Kau bahkan tak tahu alasanku marah waktu itu, dan kini kau malah semakin dekat dengannya.
Huh! Aku membutuhkanmu. Kau tahu itu?
-----------
Doni menghembus napas kasarnya. Niatnya hari ini dia mengunjungi kampus Lily, untuk mengajak gadis itu makan di luar. Tapi lihatlah pemandangan disana. Menjengkelkan sekaligus menyesakkan. Istrinya sedang berjalan beriringan dengan pria yang dibencinya. Tawa lebar terlihat jelas. Sungguh berbeda dengan saat bersama dirinya. Dia pandangi keduanya hingga hilang dari pandangannya.
"Sial!"
Doni pukul stirnya keras. Tak terasa sakit. Lebih sakit hatinya kini. Detak jantungnya berdegup le
Club.Minuman keras.Narkoba.Jemari Lily mengetik password dengan lemah. Di pikirannya tetap terbayang perkataan Mukhtar tadi. Benarkah? Tapi tidak mungkin kan seorang Mukhtar berbohong. Lagipula, dia bertemu cowok itu juga di club. Dan dia juga pernah memergoki Doni dengan Arin. Waktu itu. Akhir-akhir ini juga Doni pulang malam. Tapi sama sekali dia tidak mencium bau aneh. Tauklah. Dia pusing."Baru pulang?""Astaga!" Lily memegangi dadanya. Doni yang mengagetkannya. Pemuda itu bersidekap dengan wajah datarnya."Pulang bareng siapa?""Bis," jawab Lily tak kalah datar. Dia berjalan menuju kamar."Gak bohong?"Lily menghentikan langkahnya. Menoleh kesal. Ah, ingat Ly. Lo gak boleh membenci Doni. Itu kata Mukhtar tadi. Bimbing dia, baik-baikin dia. Jangan sampai kembali ke Doni yang dulu.Lily menarik napas panjang. Menghembuskannya pelan."Ya
Capek. Itu yang dirasakan Doni kini. Fokusnya terbagi-bagi. Padahal sebentar lagi dia ujian. Dia pulang dan menyadari Lily tak ada di kamar."Kemana dia?"Dia putuskan untuk mencari gadis itu."Kak!" panggilnya. Tak ada sahutan. Dia lihat di kamar mandi tak ada siapapun. Dia cari di dapur, juga tak ada. Ruang tamu apalagi, dia kan baru saja melewati ruang tamu tadi sewaktu pulang."Apa jangan-jangan kak Lily pergi lagi. Hadeuh!" Doni menghempaskan kasar pantatnya di sofa. Terbayang Lily saking marahnya sampai memutuskan menghindari dirinya."Argh!" Dia remat kasar rambutnya. Menghadap ke atas dengan mata terpejam. Praduga bermunculan di kepalanya. Kalau tidak pulang ke rumah, apa mungkin Lily ke rumah sahabatnya itu."Aish! Kenapa hubungan kami gak pernah tenang sih? Sebentar baikan, gak lama marahan lagi. Gue emang gak bisa dewasa. Plinplan lo, Don! Bodoh! Pengecut," rutuknya pada diri sendiri.Diambilnya vas bunga di ata
"Gue lihat lo makin deket aja sama kak Mukhtar."Lily tersenyum tipis."Kelihatannya kek gitu ya?""Ya iyalah ogeb. Jelas banget. Tiap hari loh, lo pasti ke perpus sama kak Mukhtar. Emang gak takut apa berondong lo tahu, terus cemburu gitu?"Lily tersenyum kecut. Menyesap moccanya. Meletakkan ponsel yang sedari tadi dia pegang. Apalagi kalau bukan chattingan dengan pemuda yang dikaguminya lama."Dia tahu," ujarnya."Terus? Dia gak marah?"Gadis itu malah terkekeh."Terus kejadian dia mukul kak Mukhtar itu apa kalau bukan marah, hm?"Billa menatap sahabatnya tak mengerti."Yaaa... tapi kenapa lo malah makin dekat sama kak Mukhtar sih? Kalau berondong lo kalap lagi gimana coba?"Tak habis pikir Billa sama pola pikir Lily. Sudah tahu berondong berandalannya itu tak suka dia terlalu dekat dengan Mukhtar malah diterusin."Gue bingung, Bil," ucapnya, menunduk. Memutar-mutar gelasnya."Cerita aja."Lily
Benar kata orang-orang. Terkadang memahami perasaan sendiri lebih sulit daripada memahami perasaan orang lain. Meski kita tahu apa yang dirasa, tapi sulit menyikapinya.Sudah pukul tujuh malam. Detak jarumnya mengisi apart yang akhir-akhir ini terasa sepi. Lily melirik pigura yang tergantung di dinding kamar mereka. Poto pernikahannya dengan berondong itu. Tak ada senyum di wajah keduanya. Hanya ada tatapan datar. Hah, apa selamanya akan begini? Berawal dari tanpa rasa dan berakhir meninggalkan asa.Gadis itu meraih ponselnya, mencari sebuah nama di kontak whatsapnya, mengetik beberapa kata. Namun tak berapa lama dia menghapusnya lagi. Berulang kali dia melakukannya, tapi tak ada satupun pesan yang berhasil terkirim. Semua berakhir dengan satu tekanan jempolnya, yang membuat pesan itu sirna terhapus."Haish!" umpatnya. "Bodo amat lah. Ingat Ly. Tugasmu jagain dia. Kalau kenapa-napa ntar lo juga yang disalahin."
Bukan merelakan, tapi aku tidak ingin mengekangmu. Yang jika pada akhirnya membuatmu menjauh. Mungkin seperti ini dahulu, sembari menunggumu sadar, bahwa bukan dia yang terbaik untukmu.---------------Membuat Doni mau belajar memang bukan perkara mudah. Tapi dengan kesabarannya dan sedikit ancaman tentunya, Doni jadi nurut. Jika sudah begini, berondong itu terlihat menggemaskan. Jiwa-jiwa berandalnya menguap begitu saja. Dia juga tak lagi ngeluyur sepulang sekolah. Jadi Bram tak perlu repot-repot mengingatkannya. Justru Bram yang sedang menjalankan misi dengan teman-teman Doni yang lain. Yang pastinya tanpa cowok itu ketahui.Lily tetap bergaul dengan Mukhtar seperti biasa. Sebisa mungkin dia mengusir rasa yang sempat singgah. Dia sadar, tugasnya kini
"Mau ke toko buku pulang nanti?" Mukhtar menoleh ke sampingnya. Lily menurunkan bukunya."Ah, sepertinya langsung pulang deh kak," jawabnya.Mukhtar manggut-manggut."Kak Mukhtar mau ke toko buku?""Emm, tadinya. Tapi kayaknya gak jadi deh. Lupa ada janji buat amal nanti.""Buat?""Korban bencana.""Ah, iya." Lily berfikir sejenak."Anak-anak organisasi yang lain berarti?"Mukhtar menggeleng."Enggak. Sama organisasi luar kampus.""Kenapa?"Mukhtar mengerutkan dahinya."Maksudku, emm... kok dari kampus belum? Biasanya kan gesit?""Ya terserah sih. Kalian juga kan masih uts. Kalau yang mau ikut, ya ayo.""Hee... pengen sih.""Ya udah. Ntar aku jadwalin sama anak-anak yang lain."Lily tersenyum. Kembali ke bukunya. Tapi sebelumnya dia lihat ponsel Mukhtar yang diletakkan di atas meja berkedip-kedip. Sayangnya tak terlihat siapa yang menelepon."Kayaknya ada yang nelpon gih kak," ujarnya
Doni bangun kesiangan. Akibatnya dia celingak celinguk kebingungan. Dia memang belum terlalu paham dengan rumah Lily. Dia kan memang cuma berkunjung pas lamaran dadakan sama nikahan itu doang.Dengan rambut yang masih acak-acakan, dia beranjak ke kamar mandi. Rupanya ada ibu di dapur."Sudah bangun, nak?"Doni mengangguk, nyengir. Malu."Capek ya? Jauh juga sih perjalanannya," ujar ibu. Doni meringis. Memang capek, tapi selain itu dia merasa nyaman, yang membuatnya tak sadar sudah kesiangan. Entah kenapa.Dia mengedarkan pandangan ke sekitar. Tak mendapati keberadaan gadisnya."Kak Lily mana, bu?""Oh, Lily... Dia di depan. Lagi nyiram bunga."Doni manggut-manggut."Cuci wajahmu, lalu sarapan.""Iya, Bu."Cowok itu meneruskan langkahnya. Tepat Lily kembali dari depan. Membawa ember dan gayungnya."Kok asternya gak ada, bu?""Iya. Habis berbunga waktu itu ibu lupa gak nyemai lagi. Jadi pada mati."
Minggu yang cerah. Mentari masih mengintip malu-malu di balik pepohonan sana. Pagi ini juga Doni dan Lily akan pulang. Sedari tadi bapak dan ibu sibuk menyiapkan barang apa saja yang bisa di bawa. Termasuk singkong yang kemarin mereka cabut."Sudah, Bu. Ini saja," ujar Lily, dia gak enak karena malah merepotkan ibunya. Namun ibu masih bersikeras. Beras, singkong, jagung tua dan muda, juga sayur terong, semua dibawakan."Halah. Wong ada kok. Ibu sama bapak kan gak beli," bantahnya. Lily menoleh ke arah Doni, dia juga gak enak sama cowok itu. Bagaimanapun juga ini kan mobil Doni. Tapi cowok itu cuek saja. Malah semangat menatanya di dalam bagasi belakang. Ah, sudahlah."Lily pamit pak, bu," ujarnya. Mencium tangan ayah dan ibunya."Iya, nduk. Seng ati-ati ya disana. Jadi istri yang baik dan berbakti."Ibu mengusap lembut surai putrinya. Tatapannya tak bisa berbohong, mata yang berkaca.