Doni bangun kesiangan. Akibatnya dia celingak celinguk kebingungan. Dia memang belum terlalu paham dengan rumah Lily. Dia kan memang cuma berkunjung pas lamaran dadakan sama nikahan itu doang.
Dengan rambut yang masih acak-acakan, dia beranjak ke kamar mandi. Rupanya ada ibu di dapur.
"Sudah bangun, nak?"
Doni mengangguk, nyengir. Malu."Capek ya? Jauh juga sih perjalanannya," ujar ibu. Doni meringis. Memang capek, tapi selain itu dia merasa nyaman, yang membuatnya tak sadar sudah kesiangan. Entah kenapa.
Dia mengedarkan pandangan ke sekitar. Tak mendapati keberadaan gadisnya.
"Kak Lily mana, bu?"
"Oh, Lily... Dia di depan. Lagi nyiram bunga."Doni manggut-manggut."Cuci wajahmu, lalu sarapan.""Iya, Bu."Cowok itu meneruskan langkahnya. Tepat Lily kembali dari depan. Membawa ember dan gayungnya.
"Kok asternya gak ada, bu?"
"Iya. Habis berbunga waktu itu ibu lupa gak nyemai lagi. Jadi pada mati."Minggu yang cerah. Mentari masih mengintip malu-malu di balik pepohonan sana. Pagi ini juga Doni dan Lily akan pulang. Sedari tadi bapak dan ibu sibuk menyiapkan barang apa saja yang bisa di bawa. Termasuk singkong yang kemarin mereka cabut."Sudah, Bu. Ini saja," ujar Lily, dia gak enak karena malah merepotkan ibunya. Namun ibu masih bersikeras. Beras, singkong, jagung tua dan muda, juga sayur terong, semua dibawakan."Halah. Wong ada kok. Ibu sama bapak kan gak beli," bantahnya. Lily menoleh ke arah Doni, dia juga gak enak sama cowok itu. Bagaimanapun juga ini kan mobil Doni. Tapi cowok itu cuek saja. Malah semangat menatanya di dalam bagasi belakang. Ah, sudahlah."Lily pamit pak, bu," ujarnya. Mencium tangan ayah dan ibunya."Iya, nduk. Seng ati-ati ya disana. Jadi istri yang baik dan berbakti."Ibu mengusap lembut surai putrinya. Tatapannya tak bisa berbohong, mata yang berkaca.
Minggu yang cerah. Mentari masih mengintip malu-malu di balik pepohonan sana. Pagi ini juga Doni dan Lily akan pulang. Sedari tadi bapak dan ibu sibuk menyiapkan barang apa saja yang bisa di bawa. Termasuk singkong yang kemarin mereka cabut."Sudah, Bu. Ini saja," ujar Lily, dia gak enak karena malah merepotkan ibunya. Namun ibu masih bersikeras. Beras, singkong, jagung tua dan muda, juga sayur terong, semua dibawakan."Halah. Wong ada kok. Ibu sama bapak kan gak beli," bantahnya. Lily menoleh ke arah Doni, dia juga gak enak sama cowok itu. Bagaimanapun juga ini kan mobil Doni. Tapi cowok itu cuek saja. Malah semangat menatanya di dalam bagasi belakang. Ah, sudahlah."Lily pamit pak, bu," ujarnya. Mencium tangan ayah dan ibunya."Iya, nduk. Seng ati-ati ya disana. Jadi istri yang baik dan berbakti."Ibu mengusap lembut surai putrinya. Tatapannya tak bisa berbohong, mata yang berkaca.
Pagi sekali, mereka berangkat. Doni mengantar ke kampus Lily terlebih dahulu,barulah ke rumahnya mengambil motor. Sebelum pergi, cowok itu mengingatkan janji mereka nanti malam."Dasar, takut sekali gue kelupaan. Haha," gumam Lily terkekeh. Memandangi kepergian Doni."Woy!" Seseorang menepuk pundaknya. Membuat Lily terjingkat kaget."Astaga! Bi...laa... Eh, Dita. Ngegetin aja sih." Dia pikir itu Billa, ternyata Dita, rekan satu organisasi dengannya."Ya ampun, Ly. Lo kemana aja sih dua hari ini," keluh Dita. Rautnya tak baik-baik saja."Gue pulang kampung. Ada apa emang, Dit?""Kenapa ponsel pake dimatiin sih. Genting tahu."Lily mengerdipkan mata dengan alis mengerut, tak paham."Pokoknya genting deh. Ntar abis kuliah, jangan pulang dulu. Ada rapat komisaris."Lily mengangguk. Dia bingung. Apa sebenarnya yang terjadi. Apa terjadi sesuatu dengan kak Mukhtar?"Ya udah. Gue pulang dulu. Capek gaes. Dari kemarin
Lily melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. Haduh, dia tidak tahu kalau bakal sampai semalam ini kumpulannya. Pukul sembilan belas lewat tiga puluh dua menit.Memang darurat. Uang kas hilang. Sekaligus uang yang dikumpulkan untuk donasi korban bencana yang dikumpulkan teman-temannya. Yang mana dia tidak ikut mencari donasinya.Sedari tadi dia menunduk. Raut Mukhtar terlihat marah. Penampilannya juga tak serapi biasanya. Kata-kata yang terlontar juga tak seperti biasanya. Cenderung kasar dan blak-blakan. Wajar saja sih, disaat keadaan genting begini, malah banyak yang dihubungi susah. Lily juga merasa bersalah. Kalau tahu begini, dia tidak pulang kemarin. Sumpah, Mukhtar terlihat mengerikan.Sebenarnya dia gelisah bukan cuma karena ini, tapi juga teringat janjinya dengan Doni. Dia bahkan sedari tadi belum memegang ponselnya. Dia yakin cowok itu menghubunginya, bahkan mungkin juga sama khawatirnya disana. Mana tadi janjinya kan dia gak usah di jemput.
Billa melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh."Tidak! Ini gak boleh terjadi." Dia memukul stirnya frustasi. Kantunya yang semula berat terasa mendadak sirna begitu saja begitu mendapat telepon dari Doni. Fikirannya serasa tak lagi di tempat. Dia sudah membayangkan yang tidak-tidak.Tiba di sebuah rumah, dia segera menghentikan laju mobilnya, berlari mengetuk pintu kasar."Ma! Mama! Buka pintunya. Ini Billa ma!" gedornya tak sabar. Tak lama terdengar derap langkah kaki, dan pintu terbuka. Menampilkan mama Mukhtar dengan wajah kantuknya."Ada apa sih, Bil. Malam-malam gedar gedor pintu." Billa tak peduli ocehan mamanya itu."Kak Mukhtar mana?""Gak ada di rumah. Katanya nginep tempat temannya. Kenapa memang? Tumben nyariin kakakmu malam-malam.""Ngi-nginep?""Iya. Katanya sedang ada masalah di organisasinya gitu."Billa memejamkan matanya, frustasi. Ayolah, jangan sampai yang difikirkannya benar-benar
Pagi-pagi sekali Doni datang ke rumah sakit. Kekhawatiran tercetak jelas di wajahnya. Dia langsung memeluk erat gadisnya."Masih sakit?" bisiknya.Lily menggeleng. Melepaskan pelukan Doni. Hatinya tersayat melihat wajah berondongnya."Sudahlah, Don. Aku tak apa.""Tapi, kak. Kak Lily masih pucat," ujar Doni. Menyentuh wajah Lily. Gadis itu menepisnya pelan."Aku gak apa."Dia ingin bersikap biasa saja, seperti kesepakatannya dengan Billa tadi malam. Tapi melihat Doni, tetap saja rasanya sesak. Dia merasa menghianati cowok itu."Ehm! Obat nyamuk nih."Billa mendehem. Membuat keduanya reflek menoleh. Doni nyengir."Sory mblo. Lupa," tukasnya. Billa mendecis, mengangkat tangannya seolah hendak memukul Doni. Cowok itu tertawa."Sudah. Bawa pulang istrimu sana. Ingat, jangan boleh ke kampus. Biarkan dia istirahat."Doni mengacungkan jempolnya. Dan dia akan izin juga hari ini."Thanks, Bro.""Yaah.. lam
Saat Lily membuka mata, yang pertama dilihatnya adalah Doni yang pulas disampingnya. Wajahnya yang polos menambah sesak dalam dadanya. Rasanya dia seperti penghianat yang sangat jahat. Perhatian cowok itu padanya, makin menimbulkan rasa bersalah yang amat sangat. Dia sedikit beringsut, menyampingkan badannya, tepat menghadap wajah Doni.Tangannya terulur menyentuh lembut pipi Doni yang sedikit membengkak. Mulutnya sedikit terbuka. Tetes bening kembali mengalir di sudut mata gadis itu."Sampai kapan gue nyembunyiin ini," ucapnya lirih."Gue takut, gue takut sesuatu yang lebih buruk datang."Helanya berat. Teringat kejadian itu terjadi tepat di masa suburnya. Tentu saja dia takut ada benih yang bersarang di rahimnya. Mengusap air matanya dengan punggung tangannya. Lalu beranjak bangun.Hari ini dia akan ke kampus. Meski sebenarnya masih takut dan trauma. Tapi, dia tidak mau membuat Doni curiga. Dia tidak ingin cowok itu tahu kejadian yang m
"Kak! Kak Lily. Apa yang terjadi?"Dia sempat mendengar Doni panik mendobrak kamar. Memangku kepalanya yang sudah dipenuhi busa di mulutnya. Dan setelah itu semuanya gelap. Sakit. Tapi dia masih bisa tersenyum.Ya, akhirnya Lily memutuskan menenggak pil tidur dengan dosis tinggi. Yang membuatnya overdosis. Dia tidak sanggup lagi menghadapi kenyataan."Maafin gue, Don. Lo berhak bahagia..." ucapnya terakhir dalam hati.----------Doni mondar mandir di depan ruangan di rumah sakit. Tadi dengan sigap dia langsung membawa Lily ke rumah sakit. Terkejut setengah mati mendapati gadisnya terkapar di kamar dengan mulutnya yang berbusa. Kini dokter di dalam sana sedang memberinya pertolongan pertama.Billa datang tergopoh."Di-dimana Lily?"Doni mendesah kesal. Emosinya memuncak. Tapi dia tak ada tenaga untuk marah-marah."Apa yang sebenarnya terjadi?" Akhirnya hanya pertanyaan itu yang muncul.Billa menangis. B