"Gimana kalau memang ini keguguran? Ke ruang kesehatan kampus saja nggak cukup ...."Julie belum selesai berbicara ketika Sean sudah menggendong Tiffany dan berlari keluar dari stadion tanpa ragu. Para mahasiswi di sekitar yang suka bergosip mulai bergerombol dan berbisik-bisik."Tiffany keguguran? Dia punya pacar? Sampai keguguran?""Siswi teladan, belum menikah, malah keguguran. Ini berita besar banget, hahaha ...."Julie yang mendengar komentar itu mendelik marah. Dia tidak ingin membuang waktu meladeni mereka. Setelah meletakkan barang-barangnya, dia membawa tas dan jaket Tiffany, lalu berlari mengejar Sean.Sean memeluk Tiffany dengan erat. Pelukan itu terasa hangat dan kuat.Tiffany yang kesakitan, membuka matanya perlahan-lahan. Dengan mata tertutup pun, dia bisa merasakan detak jantung Sean yang berdetak kencang di dadanya saat dia berlari.Angin bertiup kencang di telinganya, disertai napas Sean yang terdengar sedikit berat. Meskipun matanya terpejam, Tiffany bisa merasakan be
Tubuh Sean yang tinggi dan tegap terlihat goyah. Melihat kondisi itu, Tiffany merasa tidak tega. Dia mengangkat tangannya yang lemah dan menggenggam tangan Sean. "Ini bukan salahmu.""Hadap tembok dan renungkan kesalahanmu!" Julie melemparkan tatapan tajam pada Sean. Dia mendorong Sean ke samping dan membantu dokter membawa Tiffany kembali ke kamar perawatan.Tatapan Tiffany tidak pernah lepas dari wajah Sean. Ini adalah pertama kalinya dia melihat ekspresi keputusasaan dan kesedihan yang begitu mendalam di wajahnya. Tubuhnya yang tinggi tegap berdiri di pintu, tampak begitu kesepian dan sunyi.Pintu kamar rumah sakit itu seperti penghalang tak kasat mata yang memisahkan dunia mereka berdua. Melihat wajahnya yang penuh duka, hati Tiffany terasa sakit. Anak ini adalah sesuatu yang sama sekali tidak mereka duga. Dia tidak menjaga dirinya dengan baik.Sean yang sudah lama hidup sendirian, tidak mungkin tahu banyak soal hal-hal seperti ini. Tiffany bahkan tidak pernah memberitahunya soal t
Setelah berkata demikian, dokter menggelengkan kepala dan meninggalkan mereka. Tiffany merasa seperti tenggelam dalam kebingungan. Keguguran karena obat aborsi ....Dia mencoba mengingat kembali kejadian kemarin. Pagi itu, mereka berangkat dari Desa Maheswari, lalu tiba di Kota Aven sore harinya. Setelah itu, dia hanya tidur di rumah sebelum menerima ajakan dari Garry untuk bertemu ....Tiba-tiba, Tiffany mengerutkan kening.Kemarin, selain sarapan buatan bibinya dan makan malam yang disiapkan oleh Rika, dia hanya minum secangkir kopi yang dipesankan Garry. Kopi itu sudah diletakkan di tempat duduknya sebelum Tiffany tiba. Saat diminum, kopi itu sudah agak dingin.Rasa dingin yang menusuk tiba-tiba menjalar dari kakinya hingga ke kepalanya. Tiffany menggigil. Tidak, tidak mungkin .... Garry tidak mungkin melakukan itu .... Namun, selain Garry, dia tidak bisa memikirkan siapa lagi yang mungkin melakukannya.Bibinya tidak mungkin mencelakainya. Kak Rika juga tidak mungkin. Setelah semua
Pukul lima sore.Waktu jam pulang kerja di lembaga penelitian, Garry berdiri di lorong sambil terus mencoba menghubungi Tiffany melalui ponselnya. Aneh, kenapa panggilan teleponnya tidak bisa terhubung hari ini?Kalaupun ada sesuatu yang membuat Tiffany memblokir salah satu nomornya, dia masih punya nomor lain yang bahkan belum diketahui Tiffany. Tidak mungkin Tiffany sengaja tidak menjawab kedua nomor itu. Kenapa dua nomor sekaligus tidak bisa dihubungi?"Garry!"Saat Garry berusaha mencoba memahami situasinya, suara ramah direktur lembaga penelitian terdengar dari ujung lorong. Garry menoleh ke arah datangnya suara itu.Di ujung lorong, direktur sedang berdiri bersama seorang pria tinggi yang mengenakan kemeja putih. Direktur itu sedang berbicara sesuatu sambil sesekali melirik ke arahnya.Pria itu memiliki tubuh yang ramping, tetapi terlihat jelas bahwa fisiknya kokoh di balik kemeja putihnya. Dia mengenakan kacamata, tetapi alih-alih memancarkan kesan lembut dan intelektual, aurany
Sean pernah menggunakan uang untuk memaksa Tiffany yang berasal dari keluarga miskin untuk menikahinya. Dia itu bajingan! Tiffany tidak boleh melahirkan anak dari seorang bajingan seperti dia!Garry berpikir, selama anak di dalam kandungan Tiffany benar-benar sudah tiada, maka pukulan yang dia terima hari ini sepadan demi "menyelamatkan" Tiffany. Senyuman sinis Garry membuat Mark semakin marah.Dia mengayunkan tinjunya tanpa ampun ke wajah Garry. "Seberapa besar dendammu sama Tiffany sampai tega melakukan ini padanya?!""Dia mau minum apa yang kamu berikan karena dia percaya sama kamu! Tapi, kamu gunakan kepercayaan itu untuk apa? Untuk sakiti dia?""Karena aku nggak bisa biarkan dia melahirkan anak dari seorang bajingan seperti Sean. Kalau itu terjadi, hidup Tiffany akan hancur selamanya!"Garry menggertakkan giginya memelototi Mark dengan tatapan nanar. "Kalau kamu merasa puas, pukul saja aku! Nggak peduli seberapa kerasnya pun kamu mukul aku, anak di dalam kandungan Tiffany sudah ng
Di rumah sakit.Tiffany bersandar di tempat tidur, wajahnya memerah saat menatap Sean yang duduk di dekat jendela sambil memijat kakinya. "Kakiku benar-benar nggak sakit lagi. Kamu nggak perlu melakukan ini ...."Sejak Julie pergi, Sean tidak mengatakan sepatah kata pun. Dia terus memijat kakinya selama hampir satu jam. Dia tidak lelah memijat, tetapi Tiffany merasa sudah cukup lelah karena dipijat terus-menerus.Kakinya memang terasa sakit sebelumnya. Namun sekarang, kaki Tiffany tidak merasakan apa pun lagi selain terasa hangat."Sean," panggil Tiffany pelan, menggigit bibirnya.Sean tetap tidak menjawab. "Sayang," katanya lagi, kali ini dengan nada lebih lembut.Akhirnya Sean mengangkat matanya, meski tetap dengan ekspresi datar."Jangan diam saja," kata Tiffany dengan gugup sambil menggigit bibir bawahnya lebih erat. "Kalau kamu terus diam saja, aku jadi cemas ...."Dia menghela napas. "Aku tahu ini salahku. Nggak seharusnya aku menyembunyikan alasan kepulanganku ke desa, nggak se
"Sebelum temani kamu ke desa, aku sudah minta Charles pergi ke luar negeri untuk hubungi tim spesialis mata terbaik. Aku ingin mereka memberikan rencana pengobatan dan alasan yang masuk akal agar 'kesembuhan' mataku tampak wajar," kata Sean dengan pelan."Tapi aku nggak mau bohongi kamu. Aku mau jujur sama kamu sebelum orang lain tahu bahwa mataku sembuh dan sebenarnya mataku nggak pernah bermasalah. Tapi akhirnya, aku kalah cepat dari Garry."Tiffany memeluknya dengan erat. Mendengar suara Sean yang sedih membuat hatinya terasa seperti ditusuk sesuatu yang tajam. Saat mereka bertengkar tadi malam, dia memang tidak memberikan Sean kesempatan untuk menjelaskan dan dia menganggap ucapan Sean tentang rencananya hanyalah alasan.Namun, sekarang dipikir-pikir ....Sebelum dia marah malam itu, Sean memang meminta Rika memasak banyak makanan kesukaannya dan benar-benar menyuruh semua staf pulang lebih awal. Sean tidak membohonginya.Malam itu, Sean memang berniat untuk membuka hatinya sepenuh
Video Mark yang memukul Garry menjadi viral dalam semalam. Anak konglomerat tiduri istri teman, pukuli dokter setelah anaknya keguguran. Setiap elemen dalam judul itu cukup untuk membuat netizen menjadi heboh.Keesokan paginya, Tiffany sedang bersandar di tempat tidur sambil menikmati bubur yang disuapkan Sean ketika telepon berbunyi. Nama di layar membuat Tiffany tertegun. Itu panggilan dari kakek Sean, Darmawan.Tiffany melihat telepon itu dengan bingung, lalu menoleh ke arah Sean. "Kamu sudah kasih tahu Kakek soal keguguran ini?"Sean menggeleng. "Belum."Tiffany menghela napas lega dan menjawab panggilan itu. Namun, begitu telepon tersambung, Sean langsung meraih ponselnya dari tangan Tiffany. "Lanjutkan makanmu, biar aku yang bicara sama dia."Sebelum Tiffany sempat bereaksi, Sean telah keluar membawa ponselnya. Tiffany duduk bersandar di tempat tidur dan memakan buburnya, sambil diam-diam mendengarkan percakapan Sean dengan kakeknya dari luar."Dia lagi di rumah sakit, statusnya
Ucapan Niken tidak bisa meyakinkan Tiffany. Saat Tiffany hendak bertanya lagi, Kendra dan Indira sudah menyajikan makanan.Niken yang duduk di samping Tiffany berujar, "Kita jarang bisa makan bersama. Panggil anak-anak dan ibumu kemari."Kendra tertegun sejenak, lalu mengangguk dan menyahut dengan hormat, "Oke."Tak lama kemudian, suasana menjadi ramai. Jonas dan Jones duduk bersama. Mereka yang penasaran memandangi wanita paruh baya di samping Tiffany.Bertha yang duduk agak jauh melihat Niken dan Tiffany sambil tersenyum lebar. Dia berkomentar, "Benar-benar mirip! Sudah kubilang, Tiffany sangat cantik. Dia pasti mewarisi gen ibunya yang bagus."Niken tersenyum kepada Bertha dan membalas, "Terima kasih. Tapi, cuma parasnya yang mirip denganku. Kepintarannya masih kalah jauh dariku."Bertha langsung merasa tidak senang. Dia menanggapi, "Tiffany sangat pintar!"Niken menimpali, "Kepintarannya nggak mirip denganku. Mungkin dia mirip ayahnya."Bronson dan Tiffany sama-sama tidak tahu keke
Sewaktu Niken baru sampai ke kediaman Keluarga Rimbawan, Xavier belum genap berusia 10 tahun. Kala itu, dia masih polos.Ibu Xavier sudah meninggal dan ayahnya sering mabuk-mabukan. Hanya pembantu yang menjaga Xavier dan Jayla di rumah.Suatu hari, Xavier tersesat saat bermain sendirian di halaman. Dia sampai di ruang bawah tanah tempat Niken dikurung. Itu adalah pertama kalinya Xavier mempunyai ingatan yang mengerikan.Ruang bawah tanah itu lembap dan gelap. Hanya ada cahaya lampu kuning. Seorang wanita yang rambutnya berantakan dikurung dalam kandang.Sepertinya wanita itu disiksa dengan kejam. Sekujur tubuhnya dilumuri darah. Xavier yang baru berusia 7 tahun berteriak, "Hantu!"Niken mendongak. Kedua matanya sangat jernih. Dia memandang Xavier dan berucap sembari tersenyum, "Nak, di sini nggak ada hantu. Jangan takut."Suara Niken sangat lembut hingga membuat Xavier hampir meneteskan air mata. Suaranya sangat mirip dengan suara ibunya Xavier, begitu pula tatapannya yang lembut. Namu
Tiffany memandang Niken dengan ekspresi terkejut sambil berucap, "Jadi ...."Sejak menyuruh Xavier kembali ke Kota Aven, Niken sudah berencana untuk mengakui Tiffany? Jadi, sejak awal Niken tidak berniat mencelakai Kendra. Niken hanya ingin Kendra membantunya dan Tiffany saling mengakui.Niken meminum teh, lalu menimpali, "Iya. Karena kita sudah saling mengakui, aku nggak usah mengganggu Kendra lagi. Kalau dia mau lanjut jadi pengawalku, juga nggak masalah. Kalau nggak, dia juga bisa buka toko kecil bersama istrinya."Niken tersenyum dan menambahkan, "Mungkin waktu aku hampir mati, aku bisa hidup bersama mereka. Bagaimanapun, sekarang margaku juga Maheswari."Tiffany mengatupkan bibirnya seraya mengepalkan tangannya dengan erat. Mereka baru duduk di sini kurang dari 10 menit, tetapi Niken sudah mengungkit tentang kematian 3 kali.Tiffany mempunyai firasat Niken tidak mungkin berbicara seperti ini tanpa alasan. Apa ....Tiffany merasa sedih. Dia ingin menggenggam tangan Niken. Namun, Ni
Xavier mengingatkan, "Tiffany baru mengakuimu. Kalau kamu bicara begini, Tiffany mengira kamu mengidap penyakit parah."Niken tertegun sejenak, lalu berbalik dan tersenyum kepada Xavier. Dia menyahut, "Benar juga. Kita jangan bahas tentang kematian dulu."Selesai bicara, Niken melihat Tiffany dan bertanya, "Tadi kamu panggil aku apa?"Tiffany menjawab, "Aku panggil kamu ... ibu."Tiffany memandang Niken dengan wajah memucat seraya bertanya, "Tadi ... apa maksudmu?"Niken meletakkan cangkir teh dan menyahut, "Nggak apa-apa. Aku cuma merasa mati di tempat seperti ini cukup bagus kalau ke depannya aku punya kesempatan."Kemudian, Niken tersenyum kepada Tiffany sembari menambahkan, "Semua orang pasti akan mati, 'kan?"Tiffany mengatupkan bibirnya. Dia merasa gelisah. Kenapa Niken malah membicarakan tentang kematian pada suasana yang bagus seperti ini? Apa karena dia sudah terbiasa dengan perpisahan atau karena alasan lain?Niken berucap, "Setelah makan malam, kamu beri tahu Bronson aku gan
Seperti Indira, Tiffany juga merasa sangat terkejut. Dia berdiri di belakang Indira, memandang Kendra dan Niken dengan tatapan tak percaya.Barusan pamannya mengatakan ... Niken datang ke sini untuk mengganti nama dan mengakui Kendra sebagai adiknya? Bukan cuma mengganti nama, tetapi juga mengganti marga?!"Hei, kenapa bengong?"Xavier mendekat dan menyenggol bahunya pelan sambil berbisik di telinganya. "Apa kamu merasa sangat tersentuh?""Kemarin setelah kamu cerita semuanya ke aku, aku langsung kasih tahu Niken. Niken bilang itu bukan masalah.""Kalau kamu benar-benar ingin tetap menggunakan nama Tiffany Maheswari dan tetap mempertahankan margamu, dia akan mengganti marga dan namanya, asalkan itu membuatmu bahagia."Hati Tiffany menghangat seketika. Dia mendongak, menatap wanita yang berdiri di pintu masuk itu.Musim gugur mulai membawa hawa dingin, tetapi Niken mengenakan gaun ketat berwarna putih gading dengan bordiran elegan dan dilapisi jaket tipis berwarna putih transparan. Ramb
Sikap Jonas yang gugup justru membuat Indira semakin curiga. Dia mengerutkan alis, langsung mendorong Jonas ke samping, lalu berjalan cepat menuju ruang makan di mana Tiffany berada.Dengan suara keras, pintu ruang makan terbuka lebar.Tiffany yang duduk di dalam, terkejut dan langsung menoleh ke arah pintu. Di sana, berdiri Indira dengan tatapan dingin yang bercampur dengan kemarahan."Tiffany, tempat ini nggak menyambutmu! Aku sudah bilang dengan jelas, aku nggak mau datang ke pernikahanmu dan aku juga nggak mau berurusan denganmu lagi!"Tiffany menggigit bibirnya sambil menatap Indira dengan tatapan penuh rasa sakit. Dia tahu, alasan Indira berbicara seperti itu adalah agar Tiffany bisa melupakan masa lalu dan menerima keluarga barunya.Namun, tatapan dan nada bicara yang dingin itu tetap membuat hati Tiffany terasa seperti dihancurkan. Dengan suara lirih, Tiffany berkata, "Bibi, apa Bibi benar-benar sebenci itu sama aku?"Indira mendengus dan memutar matanya. "Ya, benar!""Tapi ...
"Kak Tiffany?" Jonas tampak sangat bersemangat begitu melihat Tiffany."Apa yang kamu lakukan di sini?" Tiffany yang sama-sama terkejut langsung berdiri dari kursinya, lalu memeluk Jonas dengan penuh emosi."Sudah lama sekali kita nggak ketemu! Kenapa kamu bisa ada di sini? Lalu, di mana Bibi?"Jonas menjawab dengan antusias, "Tempat ini adalah restoran pedesaan yang dikelola Ibu! Aku dan Jones lagi libur musim panas, jadi kami membantu di sini!"Wajah remaja itu bersinar dengan kegembiraan. "Kak Tiffany, kenapa kamu bisa datang ke sini? Apa kamu sengaja datang untuk menemui kami karena tahu ini restoran keluarga kami?""Aku ...." Tiffany menggigit bibirnya. "Aku datang ke sini karena ada yang mengundangku makan siang."Tiffany menarik napas dalam-dalam, lalu melanjutkan, "Bibi nggak mau kasih tahu aku di mana kalian berada. Aku bahkan nggak tahu kalian tinggal di sini. Kalau bukan karena undangan makan siang hari ini, aku nggak akan tahu kalian ada di sini dan bahkan membuka restoran
"Tentu saja!" Tiffany melanjutkan dengan suara lembut dan memohon belas kasihan, "Mana mungkin aku tega memaki kamu, kamu itu hebat banget ....""Kalau begitu ...." Sean tersenyum tipis, mendekatkan bibirnya ke telinganya, lalu berbisik dengan suara rendah, "Mari kubuat kamu lebih merasakan betapa hebatnya suamimu."Tiffany terkejut. Dasar pria jahat! Cukup sudah!....Tiffany bangun dengan tubuh lelah dan nyaris kehabisan tenaga pada pukul sembilan pagi lebih. Pukul setengah sepuluh, dia dibangunkan oleh dering telepon dari Xavier."Kelinci kecil, aku sudah di depan rumahmu. Bersiaplah, Niken ingin bertemu denganmu."Tiffany menguap dan melihat waktu di ponselnya, "Aku baru saja bangun, tunggu sebentar ya."Dia masih ingat, kemarin Xavier sudah meneleponnya untuk membuat janji makan siang bersama Niken hari ini. Setelah menutup telepon, Tiffany bergegas berganti pakaian, menyikat gigi, mencuci muka, dan mengoleskan pelembap wajahnya.Hanya dalam waktu sepuluh menit, Tiffany yang sudah
Tiffany mengangguk pelan."Aku mau tidur." Bronson tersenyum tipis."Kalian juga sebaiknya segera istirahat. Anak muda jangan bergadang terlalu larut."Setelah berkata demikian, dia berbalik dan pergi. Tiffany berdiri di tempatnya, wajahnya tiba-tiba memerah. Dia tahu Bronson mungkin hanya ingin menyuruhnya untuk tidur lebih awal.Namun, kenapa ... kenapa dia tiba-tiba memikirkan hal-hal yang tidak senonoh? Apakah ini karena dia terlalu lama bersama Sean, sehingga pikirannya jadi tidak murni lagi?"Apa yang kamu pikirkan?" Saat Tiffany berusaha menenangkan diri dan hendak menepuk-nepuk wajahnya yang panas, suara Sean yang rendah dan penuh tawa tiba-tiba terdengar di telinganya."Tadi Paman bilang, jangan bergadang terlalu larut. Apa yang kamu pikirkan, hm?"Tiffany terdiam. Kamu sudah mendengar dan melihat semuanya, apa masih perlu bertanya?!"Dasar gadis kecil berpikiran jorok." Sean tersenyum, lalu mengangkatnya dengan mudah dan menggendongnya dalam pelukan horizontal. "Kenapa kamu d