Tiffany tidak boleh lagi membuat Sean repot. Setelah menarik napas dalam-dalam, dia menatap Julie sekilas. "Bisa nggak kita tangani sendiri masalah ini?"Setelah bicara, Tiffany merasa bahwa mereka berdua mungkin tidak akan cukup matang untuk menangani masalah ini sendirian. Karena itu, dia menelepon Mark untuk meminta bantuan.Bagaimanapun, urusan ini juga ada kaitannya dengan Mark. Selain itu, Mark lebih tua dari mereka berdua dan memiliki pengalaman bertahun-tahun dalam dunia bisnis. Pandangannya pasti lebih strategis dibandingkan mereka."Kita nggak punya pilihan selain menghadiri konferensi pers itu," ujar Mark dengan nada santai sambil menyipitkan matanya. "Kebetulan aku juga mau cari kesempatan untuk klarifikasi hubunganku denganmu. Konferensi pers ini adalah panggung yang sempurna."Julie tampak agak khawatir. "Apa kita nggak perlu kasih tahu Sean soal ini?"Tiffany terdiam sejenak, teringat pada pesan Sean sebelumnya. Mereka adalah keluarga yang paling dekat di dunia ini. Apa
Julie tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Tiffany. "Pembantu di rumahmu semua seimut ini, ya?"Tiffany mengangguk santai. "Iya, semua pembantu di rumah sangat menyenangkan."Sejak menikah dan pindah ke rumah Sean, Tiffany merasa hubungannya dengan para pembantu sangat baik. Hanya pada hari kedua setelah menikah, dia sempat beradu argumen dengan Prisa. Untuk selebihnya, semua berjalan lancar."Saya sangat berterima kasih kepada semua yang telah meluangkan waktu untuk menghadiri konferensi pers saya bersama Grup Lukman." Suara Garry terdengar dari atas panggung, menarik perhatian semua orang."Bu Shani dari Grup Lukman mendatangi saya dan mengatakan bahwa mendukung saya mendirikan klinik adalah suatu kehormatan bagi Grup Lukman. Saya pikir, justru kehormatan itu milik saya.""Saya hanya seorang dokter biasa dari desa terpencil, tanpa latar belakang apa pun dan tidak punya kekuasaan. Meskipun melakukan hal yang benar, saya masih sering mendapatkan hinaan dari orang-orang yang terlibat
"Benarkah begitu?" ujar Tiffany sambil menarik napas dalam-dalam. Dia melepaskan topi bisbol kuning dan masker yang menutupi wajahnya, lalu menatap Garry dengan mata yang penuh ketegasan. "Jadi, di mata Kak Garry, aku adalah orang seperti itu."Seisi ruangan langsung terdiam. Semua orang tampak terkejut hingga tak mampu berkata-kata. Di atas panggung, Garry memegang mikrofon dengan wajah pucat. Dia tidak pernah menyangka bahwa orang yang mengajukan pertanyaan tadi adalah Tiffany sendiri.Sejak video Mark menghajarnya beredar di internet, Garry sudah memutuskan untuk melupakan Tiffany. Namun, berbohong tentang dirinya secara langsung di depan Tiffany tetap membuat Garry merasa canggung.Bagaimanapun, mereka telah saling mengenal selama bertahun-tahun."Itu ... Tiffany? Dia benar-benar datang!""Astaga! Tiffany ada di sini!"Semua kamera langsung diarahkan ke Tiffany.Melihat hal ini, Julie dan Mark memutuskan tidak ada gunanya lagi bersembunyi. Mereka berdua melepas topi dan masker mere
Tiffany mundur selangkah secara refleks. Mana mungkin ... bisa kebetulan seperti ini? Awalnya Tiffany berpikir bahwa masalah ini sederhana. Jika dia bisa membuktikan bahwa Mark tidak berada di negara ini saat dia hamil, maka semua kebohongan akan terungkap.Namun kenyataannya, Mark benar-benar diam-diam kembali ke negara ini dua minggu lalu? Dia kembali sehari, lalu pergi keesokan harinya. Waktunya sangat tepat dengan masa kehamilan Tiffany. Masalah yang seharusnya bisa dijelaskan dengan mudah, kini menjadi lebih rumit.Tiffany menoleh dan menatap Mark dengan tatapan kosong. "Kenapa kamu kembali ke negara ini waktu itu? Apa kamu punya saksi yang bisa membuktikannya?"Wajah Mark berubah pucat. Dia sendiri tidak menyangka bahwa Shani akan membawa catatan imigrasinya ke hadapan semua orang. Dia menutup matanya sesaat dan menjawab dengan suara pelan, "Aku kembali untuk mengurus beberapa urusan pribadi. Nggak ada ... saksi."Tiffany mengepalkan tangannya, lalu membuka dan menggenggamnya kem
Wajah Tiffany langsung pucat pasi. Di atas panggung, Garry melirik Tiffany dengan ekspresi penuh kemenangan. Dia mengangkat tangannya, mengambil pena, dan bersiap untuk menandatangani kontrak dengan Shani.Hati Tiffany terasa hancur.Apakah dia benar-benar seburuk ini? Hal sesederhana ini saja tidak bisa dia selesaikan. Dia ingin membersihkan namanya, tapi malah memperburuk situasi ...."Tandatangani apaan!"Julie akhirnya kehilangan kesabaran. Dia mengambil cangkir teh dari meja di sebelahnya dan melemparkannya langsung ke arah Garry. "Belum pernah aku melihat pria nggak tahu malu begini!"Garry tidak menyangka Julie akan menggunakan kekerasan. Dia bahkan tidak sempat menghindar ketika cangkir itu menghantam dadanya. Teh dan daun teh di teko itu tumpah ke seluruh tubuhnya.Ketika seorang petugas mencoba membersihkan bajunya, Garry tetap memegang mikrofon dengan sikap berpura-pura besar hati. "Sahabat Bu Tiffany, aku tahu kamu nggak puas.""Tapi, daripada membuang waktu untuk menyerang
Garry mundur selangkah. Meskipun dia berasal dari desa, dia bisa membaca ekspresi para wartawan di ruangan itu. Posisi Faris adalah sesuatu yang tidak bisa digoyahkan. Dia menggigit bibirnya, lalu menatap Faris dan berkata, "Tentu saja saya puas.""Dengan saksi seperti Anda, seorang pria yang dihormati semua orang, bahkan sesuatu yang hitam sekalipun bisa dianggap putih. Mana mungkin saya nggak puas?"Ruangan kembali menjadi gempar. Pernyataan Garry sangat jelas. Dia sedang menyindir bahwa Faris memihak Mark.Mark langsung naik ke panggung dan menatap Garry dengan tatapan penuh amarah. "Garry, kamu akan tanggung akibatnya ngomong seperti itu!"Garry hanya tertawa kecil. "Oh? Kamu mau mukul aku lagi?" Dia menunjuk wajahnya yang penuh luka-luka dari riasan efek khusus. "Sudah dipukuli sampai begini, aku nggak keberatan menambahkan beberapa luka lagi!"Ucapan itu segera membuat beberapa orang di antara penonton merasa kasihan padanya.Julie mengepalkan tangannya. "Wah, orang ini pintar se
Sean dan Tiffany tinggal di sisi lain kota. Terlihat jelas dari rekaman bahwa Mark sama sekali tidak pernah pergi ke sana. Kebenaran akhirnya terungkap.Garry secara refleks mundur selangkah. Dia menarik napas panjang dan berkata, "Ka ... kalaupun anak Tiffany bukan punya Mark, itu tetap nggak mengubah fakta bahwa kalian menindasku. Kalian semua cuma sekelompok orang yang menyalahgunakan kekuasaan!"Untuk mendapatkan dukungan dari wartawan yang masih bersimpati, Garry memutar ulang rekaman suara yang sebelumnya telah dia unggah ke internet."Di siaran langsung sebelumnya kamu bilang kamu didesak sampai kamu buntu, 'kan? Sekarang kutunjukkan padamu, apa yang namanya buntu."Rekaman itu berisi suara Sean yang terdengar seperti ancaman.Sean yang berdiri di panggung, hanya tersenyum dingin. Tatapan matanya tajam saat menatap Garry. "Jangan kira cuma kamu yang bisa merekam pembicaraan."Dengan santai, dia membuka file lain di layar besar."Kamu masuk ke lembaga penelitian ini karena koneks
Konferensi pers akhirnya selesai.Para wartawan yang sebelumnya datang dengan niat untuk menyerang Sean, Mark, dan Tiffany, kini menghadapi kenyataan yang berbeda. Banyak dari mereka bahkan telah menyiapkan artikel penuh kecaman, tinggal menambahkan foto dari konferensi pers tersebut.Namun, kejutan besar yang terjadi membuat semua rencana mereka berantakan!Karena takut dikenali oleh Sean dan menciptakan masalah di masa depan, begitu Sean mengumumkan berakhirnya konferensi pers, para wartawan langsung bubar. Sean tersenyum tipis dengan tenang.Dia berbalik melemparkan tatapan dingin ke arah Shani yang bersandar pada dinding dengan tangan bersilang di dada. "Bu Shani, apa Anda puas dengan hasil hari ini?"Mark yang tidak ingin ketinggalan, ikut menyindir, "Bu Shani, sampaikan pada Tuan Besar Grup Lukman di rumah, kalau mau membangun citra perusahaan, ada cara yang lebih baik daripada ini."Shani tertawa dingin, lalu menatap Sean dengan mata tajam. "Jadi, Pak Sean, ternyata kamu masih b
Ucapan Niken tidak bisa meyakinkan Tiffany. Saat Tiffany hendak bertanya lagi, Kendra dan Indira sudah menyajikan makanan.Niken yang duduk di samping Tiffany berujar, "Kita jarang bisa makan bersama. Panggil anak-anak dan ibumu kemari."Kendra tertegun sejenak, lalu mengangguk dan menyahut dengan hormat, "Oke."Tak lama kemudian, suasana menjadi ramai. Jonas dan Jones duduk bersama. Mereka yang penasaran memandangi wanita paruh baya di samping Tiffany.Bertha yang duduk agak jauh melihat Niken dan Tiffany sambil tersenyum lebar. Dia berkomentar, "Benar-benar mirip! Sudah kubilang, Tiffany sangat cantik. Dia pasti mewarisi gen ibunya yang bagus."Niken tersenyum kepada Bertha dan membalas, "Terima kasih. Tapi, cuma parasnya yang mirip denganku. Kepintarannya masih kalah jauh dariku."Bertha langsung merasa tidak senang. Dia menanggapi, "Tiffany sangat pintar!"Niken menimpali, "Kepintarannya nggak mirip denganku. Mungkin dia mirip ayahnya."Bronson dan Tiffany sama-sama tidak tahu keke
Sewaktu Niken baru sampai ke kediaman Keluarga Rimbawan, Xavier belum genap berusia 10 tahun. Kala itu, dia masih polos.Ibu Xavier sudah meninggal dan ayahnya sering mabuk-mabukan. Hanya pembantu yang menjaga Xavier dan Jayla di rumah.Suatu hari, Xavier tersesat saat bermain sendirian di halaman. Dia sampai di ruang bawah tanah tempat Niken dikurung. Itu adalah pertama kalinya Xavier mempunyai ingatan yang mengerikan.Ruang bawah tanah itu lembap dan gelap. Hanya ada cahaya lampu kuning. Seorang wanita yang rambutnya berantakan dikurung dalam kandang.Sepertinya wanita itu disiksa dengan kejam. Sekujur tubuhnya dilumuri darah. Xavier yang baru berusia 7 tahun berteriak, "Hantu!"Niken mendongak. Kedua matanya sangat jernih. Dia memandang Xavier dan berucap sembari tersenyum, "Nak, di sini nggak ada hantu. Jangan takut."Suara Niken sangat lembut hingga membuat Xavier hampir meneteskan air mata. Suaranya sangat mirip dengan suara ibunya Xavier, begitu pula tatapannya yang lembut. Namu
Tiffany memandang Niken dengan ekspresi terkejut sambil berucap, "Jadi ...."Sejak menyuruh Xavier kembali ke Kota Aven, Niken sudah berencana untuk mengakui Tiffany? Jadi, sejak awal Niken tidak berniat mencelakai Kendra. Niken hanya ingin Kendra membantunya dan Tiffany saling mengakui.Niken meminum teh, lalu menimpali, "Iya. Karena kita sudah saling mengakui, aku nggak usah mengganggu Kendra lagi. Kalau dia mau lanjut jadi pengawalku, juga nggak masalah. Kalau nggak, dia juga bisa buka toko kecil bersama istrinya."Niken tersenyum dan menambahkan, "Mungkin waktu aku hampir mati, aku bisa hidup bersama mereka. Bagaimanapun, sekarang margaku juga Maheswari."Tiffany mengatupkan bibirnya seraya mengepalkan tangannya dengan erat. Mereka baru duduk di sini kurang dari 10 menit, tetapi Niken sudah mengungkit tentang kematian 3 kali.Tiffany mempunyai firasat Niken tidak mungkin berbicara seperti ini tanpa alasan. Apa ....Tiffany merasa sedih. Dia ingin menggenggam tangan Niken. Namun, Ni
Xavier mengingatkan, "Tiffany baru mengakuimu. Kalau kamu bicara begini, Tiffany mengira kamu mengidap penyakit parah."Niken tertegun sejenak, lalu berbalik dan tersenyum kepada Xavier. Dia menyahut, "Benar juga. Kita jangan bahas tentang kematian dulu."Selesai bicara, Niken melihat Tiffany dan bertanya, "Tadi kamu panggil aku apa?"Tiffany menjawab, "Aku panggil kamu ... ibu."Tiffany memandang Niken dengan wajah memucat seraya bertanya, "Tadi ... apa maksudmu?"Niken meletakkan cangkir teh dan menyahut, "Nggak apa-apa. Aku cuma merasa mati di tempat seperti ini cukup bagus kalau ke depannya aku punya kesempatan."Kemudian, Niken tersenyum kepada Tiffany sembari menambahkan, "Semua orang pasti akan mati, 'kan?"Tiffany mengatupkan bibirnya. Dia merasa gelisah. Kenapa Niken malah membicarakan tentang kematian pada suasana yang bagus seperti ini? Apa karena dia sudah terbiasa dengan perpisahan atau karena alasan lain?Niken berucap, "Setelah makan malam, kamu beri tahu Bronson aku gan
Seperti Indira, Tiffany juga merasa sangat terkejut. Dia berdiri di belakang Indira, memandang Kendra dan Niken dengan tatapan tak percaya.Barusan pamannya mengatakan ... Niken datang ke sini untuk mengganti nama dan mengakui Kendra sebagai adiknya? Bukan cuma mengganti nama, tetapi juga mengganti marga?!"Hei, kenapa bengong?"Xavier mendekat dan menyenggol bahunya pelan sambil berbisik di telinganya. "Apa kamu merasa sangat tersentuh?""Kemarin setelah kamu cerita semuanya ke aku, aku langsung kasih tahu Niken. Niken bilang itu bukan masalah.""Kalau kamu benar-benar ingin tetap menggunakan nama Tiffany Maheswari dan tetap mempertahankan margamu, dia akan mengganti marga dan namanya, asalkan itu membuatmu bahagia."Hati Tiffany menghangat seketika. Dia mendongak, menatap wanita yang berdiri di pintu masuk itu.Musim gugur mulai membawa hawa dingin, tetapi Niken mengenakan gaun ketat berwarna putih gading dengan bordiran elegan dan dilapisi jaket tipis berwarna putih transparan. Ramb
Sikap Jonas yang gugup justru membuat Indira semakin curiga. Dia mengerutkan alis, langsung mendorong Jonas ke samping, lalu berjalan cepat menuju ruang makan di mana Tiffany berada.Dengan suara keras, pintu ruang makan terbuka lebar.Tiffany yang duduk di dalam, terkejut dan langsung menoleh ke arah pintu. Di sana, berdiri Indira dengan tatapan dingin yang bercampur dengan kemarahan."Tiffany, tempat ini nggak menyambutmu! Aku sudah bilang dengan jelas, aku nggak mau datang ke pernikahanmu dan aku juga nggak mau berurusan denganmu lagi!"Tiffany menggigit bibirnya sambil menatap Indira dengan tatapan penuh rasa sakit. Dia tahu, alasan Indira berbicara seperti itu adalah agar Tiffany bisa melupakan masa lalu dan menerima keluarga barunya.Namun, tatapan dan nada bicara yang dingin itu tetap membuat hati Tiffany terasa seperti dihancurkan. Dengan suara lirih, Tiffany berkata, "Bibi, apa Bibi benar-benar sebenci itu sama aku?"Indira mendengus dan memutar matanya. "Ya, benar!""Tapi ...
"Kak Tiffany?" Jonas tampak sangat bersemangat begitu melihat Tiffany."Apa yang kamu lakukan di sini?" Tiffany yang sama-sama terkejut langsung berdiri dari kursinya, lalu memeluk Jonas dengan penuh emosi."Sudah lama sekali kita nggak ketemu! Kenapa kamu bisa ada di sini? Lalu, di mana Bibi?"Jonas menjawab dengan antusias, "Tempat ini adalah restoran pedesaan yang dikelola Ibu! Aku dan Jones lagi libur musim panas, jadi kami membantu di sini!"Wajah remaja itu bersinar dengan kegembiraan. "Kak Tiffany, kenapa kamu bisa datang ke sini? Apa kamu sengaja datang untuk menemui kami karena tahu ini restoran keluarga kami?""Aku ...." Tiffany menggigit bibirnya. "Aku datang ke sini karena ada yang mengundangku makan siang."Tiffany menarik napas dalam-dalam, lalu melanjutkan, "Bibi nggak mau kasih tahu aku di mana kalian berada. Aku bahkan nggak tahu kalian tinggal di sini. Kalau bukan karena undangan makan siang hari ini, aku nggak akan tahu kalian ada di sini dan bahkan membuka restoran
"Tentu saja!" Tiffany melanjutkan dengan suara lembut dan memohon belas kasihan, "Mana mungkin aku tega memaki kamu, kamu itu hebat banget ....""Kalau begitu ...." Sean tersenyum tipis, mendekatkan bibirnya ke telinganya, lalu berbisik dengan suara rendah, "Mari kubuat kamu lebih merasakan betapa hebatnya suamimu."Tiffany terkejut. Dasar pria jahat! Cukup sudah!....Tiffany bangun dengan tubuh lelah dan nyaris kehabisan tenaga pada pukul sembilan pagi lebih. Pukul setengah sepuluh, dia dibangunkan oleh dering telepon dari Xavier."Kelinci kecil, aku sudah di depan rumahmu. Bersiaplah, Niken ingin bertemu denganmu."Tiffany menguap dan melihat waktu di ponselnya, "Aku baru saja bangun, tunggu sebentar ya."Dia masih ingat, kemarin Xavier sudah meneleponnya untuk membuat janji makan siang bersama Niken hari ini. Setelah menutup telepon, Tiffany bergegas berganti pakaian, menyikat gigi, mencuci muka, dan mengoleskan pelembap wajahnya.Hanya dalam waktu sepuluh menit, Tiffany yang sudah
Tiffany mengangguk pelan."Aku mau tidur." Bronson tersenyum tipis."Kalian juga sebaiknya segera istirahat. Anak muda jangan bergadang terlalu larut."Setelah berkata demikian, dia berbalik dan pergi. Tiffany berdiri di tempatnya, wajahnya tiba-tiba memerah. Dia tahu Bronson mungkin hanya ingin menyuruhnya untuk tidur lebih awal.Namun, kenapa ... kenapa dia tiba-tiba memikirkan hal-hal yang tidak senonoh? Apakah ini karena dia terlalu lama bersama Sean, sehingga pikirannya jadi tidak murni lagi?"Apa yang kamu pikirkan?" Saat Tiffany berusaha menenangkan diri dan hendak menepuk-nepuk wajahnya yang panas, suara Sean yang rendah dan penuh tawa tiba-tiba terdengar di telinganya."Tadi Paman bilang, jangan bergadang terlalu larut. Apa yang kamu pikirkan, hm?"Tiffany terdiam. Kamu sudah mendengar dan melihat semuanya, apa masih perlu bertanya?!"Dasar gadis kecil berpikiran jorok." Sean tersenyum, lalu mengangkatnya dengan mudah dan menggendongnya dalam pelukan horizontal. "Kenapa kamu d