Setelah beres-beres, mandi dan segala macam, mengecek Doni yang sedang tidur, Lily menghamparkan kasur lantai yang berbulu halus di lantai kamar mereka. Bukan untuk tidur loh ya. Dia membawa laptop dan kertas-kertas serta pena dan buku. Tengkurap, dengan bersanding cemilan.
Tidak kuliah bukan berarti berleha-leha. Sudah di katakan bukan kalau Lily itu mahasiswi rajin. Makanya aneh saja tiba-tiba harus menikah dengan berondong, berandal lagi. Sangat berbalik dengannya.Dia kembali berkutat dengan tugas-tugas kampusnya yang bejibun. Beda dengan yang dikatakan orang-orang. Katanya semesternya itu masih sedengan dan masih buat main-main. Menurutnya gak juga. Tetap saja tugas menanti bagai tak tahu diri.Saat sedang sibuk berkutat dengan tugasnya, tiba-tiba dirasanya punggungnya berat. Lily menoleh."Eh, Don. Kok pindah di bawah sih," ucapnya, melihat Donilah pelaku penyandar kepala di punggungnya. Wajah cowok itu masih pucat, menoleh ke arahnya dengan tatapan sayu."Bosen kak di atas terus. Panas juga," tuturnya."Tapi kan di bawah dingin. Kaki lo juga tuh, nyentuh lantai kan. Dingin tahu. Pindah ke atas aja, nyalain AC."Doni menggeleng, menolak."Ck. Keras kepala banget sih. Ya udah, minggir dulu.""Gak mau kak. Pengennya gini aja.""Minggir gue bilang, Doni," tekan Lily lebih keras. Doni mendecak pelan, mengangkat kepalanya dari punggung Lily. Meringkuk di sisa kasur bulu.Lily mengambil bantal di atas, meletakkan di sisinya."Dah, tidur sini," panggilnya.Doni berbaring di sisinya. Sedang Lily kembali mengerjakan tugasnya."Ngerjain apa sih kak?""Em. Tugas," jawab Lily singkat."Rajin amat."Lily hanya mendehem. Tak terlalu memperdulikan cowok itu. Lama-lama Doni merapatkan badannya dengan Lily. Menduselkan kepalanya di lengan kiri Lily. Lily tentu saja tersentak, seakan ada setruman yang membuat dadanya berdesir. Hey, jelas saja, ini untuk pertama kalinya dia bersentuhan dengan cowok. Biasanya dia memang selalu menjaga jarak dengan makhluk bernama laki-laki tersebut."L-lo kenapa Don? Mi-minggir. Gue gak bisa ngetik nih," ucapnya."Emm... biarin begini kak. Dingin," jawabnya dengan mata terpejam.Lily menelan salivanya. Ayolah, kalau begini bagaimana dia bisa fokus. Detak jantungnya saja berdetak lebih cepat dari biasanya. Bagaimana kalau Doni dengar coba? Berabe.Lily tak jadi mengerjakan tugasnya, justru malah melamun. Lamat-lamat dia dengar deru napas teratur. Hembusannya hangat menerpa lengannya. Dia menoleh lagi. Benar saja, Doni sudah tidur."Huft..." helanya."Lama-lama begini, jantung gue gak aman. Haish, setidaknya kalau lo gak berandal mungkin gue bakal cepat membuka hati. Sayangnya, lo nakal sih, Don. Jatuh cinta sama lo adalah masalah besar. Lo playboy. Kelas kakap lagi. Hahh... tapi gimanapun juga, cerai bukan pilihan. Gak ada pilihan. Gue harus menerima pernikahan ini. Tapi... gimana dengan kak Mukhtar? Dia cowok sempurna diatas segala hal. Gue rasa gue bakal nerima kalau dia yang ngelamar gue."Pikirannya menerawang. Bagaimana tidak, cowok dengan lesung pipit yang menambah citra manisnya itu memang idaman gadis-gadis. Bikin halu saja."Aish. Gue ngapain sih? Jelas-jelas itu gak mungkin. Ya kali kak Mukhtar yang pintar dan aktivis itu bakal ngelamar gue. Haha, ngaco banget sih, Ly. Dahlah. Terima takdir lo, dapat berondong berandal ini," monolognya, menepuk kepalanya sendiri.Lily meletakkan tangannya di dahi Doni. Menyingkirkan rambut yang menutupi dahi cowok itu."Masih panas. Apa gue telpon Dokter aja ya?" gumamnya."Jangan kak. Ntar juga sembuh sendiri."Lily tersentak. Menjauhkan dirinya."L-lo belum tidur?"Doni tak menjawab. Lily meringis, merutuki diri sendiri. Berarti pas dia bermonolog tadi, Doni dengar dong. Ya ampun, memalukan sekali.Tiba-tiba Doni melingkarkan tangannya di pinggangnya, menarik lebih dekat."Haish, Don. Lepas. Gue mau nugas," ujarnya mendorong Doni, namun percuma."Dingin kak. Gini aja ya, hangat.""Hangat gundulmu. Badan lo panas tahu," ucap Lily, tetap memberontak. Doni justru mengeratkan pelukannya.Lily menyerah. Akhirnya diam saja dia. Percuma juga dia berontak, tenaga Doni lebih kuat, meski dia sedang sakit sekalipun."Awas aja kalau gak cepat tidur," ancamnya. Doni tersenyum tipis dengan mata terpejamnya, mengangguk pelan."Tapi, kalau kakak pergi, gue gak jadi tidur.""Iya iya. Dahlah. Sana tidur. Pusing gue sama lo lama-lama.""Good night, Kak," ucapnya lirih."Good night gundulmu. Masih pagi gini," omel Lily. Deru napas hangat Doni terasa, di tambah kekehannya."Gak papa. Lagian kan kapan lagi dapat ucapan selamat malam dari cowok ganteng.""Narsis. Dah, tidur. Ngomong mulu."Doni meringis, menampakkan deretan giginya yang rapi. Dia mencari posisi nyamannya, hingga benar-benar tidur."Dasar, bocil..." kekeh Lily. Dia menguap, ternyata rebahan gini malah membuatnya ikut mengantuk juga. Akhirnya dia ikut terlelap.---------"Ya ampun Lily. Gak diangkat-angkat sih," decaknya. Dia menekan nomor Lily lagi, menempelkan di telinganya. Hanya ada dering tapi gak di angkat-angkat."Gimana, Bil. Belum diangkat juga?"Bila menggeleng."Emang kenapa sih? Tumben Lily gak berangkat?""Sakit dia," jawab Bila."Hah? Tumben seorang Lily bisa sakit?" tukas Vinna tak percaya."Dia juga manusia kali."Bila mendecak. Duduk di samping Vinna, rautnya buruk sekali. Jelas saja. Makalah di tangan Lily, hari ini mereka presentasi. Tapi bisa-bisanya tuh anak gak bisa di hubungi. Matilah dia. Nasibnya di ujung tanduk."Ke kosannya aja gimana?" tawar Vinna. Bila menggeleng lemah. Kalau saja dia tahu, udah dari tadi dia otw. Bodoh juga sih, kenapa pagi tadi pas nelpon Lily dia bisa kelupaan. Mana habis dhuhur lagi MK nya."Lah, terus gimana? Bil, ini demi kelangsungan nilai kita loh," ucap Vinna. Iya juga sih. Tapi gimana."Ck. Iya deh. Telpon aja terus. Lo juga, kirim pesan sebanyak mungkin."Vinna mengangguk. Mengetik pesan di gawainya."Ck. Jangan bilang mereka lagi naena," decaknya lirih."Emm, kenapa Bil?"Bila tersentak."E-eh, eng...gak... gak kok. Hehe," dia menggaruk kepalanya. Vinna manggut-manggut."Haish. Hampir saja keceplosan. Dasar mulut," rutuknya dalam hati.---------Panas. Doni menggeliat pelan. Keringat membanjiri wajahnya. Dia membuka matanya. Hal yang pertama di lihat adalah wajah gadis yang terlelap di depan wajahnya. Tersenyum kecil, Doni menyingkap rambut yang menutupi wajah Lily.Dia menyingkirkan tangan Lily dari pinggangnya. Mungkin saja gadis itu tak sadar jika dirinya sudah memeluk dirinya. Doni terkekeh pelan.Dia rasa badannya mulai enakan. Gak sepusing seperti tadi malam.Doni mendudukkan dirinya. Terpekur sejenak. Lalu menggotong tubuh Lily, memindahkan tubuh gadis itu di sofa."Kecil-kecil, berat juga ya," gumamnya. Doni mengambil tissu, mengusapkannya ke dahi dan sekujur wajah Lily yang berkeringat. Lalu dia mengambil remot ac, menyalakannya.Saat hendak beranjak ke kamar mandi, dilihatnya gawai Lily yang bergetar."Eoh, ada yang nelpon."Tanpa melihat namanya, Doni langsung mengangkatnya."Woy! Astaga! Ya ampun, Ly. Lo kemana aja sih. Gue hubungin sampek berapa kali tuh. Sadar gak sih, kita presentasi hari ini, dodol. Makalahnya sama elo. Buruan ke kampus!""Emm, sory kak. Kak Lily masih tidur."Hening."L-lo, suami Lily?" suara dari seberang terdengar lirih."Hm...""Hehe.. sory. Tapi tolong ya, bangunin Lily. Kita ada presentasi. Demi nilai gue, demi nilai Lily juga. Please ya?""Hm. Ntar deh. Gue mau mandi dulu. Badan gue keringetan. Lengket.""Woy! Bambang. Lo habis ngapain Lily!"Doni menjauhkan ponsel dari telinganya."Ck. Gila, bar bar banget sih," decak Doni. Mematikan panggilan."Bisa-bisanya kak Lily punya temen kayak gitu. Hadeh." Doni berjalan ke meja rias, dan meletakkan ponsel disana. Memberesi laptop dan kertas-kertas yang berserakan, melipat kembali kasur lantainya. Lalu dia mengambil handuk dan ke kamar mandi.Pasti sudah menduga, pasti di seberang sana gadis itu akan mengocehinya.Haha, bodo amat.Selesai mandi, Doni memilih pakaian yang akan dipakainya. Kaos hitam lengan pendek, jeans yang bolong dengkulnya, dan memakai jaket, sebagai luaran. Meminyaki rambutnya dan menyisirnya, meski pada ujung-ujungnya, dia acak-acak lagi.Dia menoleh ke arah Lily yang masih terlelap."Kebo juga ternyata," gumamnya.Doni menghampiri Lily. Menggoyang-goyangkan lengannya."Kak, bangun woy.""Ashdjdjdkkk....""Yaelah. Malah ngelindur. Kak, bangun. Kuliah."Lily bergeming. Dia malah mengeratkan selimutnya. Doni mendecak pelan."Ya ampun. Gini amat sih bangunin istri."Dia memandang lekat ke wajah Lily. Entah dorongan darimana, dia membungkuk, mendekatkan wajahnya ke wajah Lily, memejamkan matanya, dan...Chup.Cukup lama, hingga Lily bergerak risih. Doni segera menjauhkan wajahnya."Astaga! Gue ngapain," rutuknya. Doni memukuli kepalanya, bisa-bisanya dia kebablasan. Untung saja gadis itu tak sadar."Untung aja kak Lily gak kebangun. Bisa habis gue. Ckck.
Lily masih kesal. Sedari tadi sobat yang satunya itu merengek mulu. Apalagi kalau bukan karena minta dikenalkan dengan Doni. Meski dia gak suka sama Doni, tapi gak ikhlas dong kalau berondongnya digodain cewek lain.Matanya melirik julid, dengan tangan bersidekap mengawasi cowok di sebelah sana yang lagi ketawa-tawa dengan wajah sok tampannya. Dan sialnya ngapain sih Doni ngelayani pembicaraan Vinna. Huh, gak banget."Cie, cemburu," bisik Bila, meledek."Ck. Apaan sih. Gak lah.""La itu, bibirnya sampek maju gitu. Haha, Lily cemburu tuyulnya digodain.""Diem gak, Bil," ucapnya melotot."Bunga-bunga cemburu bermekaran..." Bila memeletkan lidahnya."Gue tabok mulut lo, mau?""Iih, ngeri. Haha," tetap saja yang namanya Bila mana mau diam saja."Sana geh, samperin. Seret aja bawa pulang," ujar Bila memanasi.Dia melirik kesal. Saking asyiknya Doni melayani obrolan Vinna dan beberapa mahasiswi lain yang dia gak tahu namanya sa
Lily di dapur, dia bikin mie. Debat sama Doni membuat badmood, ditambah perutnya lapar. Dia taburkan bubuk cabe diatas mie siap sajinya, padahal sebelumnya juga sudah dia tambahi potongan cabe.Santai saja dia melahap mie buatannya sambil menscrool scrool layar IG. Perlu diketahui ya, Lily ini bucin sama oppa-oppa negeri seberang. So, makanya dia gak gampang jatuh cinta. La wong standarnya aja ketinggian. Baru pas di kampus, dia ketemu Mukhtar, klepek-klepek lah dia. Katanya Mukhtar itu mirip J-hope, tapi versi jeniusnya RM. Ngaco memang.Padahal mirip aja gak. Ya, namanya udah kagum, apapun terlihat baik di matanya. Beda sama Doni, mau cowok itu seganteng pun, incaran cewek-cewek juga, dia gak peduli.Saat sedang asyik menscrol-scrol layar, eh, ponselnya berdering."Ck. Apaan sih, ganggu aja," tukasnya. Dia menekan tombol hijau. Dan langsung disambut lengkingan suara, siapa lagi kalau bukan Bila.("Woy, kampret. Lo tahu gak?")"Apaan sih, Bil. Gu
"Pulang jam berapa ntar?"Lily turun dari boncengan, membenarkan rambutnya yang sedikit berantakan."Ntar gue chat aja. Yang penting stay sama ponsel lo.""Oke. Jangan ngeluyur. Kalau udah selesai langsung chat."Lily tak menjawab. Cowok itu melajukan motornya, meninggalkan Lily yang menghela napas pelan."Haii cantikku. Sini... sini..."Lily menoleh, mendapati Bila yang melambaikan tangan padanya. Dia tersenyum tipis, menghampiri Bila dan Vinna."Melihatnya pake seragam SMA, jadi sadar diri, dia masih berondong. Hiks," gumam Vinna, memegangi dadanya dengan ekpresi wajah sedramatis mungkin.Lily dan Bila saling pandang, menggendikkan bahu mereka."Yuk ah, ke kelas."Mereka bertiga berjalan beriringan ke kelas.-------Brum!Seperti biasa, kedatangan motor sport hitam merupakan hal yang diidam-idamkan para siswi. Siapa lagi pengendaranya kalau bukan Doni.Meski ini sekolah STM, tapi jangan salah, tepat di belakang
"Berondong lo mana? Belum jemput?"Lily menoleh sekilas."Gak tahu nih. Ponselnya malah gak aktif," tukasnya dan mengecek ponselnya lagi."Ya udah deh. Gue tungguin sampek dia datang.""Gak papa, Bil. Pulang duluan gak papa. Paling bentar lagi dia juga nyampek kok," tukasnya."Gak ah. Gue juga lagi males pulang. Di rumah ada ponakan gue, rusuh lagi. Males-malesin,"gerutunya."Curhat mbak?""Dih, sialan lo. Tapi emang loh. Sebel banget gue sama anak kecil. Udah manja, cengeng, suka ngadu. Dia yang salah, yang dimarahin mama gue. Huh, nyebelin," rutuknya.Lily tersenyum tipis. Bila memang seperti ada dendam tersembunyi sama anak kecil. Mengkhawatirkan kalau punya anak nih. Padahal dia gak punya adek loh, anak terakhir, tapi entah kenapa benci banget sama anak kecil.Sebuah motor mendekat ke arah mereka."Lo, belum pulang?"Lily menoleh, sorot matanya berubah."Em... be-belum kak.""Nunggu jemputan apa giamana
"Astaga! Jam berapa bro?"Doni terperanjat dari tidurnya. Padahal cowok itu dari tadi molor. Bisa-bisanya langsung terjingkat."Jam setengah enam.""Hah? Ya ampun!"Doni mengambil jaketnya dan menghambur keluar. Mengendarai motornya tergesa.Sepanjang jalan dia merutuki diri karena bisa-bisanya kelupaan buat jemput Lily.Sampai di kampus, dia melongok ke sekitar. Tak ada Lily di tempat dia biasa nunggu."Aaish. Gimana sih lo, Don. Ilang gimana coba istri lo. Masak iya baru nikah udah jadi duda," decaknya. Dia merogoh sakunya. Dan sialnya ponselnya gak ada."Ck. Pakek ketinggalan di rumah Bram lagi. Sial!"Dia melihat ada pak satpam kampus yang sedang keliling."Woy, pak!"Pak satpam itu menoleh."Pak, lihat gadis tinggi segini, rambut panjang segini, terus....""Gak tahu," ucap satpam itu ketus. Dan berlalu meninggalkan Doni yang cengo."Asem. Gue di kacangin," kesalnya."Gue cari dimana lag
"Pagi kak," sapaan pagi yang menyenangkan. Lily membuka matanya perlahan. Tersenyum begitu mendapati wajah tampan tersaji di depannya. Raut mengantuknya terlihat sayup. Apalagi dengan barefacenya ini, membuat cowok lebih muda darinya ini makin menggemaskan."Hey, gimana sih, masak habis bangunin malah tidur lagi," tukas Lily."Ngantuk kak. Masih gelap juga tuh di luar.""Tapi kan kamu harus kerja sayang," ucap Lily lembut."Inget loh, udah punya anak. Jangan males-malesan," tambahnya.Dengan wajah terpaksa, suami berondongnya ini akhirnya beranjak juga.Chup."Eh," Lily memekik, memegangi dahinya."Morning kiss kakak. Ntar bagian kakak yang disini, abis mandi aja deh," ujarnya sembari menunjuk bibirnya. Dan tanpa menunggu jawaban Lily, yang justru memasang wajah cengonya, dia ngeloyor ke kamar mandi.Lily tersenyum tipis. Dia sendiri lalu beranjak bangun juga. Mencepol rambutnya ke atas supaya tak mengganggu rutinitasnya. Lalu
Pukul sepuluh pagi, mama dan papanya Doni datang. Karena ini kunjungan pertama setelah mereka menempati apart ini, rasanya Lily masih canggung. Apalagi memang proses pengenalan mereka tak lama. Iyalah, mereka aja nikah gara-gara insiden gak jelas itu. Heuh, kalau sampai ada dalang dibalik kejadian malam itu, Lily gak akan maafin."Loh, gak sekolah kamu Don" tukas Papa Rendra. Mengulurkan tangannya pada Doni. Karena tumben sekali anak itu menyalaminya."Lah pa. Sesekali lah ngelibur. Lagian masak mama sama papa mau datang aku malah sekolah sih," jawabnya."Biasanya juga bolos. Ya kan, Nak Ly?" toleh pak Rendra pada Lily. Lily tersenyum canggung."Kamu libur juga sayang?" Ucap mama Ayu pada Lily. Mereka melangkah menuju ruang tengah."Ini kan sabtu ma. Kak Lily libur lah," Doni yang menjawab.Kedua orang tua itu saling pandang. Terkekeh kecil."Manggilnya masih kakak adek gitu ya," sindir mereka.Lily dan Doni salah tingkah."Ah udah
Rapat direksi berjalan lumayan alot. Menguras tenaga dan pikiran. Ditambah Farel yang meski berada di ruang ber-Ac merasakan panas dingin. Mungkin karena dia kepikiran yang di rumah. Beruntung presentasinya lancar. Mendapatkan aplouse dari yang lain. Kembali ke mejanya dengan gugup. Papanya menepuk pundaknya, mengacungkan jempol.Tak lama rapat selesai. Tapi masih dilanjut dengan obrolan ala-ala bapak-bapak khas. Farel bergerak gelisah. Dan rupanya itu disadari Dirga. Belum sempat Dirga mengatakan sesuatu, ponselnya berdering."Ah, maaf. Ada panggilan."Pak Manaf mengangguk.Dirga berjalan agak menjauh."Halo sayang--""Farel ada sama kamu kan?""Em, iya. Kenapa?""Cepat ke rumah sakit. Hana akan melahirkan."Dirga terkejut. Menoleh ke arah Farel. Pantas saja putranya sedari tadi gelisah."Oh, oke. Segera."Telpon dimatikan. Dirga segera menghampiri Farel."Segera ke rumah sakit. Istrimu mau melahirkan."Mulut Farel ternganga, tapi dia malah bingung."Tunggu apalagi. Ajak mertuamu, na
Beberapa hari kemudian, Farel sudah boleh dibawa pulang. Merayakan kepulangan Farel dengan mengadakan pesta kecil-kecilan. Tentu hadir juga David dan keluarga Billa.Disela obrolan itu Bram mengomeli Farel karena dikiranya selingkuh dengan wanita waktu itu. Untung saja Bram belum mengatakan pada yang lainnya. Hanya dia pendam sendiri. Dan setelah tahu kenyataannya, dia lega. Yang paling membuat terkejut adalah pernyataan Billa, bahwa Yulia adalah putrinya dengan pria brengsek waktu itu. Dia tahu karena melihat berita yang ramai dibicarakan di televisi dan portal berita online lainnya. Menelisik asal negara dan nama ayahnya, Billa yakin, Yulia itu benar putrinya. Tentu saja itu menggemparkan. Mereka jadi tak enak pada Billa. Tapi Billa bilang tak apa. Mungkin karena didikan ayahnya sehingga Yulia seperti itu. Billa sendiri nanti rencananya akan menemui Yulia saat kondisi sudah kondusif.Pesta dilanjut dengan kecerewetan dari Devan. Dia memang mood booster. Tahu sendirilah, keturunan D
Kenapa harus ada session rumah sakit lagi untuk kisahnya? Dan kali ini pun, pria itu yang terbaring di ranjang pesakitan. Hana menggenggam tangan Farel. Beberapa jam yang lalu, Farel memasuki ruang gawat darurat untuk mengeluarkan peluru di pinggir punggungnya. Untung saja tak sampai tembus mengenai organ dalamnya. Tapi yang namanya peluru panas tetap saja membuat korbannya terbaring tak berdaya. Kini Farel dipindahkan di ruang yang sama dengannya. Frans mati di tempat akibat tiga peluru yang dia tembakkan. Sedang Yulia kini juga dirawat di ruang yang berbeda. Wanita itu rupanya tahan banting. Devan, David dan papanya mendapat perawatan ringan atas luka yang mereka peroleh dari hasil gulat dini hari tadi. Sedangkan kawanan penjahat lain berhasil di ringkus polisi. Termasuk penjahat yang hanya memakai celana dalam itu. Dia terbangun bingung saat mendapati keadaannya yang memalukan.Sampai saat ini, Hana masih tak paham dengan yang dilakukan Farel. Kenapa pria itu datang bersama yang
"Dor! Dor!"Langkah Farel terhenti. Terkejut. Devan segera menariknya ke tempat tersembunyi."Van, siapa?"Devan menggeleng. Tatapannya awas. Mencoba bersikap tenang. Suara ini masih di dekat sini. Jantungnya berdegup kencang. Terpikirkan keberadaan papanya. Ck! Harusnya dia tadi bersama papanya. Tapi, ah...Totalnya ada empat orang yang berhasil mereka lumpuhkan tadi. Jadi, sebenarnya ada berapa orang yang ada disini.Sebuah bayangan hitam berkelebat melewati mereka. Secepat kilat Devan merebut pistol dari tangan Farel. Bersiaga. "Om! Cari keberadaan Farel!"Astaga! Itu, David. Spontan Devan keluar."Bang David."Sontak bayangan itu menoleh."Farel?"Farel muncul.Baru saja David hendak berkata, terdengar suara lain."Itu mereka!"Suara tembakan kembali terdengar. Secepat kilat mereka merunduk mencari tempat aman. "Brengsek! Sial! Dimana curut-curut itu!"Degh!Farel tersentak. Dia tak asing dengan suara itu. Mirip dengan pria yang mendorongnya ke jurang itu. Pria yang bersama deng
Sebuah gudang bekas pabrik lama. Di ruangan yang samar akan penerangan. Sesosok wanita tertunduk dengan kaki dan tangan yang diikat. Mulutnya tersumpal plester besar. Dia masih pingsan akibat bius yang terhirup olehnya beberapa jam yang lalu. Ada dua penjaga yang bersiaga di luar pintu.Sementara di ruangan yang lain, tiga orang pria dan satu wanita tengah menikmati minuman keras di hadapan mereka."Brengsek! Dia masih belum sadar juga?" Wanita itu berkata."Sepertinya kalian tadi memberinya bius terlalu banyak," tukas sang pria."Sory, boss. Dia memberontak kuat. Jadi terpaksa," ucap salah satu dari dua orang yang lain itu. Menuangkan isi botol ke gelas yang diacungkan oleh pria itu."Argh! Aku gak sabar buat nyiksa dia. Frans, ayo kita kunjungi dia sekarang.""Tapi dia belum sadar sayang...""Akan kubuat dia sadar. Ayo! Tanganku sudah gatal menyiksanya."Frans tersenyum. Membelai pipi wanita itu. Lalu mengecup bibirnya singkat."Kau ini bernafsu sekali, hmm? Baiklah, ayo."Keduanya
Pukul setengah sembilan malam saat dia memutuskan pergi. Belum terlalu malam, tapi mama dan papanya juga sudah pergi tidur. Dengan mengendap-endap, Hana menuruni tangga, membuka pintu depan, dan menutupnya kembali.Angin dingin langsung menerpanya. Untung dia memakai sweater yang lumayan tebal. Juga syal merah jambu yang dia lilitkan di lehernya. Dan juga topi rajut menutupi rambut dan telinganya. Mendongak ke langit, gelap. Bahkan tak ada bintang yang tampak. Wajar saja mendung. Anginnya saja dingin luar biasa.Nekat, Hana melongok ke pos satpam. Aman. Mungkin pak Dito sedang di dalam. Mengendap-endap dia membuka gerbang, dan menutupnya lagi. Bergegas mencari tempat aman.Dia sudah memesan taksi online dari aplikasi di ponselnya. Hanya saja taksi pesanannya belum datang. Wanita itu melongok ke arah jalanan dengan tangan dimasukkan ke dalam saku. Menghalau dingin yang teramat menusuk. Menyesal, kenapa dia malah hanya memakai sweater, bukan langsung jaket. Tahu dinginnya begini, dia p
Seharian ini, David mengantarnya kemanapun Hana mau. Jelang sore, mereka kembali. Senyum kembali terpatri di bibir Hana. Meski sebenarnya itu palsu."Makasih, Vid, udah jadi sopirku sehari," kekehnya kecil. David tertawa."Siap tuan putri. Kemana tuan putri mengajak pergi, sang supir siap mengantar."Hana terkekeh."Mampir?"tawarnya."Em, lain kali aja deh, Na. Gak bawa apa-apa. Malu.""Haha. Kayak apa aja. Yuk, gak papa. Mampir."David tetap menggeleng."Udah sore juga, Na. Lain kali deh.""Emm, ya udah. Makasih ya Vid."David mengangguk, tersenyum. Lalu memutar laju mobilnya, melesat pergi. Hana memandangi mobil itu hingga menghilang dari pandangannya. Menghela napas sejenak, dan membuka gerbang rumahnya. Melangkah dengan tak semangat. Tanpa dia tahu, ada orang asing yang sedari tadi memperhatikannya.*******"Baru pulang sayang?"Hana menghentikan langkahnya. Mendapati mamanya yang tengah menyiram bunga. Lalu menghampirinya."Iya, Ma. Jalan-jalan dulu. Hehe."Lily tersenyum. Syukur
Aku menunduk. Terpaksa harus menjelaskan semuanya. Bahkan percuma juga berbohong. Yulia juga sudah tahu. Tapi, tentunya aku akan menyembunyikan alasan pribadi melakukan penipuan ini."Jadi--- ah, aku bahkan gak habis pikir, Rel. Tega kamu ya."Yulia menangis. Meski aku tahu, air mata buaya."Maafkan aku Yulia. Aku hanya tidak mau kamu sakit hati karena membayangkan yang tidak-tidak tentangku dan kak Hana. Jadi, aku terpaksa harus berbohong.""Lalu, kenapa saat berada di Singapura kamu berpura tidak mengenalku?" tukasnya tajam."Maaf. Saat itu aku belum ingat. Tapi, saat sudah di tanah air, aku mengingatmu. Makanya pas kamu ke kantor, aku langsung mengenalimu. Itu karena aku tak bisa berbohong tentang perasaanku Yulia."Yulia mendengkus. Ayolah, kenapa susah sekali membuatnya percaya."Dan, kenapa aku berpura tak mengenal kak Hana, itu karena aku takut kamu sakit hati membayangkan hari yang telah aku lalui bersama wanita itu karena selalu menganggap dia adalah kamu, sayang."Kugenggam
Sampai di kantor, aku bergegas menuju ruang meeting. Ada klien dari Australia dan salah satunya orang lokal yang harus kutemui. Yulia? Entah kemana dia. Posisinya sebagai sekretaris semakin tak terurus semenjak dia mengakui sebagai istriku waktu itu. Untung saja sekretaris lamaku masih bisa kuandalkan. Sebenarnya aku muak, ditambah sikapnya yang angkuh dan semaunya sendiri. Tidak hanya aku saja yang jengah, melainkan karyawanku yang lain mengeluhkan hal yang sama. Hanya saja mereka menutupinya meski terlihat jelas mereka hanya pura-pura."Oh, kamu ya menantunya Doni. Aku sering mendengarmu dari istriku. Tapi baru kali ini ketemu. Haha."Salah satu klien yang mengenalkan diri bernama om Bram itu menyapaku. Aku tersenyum tipis. Bagaimana pula aku harus menjawabnya."Who's?""Ah, begini mr. Smith. Dia ini ternyata menantu Doni, rekan bisnis kita," jelas om Bram. "Oh, really?"Aku semakin bimbang. Mengakui, itu jelas mereka akan terbongkar seandainya mereka tahu Yulia yang menjadi istrik