"Lo nangis, Ly?" Billa menelisik menyelidik.
"Enggak. Kena sambar mata nih. Perih," jawabnya beralasan. Mengucek-ucek matanya."Eish... jangan dikucek. Yang ada malah tambah dalam ntar. Sini, gue tiupin."
Lily diam pasrah. Sementara Billa meniup matanya yang sebenarnya tak kemasukan apa-apa.
"Gimana?"
"Udah mendingan kok. Thanks ya."Billa mengangguk. Pandangannya selidik. Dia rasa dia tahu gadis itu hanya beralasan. Tapi, ah sudahlah. Untuk sekarang berpura saja mengikuti skenario.
Mereka kembali menghabiskan malam disini. Hingga pukul sembilan lewat lima belas menit, barulah mereka pulang.
--------------
"Lo kemana sih, Don. Gue kangen."
Gadis itu memandang luar dari jendela kamarnya. Menghela napas berat. Tanpa sadar tangannya mengusap perutnya yang masih rata.
"Apa lo udah makan? Apa lo baik-baik saja? Huh. Tentu saja tidak. Sakit, Ly. Dihianati itu sakit."
Andai dalam kondisi yang baik-baik saja, mu
Dua minggu Doni tak pulang ke rumah. Selama itu pula Billa menginap di apartemen Lily menemani gadis itu. Papanya sudah menanyakannya berkali-kali. Papanya mulai curiga. Bagaimanapun juga, tak pantas seorang gadis menginap di rumah temannya yang sudah menikah. Akhirnya karena terus-terusan dipaksa, bahkan diancam akan dijemput paksa di rumah Lily, Billa mengalah. Hari ini dia beres-beres barangnya. Dari sudut kamar, Lily memandangi sahabatnya dengan tatapan sedih. Karena berarti dia akan sendirian lagi."Gue pulang ya. Jaga diri baik-baik. Gue bakal sering kesini kok," ucapnya, memeluk sahabatnya."Thanks, Bil." Suara Lily lirih. Menahan tangisnya."Jaga diri sama dedek bayi. Jangan kecapekan, kalau lapar pesan go fo*d aja. Jangan stress. Oke?"Lily mengangguk. Melepas pelukannya."Gue pulang."Berat rasanya melepas kepulangan sahabat yang selama ini mendukungnya. Tapi dia bisa apa? Ini hak Billa untuk pergi. Dan meski gadis itu menolak, tapi tida
Setiap pecinta, dia akan kembali pada yang dicintainya. Tak peduli sebesar apapun rasa kecewa yang sempat menerpa. Dia akan menemukan jalan kembalinya.Gadis itu terus saja bergerak-gerak tak tenang dalam tidurnya. Sesekali keningnya berkerut seolah sedang mengalami mimpi buruk. Butir keringat dingin laksana titik-titik di wajahnya."Jangan! Jangan! Hentikan, aku mohon. Hentikan!""Argh!"Gadis itu terjangkit kaget. Reflek terbangun dari tidurnya. Keringat dingin menetes. Kejadian itu, kerap hadir dalam mimpinya. Membuat tidurnya tak nyenyak."Hiks... hiks..."Lily memeluk lututnya. Dia takut. Selama ini ketegarannya hanya topeng belaka. Hanya untuk membuat Billa tak khawatir padanya. Tapi kali ini dia sendirian. Kesepian yang membuat ketakutannya hadir berkali lipat."Aaarh... huhu... aku benci... hiks... aku benci!" pekiknya tertahan. Memukul-mukul kasurnya. Kembali menyembunyikan wajah diantara lututnya.Sebuah tangan menyen
Pagi.Lily meniti wajah yang tersaji dihadapannya itu. Bibirnya menyunggingkan senyum antara bahagia, juga bersalah. Pemuda berandal yang dulu menyebalkan itu, kini justru dialah yang menyejukkannya dari perasaan menyakitkan yang dialami sebulan yang lalu. Bocah itu memang masih Sma, emm... tidak, dia kini sudah lulus, tapi lihatlah, betapa dewasanya dia dalam menyikapi masalah rumah tangganya. Memang benar dia sempat pergi, tapi bukan untuk melarikan diri, melainkan menenangkan pikirannya.Jemari lentik Lily meniti lekuk wajah Doni, membelai lembut pipi yang agak tirus itu. Ah, pasti gara-gara dirinya Doni jadi kehilangan berat badannya."Andai waktu itu aku menuruti perkataanmu, huft, pasti gak akan kayak gini jadinya," sesalnya."Justru, bisa-bisanya aku lebih percaya dengan baj*ngan itu," tambahnya.Doni menggeliat pelan. Buru-buru Lily men
"Apalagi, Don? Aku lagi masak," tukas Lily saat tiba-tiba Doni memeluknya dari belakang. Meletakkan kepalanya di dagunya."Kangen."Lily meliriknya selintas. "Kayaknya beneran kesambet deh kamu," tukasnya sembari memecah telurnya, mencampurkan dengan sedikit garam dan irisan daun bawang. Lalu mengocoknya."Iya. Kan aku udah bilang tadi, kesambet bidadari. Makanya gak bisa jauh-jauh. Pengennya nempel terus.""Aneh, yang hamil siapa, yang manja siapa?" Doni tertawa. Melepas pelukannya dan pindah disisi Lily."Sini, biar aku yang goreng kak.""Yakin bisa?" Lily menatap tak percaya pada Doni."Cuma goreng telur mah gampang.""Oke. Jangan sampai gosong ya?"Doni mengacungkan jempolnya. Sementara Lily mengambil nasi untuk dibuat nasi goreng. Bahan-bahan masak habis, belum sempat bela
"Apa? Hamil?"Lily menunduk takut. Doni cepat tanggap memegang tangan Lily. Pak Rendra nampak kesal dengan pernyataan Doni barusan. Ya dia tahu, Doni dan Lily sudah menikah, tapi apa mereka tidak mampu menahan diri lebih lama? Atau setidaknya tunda dululah kehamilannya."Don, kamu baru lulus. Apa kamu siap jadi orang tua hah? Kamu kira melahirkan anak untuk main-main?" hardik pak Rendra. Mama diam saja. Beliau juga kaget dengan kabar yang dibawa Doni. Tapi tidak serta merta menyalahkan mereka. Sebagai seorang wanita sekaligus ibu, mama lebih peka dan berperasaan."Argh! Papa tidak habis pikir Don. Dimana otakmu? Hah! Kuliah dulu yang bener. Baru kalau mau punya anak, terserahmu!"Doni mengusap lembut punggung tangan Lily yang terasa gemetar dan berkeringat dingin."Pa, Doni belum melanjutkan ucapan Doni, tapi papa selalu begini. Mar
Bu Diah terkejut setengah mati. Sementara Mukhtar terpaku di tempatnya."Apa-apaan kamu, Ndra! Jangan menuduh Mukhtar sembarangan!"Pak Rendra tersenyum tipis. Menoleh ke dua polisi itu, memberi kode."Maaf, kami menerima laporan tindak kriminal. Saudara Mukhtar kami tahan untuk pemeriksaan lebih lanjut."Bu Diah histeris melihat anak kesayangannya di borgol."Pak polisi, anda salah tangkap! Anak saya tak mungkin berbuat jahat pak polisi.""Mukhtar, katakan nak, kamu tidak salah kan? Ayo katakan sayang." Bu Diah memegang lengan Mukhtar, sementara dua polisi itu bersiap membawa Mukhtar."Jangan diam saja, Nak. Katakan kamu tidak salah kan?"Mukhtar menghela napas pelan."Mari, brip Anton."Polisi itu membawa Mukhtar. Diikuti Doni dan Pak Rendra
Hasil sidang ditutup dan menghasilkan keputusan bahwa Mukhtar tetap mendapatkan ganjarannya. Ditambah kasus lama yang kembali terkuak. Itu akan semakin memberatkannya. Tapi itu sebanding dengan kesalahannya. Dipikir, merebut keperawanan itu tindakan yang remeh? Tentu saja tidak. Pelakunya harus mendapatkan hukuman seberat-beratnya. Pelecehan, bagaimanapun bentuknya, selain merusak juga menciptakan trauma berkepanjangan. Meskipun sang wanita sudah bersuami. Hukum harus tetap berjalan. Entah bagaimana kehidupan Mukhtar dimasa depan.Kini pemuda tampan itu termenung di ruang selnya. Tak terasa tetes bening mengalir di pipinya. Kesalahan demi kesalahan terbayang di pelupuk matanya. Menyesal? Sebenarnya hati kecilnya mengatakan untuk mengakuinya. Apalagi sebenarnya dia sudah mencoba berhenti dari ketergantungan obat itu. Frustasi akan dikekang mamanya selalu itulah yang membuatnya mengambil jalan pintas dari sebuah pemberontakan. Bahkan dia tidak tahu, kena
"Lily! Hiks... hiks..."Doni masih mematung. Kakinya lemas begitu menyadari wanitanya di kelilingi perawat yang membawanya ke ruang gawat darurat. Billa meraung-raung sampai jatuh terduduk. Bajunya, tangannya, terkena darah Lily. Bram sibuk menenangkan Billa. Sedang Doni, dia masih syok.Kejadian itu berlangsung cepat. Saat ada mobil yang hampir menabraknya itu sebenarnya hanya pengalihan. Ada mobil lain yang mengincar dua wanita itu. Entah bagaimana ceritanya, justru Lily lah yang tertabrak. Tubuhnya sampai terpental saking kerasnya tabrakan. Untung saja orang-orang yang melihat kejadian itu dengan sigap menolongnya. Doni sampai di tarik Bram karena mematung. Jadi saat membawa Lily pun Bram yang menyetir. Doni memangku kepala berdarah Lily menangis khawatir.Mama dan papa tergopoh datang. Menghampiri Doni yang mematung dengan air mata menetes."Sayang, bagaimana istrimu, nak?""Ma," Doni reflek memeluk mamanya. Me