Pagi-pagi sekali Doni datang ke rumah sakit. Kekhawatiran tercetak jelas di wajahnya. Dia langsung memeluk erat gadisnya.
"Masih sakit?" bisiknya.Lily menggeleng. Melepaskan pelukan Doni. Hatinya tersayat melihat wajah berondongnya."Sudahlah, Don. Aku tak apa."
"Tapi, kak. Kak Lily masih pucat," ujar Doni. Menyentuh wajah Lily. Gadis itu menepisnya pelan."Aku gak apa."
Dia ingin bersikap biasa saja, seperti kesepakatannya dengan Billa tadi malam. Tapi melihat Doni, tetap saja rasanya sesak. Dia merasa menghianati cowok itu.
"Ehm! Obat nyamuk nih."
Billa mendehem. Membuat keduanya reflek menoleh. Doni nyengir."Sory mblo. Lupa," tukasnya. Billa mendecis, mengangkat tangannya seolah hendak memukul Doni. Cowok itu tertawa.
"Sudah. Bawa pulang istrimu sana. Ingat, jangan boleh ke kampus. Biarkan dia istirahat."
Doni mengacungkan jempolnya. Dan dia akan izin juga hari ini.
"Thanks, Bro."
"Yaah.. lamSaat Lily membuka mata, yang pertama dilihatnya adalah Doni yang pulas disampingnya. Wajahnya yang polos menambah sesak dalam dadanya. Rasanya dia seperti penghianat yang sangat jahat. Perhatian cowok itu padanya, makin menimbulkan rasa bersalah yang amat sangat. Dia sedikit beringsut, menyampingkan badannya, tepat menghadap wajah Doni.Tangannya terulur menyentuh lembut pipi Doni yang sedikit membengkak. Mulutnya sedikit terbuka. Tetes bening kembali mengalir di sudut mata gadis itu."Sampai kapan gue nyembunyiin ini," ucapnya lirih."Gue takut, gue takut sesuatu yang lebih buruk datang."Helanya berat. Teringat kejadian itu terjadi tepat di masa suburnya. Tentu saja dia takut ada benih yang bersarang di rahimnya. Mengusap air matanya dengan punggung tangannya. Lalu beranjak bangun.Hari ini dia akan ke kampus. Meski sebenarnya masih takut dan trauma. Tapi, dia tidak mau membuat Doni curiga. Dia tidak ingin cowok itu tahu kejadian yang m
"Kak! Kak Lily. Apa yang terjadi?"Dia sempat mendengar Doni panik mendobrak kamar. Memangku kepalanya yang sudah dipenuhi busa di mulutnya. Dan setelah itu semuanya gelap. Sakit. Tapi dia masih bisa tersenyum.Ya, akhirnya Lily memutuskan menenggak pil tidur dengan dosis tinggi. Yang membuatnya overdosis. Dia tidak sanggup lagi menghadapi kenyataan."Maafin gue, Don. Lo berhak bahagia..." ucapnya terakhir dalam hati.----------Doni mondar mandir di depan ruangan di rumah sakit. Tadi dengan sigap dia langsung membawa Lily ke rumah sakit. Terkejut setengah mati mendapati gadisnya terkapar di kamar dengan mulutnya yang berbusa. Kini dokter di dalam sana sedang memberinya pertolongan pertama.Billa datang tergopoh."Di-dimana Lily?"Doni mendesah kesal. Emosinya memuncak. Tapi dia tak ada tenaga untuk marah-marah."Apa yang sebenarnya terjadi?" Akhirnya hanya pertanyaan itu yang muncul.Billa menangis. B
Dua jam sudah Lily terlelap. Dia pikir dirinya sudah mati. Air matanya kembali berderai."Maaf, Don. Gue harus pergi tanpa pamit sama lo," ucapnya lirih.Terbayang Doni pasti akan menangis. Tapi itu lebih baik, daripada Doni tahu kenyataan yang menimpanya. Hamil tapi dengan orang lain. Itu berkali lebih menyakitkan.Dia masih ingat pemuda itu panik memanggil-manggil namanya."Semoga lo bahagia, Don," tambahnya dalam hati."L-lo udah sadar, Ly?"Deg! Bukannya itu suara Billa.Spontan Lily menoleh, mendapati Billa yang baru saja keluar dari kamar mandi."G-gue belum mati?" Matanya membulat. Memeriksa seluruh tubuhnya. Ada selang yang menancap di punggung tangannya. Juga infus yang mengalir di samping ranjangnya. Matanya kembali berkaca-kaca."Kenapa gue gak mati aja, hiks..."Billa panik, segera memeluk gadis itu, menenangkannya."Kenapa, Bil! Kenapa gue harus selamat. Hiks.. hiks.. gue pengen mati!" Teriaknya,
"Makan yang banyak. Ibu hamil gak boleh kelaparan." Billa mengusap lembut surai panjang Lily yang dibiarkan tergerai."Beneran nih? Gratis kan?" tawanya."Iya. Kalau perlu kokinya bawa pulang juga gak papa."Tawa Lily makin tergelak. Setelah beberapa hari berlalu, Lily mulai menerima kehamilannya. Bahkan dia merasakan sayang pada bayinya. Terlepas dia juga membenci sang ayah dari bayi tersebut.Ternyata rasanya aneh, tapi juga nyaman. Dia kerap kali mengajak bayinya bicara. Padahal, belum ada reaksi berarti.Lily terpaksa tak meneruskan kuliahnya. Dia tak sudi bertemu dengan Mukhtar. Sedang Billa, dia benar-benar menjaga sahabatnya. Dia izin pada papanya untuk sementara tinggal di apartemen Lily, eh, apartemen Doni lebih tepatnya.Hari ini Billa mengajaknya makan di luar. Biar ibu hamil itu tidak terus-terusan berada di ruangan. Seperti terpenjara saja."Habis ini beli seblak ya,
"Lo nangis, Ly?" Billa menelisik menyelidik."Enggak. Kena sambar mata nih. Perih," jawabnya beralasan. Mengucek-ucek matanya."Eish... jangan dikucek. Yang ada malah tambah dalam ntar. Sini, gue tiupin."Lily diam pasrah. Sementara Billa meniup matanya yang sebenarnya tak kemasukan apa-apa."Gimana?""Udah mendingan kok. Thanks ya."Billa mengangguk. Pandangannya selidik. Dia rasa dia tahu gadis itu hanya beralasan. Tapi, ah sudahlah. Untuk sekarang berpura saja mengikuti skenario.Mereka kembali menghabiskan malam disini. Hingga pukul sembilan lewat lima belas menit, barulah mereka pulang.--------------"Lo kemana sih, Don. Gue kangen."Gadis itu memandang luar dari jendela kamarnya. Menghela napas berat. Tanpa sadar tangannya mengusap perutnya yang masih rata."Apa lo udah makan? Apa lo baik-baik saja? Huh. Tentu saja tidak. Sakit, Ly. Dihianati itu sakit."Andai dalam kondisi yang baik-baik saja, mu
Dua minggu Doni tak pulang ke rumah. Selama itu pula Billa menginap di apartemen Lily menemani gadis itu. Papanya sudah menanyakannya berkali-kali. Papanya mulai curiga. Bagaimanapun juga, tak pantas seorang gadis menginap di rumah temannya yang sudah menikah. Akhirnya karena terus-terusan dipaksa, bahkan diancam akan dijemput paksa di rumah Lily, Billa mengalah. Hari ini dia beres-beres barangnya. Dari sudut kamar, Lily memandangi sahabatnya dengan tatapan sedih. Karena berarti dia akan sendirian lagi."Gue pulang ya. Jaga diri baik-baik. Gue bakal sering kesini kok," ucapnya, memeluk sahabatnya."Thanks, Bil." Suara Lily lirih. Menahan tangisnya."Jaga diri sama dedek bayi. Jangan kecapekan, kalau lapar pesan go fo*d aja. Jangan stress. Oke?"Lily mengangguk. Melepas pelukannya."Gue pulang."Berat rasanya melepas kepulangan sahabat yang selama ini mendukungnya. Tapi dia bisa apa? Ini hak Billa untuk pergi. Dan meski gadis itu menolak, tapi tida
Setiap pecinta, dia akan kembali pada yang dicintainya. Tak peduli sebesar apapun rasa kecewa yang sempat menerpa. Dia akan menemukan jalan kembalinya.Gadis itu terus saja bergerak-gerak tak tenang dalam tidurnya. Sesekali keningnya berkerut seolah sedang mengalami mimpi buruk. Butir keringat dingin laksana titik-titik di wajahnya."Jangan! Jangan! Hentikan, aku mohon. Hentikan!""Argh!"Gadis itu terjangkit kaget. Reflek terbangun dari tidurnya. Keringat dingin menetes. Kejadian itu, kerap hadir dalam mimpinya. Membuat tidurnya tak nyenyak."Hiks... hiks..."Lily memeluk lututnya. Dia takut. Selama ini ketegarannya hanya topeng belaka. Hanya untuk membuat Billa tak khawatir padanya. Tapi kali ini dia sendirian. Kesepian yang membuat ketakutannya hadir berkali lipat."Aaarh... huhu... aku benci... hiks... aku benci!" pekiknya tertahan. Memukul-mukul kasurnya. Kembali menyembunyikan wajah diantara lututnya.Sebuah tangan menyen
Pagi.Lily meniti wajah yang tersaji dihadapannya itu. Bibirnya menyunggingkan senyum antara bahagia, juga bersalah. Pemuda berandal yang dulu menyebalkan itu, kini justru dialah yang menyejukkannya dari perasaan menyakitkan yang dialami sebulan yang lalu. Bocah itu memang masih Sma, emm... tidak, dia kini sudah lulus, tapi lihatlah, betapa dewasanya dia dalam menyikapi masalah rumah tangganya. Memang benar dia sempat pergi, tapi bukan untuk melarikan diri, melainkan menenangkan pikirannya.Jemari lentik Lily meniti lekuk wajah Doni, membelai lembut pipi yang agak tirus itu. Ah, pasti gara-gara dirinya Doni jadi kehilangan berat badannya."Andai waktu itu aku menuruti perkataanmu, huft, pasti gak akan kayak gini jadinya," sesalnya."Justru, bisa-bisanya aku lebih percaya dengan baj*ngan itu," tambahnya.Doni menggeliat pelan. Buru-buru Lily men
Rapat direksi berjalan lumayan alot. Menguras tenaga dan pikiran. Ditambah Farel yang meski berada di ruang ber-Ac merasakan panas dingin. Mungkin karena dia kepikiran yang di rumah. Beruntung presentasinya lancar. Mendapatkan aplouse dari yang lain. Kembali ke mejanya dengan gugup. Papanya menepuk pundaknya, mengacungkan jempol.Tak lama rapat selesai. Tapi masih dilanjut dengan obrolan ala-ala bapak-bapak khas. Farel bergerak gelisah. Dan rupanya itu disadari Dirga. Belum sempat Dirga mengatakan sesuatu, ponselnya berdering."Ah, maaf. Ada panggilan."Pak Manaf mengangguk.Dirga berjalan agak menjauh."Halo sayang--""Farel ada sama kamu kan?""Em, iya. Kenapa?""Cepat ke rumah sakit. Hana akan melahirkan."Dirga terkejut. Menoleh ke arah Farel. Pantas saja putranya sedari tadi gelisah."Oh, oke. Segera."Telpon dimatikan. Dirga segera menghampiri Farel."Segera ke rumah sakit. Istrimu mau melahirkan."Mulut Farel ternganga, tapi dia malah bingung."Tunggu apalagi. Ajak mertuamu, na
Beberapa hari kemudian, Farel sudah boleh dibawa pulang. Merayakan kepulangan Farel dengan mengadakan pesta kecil-kecilan. Tentu hadir juga David dan keluarga Billa.Disela obrolan itu Bram mengomeli Farel karena dikiranya selingkuh dengan wanita waktu itu. Untung saja Bram belum mengatakan pada yang lainnya. Hanya dia pendam sendiri. Dan setelah tahu kenyataannya, dia lega. Yang paling membuat terkejut adalah pernyataan Billa, bahwa Yulia adalah putrinya dengan pria brengsek waktu itu. Dia tahu karena melihat berita yang ramai dibicarakan di televisi dan portal berita online lainnya. Menelisik asal negara dan nama ayahnya, Billa yakin, Yulia itu benar putrinya. Tentu saja itu menggemparkan. Mereka jadi tak enak pada Billa. Tapi Billa bilang tak apa. Mungkin karena didikan ayahnya sehingga Yulia seperti itu. Billa sendiri nanti rencananya akan menemui Yulia saat kondisi sudah kondusif.Pesta dilanjut dengan kecerewetan dari Devan. Dia memang mood booster. Tahu sendirilah, keturunan D
Kenapa harus ada session rumah sakit lagi untuk kisahnya? Dan kali ini pun, pria itu yang terbaring di ranjang pesakitan. Hana menggenggam tangan Farel. Beberapa jam yang lalu, Farel memasuki ruang gawat darurat untuk mengeluarkan peluru di pinggir punggungnya. Untung saja tak sampai tembus mengenai organ dalamnya. Tapi yang namanya peluru panas tetap saja membuat korbannya terbaring tak berdaya. Kini Farel dipindahkan di ruang yang sama dengannya. Frans mati di tempat akibat tiga peluru yang dia tembakkan. Sedang Yulia kini juga dirawat di ruang yang berbeda. Wanita itu rupanya tahan banting. Devan, David dan papanya mendapat perawatan ringan atas luka yang mereka peroleh dari hasil gulat dini hari tadi. Sedangkan kawanan penjahat lain berhasil di ringkus polisi. Termasuk penjahat yang hanya memakai celana dalam itu. Dia terbangun bingung saat mendapati keadaannya yang memalukan.Sampai saat ini, Hana masih tak paham dengan yang dilakukan Farel. Kenapa pria itu datang bersama yang
"Dor! Dor!"Langkah Farel terhenti. Terkejut. Devan segera menariknya ke tempat tersembunyi."Van, siapa?"Devan menggeleng. Tatapannya awas. Mencoba bersikap tenang. Suara ini masih di dekat sini. Jantungnya berdegup kencang. Terpikirkan keberadaan papanya. Ck! Harusnya dia tadi bersama papanya. Tapi, ah...Totalnya ada empat orang yang berhasil mereka lumpuhkan tadi. Jadi, sebenarnya ada berapa orang yang ada disini.Sebuah bayangan hitam berkelebat melewati mereka. Secepat kilat Devan merebut pistol dari tangan Farel. Bersiaga. "Om! Cari keberadaan Farel!"Astaga! Itu, David. Spontan Devan keluar."Bang David."Sontak bayangan itu menoleh."Farel?"Farel muncul.Baru saja David hendak berkata, terdengar suara lain."Itu mereka!"Suara tembakan kembali terdengar. Secepat kilat mereka merunduk mencari tempat aman. "Brengsek! Sial! Dimana curut-curut itu!"Degh!Farel tersentak. Dia tak asing dengan suara itu. Mirip dengan pria yang mendorongnya ke jurang itu. Pria yang bersama deng
Sebuah gudang bekas pabrik lama. Di ruangan yang samar akan penerangan. Sesosok wanita tertunduk dengan kaki dan tangan yang diikat. Mulutnya tersumpal plester besar. Dia masih pingsan akibat bius yang terhirup olehnya beberapa jam yang lalu. Ada dua penjaga yang bersiaga di luar pintu.Sementara di ruangan yang lain, tiga orang pria dan satu wanita tengah menikmati minuman keras di hadapan mereka."Brengsek! Dia masih belum sadar juga?" Wanita itu berkata."Sepertinya kalian tadi memberinya bius terlalu banyak," tukas sang pria."Sory, boss. Dia memberontak kuat. Jadi terpaksa," ucap salah satu dari dua orang yang lain itu. Menuangkan isi botol ke gelas yang diacungkan oleh pria itu."Argh! Aku gak sabar buat nyiksa dia. Frans, ayo kita kunjungi dia sekarang.""Tapi dia belum sadar sayang...""Akan kubuat dia sadar. Ayo! Tanganku sudah gatal menyiksanya."Frans tersenyum. Membelai pipi wanita itu. Lalu mengecup bibirnya singkat."Kau ini bernafsu sekali, hmm? Baiklah, ayo."Keduanya
Pukul setengah sembilan malam saat dia memutuskan pergi. Belum terlalu malam, tapi mama dan papanya juga sudah pergi tidur. Dengan mengendap-endap, Hana menuruni tangga, membuka pintu depan, dan menutupnya kembali.Angin dingin langsung menerpanya. Untung dia memakai sweater yang lumayan tebal. Juga syal merah jambu yang dia lilitkan di lehernya. Dan juga topi rajut menutupi rambut dan telinganya. Mendongak ke langit, gelap. Bahkan tak ada bintang yang tampak. Wajar saja mendung. Anginnya saja dingin luar biasa.Nekat, Hana melongok ke pos satpam. Aman. Mungkin pak Dito sedang di dalam. Mengendap-endap dia membuka gerbang, dan menutupnya lagi. Bergegas mencari tempat aman.Dia sudah memesan taksi online dari aplikasi di ponselnya. Hanya saja taksi pesanannya belum datang. Wanita itu melongok ke arah jalanan dengan tangan dimasukkan ke dalam saku. Menghalau dingin yang teramat menusuk. Menyesal, kenapa dia malah hanya memakai sweater, bukan langsung jaket. Tahu dinginnya begini, dia p
Seharian ini, David mengantarnya kemanapun Hana mau. Jelang sore, mereka kembali. Senyum kembali terpatri di bibir Hana. Meski sebenarnya itu palsu."Makasih, Vid, udah jadi sopirku sehari," kekehnya kecil. David tertawa."Siap tuan putri. Kemana tuan putri mengajak pergi, sang supir siap mengantar."Hana terkekeh."Mampir?"tawarnya."Em, lain kali aja deh, Na. Gak bawa apa-apa. Malu.""Haha. Kayak apa aja. Yuk, gak papa. Mampir."David tetap menggeleng."Udah sore juga, Na. Lain kali deh.""Emm, ya udah. Makasih ya Vid."David mengangguk, tersenyum. Lalu memutar laju mobilnya, melesat pergi. Hana memandangi mobil itu hingga menghilang dari pandangannya. Menghela napas sejenak, dan membuka gerbang rumahnya. Melangkah dengan tak semangat. Tanpa dia tahu, ada orang asing yang sedari tadi memperhatikannya.*******"Baru pulang sayang?"Hana menghentikan langkahnya. Mendapati mamanya yang tengah menyiram bunga. Lalu menghampirinya."Iya, Ma. Jalan-jalan dulu. Hehe."Lily tersenyum. Syukur
Aku menunduk. Terpaksa harus menjelaskan semuanya. Bahkan percuma juga berbohong. Yulia juga sudah tahu. Tapi, tentunya aku akan menyembunyikan alasan pribadi melakukan penipuan ini."Jadi--- ah, aku bahkan gak habis pikir, Rel. Tega kamu ya."Yulia menangis. Meski aku tahu, air mata buaya."Maafkan aku Yulia. Aku hanya tidak mau kamu sakit hati karena membayangkan yang tidak-tidak tentangku dan kak Hana. Jadi, aku terpaksa harus berbohong.""Lalu, kenapa saat berada di Singapura kamu berpura tidak mengenalku?" tukasnya tajam."Maaf. Saat itu aku belum ingat. Tapi, saat sudah di tanah air, aku mengingatmu. Makanya pas kamu ke kantor, aku langsung mengenalimu. Itu karena aku tak bisa berbohong tentang perasaanku Yulia."Yulia mendengkus. Ayolah, kenapa susah sekali membuatnya percaya."Dan, kenapa aku berpura tak mengenal kak Hana, itu karena aku takut kamu sakit hati membayangkan hari yang telah aku lalui bersama wanita itu karena selalu menganggap dia adalah kamu, sayang."Kugenggam
Sampai di kantor, aku bergegas menuju ruang meeting. Ada klien dari Australia dan salah satunya orang lokal yang harus kutemui. Yulia? Entah kemana dia. Posisinya sebagai sekretaris semakin tak terurus semenjak dia mengakui sebagai istriku waktu itu. Untung saja sekretaris lamaku masih bisa kuandalkan. Sebenarnya aku muak, ditambah sikapnya yang angkuh dan semaunya sendiri. Tidak hanya aku saja yang jengah, melainkan karyawanku yang lain mengeluhkan hal yang sama. Hanya saja mereka menutupinya meski terlihat jelas mereka hanya pura-pura."Oh, kamu ya menantunya Doni. Aku sering mendengarmu dari istriku. Tapi baru kali ini ketemu. Haha."Salah satu klien yang mengenalkan diri bernama om Bram itu menyapaku. Aku tersenyum tipis. Bagaimana pula aku harus menjawabnya."Who's?""Ah, begini mr. Smith. Dia ini ternyata menantu Doni, rekan bisnis kita," jelas om Bram. "Oh, really?"Aku semakin bimbang. Mengakui, itu jelas mereka akan terbongkar seandainya mereka tahu Yulia yang menjadi istrik