Wajah Tiffany langsung memerah. Dia membalas, "Siapa yang cemburu? Aku nggak cemburu kok!""Tapi ...." Sean mengangkat alisnya dengan tenang, lalu berbicara, "Sudah saatnya suruh dia sadar."Tiffany bertanya karena bingung, "Dia mengalami kecelakaan dan koma sampai sekarang. Bukannya katanya dokter juga nggak bisa berbuat apa-apa?"Sean memejamkan mata sambil memberi tahu, "Itu bohong. Dia nggak mengalami kecelakaan dan dia juga nggak koma. Itu semua cuma atas perintahku."Tiffany sangat terkejut mendengarnya. Sean menjelaskan, "Hanya dengan dia mengalami kecelakaan, Mark punya alasan yang sah untuk kembali dan bantu mengelola perusahaanku. Setelah dia menangani perusahaan, aku punya waktu untuk menemanimu ke Desa Maheswari."Tiffany terdiam sejenak dan mencoba memahami keterkaitan semua ini. Setelah beberapa lama, dia akhirnya menyadari hubungan di baliknya.Kemudian, Tiffany mengajukan pertanyaan yang sama seperti yang pernah ditanyakan oleh Sofyan, "Valerie sehat-sehat saja, tapi ka
Tangan Tiffany yang memegang ponsel sedikit bergetar. Sejauh apa seseorang bisa bertindak tidak tahu malu seperti ini?Garry memotong semua kalimat ancaman Sean terhadap dirinya dan mengunggahnya ke internet. Netizen yang sebelumnya hanya mengecam Tiffany dan Mark, kini mulai menyeret nama Sean ke dalam pusaran hinaan mereka.Bahkan, beberapa sukarelawan yang mengaku dipukul pada sore itu menyatakan bahwa di perjalanan pulang dari lembaga penelitian, mereka diserang oleh seseorang. Itu pasti ulah Mark atau Sean!Saat Sean selesai mengurus masalah pekerjaan dan kembali ke sofa, Tiffany menyerahkan ponselnya dengan wajah khawatir. Dia bertanya, "Sayang, apa yang harus kita lakukan?"Sean melirik sekilas ke ponsel itu, lalu membalas, "Belum waktunya."Tiffany menatapnya dengan bingung. Dia bertanya lagi, "Belum waktunya apa?"Pria itu memeluknya ke dalam dekapannya dan mencium keningnya. Dia menjelaskan, "Maksudku, situasinya belum mencapai titik puncaknya. Aku bukan tipe orang yang suka
Kalau Sean sendiri tidak bisa tidur, apa haknya meminta dia harus bisa tidur? Lengan lembut Tiffany melingkar di pinggang Sean. Mata pria itu seketika menjadi gelap. Dia menahan dorongan dalam dirinya, lalu dengan lembut memindahkan lengan Tiffany.Sean memberi tahu, "Ya, aku akan menemanimu." Usai berkata demikian, dia berbaring di sampingnya dan menariknya ke dalam pelukan.Aroma segar dari tubuh pria itu memenuhi hidung Tiffany, sementara suara napasnya yang teratur terdengar di telinganya. Bukannya mengantuk, Tiffany malah makin tidak bisa tidur. Dia terus bergerak di pelukannya"Diamlah," pinta pria itu dengan suara rendah sambil mengerutkan alis.Tiffany menggembungkan pipi, lalu membalas dengan sedih, "Aku nggak bisa tidur.""Tutup matamu, nanti juga tertidur," ucap Sean.Tiffany memejamkan mata, tapi setelah itu berbicara dengan nada manja, "Aku sudah tutup mata, tapi tetap nggak bisa tidur."Sean tertawa, lalu menunduk untuk mencium bibirnya. Dia memberi tahu, "Ayo yang nurut,
Tiffany mengganti saluran televisi dan menyaksikan berita tentang Garry hingga selesai. dengan saksama. Ternyata, sebuah perusahaan bernama Grup Lukman menganggap Garry sebagai sosok yang penuh idealisme dan sangat berintegritas. Oleh karena itu, mereka berniat mendanainya untuk mendirikan sebuah klinik pribadi.Tiffany tertawa kecil. Idealisme? Integritas? Benarkah?Tepat pada saat itu, Julie menelepon. "Tiffany, kamu sudah lihat beritanya? Huh, Garry sudah buat banyak kekacauan, kalian nggak pernah menggubrisnya. Sekarang dia malah mau dirikan klinik pribadi!"Tiffany mengernyitkan alisnya. "Aku baru lihat. Aku lagi dalam perjalanan ke rumahmu. Kita bahas nanti, aku benar-benar kesal!""Baiklah."Setelah menutup telepon dari Julie, Tiffany meregangkan tubuhnya dan meminta Rika untuk membawakannya minyak angin.Belakangan ini dia terlalu banyak tidur. Namun, dengan ulah Garry yang semakin tidak tahu malu sekarang, dia tidak mungkin hanya berdiam diri."Sudah kuselidiki. Pemilik Grup L
Tiffany tidak boleh lagi membuat Sean repot. Setelah menarik napas dalam-dalam, dia menatap Julie sekilas. "Bisa nggak kita tangani sendiri masalah ini?"Setelah bicara, Tiffany merasa bahwa mereka berdua mungkin tidak akan cukup matang untuk menangani masalah ini sendirian. Karena itu, dia menelepon Mark untuk meminta bantuan.Bagaimanapun, urusan ini juga ada kaitannya dengan Mark. Selain itu, Mark lebih tua dari mereka berdua dan memiliki pengalaman bertahun-tahun dalam dunia bisnis. Pandangannya pasti lebih strategis dibandingkan mereka."Kita nggak punya pilihan selain menghadiri konferensi pers itu," ujar Mark dengan nada santai sambil menyipitkan matanya. "Kebetulan aku juga mau cari kesempatan untuk klarifikasi hubunganku denganmu. Konferensi pers ini adalah panggung yang sempurna."Julie tampak agak khawatir. "Apa kita nggak perlu kasih tahu Sean soal ini?"Tiffany terdiam sejenak, teringat pada pesan Sean sebelumnya. Mereka adalah keluarga yang paling dekat di dunia ini. Apa
Julie tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Tiffany. "Pembantu di rumahmu semua seimut ini, ya?"Tiffany mengangguk santai. "Iya, semua pembantu di rumah sangat menyenangkan."Sejak menikah dan pindah ke rumah Sean, Tiffany merasa hubungannya dengan para pembantu sangat baik. Hanya pada hari kedua setelah menikah, dia sempat beradu argumen dengan Prisa. Untuk selebihnya, semua berjalan lancar."Saya sangat berterima kasih kepada semua yang telah meluangkan waktu untuk menghadiri konferensi pers saya bersama Grup Lukman." Suara Garry terdengar dari atas panggung, menarik perhatian semua orang."Bu Shani dari Grup Lukman mendatangi saya dan mengatakan bahwa mendukung saya mendirikan klinik adalah suatu kehormatan bagi Grup Lukman. Saya pikir, justru kehormatan itu milik saya.""Saya hanya seorang dokter biasa dari desa terpencil, tanpa latar belakang apa pun dan tidak punya kekuasaan. Meskipun melakukan hal yang benar, saya masih sering mendapatkan hinaan dari orang-orang yang terlibat
"Benarkah begitu?" ujar Tiffany sambil menarik napas dalam-dalam. Dia melepaskan topi bisbol kuning dan masker yang menutupi wajahnya, lalu menatap Garry dengan mata yang penuh ketegasan. "Jadi, di mata Kak Garry, aku adalah orang seperti itu."Seisi ruangan langsung terdiam. Semua orang tampak terkejut hingga tak mampu berkata-kata. Di atas panggung, Garry memegang mikrofon dengan wajah pucat. Dia tidak pernah menyangka bahwa orang yang mengajukan pertanyaan tadi adalah Tiffany sendiri.Sejak video Mark menghajarnya beredar di internet, Garry sudah memutuskan untuk melupakan Tiffany. Namun, berbohong tentang dirinya secara langsung di depan Tiffany tetap membuat Garry merasa canggung.Bagaimanapun, mereka telah saling mengenal selama bertahun-tahun."Itu ... Tiffany? Dia benar-benar datang!""Astaga! Tiffany ada di sini!"Semua kamera langsung diarahkan ke Tiffany.Melihat hal ini, Julie dan Mark memutuskan tidak ada gunanya lagi bersembunyi. Mereka berdua melepas topi dan masker mere
Tiffany mundur selangkah secara refleks. Mana mungkin ... bisa kebetulan seperti ini? Awalnya Tiffany berpikir bahwa masalah ini sederhana. Jika dia bisa membuktikan bahwa Mark tidak berada di negara ini saat dia hamil, maka semua kebohongan akan terungkap.Namun kenyataannya, Mark benar-benar diam-diam kembali ke negara ini dua minggu lalu? Dia kembali sehari, lalu pergi keesokan harinya. Waktunya sangat tepat dengan masa kehamilan Tiffany. Masalah yang seharusnya bisa dijelaskan dengan mudah, kini menjadi lebih rumit.Tiffany menoleh dan menatap Mark dengan tatapan kosong. "Kenapa kamu kembali ke negara ini waktu itu? Apa kamu punya saksi yang bisa membuktikannya?"Wajah Mark berubah pucat. Dia sendiri tidak menyangka bahwa Shani akan membawa catatan imigrasinya ke hadapan semua orang. Dia menutup matanya sesaat dan menjawab dengan suara pelan, "Aku kembali untuk mengurus beberapa urusan pribadi. Nggak ada ... saksi."Tiffany mengepalkan tangannya, lalu membuka dan menggenggamnya kem
Kepala Lena langsung terpelintir ke samping karena tamparan itu. Dia menjilat darahnya yang amis dan manis di sudut bibirnya, lalu menatap Miska yang menamparnya dengan tatapan yang dingin. "Kamu pikir kamu ini siapa?"Miska menatap Lena dengan dingin dan berkata, "Aku ini tunangan pria yang di dalam. Karena kamu, tunanganku baru jadi seperti sekarang. Kalau terjadi apa-apa padanya, aku nggak akan memaafkanmu."Setelah menatap Miska dengan tatapan menyindir selama beberapa saat, Lena tertawa. "Kamu adalah tunangannya pria itu? Kalau begitu, kamu benar-benar kasihan. Kalau kamu nggak bilang, aku akan mengira kamu ini adiknya Tiffany. Kemungkinan besar, pria itu bersamamu karena menganggapmu sebagai pengganti Tiffany, 'kan?"Setelah mengatakan itu, Lena melanjutkan sambil menggelengkan kepala dan ekspresinya terlihat kasihan. "Sayang sekali. Meskipun sudah ada kamu yang sebagai pengganti, hatinya tetap nggak bisa melupakan Tiffany. Kalau nggak, dia juga nggak akan menabrak truk itu demi
"Aku Miska, panggil aku Miska saja." Gadis itu meremas tali ranselnya dan bertanya dengan cemas, "Katanya dia mau datang duluan untuk kasih kamu kejutan. Kenapa tiba-tiba kecelakaan?"Tiffany memejamkan matanya, tidak tahu harus menjelaskan dari mana untuk sesaat. Namun, dia tetap menatap gadis itu dan berkata, "Miska, kamu ... harus menyiapkan mentalmu. Cedera Xavier kelihatannya cukup parah."Miska tertegun, baru menyadari betapa serius situasinya. Mata bulatnya yang hitam sontak menjadi suram. "Dia ... dia nggak apa-apa, 'kan? Kami baru saja ... tunangan."Kalau saja Miska tidak menyebut itu, mungkin Tiffany bisa menahan diri. Namun, begitu kalimat itu dilontarkan, rasa sakit langsung menyayat hatinya.Semua ini salahnya. Karena kebaikannya sendiri, dia memberi celah bagi kakak beradik itu untuk menyakitinya.Seandainya hari itu dia berbicara terus terang kepada Sean soal kejadian tiga tahun lalu, seandainya dia membongkar kebohongan Vivi, mungkin Xavier yang jauh-jauh datang untuk
Di belakang mereka mulai terdengar teriakan, ada yang mulai menelepon polisi. Suara sirene mobil patroli dan ambulans pun terdengar bersahut-sahutan.Tiffany terdiam dalam pelukan Sean, matanya masih tertutup oleh telapak tangan pria itu. Dia seperti boneka yang kehilangan jiwanya, bersandar lemas di dadanya."Xavier ... dia baik-baik saja, 'kan?""Dia akan baik-baik saja." Sean memeluknya erat. "Dia sudah dibawa ambulans untuk mendapatkan pertolongan. Kita ke sana ya.""Ya ...." Tiffany masih bersandar di pelukannya, suaranya lirih. "Sean, kamu yakin nggak salah lihat? Dia bilang besok baru sampai dan bawa tunangannya ke sini .... Gimana mungkin .... Nggak mungkin. Dia seharusnya masih di luar negeri sekarang ...."Nada suaranya pilu.Sean memeluknya lebih erat. "Mungkin dia mau kasih kejutan untukmu." Suara berat Sean terdengar serak. "Tadi dia telepon aku, tanya kamu di mana.""Aku bilang kamu di lembaga penelitian. Setelah itu, dia langsung matiin telepon. Sepertinya dia datang leb
"Tiff ... kamu benaran cuma butuh dua hari untuk menyelesaikan makalah serumit ini?"Di dalam kantor Risyad, Tiffany tersenyum sambil menatapnya. "Ini semua berkat bimbingan Pak Risyad yang luar biasa. Aku tahu kamu sangat menghargaiku, jadi aku nggak berani menyepelekan tugasku. Makanya, aku buru-buru menyelesaikannya."Risyad yang memakai kacamata tebal itu pun memancarkan kebanggaan dan kekaguman. "Anak muda memang luar biasa! Penuh semangat, penuh energi, dan punya kemampuan!"Saking semangatnya, Risyad menahan Tiffany untuk mengobrol. Sampai akhirnya ada yang mengetuk pintu dari luar, barulah Tiffany bisa terbebas dari pembicaraan panjang Risyad yang sangat antusias.Saat Tiffany keluar dari lembaga penelitian, waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore. Matahari masih bersinar, tetapi cahayanya terasa lembut.Saat berdiri di depan gerbang lembaga penelitian, Tiffany meregangkan badan sambil menarik napas lega. Beban besar di hatinya akhirnya terangkat.Beberapa hari ke depan, tugasnya
Xavier dan tunangannya dijadwalkan tiba di Kota Aven tiga hari lagi. Agar punya waktu untuk menemani tunangan Xavier jalan-jalan di Kota Aven, Tiffany sampai mengambil cuti beberapa hari dari lembaga penelitian.Untungnya, pihak lembaga cukup pengertian. Meskipun Tiffany baru bekerja di sana, setiap kali dia meminta cuti, atasan selalu menyetujui tanpa banyak tanya."Tapi, Tiff ...." Suara Risyad terdengar dari seberang telepon, diiringi batuk kecil. "Aku ingat kamu janji, selama beberapa hari ini di rumah, kamu bakal menyelesaikan jurnal penelitianmu, 'kan?"Tiffany buru-buru mengangguk. "Tenang saja, Pak! Sebelum masa cuti habis, aku pasti akan kirim jurnal penelitianku ke lembaga! Aku nggak pernah ingkar janji kok!"Suaranya yang tegas dan meyakinkan membuat Risyad tertawa. "Oke, jangan sampai kamu ingkar janji ya!"Setelah mengobrol sebentar, Tiffany langsung merengek manja pada Sean untuk mengantarnya pulang agar bisa segera menulis jurnal.Meskipun mengatakan akan menyelesaikanny
Begitu selesai bicara, Xavier langsung mengakhiri panggilan.Di sisi lain, Tiffany masih memegang ponsel dengan perasaan yang menggebu-gebu. Xavier akhirnya menemukan cinta sejatinya! Bagi Tiffany, ini benar-benar adalah kabar bahagia!Selama lima tahun terakhir, Xavier selalu ada di sampingnya, menjaga janji yang pernah dia ucapkan pada mendiang ibunya. Tiffany bahkan sempat khawatir, apakah Xavier akan selamanya membujang demi merawatnya?Dia bahkan pernah berpikir, kalau dia akhirnya balikan dengan Sean dan meninggalkan Xavier begitu saja, bukankah itu terlalu kejam?Apalagi selama lima tahun ini, perhatian Xavier padanya benar-benar tak ada duanya. Bahkan, Xavier tidak sebaik itu terhadap adik kandungnya sendiri, Jayla.Tiffany benar-benar tidak tahu bagaimana harus membalas kebaikan Xavier. Kini, karena Xavier sudah menemukan cinta sejatinya, dia akhirnya merasa lega.Tak lama kemudian, Sean kembali ke mobil. Tiffany yang kini sudah tidak mengantuk, bersandar di kursi sambil terse
Tak lama kemudian, mobil sampai di taman kanak-kanak.Meskipun Sean sudah sangat berhati-hati, suara gaduh dari luar mobil saat parkir tetap saja membangunkan Tiffany dari tidurnya.Mata wanita itu masih terlihat mengantuk, tetapi tetap terlihat jernih dan indah. Dia menguap dan menoleh ke luar jendela. "Sudah sampai ya."Setelah itu, dia mengangkat tangan untuk membuka pintu mobil, tetapi segera dihentikan oleh Sean.Pria itu tersenyum tipis, tampak tak berdaya. "Kalau masih ngantuk, jangan turun dulu. Biar aku saja yang antar mereka masuk. Kamu tunggu di mobil saja."Tiffany menggigit bibirnya, secara refleks menoleh menatap dua anak kecil di sampingnya. "Tapi ....""Sudahlah." Arlo menghela napas panjang. "Mama yang bodoh, istirahat saja di mobil. Kami turun dulu.""Betul! Mama istirahat saja ya!" Arlene ikut mengangguk sambil tersenyum lebar.Akhirnya, Tiffany pun ditinggal sendiri di dalam mobil, sementara ketiganya orang itu turun bersama.Bersandar di jok kulit mobil, Tiffany ke
"Juga bakal jadi anak kecil yang gendut nanti," ucap Arlo yang mengikuti di belakang Sean dengan cemberut."Sembarangan! Arlene nggak bakal gendut!""Kamu bakal gendut!"Arlo menarik napas dalam-dalam. "Nggak masalah kalau Pak Sean antar kita ke sekolah setiap hari. Tapi, Mama juga harus ikut."Tiffany tertegun dan refleks bertanya, "Kenapa begitu?"Dia baru saja berpikir, kalau nanti anak-anak diantar Sean setiap hari, dia bisa bermalas-malasan di rumah dong ....Jujur saja, selama beberapa tahun ini, kecuali dalam kondisi khusus, semua urusan antar jemput anak-anak ke sekolah diurus oleh Tiffany sendiri. Itu cukup melelahkan.Sekarang dia akhirnya mendapat kesempatan untuk bermalas-malasan, tetapi anaknya malah tidak memberinya izin?"Buat menunjukkan kepemilikan." Arlo mencebik dan berkata dengan suara rendah, "Soalnya para ibu-ibu terus melihat Pak Sean kayak mau diterkam. Jadi, Mama harus selalu ikut. Kalau nggak, para guru juga bisa jadi gila."Tiffany tidak bisa berkata-kata. Ay
Tiffany keluar dari kamar Sean dengan pipi memerah. Di luar pintu, dua bocah kecil yang memakai setelan jas kecil dan gaun kecil sedang berdiri manis, dengan tas kecil di punggung mereka. Mereka bersandar di dinding koridor seperti dua murid SD yang sedang dihukum berdiri.Melihat Tiffany keluar, Arlo cemberut dan mengedipkan mata dengan nakal. "Mama ini nggak tahan godaan, cepat banget ditaklukkan."Wajah Tiffany langsung memerah.Arlene yang melihat itu buru-buru berlari ke depan Tiffany dan melindunginya. "Kakak nggak boleh bicara kayak gitu ke Mama ya! Mama itu kayak Arlene, suka sama pria ganteng!"Arlo memutar bola matanya dengan pasrah. "Kalian sama-sama bucin."Arlene membalas dengan percaya diri, "Hmph! Kata Guru, cewek yang bucin itu lebih disukai!"Suara polos kedua anak itu seketika membuat hati Tiffany hangat dan senang. Dia tersenyum tipis, lalu berjongkok sambil mengelus kepala Arlene. "Mana PR yang butuh tanda tangan Mama?"Arlene cemberut dan berjinjit mendekat ke teli