Dering ponsel di saku celana Mas Bima menghentikan aktifitas kami semua. Mas Bima yang tangannya kotor karena sedang makan, membuatnya tidak bisa menerima panggilan. Tidak lama setelah panggilan berakhir, dering dengan nada yang sama kembali menggema.
“Gak kamu angkat dulu aja, Mas? Siapa tahu telepon penting. Aku ambilkan air kobokan biar kamu bisa cuci tangan.”“Gak usah, Sayang. Kalau gak ngerepotin, tolong kamu ambil aja HP mas di kantong dan angkat teleponnya.”“Yakin gak apa-apa?” tanyaku memastikan.“Iya gak apa-apa, Sayang.”Aku pun menurut dan merogoh saku celana Mas Bima. Dia menyunggingkan senyum saat tanganku masuk ke saku celananya. Begitu berhasil mengeluarkan ponsel tersebut, aku memperlihatkan kepadanya jika yang sejak tadi menghubungi adalah Cantika.“Angkat aja, Sayang.”Aku menggeleng, tetapi Mas Bima masih memaksa. Aku pun mene“Sayang, happy anniversary, ya?” Samar-samar aku mendengar suara pria yang familiar di telingaku. Kelopak mataku masih berat untuk terbuka, tetapi sentuhan hangat di wajahku membuatku tetap berusaha untuk terjaga. “Mas?” panggilku lirih. “Selamat mengingat hari jadi, ya,” bisiknya lagi. Aku membuka mata dan melihat sekitar masih dengan kondisi kamar yang remang-remang. Hanya ada cahaya kecil dari lilin yang dibawa Mas Bima. Ya. Lilin di atas kue yang belum terlihat jelas berbentuk apa. Aku terdiam sejenak sampai akhirnya sadar sesuatu. “Anniversary kesepuluh, ya?” gumamku baru teringat. Seharusnya, aku dan Mas Bima pergi bulan madu untuk yang kesekian kalinya ke Bulan Dewata, tetapi batal setelah aku tahu ada wanita lain di dalam rumah tangga kami. “Iya. Selamat ya, Sayang. Semoga kamu bisa maafin semua kesalahan aku, dan mau
“Bapak semalem bobok disini, Bu?” seru Andini terlihat riang. Aku hanya bisa menjawab singkat. “Iya.” “Yeay! Semoga keluarga kita bisa kembali utuh seperti dulu, ya, Bu. Gak apa-apa deh tinggal di rumah kecil kayak waktu Dini belum lahir, yang penting Ibu sama Bapak sama-sama lagi sama kita,” sahut Astuti menimpali. Kami memang baru pindah ke rumah yang lebih besar setelah Andini lahir. Sebelumnya, rumah kami kecil seperti rumah kontrakan yang sekarang aku tinggali dengan anak-anak sekarang. Aku sedikit terkejut karena Astuti masih mengingat masa-masa itu. Padahal saat itu usianya baru empat tahun. Akan tetapi, ternyata daya ingatnya masih sangat bagus. Proses kehidupan kami sampai di titik sekarang memang cukup panjang. Dari tinggal di kamar kos yang hanya sepetak ruang sampai sekarang punya rumah sendiri yang cukup luas. Meskipun sekarang aku dan anak-anak justru terusir karena keda
Ternyata Bara lah yang ditegur oleh Mas Bima. Suamiku memang belum tahu jika aku menyewa rumah mamanya Bara. Entah apa yang akan dikatakan Mas Bima nanti saat tahu rumah ini sama saja milik Bara. Yang sudah jelas bisa kupastikan, Mas Bima akan murka dan tidak setuju dengan pilihanku. “Aku cuma mau memastikan jika rumahku cukup nyaman untuk ditinggali Raya dan anak-anaknya.” “Apa maksudmu?” murka Mas Bima sambil mencengkram bagian depan kaos oblong yang dipakai Bara. “Mas! Apa-apaan, sih, kamu! Lepasin Bara gak!” Aku berjalan tergopoh untuk melerai Mas Bima dan Bara yang pasti sebentar lagi terlibat pertikaian. Sedangkan Bara yang aku khawatirkan justru masih terlihat santai. “Lepasin cowok gak tau diri ini? Jangan harap!” ancam Mas Bima. Aku sudah hampir sampai di dekat keduanya, pada saat Bara membalikkan posisi dimana cengkraman Mas Bima terlepas, dan kini dirin
Aku masih menatap nanar pada foto yang dibawa Bara. Aku pikir, itu adalah fotonya Cantika dengan Mas Bima. Namun, ternyata justru foto-foto Cantika bersama Budi, adik kandungnya Mas Bima. Aku jadi teringat juga dengan cerita Rima belum lama ini. Tentang Cantika yang juga sering menggoda Budi, suaminya. Akan tetapi, aku tidak menyangka jika mereka akan berbuat sejauh itu.“Kamu dapat foto kayak gitu dari mana, Bara?” tanyaku tidak habis pikir.Bara membenarkan posisi duduknya sebelum kemudian memberikan penjelasannya. “Sebenarnya aku belum puas kalau belum hajar suami kamu. Makanya aku mau kasih pelajaran sama dia. Dan waktu aku mendatangi rumah suamimu, aku justru melihat Cantika dijemput cowok itu setelah suamimu pergi bekerja. Pas aku ikuti, ternyata mereka pergi ke Bar dan check in hotel setelahnya.”“Padahal Cantika lagi hamil, lho. Kok bisa-bisanya dia berani tetap minum alkohol wal
Secara spontan, kakiku melangkah secepat kilat, bersaing dengan waktu saat melihat gelagat Budi yang akan melemparkan vas bunga ke arah Rima. Aku bahkan meneriakkan nama Rima dengan lantang, hingga keduanya menoleh ke arahku. PRANG! Tepat saat aku berhasil menarik Rima mendekat ke arahku, vas bunga yang dilempar Budi mengenai dinding kamar dan pecah berantakan. Suara tangis Runi yang terbangun membuat riuh suasana tegang yang masih membuatku gemetar. Aku tidak menyangka kedatanganku yang sekilas tanpa rencana ini, akan disambut dengan adegan kekerasan seperti tadi. Rima kulihat sama syoknya sepertiku. Telat sedikit saja aku menyelamatkan Rima, mungkin tadi kepalanya sudah terluka. “Mbak Raya….” lirih Rima dengan derai air mata. Budi sendiri tampak terkejut dengan kedatanganku. Ada bahasa tubuh yang menunjukkan rasa ketidaknyamanannya saat bersitatap denganku. Setidaknya, aku merasa Budi menyesali perbuat
“Kamu apa-apaan sih, Cantika?” seruku saat melihat Cantika yang menarik tanganku dengan kasar. Sambil meringis kesakitan, aku mencoba untuk melepaskan cengkraman tangan Cantika. Pergerakan cepat yang terjadi akibat tarikan dari Cantika benar-benar meninggalkan rasa nyeri di perutku. “Kamu bilang apa sama Mas Bima, Mbak?” “Hah? Maksudnya apa, sih? Aku gak merasa pernah bilang sesuatu yang aneh ke Mas Bima. Kamu ngomongin apa, Cantika?” “Halah! Pura-pura gak tau! Mbak pasti pengaruhi Mas Bima biar lebih sering datang ke rumah kontrakan Mbak daripada di rumah sama aku, kan?” Cantika menuduh dengan suara tinggi dan tatapan mengintimidasi. Dia bahkan mengangkat jari telunjuknya dan menuding ke depan wajahku. Dia juga berjalan mengikis jarak hingga aku perlu melangkah mundur untuk menghindar. “Kamu jangan asal nuduh kalau gak punya buktinya. Kamu pikir aku sekurang kerja
“Bu, Bapak kok lama gak ke sini lagi?” celetuk Andini saat sabtu malam sebelum tidur. “Bapak mungkin lagi banyak pekerjaan, Sayang. Nanti kalau sudah ada waktu, pasti Bapak nengokin kalian. Sekarang, kalian tidur dan jangan berpikiran yang negatif.” “Iya, Bu.” Belakangan ini Mas Bima memang sudah tidak pernah datang lagi. Kalau aku ingat-ingat, sepertinya sejak Cantika mendatangiku di sekolah anak-anak saat itu. Mungkin Cantika yang melarang Mas Bima untuk datang. Seperti beberapa hari yang lalu, Mas Bima sempat datang meskipun tidak sampai bertemu dengan anak-anak. Karena pada saat dia baru sampai di depan pintu rumah tempat tinggal kami, dia sudah diteror telepon oleh Cantika yang membuatnya kembali pulang tidak lama setelah itu. Aku tidak bisa mendengar apa yang Cantika katakan kepada Mas Bima, hanya saja wajah Mas Bima langsung lesu dan berpamitan pergi begitu saja.
Entah mengapa, melihat sikap Mas Bima yang seolah-olah tidak menginginkan calon putri ketiga kami membuat hatiku sangat sakit. Bahkan mungkin rasa sakitnya melebihi saat pertama kali melihat Mas Bima sedang memadu kasih dengan Cantika dengan mata kepalaku sendiri. Air mata sampai mengalir dengan sendirinya, meskipun aku sudah menahan dan mencoba menghentikannya, supaya tidak membuat Astuti dan Andini khawatir. Nyatanya, aku tetap tidak kuasa menahan tangis. “Ibu….” panggil Andini lirih saat melihatku menangis. “Bapak kenapa, sih? Mau Adik nanti cewek atau cowok sama aja, Pak. Kenapa Bapak malah bikin Ibu jadi sedih?” protes Astuti ikut bersuara.Anak kecil itu makin hari memang terlihat makin dewasa pemikirannya. Dia bisa membaca situasi dan lebih sensitif perasaannya. Aku jadi makin bersedih karena masa kanak-kanak yang harusnya dilalui putriku dengan suka cita, harus ternoda dengan p