Ternyata Bara lah yang ditegur oleh Mas Bima. Suamiku memang belum tahu jika aku menyewa rumah mamanya Bara. Entah apa yang akan dikatakan Mas Bima nanti saat tahu rumah ini sama saja milik Bara. Yang sudah jelas bisa kupastikan, Mas Bima akan murka dan tidak setuju dengan pilihanku.
“Aku cuma mau memastikan jika rumahku cukup nyaman untuk ditinggali Raya dan anak-anaknya.”“Apa maksudmu?” murka Mas Bima sambil mencengkram bagian depan kaos oblong yang dipakai Bara.“Mas! Apa-apaan, sih, kamu! Lepasin Bara gak!”Aku berjalan tergopoh untuk melerai Mas Bima dan Bara yang pasti sebentar lagi terlibat pertikaian. Sedangkan Bara yang aku khawatirkan justru masih terlihat santai. “Lepasin cowok gak tau diri ini? Jangan harap!” ancam Mas Bima.Aku sudah hampir sampai di dekat keduanya, pada saat Bara membalikkan posisi dimana cengkraman Mas Bima terlepas, dan kini dirinAku masih menatap nanar pada foto yang dibawa Bara. Aku pikir, itu adalah fotonya Cantika dengan Mas Bima. Namun, ternyata justru foto-foto Cantika bersama Budi, adik kandungnya Mas Bima. Aku jadi teringat juga dengan cerita Rima belum lama ini. Tentang Cantika yang juga sering menggoda Budi, suaminya. Akan tetapi, aku tidak menyangka jika mereka akan berbuat sejauh itu.“Kamu dapat foto kayak gitu dari mana, Bara?” tanyaku tidak habis pikir.Bara membenarkan posisi duduknya sebelum kemudian memberikan penjelasannya. “Sebenarnya aku belum puas kalau belum hajar suami kamu. Makanya aku mau kasih pelajaran sama dia. Dan waktu aku mendatangi rumah suamimu, aku justru melihat Cantika dijemput cowok itu setelah suamimu pergi bekerja. Pas aku ikuti, ternyata mereka pergi ke Bar dan check in hotel setelahnya.”“Padahal Cantika lagi hamil, lho. Kok bisa-bisanya dia berani tetap minum alkohol wal
Secara spontan, kakiku melangkah secepat kilat, bersaing dengan waktu saat melihat gelagat Budi yang akan melemparkan vas bunga ke arah Rima. Aku bahkan meneriakkan nama Rima dengan lantang, hingga keduanya menoleh ke arahku. PRANG! Tepat saat aku berhasil menarik Rima mendekat ke arahku, vas bunga yang dilempar Budi mengenai dinding kamar dan pecah berantakan. Suara tangis Runi yang terbangun membuat riuh suasana tegang yang masih membuatku gemetar. Aku tidak menyangka kedatanganku yang sekilas tanpa rencana ini, akan disambut dengan adegan kekerasan seperti tadi. Rima kulihat sama syoknya sepertiku. Telat sedikit saja aku menyelamatkan Rima, mungkin tadi kepalanya sudah terluka. “Mbak Raya….” lirih Rima dengan derai air mata. Budi sendiri tampak terkejut dengan kedatanganku. Ada bahasa tubuh yang menunjukkan rasa ketidaknyamanannya saat bersitatap denganku. Setidaknya, aku merasa Budi menyesali perbuat
“Kamu apa-apaan sih, Cantika?” seruku saat melihat Cantika yang menarik tanganku dengan kasar. Sambil meringis kesakitan, aku mencoba untuk melepaskan cengkraman tangan Cantika. Pergerakan cepat yang terjadi akibat tarikan dari Cantika benar-benar meninggalkan rasa nyeri di perutku. “Kamu bilang apa sama Mas Bima, Mbak?” “Hah? Maksudnya apa, sih? Aku gak merasa pernah bilang sesuatu yang aneh ke Mas Bima. Kamu ngomongin apa, Cantika?” “Halah! Pura-pura gak tau! Mbak pasti pengaruhi Mas Bima biar lebih sering datang ke rumah kontrakan Mbak daripada di rumah sama aku, kan?” Cantika menuduh dengan suara tinggi dan tatapan mengintimidasi. Dia bahkan mengangkat jari telunjuknya dan menuding ke depan wajahku. Dia juga berjalan mengikis jarak hingga aku perlu melangkah mundur untuk menghindar. “Kamu jangan asal nuduh kalau gak punya buktinya. Kamu pikir aku sekurang kerja
“Bu, Bapak kok lama gak ke sini lagi?” celetuk Andini saat sabtu malam sebelum tidur. “Bapak mungkin lagi banyak pekerjaan, Sayang. Nanti kalau sudah ada waktu, pasti Bapak nengokin kalian. Sekarang, kalian tidur dan jangan berpikiran yang negatif.” “Iya, Bu.” Belakangan ini Mas Bima memang sudah tidak pernah datang lagi. Kalau aku ingat-ingat, sepertinya sejak Cantika mendatangiku di sekolah anak-anak saat itu. Mungkin Cantika yang melarang Mas Bima untuk datang. Seperti beberapa hari yang lalu, Mas Bima sempat datang meskipun tidak sampai bertemu dengan anak-anak. Karena pada saat dia baru sampai di depan pintu rumah tempat tinggal kami, dia sudah diteror telepon oleh Cantika yang membuatnya kembali pulang tidak lama setelah itu. Aku tidak bisa mendengar apa yang Cantika katakan kepada Mas Bima, hanya saja wajah Mas Bima langsung lesu dan berpamitan pergi begitu saja.
Entah mengapa, melihat sikap Mas Bima yang seolah-olah tidak menginginkan calon putri ketiga kami membuat hatiku sangat sakit. Bahkan mungkin rasa sakitnya melebihi saat pertama kali melihat Mas Bima sedang memadu kasih dengan Cantika dengan mata kepalaku sendiri. Air mata sampai mengalir dengan sendirinya, meskipun aku sudah menahan dan mencoba menghentikannya, supaya tidak membuat Astuti dan Andini khawatir. Nyatanya, aku tetap tidak kuasa menahan tangis. “Ibu….” panggil Andini lirih saat melihatku menangis. “Bapak kenapa, sih? Mau Adik nanti cewek atau cowok sama aja, Pak. Kenapa Bapak malah bikin Ibu jadi sedih?” protes Astuti ikut bersuara.Anak kecil itu makin hari memang terlihat makin dewasa pemikirannya. Dia bisa membaca situasi dan lebih sensitif perasaannya. Aku jadi makin bersedih karena masa kanak-kanak yang harusnya dilalui putriku dengan suka cita, harus ternoda dengan p
“Raya,” lirih Mas Bima seperti kehabisan kata-kata. “Sudahlah, Mas. Aku sudah ikhlas kalau memang jodoh kita tidaklah panjang. Aku tahu, soal hati tidak bisa dipaksakan.”“Tidak, Raya. Aku sungguh masih cinta sama kamu.” “Tapi kamu tidak secinta itu sama aku, Mas. Kalau kamu sungguh mencintai aku sebesar yang kamu bilang, gak akan pernah ada Cantika di antara kita.” “Aku minta maaf, Raya. Ini diluar kendaliku.” “Aku sudah memaafkanmu, Mas.” “Itu artinya, kamu mau menerima Cantika sebagai istri keduaku, kan?” Aku tertawa mendengar pertanyaan bodoh yang dilontarkan Mas Bima. Sepertinya Mas Bima salah persepsi. Memaafkan dan membiarkan diriku dimadu, tentu saja dua hal yang berbeda. Aku memang sudah memaafkan kesalahan Mas Bima, tetapi bukan berarti aku rela dimadu. Apalagi madu pahit seperti Cantika yang serakah dan tidak bisa
Tanganku masih gemetaran melihat angka fantastis di pesanan afiliasi. Padahal angka tersebut belum tentu semua menghasilkan, karena hanya pesanan yang berhasil terkirim ke customer saja yang akan mendapatkan komisi. Akan tetapi, setidaknya peluang untuk berpenghasilan tinggi cukup besar. Aku membuka tampilan toko pemilik produk yang aku tautkan di konten viral yang kubuat. Memastikan tokonya cukup menjanjikan untuk meng-handle orderan sebanyak itu. “Harusnya sih bisa lah toko ini proses semua orderannya. Ah, semoga aja deh. Kalau rezeki gak akan kemana,” gumamku. Rasa kantuk yang tadi hilang dengan sendirinya. Aku masih terus berselancar mencari produk-produk lain yang sejenis untuk aku coba tautkan ke kontenku berikutnya. Ada hampir dua jam lamanya kulakukan pencarian tersebut, sampai mata dan tangan terasa lelah. Aku pun kembali tidur setelah menyempatkan diri salat malam. Pagi harinya, semua aktivitas
Susi : [Bu Raya, apa gak ada info lowongan kerja yang cocok buat kami, Bu?]Siska : [Iya, Bu. Barangkali di toko ibu butuh pekerja serabutan kayak kami? Disuruh packing atau antar-antar paket kita juga siap, Bu.]Saras : [Bu Raya, tolong kami, Bu.]Iin: [Kami padamu, Bu Raya.] — ditambah dengan emoticon wajah bersedih. Aku cukup terkejut saat membuka grup yang berisi pegawai di rumah makan Mas Bima. Mereka semua merengek bantuan untuk diberikan informasi lowongan pekerjaan. Aku belum mengerti mengapa mereka sampai kompak berniat untuk resign dan meninggalkan tempat usaha suamiku tersebut. [Kalian kenapa, Bestie? Sini cerita.] — tulisku di dalam grup tersebut. Aku pun kembali menyimak dan membaca banyak curhatan dari mereka. Hingga akhirnya aku baru paham dengan kabar mengenai usaha Mas Bima yang diambang kehancuran. Santi : [Rumah Makan terancam gu