar negeri, dia menghilang tanpa kabar. Tentu saja membuat Lily merasa khawatir. Itu bukan Billa yang biasanya. Yang sering merecokinya dengan chat gaje alias gak jelas.Doni menggeleng. Ya gimana, dia bukan detektif."Gak tahu kak. Si kampret juga bilang malah dia dari lama gak komunikaso dengan kak Billa."Yang dimaksud si kampret tentu adalah Bram. Lily mengela napas. Meletakkan pantatnya disamping kursi Doni."Lah, kok malah duduk disitu kak?"Lily menoleh bingung."Memang kemana?""Disini dong," Doni menunjuk pahanya dengan isyarat. Tak lupa dengan raut menyebalkannya.Plak!Doni mengaduh, mengelus lengannya yang terkena geplakan."Uh! Galak nya," keluhnya. Lily melotot kesal