Nada bicara Julie penuh dengan ejekan. Alis Valerie langsung berkerut tajam.Meski apa yang dia katakan tadi hanya untuk memancing Mark keluar, tetap saja dia tidak bisa menerima ejekan seperti itu. Kalaupun dia benar-benar berniat mendekati Mark, tetap saja tidak ada yang boleh menghinanya di Kota Aven ini.Secara refleks, dia menoleh ke arah suara Julie. Namun, pandangannya pertama kali tertuju bukan pada Julie, melainkan pada Tiffany yang duduk di sampingnya.Valerie menyipitkan matanya, senyum dingin terukir di sudut bibirnya. "Baru beberapa hari keguguran, sudah keluar pamer diri lagi?"Ejekannya semakin menusuk. "Apa kamu benar-benar nggak bisa tahan untuk tetap di rumah? Tubuhmu belum sepenuhnya pulih, tapi kamu sudah keluar untuk menggoda pria?"Setelah berkata demikian, dia seolah tersadar akan sesuatu. "Bukannya beberapa hari lalu internet dipenuhi gosip tentang hubungan antara Bu Tiffany dan Mark? Sekarang tubuhmu masih belum pulih, tapi kamu sudah datang ke restorannya. Kal
"Tapi ternyata, kamu malah cuma nonton saja dari tadi?"Tiffany tersenyum malu-malu, "Soalnya kamu terlalu hebat, kukira aku menonton saja sudah cukup."Tiffany memang bukan tipe orang yang pintar berdebat. Saat bertengkar dengan orang lain di sekolah, dia pasti menjadi pihak yang dirugikan.Sampai ketika dia kenal dengan Julie. Julie sangat cerdik dan lebih pintar berdebat dibandingkan dirinya. Setiap kali ada masalah, Julie yang selalu membelanya. Lama kelamaan, Tiffany jadi terbiasa menjadi penonton jika ada Julie yang berada di sisinya. Begitu juga dengan kali ini.Sejak Julie mulai berdebat sengit dengan Valerie, Tiffany hanya sibuk menuangkan teh untuk Julie, menyajikan buah anggur yang sudah dikupas, dan memberikan dukungan diam-diam dari belakang. Tiffany sama sekali tidak menyangka bahwa Valerie akan mengalihkan serangannya kepadanya, sehingga dia secara spontan menjawab dengan nada polos.Namun, apa yang dilakukan Tiffany tanpa sadar itu, justru terlihat sebagai cara paling c
Ketika tamparan kelima dari Chaplin mendarat di wajah Valerie, Sean akhirnya melambaikan tangannya. "Sudahlah, demi menghargai Mark, biarkan saja."Mark yang bersandar santai pada pagar tangga spiral, menjawab dengan nada datar, "Kalau kamu khawatir Chaplin akan lelah, katakan saja langsung. Jangan pakai aku sebagai alasan." Dia menambahkan dengan dingin, "Aku nggak pernah mengakui bahwa Bu Valerie ini punya hubungan apa pun sama aku. Jadi, nggak perlu merasa harus menahan diri demiku."Wajah Valerie terasa terbakar ... bukan hanya karena tamparan Chaplin, tetapi juga oleh kata-kata Mark. Mark bilang, dia tidak mengakui punya hubungan apa pun dengan Valerie.Padahal ... Mark adalah kakaknya!Valerie menatap Mark dengan tatapan yang bergetar. Tangannya mengepal dan rileks bergantian di sisi tubuhnya. "Kak, kamu bercanda, 'kan? Aku ini adikmu!""Adik?"Mark tetap bersandar pada pagar tangga spiral sambil tertawa mengejek. "Adik yang mana? Adik yang bertahun-tahun lalu memanggilku pembawa
Dengan kata lain, di seluruh Keluarga Sanskara, semuanya adalah pelayan Sean selain Faris.Sebagai putri Keluarga Sanskara, tidak peduli betapa mulianya Valerie di hadapan semua orang, dia hanya pelayan di mata Sean.Memang benar, Valerie tidak berhak berbicara lancang kepada Sean ...."Lain kali sebelum bicara padaku, tanya ayahmu dulu harus gimana bersikap supaya aku nggak marah. Jangan sampai terulang lagi," ujar Sean sambil bersandar di sofa dengan culas dan memainkan rambut Tiffany.Tiffany menunduk, memegang jaket Sean. Dia sedang membersihkan noda di atas jaket itu.Valerie menggertakkan giginya. Ketika melihat kedekatan Tiffany dengan Sean, hatinya diliputi kecemburuan. Tiffany menyeka noda di jaket Sean, sedangkan Sean memainkan rambut Tiffany! Keduanya jelas-jelas memamerkan kemesraan!Valerie yang berbakat dan terkenal saja tidak berhak berbicara lancang kepada Sean. Lantas, bagaimana dengan Tiffany yang tidak bisa apa-apa? Bagaimana bisa wanita ini memamerkan kemesraan bers
Tiffany membelalakkan matanya, lalu bertanya dengan suara rendah, "Kamu mengenalnya?"Bukankah Mark baru pulang dari luar negeri? Bukankah dia tinggal di luar negeri selama belasan tahun? Bagaimana bisa Julie mengenalnya?Tiffany menyenggol bahu Julie dan bertanya, "Kapan kalian kenal?"Julie menggigit bibirnya. Dia mendongak, lalu melihat Mark dan Sean yang sama-sama naik ke lantai atas. Ekspresi Mark terlihat dingin dan angkuh, membuat hati Julie menegang.Beberapa saat kemudian, Julie mengembuskan napas panjang dan berkata, "Mungkin aku salah kenal orang." Tiffany pun mengernyit. Dia masih ingin berbicara, tetapi Mark dan Sean sudah memasuki ruang privat. Dia pun tidak bertanya lagi dan masuk, lalu duduk di samping Sean.Mark tentu duduk di seberang keduanya. Sementara itu, Julie ragu-ragu sejenak sebelum duduk di samping Mark.Hidangan di meja sangat mewah. Setiap hidangan dimasak oleh koki dengan sepenuh hati. Ini pertama kalinya Tiffany melihat hidangan yang begitu menggugah sele
Setelah pintu ruang privat ditutup kembali, Tiffany beserdawa dan mendongak melirik Sean. "Sayang, kenapa kamu mengusirnya?"Sean menunduk dan menyeka noda makanan di sudut bibir Tiffany dengan penuh kasih sayang. "Ada dua alasan. Pertama, aku nggak ingin orang lain melihat serakus apa kamu saat menggerogoti paha ayam."Tiffany termangu. Dia melirik paha ayam yang ada di piringnya. Seketika, wajahnya tersipu. Koki di sini terlalu hebat. Begitu memasuki ruang privat, dia langsung terpana dengan paha ayam yang berwarna coklat keemasan itu.Namun, setelah diletakkan di atas piring, Tiffany merasa malu jika harus menggerogoti paha ayam di hadapan Mark yang masih belum terlalu akrab dengannya. Makanya, dia tidak memakan paha ayamnya sejak tadi."Cepat dimakan." Sean mengelus kepala Tiffany. "Kalau kamu suka makanan di sini, aku bisa merekrut koki mereka."Sejak menikah sampai sekarang, Tiffany tidak pernah berkomentar tentang makanan di rumah. Apa pun yang dimasak pelayan di rumah, Tiffany
Setelah Tiffany selesai menggerogoti paha ayam, kedua orang di luar masih belum masuk. Tiffany mengelus perutnya yang kenyang dan bertanya, "Kenapa mereka belum balik? Mereka nggak lapar ya?"Kalau tidak salah ingat, sepertinya mereka berdua masih belum makan sejak siang tadi?Sean terkekeh-kekeh. "Kalau kamu nggak mencari mereka, mereka nggak bakal masuk.""Kenapa begitu?" Tiffany tidak mengerti.Sean mengecup pipinya, lalu menyahut, "Mereka akan mengira kita sedang melakukan sesuatu yang tak senonoh di sini."Tiffany termangu sejenak sebelum memahami ucapan Sean. Seketika, wajahnya memerah. Dia pun bangkit dan keluar.Di koridor, Mark sedang merokok di sudut. Julie sedang bermain game di kursi samping. Jarak di antara keduanya sangat jauh. Mereka sama sekali tidak berinteraksi seperti yang dibayangkan Sean.Tiffany mencebik, lalu menarik Julie ke ruang privat. Di depan pintu, Julie menoleh menatap Mark. "Kamu nggak masuk?"Mark tidak menyangka Julie akan berbicara dengannya. Setelah
Tiffany yang bersandar di bahu Sean tampak menguap. Kemudian, dia berkata, "Antar Julie pulang. Jangan ambil kesempatan dalam kesempitan!"Mark mendorong Julie yang mabuk sambil berujar, "Bangun."Julie bangkit, lalu terkekeh-kekeh dan mengelus dada Mark. "Tampan ...."Mark mengernyit dan menarik tangan Julie dari tubuhnya. Namun, Julie malah meletakkan tangannya yang satu lagi dan berkata, "Biar kusentuh sedikit ...."Sean pun tergelak melihat pemandangan di depan, lalu berujar kepada Tiffany, "Kamu seharusnya khawatir Julie yang mengambil kesempatan dalam kesempitan."Tiffany sungguh kehabisan kata-kata. Sean pun tidak memedulikan mereka lagi. Dia langsung menggendong Tiffany dan turun, lalu masuk ke mobil.Di perjalanan pulang, Tiffany bersandar di pelukannya sambil tertidur. Setelah mobil tiba di vila, Sean menggendongnya ke kamar dan menurunkannya di ranjang dengan pelan.Di bawah sinar lampu, Sean bisa melihat wajah Tiffany dengan jelas. Wajah Tiffany memerah, membuatnya terlihat
Saat ketiganya sudah menjauh dari lokasi kebakaran, warga desa sudah tiba. Orang-orang dari klub fotografi juga sudah kembali.Warga desa sibuk memadamkan api. Sementara itu, Julie bergegas mendekat dengan mata merah. "Tiffany!" panggilnya.Di belakang Tiffany, Sean menurunkan Zara yang pingsan karena menghirup asap ke tanah. Dia berkata, "Panggil dokter."Chelsea menyahut sambil mengangguk, "Dokter sudah dalam perjalanan!"Kobaran api kian membesar. Semua orang mundur ke jalan kecil di luar halaman. Tiffany masih memegang kamera berharga di tangannya."Kenapa bisa tiba-tiba kebakaran? Tanah di pegunungan lembap, seharusnya nggak mudah terbakar!" ucap Chelsea sambil mondar-mandir dengan gelisah.Sean mengambil handuk yang diberikan Julie dan menyeka noda jelaga di wajahnya sambil berkata, "Nggak aneh kalau ada seseorang yang sengaja menyulut api.""Zara!" Tepat ketika Sean selesai bicara, Penny menyeruak dari tengah kerumunan. Dia langsung menggenggam tangan Zara, cemas saat melihat ba
Sebelum Tiffany menyelesaikan ucapannya, Sean melihat gadis mencurigakan tadi mengeluarkan benda kecil dari sakunya. Mata pria itu membelalak. Benda itu adalah korek api!Gadis itu melempar korek api ke tanah yang sudah dibasahi bensin. Seketika, api mulai berkobar. Api menyala di belakang rumah, jadi Tiffany yang berdiri di depan dan membelakangi rumah sama sekali tidak sadar.Sean mengeratkan pegangannya di ponsel dan berseru, "Cepat lari!"Tiffany tertegun. Mengapa Sean menyuruhnya lari? Dia refleks menoleh ke belakang. Api yang menyentuh bensin membubung tinggi ke langit. Seantero rumah seakan-akan sudah dilahap mulut yang tidak berwujud.Sean melempar ponselnya dan melompat dari beranda sambil berteriak, "Tiffany, lari!"Namun, gadis itu sepertinya tidak mendengar seruannya. Tiffany melepas mantel dan mencelupkannya ke dalam tangki air. Kemudian, dia bergegas masuk ke dalam rumah yang tengah terbakar dengan menutupi hidung dan mulutnya. Zara masih tidur di dalam!"Uhuk, uhuk, uhuk
Tiffany tidak tahu mengapa Zara tiba-tiba mengatakan hal ini padanya. Namun, dia balas tersenyum dan berkata, "Istirahatlah." Usai berkata begitu, gadis itu mengambil ponselnya dan keluar.Sekarang sudah pukul 8 malam. Tiffany sudah berjanji akan menelepon Sean pada pukul 7 malam untuk melaporkan keadaannya. Entah pria itu akan marah atau tidak karena dirinya terlambat satu jam penuh.Tiffany berdiri di halaman. Sambil bersandar di dinding, dia mengambil ponsel dan menelepon suaminya.Di sebelah kiri halaman, ada vila yang disewa oleh klub fotografi. Saat ini vila itu masih gelap gulita. Di sebelah kanan, ada vila yang konon sudah disewakan ke seorang konglomerat. Vila itu terang benderang.Sean duduk di beranda vila, memandang gadis yang berdiri di halaman yang diterangi sinar rembulan. Saat melihat ponselnya berdering, dia tersenyum tipis."Akhirnya mau menghubungiku?" tanya Sean."Maaf, Sayang. Aku nggak bermaksud lupa buat telepon ...," ucap Tiffany, langsung meminta maaf.Pukul 7
Tiffany mengernyit. Meskipun hatinya enggan, dia tidak enak hati menolak Zara di depan banyak orang.Selain itu, Tiffany lebih familier dengan jalan-jalan di desa pada malam hari. Jadi, dia tidak perlu khawatir Zara macam-macam padanya."Oke," sahut Tiffany sambil mengangguk dengan ragu. Kemudian, dia menatap Julie dan berkata, "Habis makan kamu juga cepat kembali, ya."Julie mengernyit dan mengangguk pelan."Ayo jalan," ajak Tiffany.Zara memikul ranselnya dan berjalan menuju vila bersama Tiffany.Malam hari di desa sangat sepi. Yang terdengar di telinga hanyalah suara air, gemeresik dedaunan, suara langkah kaki mereka, dan suara hewan di kejauhan. Zara menghirup udara segar di sana. Suasana hatinya cukup baik."Kudengar kamu tumbuh besar di desa, ya?" tanya Zara dengan tenang.Tiffany mengernyit saat mendengar pertanyaannya. Dia berjalan di depan sambil membawa senter dan menjawab singkat, "Ya.""Lingkungan desa sebenarnya cukup menyenangkan. Daripada di kota, aku lebih suka desa yan
Tiffany mengernyit jengkel. Apa maksudnya dengan tidak peka? Waktu pacaran Samuel dan Julie bahkan belum mencapai sebulan.Selama jangka waktu ini, sikap Samuel pada Julie juga tidak sehangat saat dia masih mengejar gadis itu sebelumnya. Apa haknya untuk menuntut sekamar dengan Julie?Lagi pula, hubungan Samuel dan Julie belum berkembang ke tahap itu. Bahkan jika hubungan keduanya sudah semaju itu, atas dasar apa Samuel bisa meminta Tiffany tidur di luar sendirian sementara dirinya dan Julie tidur di dalam?Chelsea duduk di sebelah Tiffany dan tertawa kecil. Dia berucap, "Samuel, apa maksudmu dengan nggak peka? Kalau nggak ada gadis lain yang sekamar denganku, aku pasti sudah tukar tempat denganmu dan tidur dengan mereka berdua."Samuel mengambil pecahan kaca dan membalas dengan kepala tertunduk, "Aku pacarnya Julie. Apa salahnya kalau aku ingin tidur dengannya?" Jika bukan demi memperdalam hubungannya dengan Julie, buat apa dia repot-repot mengikuti kegiatan klub fotografi ini?"Ada s
Siapa sangka, setelah Zara selesai bicara, Samuel yang merupakan salah satu penanggung jawab klub fotografi mengangguk dan berkata, "Kurasa kata-kata Zara ada benarnya."Semua orang terkejut. Samuel, Tiffany, dan Julie adalah orang-orang pertama yang memilih kamar. Jika alokasi kamar disesuaikan dengan urutan pendaftaran, mereka akan mendapatkan kamar terbaik. Namun, sekarang pemuda itu malah setuju untuk melakukan cabut undi.Orang-orang di vila terdiam untuk beberapa saat. Akhirnya, salah satu gadis penanggung jawab menghela napas dan berucap dengan pasrah, "Okelah, ayo cabut undi."Di antara belasan orang ini, enam orang harus tinggal di rumah desa. Lantaran hari sudah larut, semua orang segera melakukan cabut undi.Hasilnya, gadis penanggung jawab klub fotografi dan temannya, serta Julie, Tiffany, Samuel, dan seorang pemuda lainnya harus tinggal di rumah desa itu.Saat beberapa orang itu tengah berkemas, Penny mengejek Tiffany dengan nada puas, "Kamu memang paling cocok tinggal di
Entah disengaja atau tidak, Samuel mengerahkan cukup tenaga hingga Zara hampir terjatuh ke dalam pelukannya. Untungnya, Zara sempat menstabilkan tubuhnya dengan memegang lengan Samuel sehingga hal itu tidak terjadi."Terima kasih," ujar Zara dengan raut pucat.Samuel membalas dengan wajah tersipu, "Sama-sama.""Cowok jelek, kamu cari kesempatan untuk menyentuh Zara!" seru Penny sambil memelototi Samuel. Dia segera mendekat, lalu menarik Zara pergi.Sebelum beranjak pergi, Zara melirik Samuel sekali lagi. Dia melihat binar antusias dan kegembiraan di mata pemuda itu.Mata Zara berkilat dingin. Jadi, pemuda itu pacar Julie? Tidak ada bagus-bagusnya."Ayo jalan," ucap Julie sambil mengernyit. Dia mendekat sambil membawa kopernya.Tiffany menghampiri temannya dan bertanya dengan alis berkerut, "Kamu lihat kejadian tadi, 'kan?" Dia memandang dengan cemas ke arah Samuel yang masih mengambil barang-barang dari bus bersama orang-orang klub fotografi."Biarpun dia hanya berniat membantu, dia bi
Zara mengenakan gaun panjang bunga-bunga warna putih dan topi matahari. Dengan wajah dan penampilannya yang feminin, dia terlihat sangat menawan saat memandang ke luar jendela.Samuel juga tertegun untuk sesaat saat melihat Zara. Sebelumnya, dia hanya tahu bahwa Julie cantik dan Tiffany manis.Samuel tidak tahu ternyata ada gadis secantik Zara di kelas mereka. Kecantikan gadis itu berbeda jauh dengan Julie. Zara sangat memesona, anggun, dan elegan.Begitu melihat kedua orang itu di dalam bus, Tiffany sontak bertanya sambil mengernyit, "Apa mereka juga anggota klub fotografi?"Seingat Tiffany, Zara baru pindah ke sini beberapa hari lalu. Sejak kapan dia menjadi anggota klub fotografi?Lamunan Samuel buyar. Dia berdeham dan menjawab, "Mereka baru gabung beberapa hari lalu, aku juga baru tahu.""Mungkin karena kita pergi, jadi mereka sengaja ikut. Seperti hantu saja, nempel terus sama kita," ucap Julie sambil mengangkat bahu. Dia memutar bola matanya dengan galak ke arah kedua orang itu.
Akhir bulan tiba dengan cepat. Pada hari keberangkatan klub fotografi, Tiffany bangun pagi-pagi sekali.Ini adalah pertama kalinya Tiffany bepergian jauh setelah menikah. Perjalanan ke desa tempo hari juga jauh, tetapi bagaimanapun itu adalah kampung halamannya. Kegiatan klub fotografi di Kabupaten Purjaga ini barulah bepergian jauh yang sebenarnya.Pagi-pagi buta, Rika sudah bangun untuk menyiapkan barang-barang Tiffany. Dari pakaian dalam, pakaian anti UV, hingga jas hujan. Semua Rika kemas hingga memenuhi dua koper besar.Sambil mengeluarkan barang-barang di dalam koper, Tiffany berucap dengan malu pada Rika, "Aku hanya pergi tiga hari dua malam, nggak perlu bawa sebanyak ini."Rika menggeleng dan membalas, "Bu Tiffany, cuaca di pegunungan nggak menentu. Gimana kalau tiba-tiba panas, lalu tiba-tiba dingin? Gimana kalau hujan? Gimana kalau ada topan?"Tiffany kehilangan kata-kata. Meski merasa Rika terlalu cemas berlebihan, hatinya terasa hangat.Saat Tiffany masih tinggal bersama ke