“Kamu apa-apaan sih, Cantika?” seruku saat melihat Cantika yang menarik tanganku dengan kasar.
Sambil meringis kesakitan, aku mencoba untuk melepaskan cengkraman tangan Cantika. Pergerakan cepat yang terjadi akibat tarikan dari Cantika benar-benar meninggalkan rasa nyeri di perutku.“Kamu bilang apa sama Mas Bima, Mbak?”“Hah? Maksudnya apa, sih? Aku gak merasa pernah bilang sesuatu yang aneh ke Mas Bima. Kamu ngomongin apa, Cantika?”“Halah! Pura-pura gak tau! Mbak pasti pengaruhi Mas Bima biar lebih sering datang ke rumah kontrakan Mbak daripada di rumah sama aku, kan?”Cantika menuduh dengan suara tinggi dan tatapan mengintimidasi. Dia bahkan mengangkat jari telunjuknya dan menuding ke depan wajahku. Dia juga berjalan mengikis jarak hingga aku perlu melangkah mundur untuk menghindar.“Kamu jangan asal nuduh kalau gak punya buktinya. Kamu pikir aku sekurang kerja“Bu, Bapak kok lama gak ke sini lagi?” celetuk Andini saat sabtu malam sebelum tidur. “Bapak mungkin lagi banyak pekerjaan, Sayang. Nanti kalau sudah ada waktu, pasti Bapak nengokin kalian. Sekarang, kalian tidur dan jangan berpikiran yang negatif.” “Iya, Bu.” Belakangan ini Mas Bima memang sudah tidak pernah datang lagi. Kalau aku ingat-ingat, sepertinya sejak Cantika mendatangiku di sekolah anak-anak saat itu. Mungkin Cantika yang melarang Mas Bima untuk datang. Seperti beberapa hari yang lalu, Mas Bima sempat datang meskipun tidak sampai bertemu dengan anak-anak. Karena pada saat dia baru sampai di depan pintu rumah tempat tinggal kami, dia sudah diteror telepon oleh Cantika yang membuatnya kembali pulang tidak lama setelah itu. Aku tidak bisa mendengar apa yang Cantika katakan kepada Mas Bima, hanya saja wajah Mas Bima langsung lesu dan berpamitan pergi begitu saja.
Entah mengapa, melihat sikap Mas Bima yang seolah-olah tidak menginginkan calon putri ketiga kami membuat hatiku sangat sakit. Bahkan mungkin rasa sakitnya melebihi saat pertama kali melihat Mas Bima sedang memadu kasih dengan Cantika dengan mata kepalaku sendiri. Air mata sampai mengalir dengan sendirinya, meskipun aku sudah menahan dan mencoba menghentikannya, supaya tidak membuat Astuti dan Andini khawatir. Nyatanya, aku tetap tidak kuasa menahan tangis. “Ibu….” panggil Andini lirih saat melihatku menangis. “Bapak kenapa, sih? Mau Adik nanti cewek atau cowok sama aja, Pak. Kenapa Bapak malah bikin Ibu jadi sedih?” protes Astuti ikut bersuara.Anak kecil itu makin hari memang terlihat makin dewasa pemikirannya. Dia bisa membaca situasi dan lebih sensitif perasaannya. Aku jadi makin bersedih karena masa kanak-kanak yang harusnya dilalui putriku dengan suka cita, harus ternoda dengan p
“Raya,” lirih Mas Bima seperti kehabisan kata-kata. “Sudahlah, Mas. Aku sudah ikhlas kalau memang jodoh kita tidaklah panjang. Aku tahu, soal hati tidak bisa dipaksakan.”“Tidak, Raya. Aku sungguh masih cinta sama kamu.” “Tapi kamu tidak secinta itu sama aku, Mas. Kalau kamu sungguh mencintai aku sebesar yang kamu bilang, gak akan pernah ada Cantika di antara kita.” “Aku minta maaf, Raya. Ini diluar kendaliku.” “Aku sudah memaafkanmu, Mas.” “Itu artinya, kamu mau menerima Cantika sebagai istri keduaku, kan?” Aku tertawa mendengar pertanyaan bodoh yang dilontarkan Mas Bima. Sepertinya Mas Bima salah persepsi. Memaafkan dan membiarkan diriku dimadu, tentu saja dua hal yang berbeda. Aku memang sudah memaafkan kesalahan Mas Bima, tetapi bukan berarti aku rela dimadu. Apalagi madu pahit seperti Cantika yang serakah dan tidak bisa
Tanganku masih gemetaran melihat angka fantastis di pesanan afiliasi. Padahal angka tersebut belum tentu semua menghasilkan, karena hanya pesanan yang berhasil terkirim ke customer saja yang akan mendapatkan komisi. Akan tetapi, setidaknya peluang untuk berpenghasilan tinggi cukup besar. Aku membuka tampilan toko pemilik produk yang aku tautkan di konten viral yang kubuat. Memastikan tokonya cukup menjanjikan untuk meng-handle orderan sebanyak itu. “Harusnya sih bisa lah toko ini proses semua orderannya. Ah, semoga aja deh. Kalau rezeki gak akan kemana,” gumamku. Rasa kantuk yang tadi hilang dengan sendirinya. Aku masih terus berselancar mencari produk-produk lain yang sejenis untuk aku coba tautkan ke kontenku berikutnya. Ada hampir dua jam lamanya kulakukan pencarian tersebut, sampai mata dan tangan terasa lelah. Aku pun kembali tidur setelah menyempatkan diri salat malam. Pagi harinya, semua aktivitas
Susi : [Bu Raya, apa gak ada info lowongan kerja yang cocok buat kami, Bu?]Siska : [Iya, Bu. Barangkali di toko ibu butuh pekerja serabutan kayak kami? Disuruh packing atau antar-antar paket kita juga siap, Bu.]Saras : [Bu Raya, tolong kami, Bu.]Iin: [Kami padamu, Bu Raya.] — ditambah dengan emoticon wajah bersedih. Aku cukup terkejut saat membuka grup yang berisi pegawai di rumah makan Mas Bima. Mereka semua merengek bantuan untuk diberikan informasi lowongan pekerjaan. Aku belum mengerti mengapa mereka sampai kompak berniat untuk resign dan meninggalkan tempat usaha suamiku tersebut. [Kalian kenapa, Bestie? Sini cerita.] — tulisku di dalam grup tersebut. Aku pun kembali menyimak dan membaca banyak curhatan dari mereka. Hingga akhirnya aku baru paham dengan kabar mengenai usaha Mas Bima yang diambang kehancuran. Santi : [Rumah Makan terancam gu
“Kamu sehat, kan?” “Alhamdulilah sehat, Mas. Kamu yang terlihat kurusan, Mas.” Setelah aku desak untuk bertemu, akhirnya Mas Bima datang juga ke rumahku. Dia terlihat sangat terkejut dengan perubahan rumah yang aku tinggali. Apalagi melihat ada sebuah toko sederhana di depannya. Sebenarnya aku berniat mengajaknya bertemu di luar rumah saja. Akan tetapi Mas Bima takut membuatku repot jika harus bertemu di luar. Jadilah dia memilih untuk datang ke rumah saja. Aku sudah bisa membayangkan apa yang dipikirkan Mas Bima saat ini. Wajah tirusnya karena sepertinya berat badannya turun banyak, makin pucat saja karena tercengang. “Kamu, sudah sukses sekarang, Raya,” desisnya nyaris tanpa suara. “Gak juga kok, Mas. Sekedar mengisi waktu luang aja.” Mas Bima tersenyum miring. Dia pasti merasa jika aku terlalu merendah. Terserah saja dia mau menilai jawaban d
Beruntungnya tidak lama setelah itu, Mak Ijah datang dengan taksi yang langsung kuminta untuk mengantarku ke rumah sakit terdekat. “Mak…” “Bu Raya?” “Mak, ketubannya sudah pecah,” aduku sambil meringis menahan sakit. “Ya Allah, Bu. Maaf ya, Mak baru datang. Kita ke rumah sakit sekarang.”Aku mengangguk dan membiarkan Mak Ijah membantuku ke taksi. Astuti dan Andini ikut ke rumah sakit juga. Ponselku dipegang Astuti. Aku tidak lagi memikirkan apa-apa selain fokus untuk persalinan dan keselamatan anak yang sedang aku kandung. ‘Gak apa-apa, ya, Nak. Gak ada Bapak. Kita berjuang berdua. Harus selamat dan sehat,’ batinku saat sudah di ruang IGD rumah sakit. Air mata tidak berhenti menetes sejak tadi. Rasa sakit yang luar biasa makin terasa saat pembukaan bertambah. Aku hanya bisa mengadu pada bidan rumah sakit yang mendampingi proses melahirkan.
“Karena apa, Rima?” tanyaku tidak sabar menunggu penjelasan dari Rima. “Karena Cantika juga di rumah sakit untuk melahirkan juga, Mbak. Hanya saja, anaknya tidak bisa selamat. Makanya ini Mas Bima lagi urus pemakamannya.” “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.” Aku sangat terkejut mendengar kabar duka yang dibawa Rima. Tadinya aku sudah kecewa dengan Mas Bima yang tidak segera datang melihat aku dan anaknya yang baru lahir. Akan tetapi, setelah mendengar kabar duka ini yang tentunya sedang dirasakan Mas Bima juga, aku pun berubah iba padanya. “Kok bisa, Rima?” “Ceritanya panjang, Mbak.” Aku pun mendengarkan cerita dari Rima sejak Mas Bima menerima telepon dariku. Katanya, Mas Bima sudah mau pergi untuk menemuiku, tetapi Cantika mencegahnya dan terjadi pertengkaran hebat yang membuat Cantika terjatuh karena tidak sengaja terdorong oleh Mas Bima. “As