Dengan kata lain, di seluruh Keluarga Sanskara, semuanya adalah pelayan Sean selain Faris.Sebagai putri Keluarga Sanskara, tidak peduli betapa mulianya Valerie di hadapan semua orang, dia hanya pelayan di mata Sean.Memang benar, Valerie tidak berhak berbicara lancang kepada Sean ...."Lain kali sebelum bicara padaku, tanya ayahmu dulu harus gimana bersikap supaya aku nggak marah. Jangan sampai terulang lagi," ujar Sean sambil bersandar di sofa dengan culas dan memainkan rambut Tiffany.Tiffany menunduk, memegang jaket Sean. Dia sedang membersihkan noda di atas jaket itu.Valerie menggertakkan giginya. Ketika melihat kedekatan Tiffany dengan Sean, hatinya diliputi kecemburuan. Tiffany menyeka noda di jaket Sean, sedangkan Sean memainkan rambut Tiffany! Keduanya jelas-jelas memamerkan kemesraan!Valerie yang berbakat dan terkenal saja tidak berhak berbicara lancang kepada Sean. Lantas, bagaimana dengan Tiffany yang tidak bisa apa-apa? Bagaimana bisa wanita ini memamerkan kemesraan bers
Tiffany membelalakkan matanya, lalu bertanya dengan suara rendah, "Kamu mengenalnya?"Bukankah Mark baru pulang dari luar negeri? Bukankah dia tinggal di luar negeri selama belasan tahun? Bagaimana bisa Julie mengenalnya?Tiffany menyenggol bahu Julie dan bertanya, "Kapan kalian kenal?"Julie menggigit bibirnya. Dia mendongak, lalu melihat Mark dan Sean yang sama-sama naik ke lantai atas. Ekspresi Mark terlihat dingin dan angkuh, membuat hati Julie menegang.Beberapa saat kemudian, Julie mengembuskan napas panjang dan berkata, "Mungkin aku salah kenal orang." Tiffany pun mengernyit. Dia masih ingin berbicara, tetapi Mark dan Sean sudah memasuki ruang privat. Dia pun tidak bertanya lagi dan masuk, lalu duduk di samping Sean.Mark tentu duduk di seberang keduanya. Sementara itu, Julie ragu-ragu sejenak sebelum duduk di samping Mark.Hidangan di meja sangat mewah. Setiap hidangan dimasak oleh koki dengan sepenuh hati. Ini pertama kalinya Tiffany melihat hidangan yang begitu menggugah sele
Setelah pintu ruang privat ditutup kembali, Tiffany beserdawa dan mendongak melirik Sean. "Sayang, kenapa kamu mengusirnya?"Sean menunduk dan menyeka noda makanan di sudut bibir Tiffany dengan penuh kasih sayang. "Ada dua alasan. Pertama, aku nggak ingin orang lain melihat serakus apa kamu saat menggerogoti paha ayam."Tiffany termangu. Dia melirik paha ayam yang ada di piringnya. Seketika, wajahnya tersipu. Koki di sini terlalu hebat. Begitu memasuki ruang privat, dia langsung terpana dengan paha ayam yang berwarna coklat keemasan itu.Namun, setelah diletakkan di atas piring, Tiffany merasa malu jika harus menggerogoti paha ayam di hadapan Mark yang masih belum terlalu akrab dengannya. Makanya, dia tidak memakan paha ayamnya sejak tadi."Cepat dimakan." Sean mengelus kepala Tiffany. "Kalau kamu suka makanan di sini, aku bisa merekrut koki mereka."Sejak menikah sampai sekarang, Tiffany tidak pernah berkomentar tentang makanan di rumah. Apa pun yang dimasak pelayan di rumah, Tiffany
Setelah Tiffany selesai menggerogoti paha ayam, kedua orang di luar masih belum masuk. Tiffany mengelus perutnya yang kenyang dan bertanya, "Kenapa mereka belum balik? Mereka nggak lapar ya?"Kalau tidak salah ingat, sepertinya mereka berdua masih belum makan sejak siang tadi?Sean terkekeh-kekeh. "Kalau kamu nggak mencari mereka, mereka nggak bakal masuk.""Kenapa begitu?" Tiffany tidak mengerti.Sean mengecup pipinya, lalu menyahut, "Mereka akan mengira kita sedang melakukan sesuatu yang tak senonoh di sini."Tiffany termangu sejenak sebelum memahami ucapan Sean. Seketika, wajahnya memerah. Dia pun bangkit dan keluar.Di koridor, Mark sedang merokok di sudut. Julie sedang bermain game di kursi samping. Jarak di antara keduanya sangat jauh. Mereka sama sekali tidak berinteraksi seperti yang dibayangkan Sean.Tiffany mencebik, lalu menarik Julie ke ruang privat. Di depan pintu, Julie menoleh menatap Mark. "Kamu nggak masuk?"Mark tidak menyangka Julie akan berbicara dengannya. Setelah
Tiffany yang bersandar di bahu Sean tampak menguap. Kemudian, dia berkata, "Antar Julie pulang. Jangan ambil kesempatan dalam kesempitan!"Mark mendorong Julie yang mabuk sambil berujar, "Bangun."Julie bangkit, lalu terkekeh-kekeh dan mengelus dada Mark. "Tampan ...."Mark mengernyit dan menarik tangan Julie dari tubuhnya. Namun, Julie malah meletakkan tangannya yang satu lagi dan berkata, "Biar kusentuh sedikit ...."Sean pun tergelak melihat pemandangan di depan, lalu berujar kepada Tiffany, "Kamu seharusnya khawatir Julie yang mengambil kesempatan dalam kesempitan."Tiffany sungguh kehabisan kata-kata. Sean pun tidak memedulikan mereka lagi. Dia langsung menggendong Tiffany dan turun, lalu masuk ke mobil.Di perjalanan pulang, Tiffany bersandar di pelukannya sambil tertidur. Setelah mobil tiba di vila, Sean menggendongnya ke kamar dan menurunkannya di ranjang dengan pelan.Di bawah sinar lampu, Sean bisa melihat wajah Tiffany dengan jelas. Wajah Tiffany memerah, membuatnya terlihat
"Tuan, apa ada masalah?" tanya Sofyan dengan hati-hati saat melihat wajah Sean yang berangsur dingin.Sean hanya berdiri diam di tempatnya. Namun, aura yang dipancarkannya membuat orang-orang merasa sesak.Sofyan memanggil lagi dengan perlahan, "Tuan ...."Sean memejamkan matanya, lalu berucap dengan suara yang sangat rendah, "Aku mau rekaman CCTV lalu lintas sore hari ini. Cari tahu siapa yang menculik Garry.""Baik!" Sofyan merasa lega, lalu buru-buru menuruni tangga.Sean memasuki ruang kerjanya. Setelah duduk, dia menatap lekat-lekat inisial yang ada di kertas itu.Orang tua Sean meninggal saat Sean kecil. Setiap kali Sean membawa pulang rapor, wanita ini yang akan menandatanganinya. Kemudian, dia akan mengelus kepala Sean dan berkata, "Sudah kutandatangani."Saat itu, Sean yang masih kecil selalu mengeluh, "Guru bilang harus tulis nama lengkap di bawah, nggak boleh cuma inisial."Karena masalah ini, Faye sampai datang ke sekolah untuk mencari wali kelas Sean. "Aku kakaknya, jadi n
Wajah dingin Sean terlihat sangat tegang. Dia mendongak dan bertanya dengan tidak percaya, "Baru 20 tahun?""Ya." Sofyan menyahut, "Menurut data yang ada, Nona Zara ini memang baru berusia 20 tahun.Sofyan tahu isi pikiran Sean. Dia menunduk dan meneruskan, "Aku sudah tanya kepada para ahli. Mereka bilang kalau wanita pintar merawat diri, mereka bisa terlihat lebih muda 10 tahun."Sean memejamkan matanya dan tersenyum getir. "Daripada berharap mereka adalah orang yang sama, lebih baik diselidiki dulu. Wajahnya memang asli atau hasil oplas?"Sofyan termangu sejenak sebelum mengiakan, "Baik, aku selidiki sekarang juga.""Buat janji juga dengan wanita bernama Zara itu." Sean menunduk menatap foto di atas meja. Sambil tersenyum dingin, dia meneruskan, "Wanita ini berani menculik Garry dengan mobil keluarganya, bahkan menyuruh pengawal pribadinya menampakkan diri.""Baik."Selah Sofyan pergi, Sean berdiam di ruang kerjanya sambil mengamati beberapa foto itu. Samar-samar, dia bisa melihat be
Dengan demikian, Tiffany tertidur lagi di pelukan Sean.Ketika bangun kembali, waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi lewat. Dia menguap, lalu berbalik, tetapi tidak menemukan sosok Sean.Tiffany pun berhitung. Pukul 5 pagi ke pukul 10 pagi, Sean tidur kurang dari 5 jam. Apa badannya bisa tahan?Setelah berguling berkali-kali di ranjang, Tiffany memutuskan untuk mengajak Sean tidur lebih awal malam ini.Saat ini, Tiffany sontak teringat pada Julie. Semalam Julie mabuk dan memeluk Mark dengan manja. Dia merekam semuanya. Hari ini, dia akan mengejek Julie!"Masa aku berlebihan seperti itu?" Julie yang berada di ujung telepon tidak memercayai perkataan Tiffany. "Aku nggak percaya aku melakukan hal semacam itu. Aku wanita baik-baik.""Hahaha!" Tiffany tertawa terbahak-bahak. "Julie, kamu pintar sekali berbohong.""Aku nggak bohong!" Julie mencebik. "Kalau kamu benaran punya videonya, kirim kasih aku.""Oke." Tiffany sungguh bersemangat sekarang. "Kebetulan aku belum makan. Gimana kalau kita
Ucapan Niken tidak bisa meyakinkan Tiffany. Saat Tiffany hendak bertanya lagi, Kendra dan Indira sudah menyajikan makanan.Niken yang duduk di samping Tiffany berujar, "Kita jarang bisa makan bersama. Panggil anak-anak dan ibumu kemari."Kendra tertegun sejenak, lalu mengangguk dan menyahut dengan hormat, "Oke."Tak lama kemudian, suasana menjadi ramai. Jonas dan Jones duduk bersama. Mereka yang penasaran memandangi wanita paruh baya di samping Tiffany.Bertha yang duduk agak jauh melihat Niken dan Tiffany sambil tersenyum lebar. Dia berkomentar, "Benar-benar mirip! Sudah kubilang, Tiffany sangat cantik. Dia pasti mewarisi gen ibunya yang bagus."Niken tersenyum kepada Bertha dan membalas, "Terima kasih. Tapi, cuma parasnya yang mirip denganku. Kepintarannya masih kalah jauh dariku."Bertha langsung merasa tidak senang. Dia menanggapi, "Tiffany sangat pintar!"Niken menimpali, "Kepintarannya nggak mirip denganku. Mungkin dia mirip ayahnya."Bronson dan Tiffany sama-sama tidak tahu keke
Sewaktu Niken baru sampai ke kediaman Keluarga Rimbawan, Xavier belum genap berusia 10 tahun. Kala itu, dia masih polos.Ibu Xavier sudah meninggal dan ayahnya sering mabuk-mabukan. Hanya pembantu yang menjaga Xavier dan Jayla di rumah.Suatu hari, Xavier tersesat saat bermain sendirian di halaman. Dia sampai di ruang bawah tanah tempat Niken dikurung. Itu adalah pertama kalinya Xavier mempunyai ingatan yang mengerikan.Ruang bawah tanah itu lembap dan gelap. Hanya ada cahaya lampu kuning. Seorang wanita yang rambutnya berantakan dikurung dalam kandang.Sepertinya wanita itu disiksa dengan kejam. Sekujur tubuhnya dilumuri darah. Xavier yang baru berusia 7 tahun berteriak, "Hantu!"Niken mendongak. Kedua matanya sangat jernih. Dia memandang Xavier dan berucap sembari tersenyum, "Nak, di sini nggak ada hantu. Jangan takut."Suara Niken sangat lembut hingga membuat Xavier hampir meneteskan air mata. Suaranya sangat mirip dengan suara ibunya Xavier, begitu pula tatapannya yang lembut. Namu
Tiffany memandang Niken dengan ekspresi terkejut sambil berucap, "Jadi ...."Sejak menyuruh Xavier kembali ke Kota Aven, Niken sudah berencana untuk mengakui Tiffany? Jadi, sejak awal Niken tidak berniat mencelakai Kendra. Niken hanya ingin Kendra membantunya dan Tiffany saling mengakui.Niken meminum teh, lalu menimpali, "Iya. Karena kita sudah saling mengakui, aku nggak usah mengganggu Kendra lagi. Kalau dia mau lanjut jadi pengawalku, juga nggak masalah. Kalau nggak, dia juga bisa buka toko kecil bersama istrinya."Niken tersenyum dan menambahkan, "Mungkin waktu aku hampir mati, aku bisa hidup bersama mereka. Bagaimanapun, sekarang margaku juga Maheswari."Tiffany mengatupkan bibirnya seraya mengepalkan tangannya dengan erat. Mereka baru duduk di sini kurang dari 10 menit, tetapi Niken sudah mengungkit tentang kematian 3 kali.Tiffany mempunyai firasat Niken tidak mungkin berbicara seperti ini tanpa alasan. Apa ....Tiffany merasa sedih. Dia ingin menggenggam tangan Niken. Namun, Ni
Xavier mengingatkan, "Tiffany baru mengakuimu. Kalau kamu bicara begini, Tiffany mengira kamu mengidap penyakit parah."Niken tertegun sejenak, lalu berbalik dan tersenyum kepada Xavier. Dia menyahut, "Benar juga. Kita jangan bahas tentang kematian dulu."Selesai bicara, Niken melihat Tiffany dan bertanya, "Tadi kamu panggil aku apa?"Tiffany menjawab, "Aku panggil kamu ... ibu."Tiffany memandang Niken dengan wajah memucat seraya bertanya, "Tadi ... apa maksudmu?"Niken meletakkan cangkir teh dan menyahut, "Nggak apa-apa. Aku cuma merasa mati di tempat seperti ini cukup bagus kalau ke depannya aku punya kesempatan."Kemudian, Niken tersenyum kepada Tiffany sembari menambahkan, "Semua orang pasti akan mati, 'kan?"Tiffany mengatupkan bibirnya. Dia merasa gelisah. Kenapa Niken malah membicarakan tentang kematian pada suasana yang bagus seperti ini? Apa karena dia sudah terbiasa dengan perpisahan atau karena alasan lain?Niken berucap, "Setelah makan malam, kamu beri tahu Bronson aku gan
Seperti Indira, Tiffany juga merasa sangat terkejut. Dia berdiri di belakang Indira, memandang Kendra dan Niken dengan tatapan tak percaya.Barusan pamannya mengatakan ... Niken datang ke sini untuk mengganti nama dan mengakui Kendra sebagai adiknya? Bukan cuma mengganti nama, tetapi juga mengganti marga?!"Hei, kenapa bengong?"Xavier mendekat dan menyenggol bahunya pelan sambil berbisik di telinganya. "Apa kamu merasa sangat tersentuh?""Kemarin setelah kamu cerita semuanya ke aku, aku langsung kasih tahu Niken. Niken bilang itu bukan masalah.""Kalau kamu benar-benar ingin tetap menggunakan nama Tiffany Maheswari dan tetap mempertahankan margamu, dia akan mengganti marga dan namanya, asalkan itu membuatmu bahagia."Hati Tiffany menghangat seketika. Dia mendongak, menatap wanita yang berdiri di pintu masuk itu.Musim gugur mulai membawa hawa dingin, tetapi Niken mengenakan gaun ketat berwarna putih gading dengan bordiran elegan dan dilapisi jaket tipis berwarna putih transparan. Ramb
Sikap Jonas yang gugup justru membuat Indira semakin curiga. Dia mengerutkan alis, langsung mendorong Jonas ke samping, lalu berjalan cepat menuju ruang makan di mana Tiffany berada.Dengan suara keras, pintu ruang makan terbuka lebar.Tiffany yang duduk di dalam, terkejut dan langsung menoleh ke arah pintu. Di sana, berdiri Indira dengan tatapan dingin yang bercampur dengan kemarahan."Tiffany, tempat ini nggak menyambutmu! Aku sudah bilang dengan jelas, aku nggak mau datang ke pernikahanmu dan aku juga nggak mau berurusan denganmu lagi!"Tiffany menggigit bibirnya sambil menatap Indira dengan tatapan penuh rasa sakit. Dia tahu, alasan Indira berbicara seperti itu adalah agar Tiffany bisa melupakan masa lalu dan menerima keluarga barunya.Namun, tatapan dan nada bicara yang dingin itu tetap membuat hati Tiffany terasa seperti dihancurkan. Dengan suara lirih, Tiffany berkata, "Bibi, apa Bibi benar-benar sebenci itu sama aku?"Indira mendengus dan memutar matanya. "Ya, benar!""Tapi ...
"Kak Tiffany?" Jonas tampak sangat bersemangat begitu melihat Tiffany."Apa yang kamu lakukan di sini?" Tiffany yang sama-sama terkejut langsung berdiri dari kursinya, lalu memeluk Jonas dengan penuh emosi."Sudah lama sekali kita nggak ketemu! Kenapa kamu bisa ada di sini? Lalu, di mana Bibi?"Jonas menjawab dengan antusias, "Tempat ini adalah restoran pedesaan yang dikelola Ibu! Aku dan Jones lagi libur musim panas, jadi kami membantu di sini!"Wajah remaja itu bersinar dengan kegembiraan. "Kak Tiffany, kenapa kamu bisa datang ke sini? Apa kamu sengaja datang untuk menemui kami karena tahu ini restoran keluarga kami?""Aku ...." Tiffany menggigit bibirnya. "Aku datang ke sini karena ada yang mengundangku makan siang."Tiffany menarik napas dalam-dalam, lalu melanjutkan, "Bibi nggak mau kasih tahu aku di mana kalian berada. Aku bahkan nggak tahu kalian tinggal di sini. Kalau bukan karena undangan makan siang hari ini, aku nggak akan tahu kalian ada di sini dan bahkan membuka restoran
"Tentu saja!" Tiffany melanjutkan dengan suara lembut dan memohon belas kasihan, "Mana mungkin aku tega memaki kamu, kamu itu hebat banget ....""Kalau begitu ...." Sean tersenyum tipis, mendekatkan bibirnya ke telinganya, lalu berbisik dengan suara rendah, "Mari kubuat kamu lebih merasakan betapa hebatnya suamimu."Tiffany terkejut. Dasar pria jahat! Cukup sudah!....Tiffany bangun dengan tubuh lelah dan nyaris kehabisan tenaga pada pukul sembilan pagi lebih. Pukul setengah sepuluh, dia dibangunkan oleh dering telepon dari Xavier."Kelinci kecil, aku sudah di depan rumahmu. Bersiaplah, Niken ingin bertemu denganmu."Tiffany menguap dan melihat waktu di ponselnya, "Aku baru saja bangun, tunggu sebentar ya."Dia masih ingat, kemarin Xavier sudah meneleponnya untuk membuat janji makan siang bersama Niken hari ini. Setelah menutup telepon, Tiffany bergegas berganti pakaian, menyikat gigi, mencuci muka, dan mengoleskan pelembap wajahnya.Hanya dalam waktu sepuluh menit, Tiffany yang sudah
Tiffany mengangguk pelan."Aku mau tidur." Bronson tersenyum tipis."Kalian juga sebaiknya segera istirahat. Anak muda jangan bergadang terlalu larut."Setelah berkata demikian, dia berbalik dan pergi. Tiffany berdiri di tempatnya, wajahnya tiba-tiba memerah. Dia tahu Bronson mungkin hanya ingin menyuruhnya untuk tidur lebih awal.Namun, kenapa ... kenapa dia tiba-tiba memikirkan hal-hal yang tidak senonoh? Apakah ini karena dia terlalu lama bersama Sean, sehingga pikirannya jadi tidak murni lagi?"Apa yang kamu pikirkan?" Saat Tiffany berusaha menenangkan diri dan hendak menepuk-nepuk wajahnya yang panas, suara Sean yang rendah dan penuh tawa tiba-tiba terdengar di telinganya."Tadi Paman bilang, jangan bergadang terlalu larut. Apa yang kamu pikirkan, hm?"Tiffany terdiam. Kamu sudah mendengar dan melihat semuanya, apa masih perlu bertanya?!"Dasar gadis kecil berpikiran jorok." Sean tersenyum, lalu mengangkatnya dengan mudah dan menggendongnya dalam pelukan horizontal. "Kenapa kamu d