Sampai apartemen pun Doni masih diam. Tak ada kata sepatah katapun yang keluar dari bibirnya. Dia langsung menuju kamar mereka dan merebahkan badannya. Menarik selimut tebalnya juga tak lupa memeluk bantal guling kesayangannya. Memutar tubuh membelakangi Lily.
"Apa dia marah? Kok diam mulu sih. Kan guenya yang jadi gak enak," batin Lily. Dia melepas jaketnya sembari melirik Doni. Menyantolkan jaket tersebut ke hanger. Meninggalkan aroma parfum mereka yang bercampur di jaket Doni.Lily lalu menuju kamar mandi untuk membasuh wajah. Selesai, dia kembali lagi untuk mengambil baju tidurnya dan ganti di kamar mandi.Dia berdiri di sisi ranjang. Canggung juga rasanya. Baru pertama kali ini dia tidur satu ranjang dengan pria. Ya meski pada kenyataannya cowok yang sedang meringkuk itu adalah suaminya. Suami berondongnya.Ragu-ragu, akhirnya Lily merebahkan badannya di samping Doni. Cowok itu tak ada pergerakan sedikitpun. Dia lelap dalam mimpinya.Posisi mereka sekarang adalah saling membelakangi. Cukup lama Lily tak dapat memejamkan mata, namun pada akhirnya matanya menyerah. Dia terlelap juga menyusul Doni ke alam mimpi.----Pukul 05:03, Lily terbangun. Tangannya tanpa sengaja menyenggol sesuatu yang panas. Dia sontak membuka matanya. Berhadapan dengan wajah tampan Doni yang kini sedikit memucat namun bibirnya mendesis, menggigil."Kok panas?" gumam Lily. Dia menyentuhkan tangannya di dahi Doni."Astaga! Panas banget," paniknya. Lily langsung beranjak dari ranjang. Memeriksa Doni lebih intens. Menyentuhkan tangannya di tangan, leher dan dahi Doni."Ya ampun. Dia kenapa sih? Kok bisa panas gini. Duh, demam lagi."Lily bergegas mengambil kompres. Menempelkan di dahi Doni. Sedangkan cowok itu mengigau ringan. Desisan menggigil juga keluar dari bibirnya."Apa jangan-jangan gara-gara dia gak paket jaket semalam ya? Duh, gue kan jadi ngerasa bersalah," Lily menggigit bibir bawahnya."Mana gue belum pernah ngerawat orang sakit. Kudu gimana nih."Lily menyentuh tangan Doni. Menggenggamnya, meski tak tahu apakah bisa mengurangi rasa dingin yang menerpa cowok itu. Sebelah tangannya juga memijit-mijit pelipis Doni.Setengah jam berlalu, Lily masih stay nungguin Doni. Tangannya masih mengenggam tangan Doni. Dia melihat jam di nakasnya. Pukul enam lewat sedikit. Doni belum juga bangun. Perlahan dia melepas genggamannya dan berniat bangun. Namun tangan Doni kembali menariknya."Disini aja kak. Dingin," gumam Doni dengan suara serak dan pelan. Mata masih terpejam."Tapi gue harus masak, Don," tolaknya halus. Bagaimanapun dia harus membuat sarapan untuk mereka berdua. Apalagi Doni sedang sakit gini kan. Makannya harus teratur."Sebentar aja kak." Lily mengalah, mengurungkan niatnya. Dia biarkan Doni menggenggam tangannya. "Kita ke rumah sakit ya?" tawar Lily."Gak usah.""Tapi Don...""Gak usah kak. Bentar lagi juga sembuh."Lily menghela napas. Masih juga ngeyel bocah ini. Padahal masih sakit juga."Lo gak bisa kena angin malam ya? Pasti lo sakit gara-gara minjemin jaket ke gue kan?"Doni tak menjawab. Matanya tetap terpejam. Tapi Lily tahu, Doni gak tidur."Maaf. Gara-gara gue lo jadi sakit."Perlahan tangan Lily mengusap pelan rambut Doni. Dapat dia rasakan panasnya wajah Doni."Astaga, gue lupa."Lily beranjak lagi, melepas paksa tangannya dari genggaman Doni. Membuat cowok itu membuka matanya dengan raut pucat."Disini aja kak.""Sebentar," ujar Lily dan keluar dari kamar.-----Lily kembali dengan membawa nampan berisi bubur dan juga minumnya. Ada obat disamping sepasang makanan dan minuman itu.Dia letakkan nampan tersebut di nakas dan membangunkan Doni."Don, bangun dulu,"Doni membuka matanya. "Makan dulu ya," ujar Lily, sembari menyodorkan sesendok bubur.Doni langsung menutupi wajahnya dengan selimut. Lily menggelengkan kepala melihat tingkah bocah itu."Makan dulu, Don.""Kakak aja yang makan," jawabnya dengan suara lemah."Lah, kan elo yang sakit. Masak gue yang makan?""Gak laper.""Bukan masalah laper gak nya. Tapi lo harus minum obat," sumpah, Lily menahan kesabarannya mati-matian."Gue gak suka obat.""Ya tahu. Siapa juga yang suka obat. Tapi kan demi kesembuhan lo.""Kakak aja yang minum obatnya."Hilang sudah kesabaran Lily. Dia menarik paksa selimut yang dipakai Doni."Ish, kak...""Makan gak! Gue potoin lo, gue sebarin ke temen lo mau? Biar mereka tahu berandal macam lo takut sama pil?" Ancamnya."Ish, iya iya."Doni beranjak dari baringnya dan beringsut menyandarkan badannya di headboard ranjang."Nah, gitu dong." Lily tersenyum menang. Dia menyuapi Doni meski cowok itu ogah-ogahan. Rasanya seperti punya bayi bajang. Eh, maksudnya bayi besar."Udah kak. Mana obatnya.""Baru juga tiga suap, Don.""Yang penting kan udah makan."Lily menarik napas pelan. Meletakkan mangkok bubur dan mengambil obat demam, menyerahkan pada Doni. Tak lupa air segelas.Sedangkan Doni, menatap nanar obat itu."Ayo, diminum. Buruan."Glek.Doni menelan ludah. Sumpah, dia benci obat. Dia hanya memutar-mutar pil tak berdosa itu."Kenapa lagi Don?" Gemas juga lama-lama liatnya."Guegakbisaminumobat," gumanya super lirih."Hah? Apa? Gue gak denger." "Ck..." Doni mendecak pelan."Ambilin gue sendok.""Buat apa bambang. Tinggal minum aja lo. Ribet amat."Doni mendengkus. Dia beranjak berdiri, namun tubuhnya oleng. Untung saja Lily sigap menangkapnya."Aish! Iya... iya. Gue ambilin. Lo istirahat aja."Doni tersenyum tipis. Tak lama kemudian Lily kembali membawa sendok bersih. "Buat apa sih?" tanyanya sembari menyerahkan sendok tersebut ke Doni. Doni diam saja. Justru meletakkan pil itu ke sendok dan memberinya sedikit air."What! Lo gak bisa nelen pil?" Lily menutup mulutnya tak percaya. Hey, itu cara lamanya buat minum pil. Tapi itu kan buat pembelajaran anak-anak aja. Masak orang dewasa minum pil masih nungguin cair dulu. Omegat!"Ck. Diem bisa gak sih kak."Doni memegangi sendok itu, menunggu obatnya melebur dalam air. Lily masih menatapnya sangsi. Bener-bener nih bocah. Wajah dan badan aja yang gede, tapi tingkahnya, duh... gak nyangka banget."Air."Lily menyodorkan gelas air. Doni lalu memasukkan sendok berisi obat itu dan langsung menyorongnya dengan air putih hingga tandas."Aah! Pait!" Keluhnya dengan wajah meringis."Iye lah. Mana ada obat manis. Aneh-aneh aja kamu. Lagian apa malah gak nyebar sih paitnya. Aneh kamu."Doni tak menjawab. Kembali merebahkan dirinya."Gue izinin ya, ada nomor guru lo gak?""Gak usah. Biarin aja.""Lah, gak bisa dong. Lo kan sakit. Ntar di kira bolos lagi.""Biar."Doni langsung menarik selimutnya. Tak berniat membalas ucapan Lily lagi."Dasar berandal..." desis Lily pelan, namun masih terdengar Doni.Dia memberesi sisa makan Doni. Membawanya ke dapur lagi.Di lanjut dengan beres-beres apartemen. Memasak untuk makan siang juga.Saat sedang bersih-bersih, ponselnya berbunyi."Iya Bil. Napa?""Lo gak ngampus? Tumben jam segini belum nongol.""Gue izin. Gak masuk hari ini.""Lah, kenapa. Lo gak abis naena kan ama tuh bocah? Gak bisa jalan lo?""Sembarangan kalo ngomong. Gila aja gue mau kayak gituan ama bocah kencur.""Hehe.. bisa aja kan? Lagian bocil lo itu diliat-liat...""Udah ah, Bil. Gue lagi beres-beres.""Yaaa.. mulai deh. Mutusin omogan lagi. Tapi sebelum di tutup, gue tanya dong. Kenapa lo ngelibur?""Doni sakit. Makanya gue gak masuk.""What! Serius? Lo apain bocil gue?"Lily menjauhkan ponselnya dari telinga. Kebiasaan. Bila selalu teriak kalau ada yang mengejutkannya."Ntar aja deh. Gue sibuk sekarang.""Yaah. Ya udah deh. Ketemu besok. Byee...""Hm..."Lily mematikan sambungan. Kembali beres-beres.Setelah beres-beres, mandi dan segala macam, mengecek Doni yang sedang tidur, Lily menghamparkan kasur lantai yang berbulu halus di lantai kamar mereka. Bukan untuk tidur loh ya. Dia membawa laptop dan kertas-kertas serta pena dan buku. Tengkurap, dengan bersanding cemilan.Tidak kuliah bukan berarti berleha-leha. Sudah di katakan bukan kalau Lily itu mahasiswi rajin. Makanya aneh saja tiba-tiba harus menikah dengan berondong, berandal lagi. Sangat berbalik dengannya.Dia kembali berkutat dengan tugas-tugas kampusnya yang bejibun. Beda dengan yang dikatakan orang-orang. Katanya semesternya itu masih sedengan dan masih buat main-main. Menurutnya gak juga. Tetap saja tugas menanti bagai tak tahu diri.Saat sedang sibuk berkutat dengan tugasnya, tiba-tiba dirasanya punggungnya berat. Lily menoleh."Eh, Don. Kok pindah di bawah sih," ucapnya, melihat Donilah pelaku penyandar kepala di punggungnya. Wajah cowok itu masih pucat, menoleh ke arahnya dengan tatap
Selesai mandi, Doni memilih pakaian yang akan dipakainya. Kaos hitam lengan pendek, jeans yang bolong dengkulnya, dan memakai jaket, sebagai luaran. Meminyaki rambutnya dan menyisirnya, meski pada ujung-ujungnya, dia acak-acak lagi.Dia menoleh ke arah Lily yang masih terlelap."Kebo juga ternyata," gumamnya.Doni menghampiri Lily. Menggoyang-goyangkan lengannya."Kak, bangun woy.""Ashdjdjdkkk....""Yaelah. Malah ngelindur. Kak, bangun. Kuliah."Lily bergeming. Dia malah mengeratkan selimutnya. Doni mendecak pelan."Ya ampun. Gini amat sih bangunin istri."Dia memandang lekat ke wajah Lily. Entah dorongan darimana, dia membungkuk, mendekatkan wajahnya ke wajah Lily, memejamkan matanya, dan...Chup.Cukup lama, hingga Lily bergerak risih. Doni segera menjauhkan wajahnya."Astaga! Gue ngapain," rutuknya. Doni memukuli kepalanya, bisa-bisanya dia kebablasan. Untung saja gadis itu tak sadar."Untung aja kak Lily gak kebangun. Bisa habis gue. Ckck.
Lily masih kesal. Sedari tadi sobat yang satunya itu merengek mulu. Apalagi kalau bukan karena minta dikenalkan dengan Doni. Meski dia gak suka sama Doni, tapi gak ikhlas dong kalau berondongnya digodain cewek lain.Matanya melirik julid, dengan tangan bersidekap mengawasi cowok di sebelah sana yang lagi ketawa-tawa dengan wajah sok tampannya. Dan sialnya ngapain sih Doni ngelayani pembicaraan Vinna. Huh, gak banget."Cie, cemburu," bisik Bila, meledek."Ck. Apaan sih. Gak lah.""La itu, bibirnya sampek maju gitu. Haha, Lily cemburu tuyulnya digodain.""Diem gak, Bil," ucapnya melotot."Bunga-bunga cemburu bermekaran..." Bila memeletkan lidahnya."Gue tabok mulut lo, mau?""Iih, ngeri. Haha," tetap saja yang namanya Bila mana mau diam saja."Sana geh, samperin. Seret aja bawa pulang," ujar Bila memanasi.Dia melirik kesal. Saking asyiknya Doni melayani obrolan Vinna dan beberapa mahasiswi lain yang dia gak tahu namanya sa
Lily di dapur, dia bikin mie. Debat sama Doni membuat badmood, ditambah perutnya lapar. Dia taburkan bubuk cabe diatas mie siap sajinya, padahal sebelumnya juga sudah dia tambahi potongan cabe.Santai saja dia melahap mie buatannya sambil menscrool scrool layar IG. Perlu diketahui ya, Lily ini bucin sama oppa-oppa negeri seberang. So, makanya dia gak gampang jatuh cinta. La wong standarnya aja ketinggian. Baru pas di kampus, dia ketemu Mukhtar, klepek-klepek lah dia. Katanya Mukhtar itu mirip J-hope, tapi versi jeniusnya RM. Ngaco memang.Padahal mirip aja gak. Ya, namanya udah kagum, apapun terlihat baik di matanya. Beda sama Doni, mau cowok itu seganteng pun, incaran cewek-cewek juga, dia gak peduli.Saat sedang asyik menscrol-scrol layar, eh, ponselnya berdering."Ck. Apaan sih, ganggu aja," tukasnya. Dia menekan tombol hijau. Dan langsung disambut lengkingan suara, siapa lagi kalau bukan Bila.("Woy, kampret. Lo tahu gak?")"Apaan sih, Bil. Gu
"Pulang jam berapa ntar?"Lily turun dari boncengan, membenarkan rambutnya yang sedikit berantakan."Ntar gue chat aja. Yang penting stay sama ponsel lo.""Oke. Jangan ngeluyur. Kalau udah selesai langsung chat."Lily tak menjawab. Cowok itu melajukan motornya, meninggalkan Lily yang menghela napas pelan."Haii cantikku. Sini... sini..."Lily menoleh, mendapati Bila yang melambaikan tangan padanya. Dia tersenyum tipis, menghampiri Bila dan Vinna."Melihatnya pake seragam SMA, jadi sadar diri, dia masih berondong. Hiks," gumam Vinna, memegangi dadanya dengan ekpresi wajah sedramatis mungkin.Lily dan Bila saling pandang, menggendikkan bahu mereka."Yuk ah, ke kelas."Mereka bertiga berjalan beriringan ke kelas.-------Brum!Seperti biasa, kedatangan motor sport hitam merupakan hal yang diidam-idamkan para siswi. Siapa lagi pengendaranya kalau bukan Doni.Meski ini sekolah STM, tapi jangan salah, tepat di belakang
"Berondong lo mana? Belum jemput?"Lily menoleh sekilas."Gak tahu nih. Ponselnya malah gak aktif," tukasnya dan mengecek ponselnya lagi."Ya udah deh. Gue tungguin sampek dia datang.""Gak papa, Bil. Pulang duluan gak papa. Paling bentar lagi dia juga nyampek kok," tukasnya."Gak ah. Gue juga lagi males pulang. Di rumah ada ponakan gue, rusuh lagi. Males-malesin,"gerutunya."Curhat mbak?""Dih, sialan lo. Tapi emang loh. Sebel banget gue sama anak kecil. Udah manja, cengeng, suka ngadu. Dia yang salah, yang dimarahin mama gue. Huh, nyebelin," rutuknya.Lily tersenyum tipis. Bila memang seperti ada dendam tersembunyi sama anak kecil. Mengkhawatirkan kalau punya anak nih. Padahal dia gak punya adek loh, anak terakhir, tapi entah kenapa benci banget sama anak kecil.Sebuah motor mendekat ke arah mereka."Lo, belum pulang?"Lily menoleh, sorot matanya berubah."Em... be-belum kak.""Nunggu jemputan apa giamana
"Astaga! Jam berapa bro?"Doni terperanjat dari tidurnya. Padahal cowok itu dari tadi molor. Bisa-bisanya langsung terjingkat."Jam setengah enam.""Hah? Ya ampun!"Doni mengambil jaketnya dan menghambur keluar. Mengendarai motornya tergesa.Sepanjang jalan dia merutuki diri karena bisa-bisanya kelupaan buat jemput Lily.Sampai di kampus, dia melongok ke sekitar. Tak ada Lily di tempat dia biasa nunggu."Aaish. Gimana sih lo, Don. Ilang gimana coba istri lo. Masak iya baru nikah udah jadi duda," decaknya. Dia merogoh sakunya. Dan sialnya ponselnya gak ada."Ck. Pakek ketinggalan di rumah Bram lagi. Sial!"Dia melihat ada pak satpam kampus yang sedang keliling."Woy, pak!"Pak satpam itu menoleh."Pak, lihat gadis tinggi segini, rambut panjang segini, terus....""Gak tahu," ucap satpam itu ketus. Dan berlalu meninggalkan Doni yang cengo."Asem. Gue di kacangin," kesalnya."Gue cari dimana lag
"Pagi kak," sapaan pagi yang menyenangkan. Lily membuka matanya perlahan. Tersenyum begitu mendapati wajah tampan tersaji di depannya. Raut mengantuknya terlihat sayup. Apalagi dengan barefacenya ini, membuat cowok lebih muda darinya ini makin menggemaskan."Hey, gimana sih, masak habis bangunin malah tidur lagi," tukas Lily."Ngantuk kak. Masih gelap juga tuh di luar.""Tapi kan kamu harus kerja sayang," ucap Lily lembut."Inget loh, udah punya anak. Jangan males-malesan," tambahnya.Dengan wajah terpaksa, suami berondongnya ini akhirnya beranjak juga.Chup."Eh," Lily memekik, memegangi dahinya."Morning kiss kakak. Ntar bagian kakak yang disini, abis mandi aja deh," ujarnya sembari menunjuk bibirnya. Dan tanpa menunggu jawaban Lily, yang justru memasang wajah cengonya, dia ngeloyor ke kamar mandi.Lily tersenyum tipis. Dia sendiri lalu beranjak bangun juga. Mencepol rambutnya ke atas supaya tak mengganggu rutinitasnya. Lalu
Rapat direksi berjalan lumayan alot. Menguras tenaga dan pikiran. Ditambah Farel yang meski berada di ruang ber-Ac merasakan panas dingin. Mungkin karena dia kepikiran yang di rumah. Beruntung presentasinya lancar. Mendapatkan aplouse dari yang lain. Kembali ke mejanya dengan gugup. Papanya menepuk pundaknya, mengacungkan jempol.Tak lama rapat selesai. Tapi masih dilanjut dengan obrolan ala-ala bapak-bapak khas. Farel bergerak gelisah. Dan rupanya itu disadari Dirga. Belum sempat Dirga mengatakan sesuatu, ponselnya berdering."Ah, maaf. Ada panggilan."Pak Manaf mengangguk.Dirga berjalan agak menjauh."Halo sayang--""Farel ada sama kamu kan?""Em, iya. Kenapa?""Cepat ke rumah sakit. Hana akan melahirkan."Dirga terkejut. Menoleh ke arah Farel. Pantas saja putranya sedari tadi gelisah."Oh, oke. Segera."Telpon dimatikan. Dirga segera menghampiri Farel."Segera ke rumah sakit. Istrimu mau melahirkan."Mulut Farel ternganga, tapi dia malah bingung."Tunggu apalagi. Ajak mertuamu, na
Beberapa hari kemudian, Farel sudah boleh dibawa pulang. Merayakan kepulangan Farel dengan mengadakan pesta kecil-kecilan. Tentu hadir juga David dan keluarga Billa.Disela obrolan itu Bram mengomeli Farel karena dikiranya selingkuh dengan wanita waktu itu. Untung saja Bram belum mengatakan pada yang lainnya. Hanya dia pendam sendiri. Dan setelah tahu kenyataannya, dia lega. Yang paling membuat terkejut adalah pernyataan Billa, bahwa Yulia adalah putrinya dengan pria brengsek waktu itu. Dia tahu karena melihat berita yang ramai dibicarakan di televisi dan portal berita online lainnya. Menelisik asal negara dan nama ayahnya, Billa yakin, Yulia itu benar putrinya. Tentu saja itu menggemparkan. Mereka jadi tak enak pada Billa. Tapi Billa bilang tak apa. Mungkin karena didikan ayahnya sehingga Yulia seperti itu. Billa sendiri nanti rencananya akan menemui Yulia saat kondisi sudah kondusif.Pesta dilanjut dengan kecerewetan dari Devan. Dia memang mood booster. Tahu sendirilah, keturunan D
Kenapa harus ada session rumah sakit lagi untuk kisahnya? Dan kali ini pun, pria itu yang terbaring di ranjang pesakitan. Hana menggenggam tangan Farel. Beberapa jam yang lalu, Farel memasuki ruang gawat darurat untuk mengeluarkan peluru di pinggir punggungnya. Untung saja tak sampai tembus mengenai organ dalamnya. Tapi yang namanya peluru panas tetap saja membuat korbannya terbaring tak berdaya. Kini Farel dipindahkan di ruang yang sama dengannya. Frans mati di tempat akibat tiga peluru yang dia tembakkan. Sedang Yulia kini juga dirawat di ruang yang berbeda. Wanita itu rupanya tahan banting. Devan, David dan papanya mendapat perawatan ringan atas luka yang mereka peroleh dari hasil gulat dini hari tadi. Sedangkan kawanan penjahat lain berhasil di ringkus polisi. Termasuk penjahat yang hanya memakai celana dalam itu. Dia terbangun bingung saat mendapati keadaannya yang memalukan.Sampai saat ini, Hana masih tak paham dengan yang dilakukan Farel. Kenapa pria itu datang bersama yang
"Dor! Dor!"Langkah Farel terhenti. Terkejut. Devan segera menariknya ke tempat tersembunyi."Van, siapa?"Devan menggeleng. Tatapannya awas. Mencoba bersikap tenang. Suara ini masih di dekat sini. Jantungnya berdegup kencang. Terpikirkan keberadaan papanya. Ck! Harusnya dia tadi bersama papanya. Tapi, ah...Totalnya ada empat orang yang berhasil mereka lumpuhkan tadi. Jadi, sebenarnya ada berapa orang yang ada disini.Sebuah bayangan hitam berkelebat melewati mereka. Secepat kilat Devan merebut pistol dari tangan Farel. Bersiaga. "Om! Cari keberadaan Farel!"Astaga! Itu, David. Spontan Devan keluar."Bang David."Sontak bayangan itu menoleh."Farel?"Farel muncul.Baru saja David hendak berkata, terdengar suara lain."Itu mereka!"Suara tembakan kembali terdengar. Secepat kilat mereka merunduk mencari tempat aman. "Brengsek! Sial! Dimana curut-curut itu!"Degh!Farel tersentak. Dia tak asing dengan suara itu. Mirip dengan pria yang mendorongnya ke jurang itu. Pria yang bersama deng
Sebuah gudang bekas pabrik lama. Di ruangan yang samar akan penerangan. Sesosok wanita tertunduk dengan kaki dan tangan yang diikat. Mulutnya tersumpal plester besar. Dia masih pingsan akibat bius yang terhirup olehnya beberapa jam yang lalu. Ada dua penjaga yang bersiaga di luar pintu.Sementara di ruangan yang lain, tiga orang pria dan satu wanita tengah menikmati minuman keras di hadapan mereka."Brengsek! Dia masih belum sadar juga?" Wanita itu berkata."Sepertinya kalian tadi memberinya bius terlalu banyak," tukas sang pria."Sory, boss. Dia memberontak kuat. Jadi terpaksa," ucap salah satu dari dua orang yang lain itu. Menuangkan isi botol ke gelas yang diacungkan oleh pria itu."Argh! Aku gak sabar buat nyiksa dia. Frans, ayo kita kunjungi dia sekarang.""Tapi dia belum sadar sayang...""Akan kubuat dia sadar. Ayo! Tanganku sudah gatal menyiksanya."Frans tersenyum. Membelai pipi wanita itu. Lalu mengecup bibirnya singkat."Kau ini bernafsu sekali, hmm? Baiklah, ayo."Keduanya
Pukul setengah sembilan malam saat dia memutuskan pergi. Belum terlalu malam, tapi mama dan papanya juga sudah pergi tidur. Dengan mengendap-endap, Hana menuruni tangga, membuka pintu depan, dan menutupnya kembali.Angin dingin langsung menerpanya. Untung dia memakai sweater yang lumayan tebal. Juga syal merah jambu yang dia lilitkan di lehernya. Dan juga topi rajut menutupi rambut dan telinganya. Mendongak ke langit, gelap. Bahkan tak ada bintang yang tampak. Wajar saja mendung. Anginnya saja dingin luar biasa.Nekat, Hana melongok ke pos satpam. Aman. Mungkin pak Dito sedang di dalam. Mengendap-endap dia membuka gerbang, dan menutupnya lagi. Bergegas mencari tempat aman.Dia sudah memesan taksi online dari aplikasi di ponselnya. Hanya saja taksi pesanannya belum datang. Wanita itu melongok ke arah jalanan dengan tangan dimasukkan ke dalam saku. Menghalau dingin yang teramat menusuk. Menyesal, kenapa dia malah hanya memakai sweater, bukan langsung jaket. Tahu dinginnya begini, dia p
Seharian ini, David mengantarnya kemanapun Hana mau. Jelang sore, mereka kembali. Senyum kembali terpatri di bibir Hana. Meski sebenarnya itu palsu."Makasih, Vid, udah jadi sopirku sehari," kekehnya kecil. David tertawa."Siap tuan putri. Kemana tuan putri mengajak pergi, sang supir siap mengantar."Hana terkekeh."Mampir?"tawarnya."Em, lain kali aja deh, Na. Gak bawa apa-apa. Malu.""Haha. Kayak apa aja. Yuk, gak papa. Mampir."David tetap menggeleng."Udah sore juga, Na. Lain kali deh.""Emm, ya udah. Makasih ya Vid."David mengangguk, tersenyum. Lalu memutar laju mobilnya, melesat pergi. Hana memandangi mobil itu hingga menghilang dari pandangannya. Menghela napas sejenak, dan membuka gerbang rumahnya. Melangkah dengan tak semangat. Tanpa dia tahu, ada orang asing yang sedari tadi memperhatikannya.*******"Baru pulang sayang?"Hana menghentikan langkahnya. Mendapati mamanya yang tengah menyiram bunga. Lalu menghampirinya."Iya, Ma. Jalan-jalan dulu. Hehe."Lily tersenyum. Syukur
Aku menunduk. Terpaksa harus menjelaskan semuanya. Bahkan percuma juga berbohong. Yulia juga sudah tahu. Tapi, tentunya aku akan menyembunyikan alasan pribadi melakukan penipuan ini."Jadi--- ah, aku bahkan gak habis pikir, Rel. Tega kamu ya."Yulia menangis. Meski aku tahu, air mata buaya."Maafkan aku Yulia. Aku hanya tidak mau kamu sakit hati karena membayangkan yang tidak-tidak tentangku dan kak Hana. Jadi, aku terpaksa harus berbohong.""Lalu, kenapa saat berada di Singapura kamu berpura tidak mengenalku?" tukasnya tajam."Maaf. Saat itu aku belum ingat. Tapi, saat sudah di tanah air, aku mengingatmu. Makanya pas kamu ke kantor, aku langsung mengenalimu. Itu karena aku tak bisa berbohong tentang perasaanku Yulia."Yulia mendengkus. Ayolah, kenapa susah sekali membuatnya percaya."Dan, kenapa aku berpura tak mengenal kak Hana, itu karena aku takut kamu sakit hati membayangkan hari yang telah aku lalui bersama wanita itu karena selalu menganggap dia adalah kamu, sayang."Kugenggam
Sampai di kantor, aku bergegas menuju ruang meeting. Ada klien dari Australia dan salah satunya orang lokal yang harus kutemui. Yulia? Entah kemana dia. Posisinya sebagai sekretaris semakin tak terurus semenjak dia mengakui sebagai istriku waktu itu. Untung saja sekretaris lamaku masih bisa kuandalkan. Sebenarnya aku muak, ditambah sikapnya yang angkuh dan semaunya sendiri. Tidak hanya aku saja yang jengah, melainkan karyawanku yang lain mengeluhkan hal yang sama. Hanya saja mereka menutupinya meski terlihat jelas mereka hanya pura-pura."Oh, kamu ya menantunya Doni. Aku sering mendengarmu dari istriku. Tapi baru kali ini ketemu. Haha."Salah satu klien yang mengenalkan diri bernama om Bram itu menyapaku. Aku tersenyum tipis. Bagaimana pula aku harus menjawabnya."Who's?""Ah, begini mr. Smith. Dia ini ternyata menantu Doni, rekan bisnis kita," jelas om Bram. "Oh, really?"Aku semakin bimbang. Mengakui, itu jelas mereka akan terbongkar seandainya mereka tahu Yulia yang menjadi istrik