Konferensi pers akhirnya selesai.Para wartawan yang sebelumnya datang dengan niat untuk menyerang Sean, Mark, dan Tiffany, kini menghadapi kenyataan yang berbeda. Banyak dari mereka bahkan telah menyiapkan artikel penuh kecaman, tinggal menambahkan foto dari konferensi pers tersebut.Namun, kejutan besar yang terjadi membuat semua rencana mereka berantakan!Karena takut dikenali oleh Sean dan menciptakan masalah di masa depan, begitu Sean mengumumkan berakhirnya konferensi pers, para wartawan langsung bubar. Sean tersenyum tipis dengan tenang.Dia berbalik melemparkan tatapan dingin ke arah Shani yang bersandar pada dinding dengan tangan bersilang di dada. "Bu Shani, apa Anda puas dengan hasil hari ini?"Mark yang tidak ingin ketinggalan, ikut menyindir, "Bu Shani, sampaikan pada Tuan Besar Grup Lukman di rumah, kalau mau membangun citra perusahaan, ada cara yang lebih baik daripada ini."Shani tertawa dingin, lalu menatap Sean dengan mata tajam. "Jadi, Pak Sean, ternyata kamu masih b
"Yang tadi itu, sepuluh poin," ujar Sean santai.Mark mengerutkan alis, merasa firasat buruk mulai merayap di pikirannya. "Sepuluh poin, ya sudah sepuluh poin. Tapi kenapa kamu bilang sama aku?""Karena aku serahkan ini padamu."Mark langsung memprotes, "Kenapa aku? Kenapa pekerjaan yang bikin orang marah ini harus aku yang tangani?""Sepuluh kali lipat gaji.""Oke! Akan kuurus!" Mark mengepalkan tangan dengan semangat. "Tenang saja, semuanya akan beres!""Bagus."Sean membuka pintu mobil untuk Tiffany dengan elegan. "Aku belum makan seharian. Pulang atau makan di luar?"Saat itu, Tiffany baru teringat bahwa dia, Julie, dan Mark juga belum sempat makan siang."Makan di luar saja, kita makan sama-sama." Saat ini sudah jam 4 sore, Rika pasti belum menyiapkan makan malam. Pulang di jam segini hanya akan membuatnya repot."Boleh juga."Sean tersenyum tipis, lalu melirik Mark. "Naik ke mobil, kutraktir kamu.""Siap, Bos!" Mark tampak semangat dan langsung menuju kursi belakang."Kamu yang n
Saat mobil berhenti di depan restoran, Tiffany menjadi orang pertama yang membuka pintu dan turun Angin sejuk di luar membantu mendinginkan wajahnya yang masih terasa seperti terbakar.Julie adalah orang kedua yang turun. Sama seperti Tiffany, wajahnya juga memerah, bahkan lebih jelas terlihat di bawah cahaya sore."Julie," panggil Tiffany sambil refleks mengulurkan tangan dan menyentuh pipi Julie."Wajahmu panas sekali. Kamu sakit?" tanyanya khawatir.Julie mengerlingkan mata ke arah Tiffany dengan gusar. "Kamu sendiri juga kelihatan nggak sehat, 'kan?"Tiffany menyentuh wajahnya sendiri yang masih terasa panas. "Aku ... aku begini karena ...."Tiba-tiba dia terdiam dan kepikiran akan sesuatu. Matanya langsung menatap Julie dengan serius. "Apa yang dilakukan Mark padamu?" Wajah Julie langsung semakin merah. "Apa yang bisa dia lakukan? Aku nggak memukulnya saja sudah cukup sopan."Setelah menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, Julie mendongak menatap restoran di depan mereka
Apakah ... kehadiran Faris hari ini membuatnya teringat dengan kesedihannya?"Julie?" Melihat Julie yang mematung di tempat, Tiffany melepaskan gandengannya dari Sean dan berlari kecil ke sisi Julie. Kemudian, dia menarik lengan Julie untuk masuk ke restoran. "Kenapa bengong saja?"Julie akhirnya tersadar dari lamunannya dan mengikuti Tiffany masuk ke restoran.Di dalam, aula utama Restoran Prosper dipenuhi dekorasi mewah. Lampu gantung besar yang berkilauan dan ornamen bergaya klasik menciptakan suasana yang elegan dan menawan. Sean yang baru saja masuk bersama mereka, segera menerima panggilan kerja penting dan berjalan menjauh untuk berbicara di telepon.Sementara itu, Mark, yang jarang datang ke restorannya sendiri, langsung diseret oleh salah satu manajer ke lantai atas untuk membahas laporan kinerja.Sebelum pergi, Mark meminta manajer untuk membawa Tiffany dan Julie ke salah satu ruang VIP dan mempersilakan mereka menunggu di sana.Namun, setelah masuk ke ruang tertutup itu, Tif
Nada bicara Julie penuh dengan ejekan. Alis Valerie langsung berkerut tajam.Meski apa yang dia katakan tadi hanya untuk memancing Mark keluar, tetap saja dia tidak bisa menerima ejekan seperti itu. Kalaupun dia benar-benar berniat mendekati Mark, tetap saja tidak ada yang boleh menghinanya di Kota Aven ini.Secara refleks, dia menoleh ke arah suara Julie. Namun, pandangannya pertama kali tertuju bukan pada Julie, melainkan pada Tiffany yang duduk di sampingnya.Valerie menyipitkan matanya, senyum dingin terukir di sudut bibirnya. "Baru beberapa hari keguguran, sudah keluar pamer diri lagi?"Ejekannya semakin menusuk. "Apa kamu benar-benar nggak bisa tahan untuk tetap di rumah? Tubuhmu belum sepenuhnya pulih, tapi kamu sudah keluar untuk menggoda pria?"Setelah berkata demikian, dia seolah tersadar akan sesuatu. "Bukannya beberapa hari lalu internet dipenuhi gosip tentang hubungan antara Bu Tiffany dan Mark? Sekarang tubuhmu masih belum pulih, tapi kamu sudah datang ke restorannya. Kal
"Tapi ternyata, kamu malah cuma nonton saja dari tadi?"Tiffany tersenyum malu-malu, "Soalnya kamu terlalu hebat, kukira aku menonton saja sudah cukup."Tiffany memang bukan tipe orang yang pintar berdebat. Saat bertengkar dengan orang lain di sekolah, dia pasti menjadi pihak yang dirugikan.Sampai ketika dia kenal dengan Julie. Julie sangat cerdik dan lebih pintar berdebat dibandingkan dirinya. Setiap kali ada masalah, Julie yang selalu membelanya. Lama kelamaan, Tiffany jadi terbiasa menjadi penonton jika ada Julie yang berada di sisinya. Begitu juga dengan kali ini.Sejak Julie mulai berdebat sengit dengan Valerie, Tiffany hanya sibuk menuangkan teh untuk Julie, menyajikan buah anggur yang sudah dikupas, dan memberikan dukungan diam-diam dari belakang. Tiffany sama sekali tidak menyangka bahwa Valerie akan mengalihkan serangannya kepadanya, sehingga dia secara spontan menjawab dengan nada polos.Namun, apa yang dilakukan Tiffany tanpa sadar itu, justru terlihat sebagai cara paling c
Ketika tamparan kelima dari Chaplin mendarat di wajah Valerie, Sean akhirnya melambaikan tangannya. "Sudahlah, demi menghargai Mark, biarkan saja."Mark yang bersandar santai pada pagar tangga spiral, menjawab dengan nada datar, "Kalau kamu khawatir Chaplin akan lelah, katakan saja langsung. Jangan pakai aku sebagai alasan." Dia menambahkan dengan dingin, "Aku nggak pernah mengakui bahwa Bu Valerie ini punya hubungan apa pun sama aku. Jadi, nggak perlu merasa harus menahan diri demiku."Wajah Valerie terasa terbakar ... bukan hanya karena tamparan Chaplin, tetapi juga oleh kata-kata Mark. Mark bilang, dia tidak mengakui punya hubungan apa pun dengan Valerie.Padahal ... Mark adalah kakaknya!Valerie menatap Mark dengan tatapan yang bergetar. Tangannya mengepal dan rileks bergantian di sisi tubuhnya. "Kak, kamu bercanda, 'kan? Aku ini adikmu!""Adik?"Mark tetap bersandar pada pagar tangga spiral sambil tertawa mengejek. "Adik yang mana? Adik yang bertahun-tahun lalu memanggilku pembawa
Dengan kata lain, di seluruh Keluarga Sanskara, semuanya adalah pelayan Sean selain Faris.Sebagai putri Keluarga Sanskara, tidak peduli betapa mulianya Valerie di hadapan semua orang, dia hanya pelayan di mata Sean.Memang benar, Valerie tidak berhak berbicara lancang kepada Sean ...."Lain kali sebelum bicara padaku, tanya ayahmu dulu harus gimana bersikap supaya aku nggak marah. Jangan sampai terulang lagi," ujar Sean sambil bersandar di sofa dengan culas dan memainkan rambut Tiffany.Tiffany menunduk, memegang jaket Sean. Dia sedang membersihkan noda di atas jaket itu.Valerie menggertakkan giginya. Ketika melihat kedekatan Tiffany dengan Sean, hatinya diliputi kecemburuan. Tiffany menyeka noda di jaket Sean, sedangkan Sean memainkan rambut Tiffany! Keduanya jelas-jelas memamerkan kemesraan!Valerie yang berbakat dan terkenal saja tidak berhak berbicara lancang kepada Sean. Lantas, bagaimana dengan Tiffany yang tidak bisa apa-apa? Bagaimana bisa wanita ini memamerkan kemesraan bers
Zion menggigit bibirnya dan melirik Tiffany sejenak, lalu melihat ke arah Sean sebelum akhirnya mengusap tangannya dengan gugup. Tubuhnya menyusut di sofa saat berkata, "Aku ... waktu mabuk, aku cuma bilang terus terang sama dia.""Terus terang?"Terus terang apaan! Apakah "terus terangnya" menurutnya adalah memberi tahu Quinn bahwa dia dulu menanggung kesalahan Tiffany?Saat insiden itu terjadi, Tiffany bahkan masih berada di Elupa untuk terapi rehabilitasi dan menahan rasa sakit luar biasa akibat luka bakarnya. Mana mungkin dia bisa menyusun rencana operasi untuk Quinn?Tiffany bahkan tidak bisa mengurus dirinya sendiri saat itu, apalagi mengurus operasi orang lain! Dan dia masih berani bilang itu "kebenaran"?"Ya."Zion menghela napas panjang, lalu mengangkat tatapannya yang masih jernih ke arah Tiffany. "Dok Tiff, aku nggak ingin menyembunyikan apa pun darimu. Aku tahu kamu nggak pernah ingin mengakui ini, tapi ...."Dia kembali melirik Sean sebelum melanjutkan, "Tampaknya pria ini
Kenapa bisa ...."Ada apa?" tanya Zion Ketika melihat Sean tidak berbicara.Sean menatap Zion dengan tajam. "Tangan Dok Tiff .... apakah cedera itu mengenai otot dan tulangnya?"Zion tampak agak terkejut. Dia teringat pernah melihat laporan medis Tiffany yang tergeletak di atas meja suatu hari."Bisa dibilang begitu." Dia mengepalkan bibirnya sejenak sebelum melanjutkan, "Tapi yang paling parah adalah, tangannya pernah mengalami luka bakar yang sangat serius."Sean terdiam sejenak, ekspresinya berubah. "Luka bakar?"Saat dia hendak bertanya lebih lanjut, pintu klinik tiba-tiba terbuka. Seorang wanita melangkah masuk dengan tenang. Dengan mengenakan mantel merah panjang dan sepatu bot hitam, kehadirannya seketika menarik perhatian.Zion hampir menjatuhkan gelas air yang dipegangnya. Dengan gugup, dia langsung bangkit berdiri dari sofa dan matanya terpaku pada Tiffany. "Dok ... Dok Tiff ...."Tiffany mengangguk ringan ke arahnya, langkahnya tenang saat dia memasuki ruangan. Sebelumnya, d
Sean mengangkat pandangannya dan menatap Zion dengan tenang. Pria itu mengenakan jas putih dokter, tubuhnya tampak kurus, tetapi wajahnya tidak terlihat licik sama sekali.Dengan senyum santai, Zion bertanya, "Anda wartawan?"Sean mengangguk. "Bisa dibilang begitu.""Tapi menurutku bukan."Zion tersenyum tipis. Tatapannya yang jernih menyapu wajah Sean yang tegas dan berkarakter dingin. "Wartawan nggak punya aura seperti Anda."Sean tersenyum. "Aku punya aura seperti apa?""Elegan, dingin, tidak peduli pada banyak hal di dunia ini, tetapi sangat fokus pada tujuan Anda. Kalau sudah menentukan target, Anda akan mengerahkan segalanya untuk mencapainya."Setelah berkata demikian, dia berbalik untuk menuangkan segelas air, lalu meletakkannya di depan Sean. "Benar nggak apa yang kubilang?"Sean menatapnya dengan lebih dalam. Ada sedikit kilasan kekaguman dalam matanya. "Kalau kamu sudah tahu aku bukan wartawan, kenapa nggak langsung mengusirku?""Karena aku merasa Anda mungkin adalah teman D
"Sekarang dia sudah bisa melakukan operasi sendiri. Aku juga merasa senang untuknya." Zion menghela napas berat dan berkata, "Guru, jangan khawatir. Aku nggak akan bilang apa pun."Dari balik pintu kaca buram, Sean bisa melihat seorang pria berjas putih berdiri dengan postur sedikit membungkuk. "Aku benar-benar minta maaf soal Quinn. Aku nggak pernah membahas insiden malapraktik itu di depannya. Tapi sebulan yang lalu ... aku mabuk ....""Tapi keesokan harinya, aku sudah peringatkan dia untuk jangan menyebarkan apa pun. Aku benar-benar nggak tahu dia akan pergi ke Kota Kintan dan ... memfitnah Tiffany di depan begitu banyak orang.""Zion, kamu anak yang baik." Wanita yang duduk di sofa menghela napas pelan. "Apa yang terjadi waktu itu bukan salahmu, tapi kamu tetap memilih menanggung semuanya sendirian.""Tiffany sebenarnya nggak pantas menerima kebaikanmu. Baik dua tahun lalu maupun sekarang, dia nggak pernah mengakui bahwa instruksi itu datang langsung darinya.""Guru," sahut Zion sa
Keesokan harinya, setelah mengantar Arlo dan Arlene ke taman kanak-kanak, Tiffany langsung mengemudikan mobilnya menuju kota tempat tinggal Zion sesuai alamat yang diberikan Morgan.Dari pusat kota yang ramai, dia melewati pinggiran kota, masuk ke jalan tol, lalu berbelok ke jalan pedesaan yang semakin sepi.Sepanjang perjalanan, sebuah Land Rover hitam terus mengikutinya dari belakang. Dari kaca spion, Tiffany bisa melihat dengan jelas bahwa mobil itu memiliki pelat nomor dari Kota Aven.Orang dari Kota Aven.Tiffany bahkan tidak perlu berpikir lama untuk tahu siapa yang ada di dalam mobil itu. Akhirnya, dia tidak bisa menahan diri lagi. Tiffany memasang earphone bluetooth dan langsung menelepon Sean. "Kamu ngikutin aku?"Pria di ujung telepon terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab, "Kamu sadar ya?"Tiffany terdiam.Mengikuti seseorang secara terang-terangan dengan Land Rover yang mencolok baik dari segi ukuran maupun model, bukankah itu memang sengaja ingin ketahuan?"Aku cuma mau
Tiffany sangat memahami Sean. Dia tidak mungkin berbicara dengan nada seperti itu kepada seorang pria. Kalau perempuan .... Satu-satunya wanita yang paling dekat dengannya, Sanny, masih dirawat di Rumah Sakit Kintan.Tiffany merasa sedikit jengkel. Dia mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. Julie meliriknya sekilas, seakan ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya memilih diam.Setelah beberapa saat, dia menepuk bahu Tiffany pelan. "Aku sudah cari tahu. Dalam lima tahun terakhir, dia memang nggak pernah dekat sama wanita mana pun.""Tapi ... wanita yang mengincarnya sih nggak sedikit.""Tenang saja."Tiffany mengangguk, tapi beberapa detik kemudian, dia menyadari ada yang janggal. "Kenapa aku harus tenang?" Dia bahkan belum berniat untuk kembali bersama Sean."Cepat atau lambat," sahut Julie.Dia menghela napas panjang sebelum menambahkan, "Lagian, setelah kalian bersama lagi, masih ada satu hal yang harus kalian selesaikan."Tiffany mengernyit. "Apa itu?""Nanti juga kamu akan tahu."
Tiffany kembali ke rumah sakit dan mendapati Julie sudah menunggunya di kantor dengan tangan bersedekap."Aku sudah lihat beritanya," ucap Julie.Dengan jas putih yang membalut tubuh tinggi semampainya, Julie bersandar di kursi sambil menatap Tiffany dengan sorot mata dingin. "Cuma pergi ngajar sebentar saja bisa bikin heboh begini."Tanpa perlu ditanyakan sekalipun, Tiffany sudah bisa memahami apa yang sedang dibicarakan Julie.Tiffany berjalan ke mejanya dengan tenang dan duduk, "Masalah tentang Zion sudah kuselidiki dan kujelaskan semuanya dua tahun lalu. Aku nggak perlu takut."Julie mengangkat alis dan menatapnya dengan sorot mata yang tetap tenang. "Kamu kira aku lagi membicarakan tentang Zion?""Soal itu sudah lama diselesaikan. Tim investigasi rumah sakit melakukan penyelidikan menyeluruh waktu itu. Apa lagi yang bisa dia lakukan sekarang?""Ini yang kubicarakan!" Julie mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah foto.Di dalamnya, Tiffany tampak memeluk sebuket besar mawar m
"Turun dari mobil." Tiffany mengernyit. "Sekarang sudah jam 3 sore. Aku harus ke rumah sakit untuk absen. Nanti sore harus menjemput anak di sekolah."Sean menggigit bibirnya, memasang ekspresi keras kepala. "Aku harus melindungimu. Jadi, ke mana pun kamu pergi, aku akan ikut."Tiffany mendengus. "Melindungiku? Apa kamu juga mempelajarinya dari novel?"Wanita itu menoleh, menatap Sean dengan sorot mata penuh ejekan. "Lemah sekali, yang suka membaca novel romansa itu aku yang lima tahun lalu. Sekarang aku cuma suka membaca jurnal medis."Sean mengangguk. "Kalau begitu, lain kali aku akan meneliti jurnal medis."Tiffany termangu sesaat. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu menekan tombol pintu mobil. "Aku nggak peduli apa yang ingin kamu teliti. Tapi, sekarang aku butuh kamu turun dari mobil."Sean mengernyit menatap Tiffany lekat-lekat. "Dok Tiff, kamu harus tahu satu hal, aku ini punya kebiasaan buruk. Aku orangnya cukup pemberontak. Kalau kamu menyuruhku turun, justru aku nggak akan tu
"Aku mengenalmu lebih baik dari siapa pun."Ketika kalimat itu diucapkan dengan suara rendah oleh Sean, hati Tiffany tak kuasa bergetar. Baik lima tahun yang lalu maupun sekarang, kalimat ini selalu membawa kehangatan aneh setiap kali mendengar Sean mengatakannya.Terutama di saat seperti ini. Mereka telah terpisah selama lima tahun penuh. Lima tahun sudah cukup untuk mengubah banyak hal, cukup lama untuk membuat seseorang menjadi pribadi yang benar-benar berbeda.Namun, setelah bertemu lagi dan di saat dirinya difitnah, Sean masih bisa duduk dengan tenang di kursi belakang mobilnya dan berkata, "Aku mengenalmu lebih baik dari siapa pun."Perasaan dan ketulusan seperti ini membuatnya tersentuh. Tiffany menarik napas dalam-dalam. Senyuman tipis terukir di sudut bibirnya. "Kalau begitu, terima kasih, Pak Sean.""Sama-sama, Dok Tiff." Sean menyandarkan kedua lengannya di belakang kepala. "Tapi, kulihat tadi ada beberapa mahasiswa yang mengambil foto di kelas. Aku rasa masalah ini nggak ak