Tiffany mundur selangkah secara refleks. Mana mungkin ... bisa kebetulan seperti ini? Awalnya Tiffany berpikir bahwa masalah ini sederhana. Jika dia bisa membuktikan bahwa Mark tidak berada di negara ini saat dia hamil, maka semua kebohongan akan terungkap.Namun kenyataannya, Mark benar-benar diam-diam kembali ke negara ini dua minggu lalu? Dia kembali sehari, lalu pergi keesokan harinya. Waktunya sangat tepat dengan masa kehamilan Tiffany. Masalah yang seharusnya bisa dijelaskan dengan mudah, kini menjadi lebih rumit.Tiffany menoleh dan menatap Mark dengan tatapan kosong. "Kenapa kamu kembali ke negara ini waktu itu? Apa kamu punya saksi yang bisa membuktikannya?"Wajah Mark berubah pucat. Dia sendiri tidak menyangka bahwa Shani akan membawa catatan imigrasinya ke hadapan semua orang. Dia menutup matanya sesaat dan menjawab dengan suara pelan, "Aku kembali untuk mengurus beberapa urusan pribadi. Nggak ada ... saksi."Tiffany mengepalkan tangannya, lalu membuka dan menggenggamnya kem
Wajah Tiffany langsung pucat pasi. Di atas panggung, Garry melirik Tiffany dengan ekspresi penuh kemenangan. Dia mengangkat tangannya, mengambil pena, dan bersiap untuk menandatangani kontrak dengan Shani.Hati Tiffany terasa hancur.Apakah dia benar-benar seburuk ini? Hal sesederhana ini saja tidak bisa dia selesaikan. Dia ingin membersihkan namanya, tapi malah memperburuk situasi ...."Tandatangani apaan!"Julie akhirnya kehilangan kesabaran. Dia mengambil cangkir teh dari meja di sebelahnya dan melemparkannya langsung ke arah Garry. "Belum pernah aku melihat pria nggak tahu malu begini!"Garry tidak menyangka Julie akan menggunakan kekerasan. Dia bahkan tidak sempat menghindar ketika cangkir itu menghantam dadanya. Teh dan daun teh di teko itu tumpah ke seluruh tubuhnya.Ketika seorang petugas mencoba membersihkan bajunya, Garry tetap memegang mikrofon dengan sikap berpura-pura besar hati. "Sahabat Bu Tiffany, aku tahu kamu nggak puas.""Tapi, daripada membuang waktu untuk menyerang
Garry mundur selangkah. Meskipun dia berasal dari desa, dia bisa membaca ekspresi para wartawan di ruangan itu. Posisi Faris adalah sesuatu yang tidak bisa digoyahkan. Dia menggigit bibirnya, lalu menatap Faris dan berkata, "Tentu saja saya puas.""Dengan saksi seperti Anda, seorang pria yang dihormati semua orang, bahkan sesuatu yang hitam sekalipun bisa dianggap putih. Mana mungkin saya nggak puas?"Ruangan kembali menjadi gempar. Pernyataan Garry sangat jelas. Dia sedang menyindir bahwa Faris memihak Mark.Mark langsung naik ke panggung dan menatap Garry dengan tatapan penuh amarah. "Garry, kamu akan tanggung akibatnya ngomong seperti itu!"Garry hanya tertawa kecil. "Oh? Kamu mau mukul aku lagi?" Dia menunjuk wajahnya yang penuh luka-luka dari riasan efek khusus. "Sudah dipukuli sampai begini, aku nggak keberatan menambahkan beberapa luka lagi!"Ucapan itu segera membuat beberapa orang di antara penonton merasa kasihan padanya.Julie mengepalkan tangannya. "Wah, orang ini pintar se
Sean dan Tiffany tinggal di sisi lain kota. Terlihat jelas dari rekaman bahwa Mark sama sekali tidak pernah pergi ke sana. Kebenaran akhirnya terungkap.Garry secara refleks mundur selangkah. Dia menarik napas panjang dan berkata, "Ka ... kalaupun anak Tiffany bukan punya Mark, itu tetap nggak mengubah fakta bahwa kalian menindasku. Kalian semua cuma sekelompok orang yang menyalahgunakan kekuasaan!"Untuk mendapatkan dukungan dari wartawan yang masih bersimpati, Garry memutar ulang rekaman suara yang sebelumnya telah dia unggah ke internet."Di siaran langsung sebelumnya kamu bilang kamu didesak sampai kamu buntu, 'kan? Sekarang kutunjukkan padamu, apa yang namanya buntu."Rekaman itu berisi suara Sean yang terdengar seperti ancaman.Sean yang berdiri di panggung, hanya tersenyum dingin. Tatapan matanya tajam saat menatap Garry. "Jangan kira cuma kamu yang bisa merekam pembicaraan."Dengan santai, dia membuka file lain di layar besar."Kamu masuk ke lembaga penelitian ini karena koneks
Konferensi pers akhirnya selesai.Para wartawan yang sebelumnya datang dengan niat untuk menyerang Sean, Mark, dan Tiffany, kini menghadapi kenyataan yang berbeda. Banyak dari mereka bahkan telah menyiapkan artikel penuh kecaman, tinggal menambahkan foto dari konferensi pers tersebut.Namun, kejutan besar yang terjadi membuat semua rencana mereka berantakan!Karena takut dikenali oleh Sean dan menciptakan masalah di masa depan, begitu Sean mengumumkan berakhirnya konferensi pers, para wartawan langsung bubar. Sean tersenyum tipis dengan tenang.Dia berbalik melemparkan tatapan dingin ke arah Shani yang bersandar pada dinding dengan tangan bersilang di dada. "Bu Shani, apa Anda puas dengan hasil hari ini?"Mark yang tidak ingin ketinggalan, ikut menyindir, "Bu Shani, sampaikan pada Tuan Besar Grup Lukman di rumah, kalau mau membangun citra perusahaan, ada cara yang lebih baik daripada ini."Shani tertawa dingin, lalu menatap Sean dengan mata tajam. "Jadi, Pak Sean, ternyata kamu masih b
"Yang tadi itu, sepuluh poin," ujar Sean santai.Mark mengerutkan alis, merasa firasat buruk mulai merayap di pikirannya. "Sepuluh poin, ya sudah sepuluh poin. Tapi kenapa kamu bilang sama aku?""Karena aku serahkan ini padamu."Mark langsung memprotes, "Kenapa aku? Kenapa pekerjaan yang bikin orang marah ini harus aku yang tangani?""Sepuluh kali lipat gaji.""Oke! Akan kuurus!" Mark mengepalkan tangan dengan semangat. "Tenang saja, semuanya akan beres!""Bagus."Sean membuka pintu mobil untuk Tiffany dengan elegan. "Aku belum makan seharian. Pulang atau makan di luar?"Saat itu, Tiffany baru teringat bahwa dia, Julie, dan Mark juga belum sempat makan siang."Makan di luar saja, kita makan sama-sama." Saat ini sudah jam 4 sore, Rika pasti belum menyiapkan makan malam. Pulang di jam segini hanya akan membuatnya repot."Boleh juga."Sean tersenyum tipis, lalu melirik Mark. "Naik ke mobil, kutraktir kamu.""Siap, Bos!" Mark tampak semangat dan langsung menuju kursi belakang."Kamu yang n
Saat mobil berhenti di depan restoran, Tiffany menjadi orang pertama yang membuka pintu dan turun Angin sejuk di luar membantu mendinginkan wajahnya yang masih terasa seperti terbakar.Julie adalah orang kedua yang turun. Sama seperti Tiffany, wajahnya juga memerah, bahkan lebih jelas terlihat di bawah cahaya sore."Julie," panggil Tiffany sambil refleks mengulurkan tangan dan menyentuh pipi Julie."Wajahmu panas sekali. Kamu sakit?" tanyanya khawatir.Julie mengerlingkan mata ke arah Tiffany dengan gusar. "Kamu sendiri juga kelihatan nggak sehat, 'kan?"Tiffany menyentuh wajahnya sendiri yang masih terasa panas. "Aku ... aku begini karena ...."Tiba-tiba dia terdiam dan kepikiran akan sesuatu. Matanya langsung menatap Julie dengan serius. "Apa yang dilakukan Mark padamu?" Wajah Julie langsung semakin merah. "Apa yang bisa dia lakukan? Aku nggak memukulnya saja sudah cukup sopan."Setelah menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, Julie mendongak menatap restoran di depan mereka
Apakah ... kehadiran Faris hari ini membuatnya teringat dengan kesedihannya?"Julie?" Melihat Julie yang mematung di tempat, Tiffany melepaskan gandengannya dari Sean dan berlari kecil ke sisi Julie. Kemudian, dia menarik lengan Julie untuk masuk ke restoran. "Kenapa bengong saja?"Julie akhirnya tersadar dari lamunannya dan mengikuti Tiffany masuk ke restoran.Di dalam, aula utama Restoran Prosper dipenuhi dekorasi mewah. Lampu gantung besar yang berkilauan dan ornamen bergaya klasik menciptakan suasana yang elegan dan menawan. Sean yang baru saja masuk bersama mereka, segera menerima panggilan kerja penting dan berjalan menjauh untuk berbicara di telepon.Sementara itu, Mark, yang jarang datang ke restorannya sendiri, langsung diseret oleh salah satu manajer ke lantai atas untuk membahas laporan kinerja.Sebelum pergi, Mark meminta manajer untuk membawa Tiffany dan Julie ke salah satu ruang VIP dan mempersilakan mereka menunggu di sana.Namun, setelah masuk ke ruang tertutup itu, Tif
Kepala Lena langsung terpelintir ke samping karena tamparan itu. Dia menjilat darahnya yang amis dan manis di sudut bibirnya, lalu menatap Miska yang menamparnya dengan tatapan yang dingin. "Kamu pikir kamu ini siapa?"Miska menatap Lena dengan dingin dan berkata, "Aku ini tunangan pria yang di dalam. Karena kamu, tunanganku baru jadi seperti sekarang. Kalau terjadi apa-apa padanya, aku nggak akan memaafkanmu."Setelah menatap Miska dengan tatapan menyindir selama beberapa saat, Lena tertawa. "Kamu adalah tunangannya pria itu? Kalau begitu, kamu benar-benar kasihan. Kalau kamu nggak bilang, aku akan mengira kamu ini adiknya Tiffany. Kemungkinan besar, pria itu bersamamu karena menganggapmu sebagai pengganti Tiffany, 'kan?"Setelah mengatakan itu, Lena melanjutkan sambil menggelengkan kepala dan ekspresinya terlihat kasihan. "Sayang sekali. Meskipun sudah ada kamu yang sebagai pengganti, hatinya tetap nggak bisa melupakan Tiffany. Kalau nggak, dia juga nggak akan menabrak truk itu demi
"Aku Miska, panggil aku Miska saja." Gadis itu meremas tali ranselnya dan bertanya dengan cemas, "Katanya dia mau datang duluan untuk kasih kamu kejutan. Kenapa tiba-tiba kecelakaan?"Tiffany memejamkan matanya, tidak tahu harus menjelaskan dari mana untuk sesaat. Namun, dia tetap menatap gadis itu dan berkata, "Miska, kamu ... harus menyiapkan mentalmu. Cedera Xavier kelihatannya cukup parah."Miska tertegun, baru menyadari betapa serius situasinya. Mata bulatnya yang hitam sontak menjadi suram. "Dia ... dia nggak apa-apa, 'kan? Kami baru saja ... tunangan."Kalau saja Miska tidak menyebut itu, mungkin Tiffany bisa menahan diri. Namun, begitu kalimat itu dilontarkan, rasa sakit langsung menyayat hatinya.Semua ini salahnya. Karena kebaikannya sendiri, dia memberi celah bagi kakak beradik itu untuk menyakitinya.Seandainya hari itu dia berbicara terus terang kepada Sean soal kejadian tiga tahun lalu, seandainya dia membongkar kebohongan Vivi, mungkin Xavier yang jauh-jauh datang untuk
Di belakang mereka mulai terdengar teriakan, ada yang mulai menelepon polisi. Suara sirene mobil patroli dan ambulans pun terdengar bersahut-sahutan.Tiffany terdiam dalam pelukan Sean, matanya masih tertutup oleh telapak tangan pria itu. Dia seperti boneka yang kehilangan jiwanya, bersandar lemas di dadanya."Xavier ... dia baik-baik saja, 'kan?""Dia akan baik-baik saja." Sean memeluknya erat. "Dia sudah dibawa ambulans untuk mendapatkan pertolongan. Kita ke sana ya.""Ya ...." Tiffany masih bersandar di pelukannya, suaranya lirih. "Sean, kamu yakin nggak salah lihat? Dia bilang besok baru sampai dan bawa tunangannya ke sini .... Gimana mungkin .... Nggak mungkin. Dia seharusnya masih di luar negeri sekarang ...."Nada suaranya pilu.Sean memeluknya lebih erat. "Mungkin dia mau kasih kejutan untukmu." Suara berat Sean terdengar serak. "Tadi dia telepon aku, tanya kamu di mana.""Aku bilang kamu di lembaga penelitian. Setelah itu, dia langsung matiin telepon. Sepertinya dia datang leb
"Tiff ... kamu benaran cuma butuh dua hari untuk menyelesaikan makalah serumit ini?"Di dalam kantor Risyad, Tiffany tersenyum sambil menatapnya. "Ini semua berkat bimbingan Pak Risyad yang luar biasa. Aku tahu kamu sangat menghargaiku, jadi aku nggak berani menyepelekan tugasku. Makanya, aku buru-buru menyelesaikannya."Risyad yang memakai kacamata tebal itu pun memancarkan kebanggaan dan kekaguman. "Anak muda memang luar biasa! Penuh semangat, penuh energi, dan punya kemampuan!"Saking semangatnya, Risyad menahan Tiffany untuk mengobrol. Sampai akhirnya ada yang mengetuk pintu dari luar, barulah Tiffany bisa terbebas dari pembicaraan panjang Risyad yang sangat antusias.Saat Tiffany keluar dari lembaga penelitian, waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore. Matahari masih bersinar, tetapi cahayanya terasa lembut.Saat berdiri di depan gerbang lembaga penelitian, Tiffany meregangkan badan sambil menarik napas lega. Beban besar di hatinya akhirnya terangkat.Beberapa hari ke depan, tugasnya
Xavier dan tunangannya dijadwalkan tiba di Kota Aven tiga hari lagi. Agar punya waktu untuk menemani tunangan Xavier jalan-jalan di Kota Aven, Tiffany sampai mengambil cuti beberapa hari dari lembaga penelitian.Untungnya, pihak lembaga cukup pengertian. Meskipun Tiffany baru bekerja di sana, setiap kali dia meminta cuti, atasan selalu menyetujui tanpa banyak tanya."Tapi, Tiff ...." Suara Risyad terdengar dari seberang telepon, diiringi batuk kecil. "Aku ingat kamu janji, selama beberapa hari ini di rumah, kamu bakal menyelesaikan jurnal penelitianmu, 'kan?"Tiffany buru-buru mengangguk. "Tenang saja, Pak! Sebelum masa cuti habis, aku pasti akan kirim jurnal penelitianku ke lembaga! Aku nggak pernah ingkar janji kok!"Suaranya yang tegas dan meyakinkan membuat Risyad tertawa. "Oke, jangan sampai kamu ingkar janji ya!"Setelah mengobrol sebentar, Tiffany langsung merengek manja pada Sean untuk mengantarnya pulang agar bisa segera menulis jurnal.Meskipun mengatakan akan menyelesaikanny
Begitu selesai bicara, Xavier langsung mengakhiri panggilan.Di sisi lain, Tiffany masih memegang ponsel dengan perasaan yang menggebu-gebu. Xavier akhirnya menemukan cinta sejatinya! Bagi Tiffany, ini benar-benar adalah kabar bahagia!Selama lima tahun terakhir, Xavier selalu ada di sampingnya, menjaga janji yang pernah dia ucapkan pada mendiang ibunya. Tiffany bahkan sempat khawatir, apakah Xavier akan selamanya membujang demi merawatnya?Dia bahkan pernah berpikir, kalau dia akhirnya balikan dengan Sean dan meninggalkan Xavier begitu saja, bukankah itu terlalu kejam?Apalagi selama lima tahun ini, perhatian Xavier padanya benar-benar tak ada duanya. Bahkan, Xavier tidak sebaik itu terhadap adik kandungnya sendiri, Jayla.Tiffany benar-benar tidak tahu bagaimana harus membalas kebaikan Xavier. Kini, karena Xavier sudah menemukan cinta sejatinya, dia akhirnya merasa lega.Tak lama kemudian, Sean kembali ke mobil. Tiffany yang kini sudah tidak mengantuk, bersandar di kursi sambil terse
Tak lama kemudian, mobil sampai di taman kanak-kanak.Meskipun Sean sudah sangat berhati-hati, suara gaduh dari luar mobil saat parkir tetap saja membangunkan Tiffany dari tidurnya.Mata wanita itu masih terlihat mengantuk, tetapi tetap terlihat jernih dan indah. Dia menguap dan menoleh ke luar jendela. "Sudah sampai ya."Setelah itu, dia mengangkat tangan untuk membuka pintu mobil, tetapi segera dihentikan oleh Sean.Pria itu tersenyum tipis, tampak tak berdaya. "Kalau masih ngantuk, jangan turun dulu. Biar aku saja yang antar mereka masuk. Kamu tunggu di mobil saja."Tiffany menggigit bibirnya, secara refleks menoleh menatap dua anak kecil di sampingnya. "Tapi ....""Sudahlah." Arlo menghela napas panjang. "Mama yang bodoh, istirahat saja di mobil. Kami turun dulu.""Betul! Mama istirahat saja ya!" Arlene ikut mengangguk sambil tersenyum lebar.Akhirnya, Tiffany pun ditinggal sendiri di dalam mobil, sementara ketiganya orang itu turun bersama.Bersandar di jok kulit mobil, Tiffany ke
"Juga bakal jadi anak kecil yang gendut nanti," ucap Arlo yang mengikuti di belakang Sean dengan cemberut."Sembarangan! Arlene nggak bakal gendut!""Kamu bakal gendut!"Arlo menarik napas dalam-dalam. "Nggak masalah kalau Pak Sean antar kita ke sekolah setiap hari. Tapi, Mama juga harus ikut."Tiffany tertegun dan refleks bertanya, "Kenapa begitu?"Dia baru saja berpikir, kalau nanti anak-anak diantar Sean setiap hari, dia bisa bermalas-malasan di rumah dong ....Jujur saja, selama beberapa tahun ini, kecuali dalam kondisi khusus, semua urusan antar jemput anak-anak ke sekolah diurus oleh Tiffany sendiri. Itu cukup melelahkan.Sekarang dia akhirnya mendapat kesempatan untuk bermalas-malasan, tetapi anaknya malah tidak memberinya izin?"Buat menunjukkan kepemilikan." Arlo mencebik dan berkata dengan suara rendah, "Soalnya para ibu-ibu terus melihat Pak Sean kayak mau diterkam. Jadi, Mama harus selalu ikut. Kalau nggak, para guru juga bisa jadi gila."Tiffany tidak bisa berkata-kata. Ay
Tiffany keluar dari kamar Sean dengan pipi memerah. Di luar pintu, dua bocah kecil yang memakai setelan jas kecil dan gaun kecil sedang berdiri manis, dengan tas kecil di punggung mereka. Mereka bersandar di dinding koridor seperti dua murid SD yang sedang dihukum berdiri.Melihat Tiffany keluar, Arlo cemberut dan mengedipkan mata dengan nakal. "Mama ini nggak tahan godaan, cepat banget ditaklukkan."Wajah Tiffany langsung memerah.Arlene yang melihat itu buru-buru berlari ke depan Tiffany dan melindunginya. "Kakak nggak boleh bicara kayak gitu ke Mama ya! Mama itu kayak Arlene, suka sama pria ganteng!"Arlo memutar bola matanya dengan pasrah. "Kalian sama-sama bucin."Arlene membalas dengan percaya diri, "Hmph! Kata Guru, cewek yang bucin itu lebih disukai!"Suara polos kedua anak itu seketika membuat hati Tiffany hangat dan senang. Dia tersenyum tipis, lalu berjongkok sambil mengelus kepala Arlene. "Mana PR yang butuh tanda tangan Mama?"Arlene cemberut dan berjinjit mendekat ke teli