“Aman?”
“Aman, dong. Kamu jangan khawatir. Aku baik-baik saja kok. Dan satu lagi … ”Aku menjeda kalimatku. Mencari padanan kata yang paling pas untuk memberikan pengertian kepada Bara.“Satu lagi apa, Raya?”“Kamu …, bisa kan buat bersikap biasa aja kayak kita sebelum ketemu lagi kemarin. Aku cuma gak mau ada yang salah sangka sama kamu. Mau bagaimanapun, status aku saat ini masih wanita bersuami. Lagi hamil pula. Gak bakalan baik kalau kamu terlalu perhatian sama aku, meskipun aku tahu niat kamu sangat baik dan gak aneh-aneh.”Bara menunduk dan mengangguk pelan. “Iya aku paham, Raya. Maaf ya kalau aku bikin kamu gak nyaman.”“Sebenarnya bukan masalah nyaman atau gak nyaman. Aku cuma gak pengen ada fitnah aja, sih. Apalagi kondisi rumah tanggaku sedang goyang. Aku gak mau nama baik kamu tercoreng, dan aku gak mau nambah masalah yang bisa bikin anak-anakku makin teGara-gara Astuti mengatakan jika pertanyaan Endah dengan Bara sebelumnya hampir sama. Kami jadi ketahuan jika tadi siang membicarakan Endah di depan Bara. Endah pun heboh dan meminta diceritakan secara detail. Dia siap-siap mengamuk jika kami sampai membuat harga dirinya turun. “Kata Om Bara, kelasnya Tante Endah ketinggian. Emang Tante kelas berapa, sih? Masih sekolah juga, ya? Dini kira, Tante udah gak sekolah,” ceplos Andini dengan suara polos. Aku pun melihat dahi Endah mengernyit. Entah heran dengan pertanyaan Andini atau heran dengan pendapat Bara yang dibocorkan anak bungsuku. “Duh, Raya …, kasih paham anakmu sana,” bisiknya padaku. Aku pun hanya menggeleng pelan. “Maksudnya Om Bara itu, bukan kelas di sekolahan, Sayang. Nanti kalau Dini sudah besar, baru paham sama yang dimaksud Om Bara.”Beruntung sekali Andini tidak memperpanjang pertanyaannya, sehingga aku terbebas dari jeba
“Halo, Mas.” “Raya, mana alamatmu dan anak-anak. Katanya kamu mau kirim alamatnya sama aku?” “Iya, Mas. Nanti juga aku kirim. Sabar kenapa, sih!” sewotku. Aku pikir Mas Bima mau apa telepon malam-malam. Ternyata dia hanya menagih janji yang ku katakan siang tadi di cafe jika aku akan membagi alamat tinggal kami kepadanya. “Ya aku takut aja kamu ingkar atau justru lupa sama janjinya sendiri,” balasnya. “Aku bukan kamu yang bisa dengan mudahnya ingkar janji saat ada orang baru yang datang menggoda, Mas.” “Malah nyindir, kan?” tegurnya. “Jadi kamu tersinggung, Mas? Berarti merasa dong?” “Udah lah, Raya. Jangan berantem lagi. Udah gak serumah aja kamu masih aja ngajakin aku ribut.”Aku mendengus saat dipersalahkan olehnya. Aku memang terbawa emosi, tetapi aku segera mengontrol diri dan tidak memperpanjang urusa
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab kami bersamaan. “Bapak!” Andini langsung berlari berhambur memeluk Mas Bima. Dia memang terbilang cukup manja dengan bapaknya. Sejak kecil, dia sudah menjadi kesayangan Mas Bima karena tingkahnya yang menggemaskan. “Dini sehat, kan?” “Sehat, Pak. Ayo sarapan, Pak. Ibu muntah-muntah dari tadi pagi, Pak. Kata Mbak Tuti, dulu waktu hamil Dini, Ibu juga sering muntah-muntah, ya? Terus kalau makan harus disuapin sama Bapak. Coba sekarang Bapak suapin Ibu, biar ibu bisa makan dan gak lemas lagi. Kasihan dedenya Dini, Pak” Mataku membulat mendengar celetukan dari Dini. Tentu saja aku tidak setuju dengan usulan tersebut. Jangankan makan disuapi Mas Bima, melihat wajahnya saja aku sudah muak. Namun, sayangnya apa yang aku rasakan tidak sejalan dengan hormon bawaan hamil yang justru menerima perhatian dari Mas Bima. “Kamu m
Dering ponsel di saku celana Mas Bima menghentikan aktifitas kami semua. Mas Bima yang tangannya kotor karena sedang makan, membuatnya tidak bisa menerima panggilan. Tidak lama setelah panggilan berakhir, dering dengan nada yang sama kembali menggema. “Gak kamu angkat dulu aja, Mas? Siapa tahu telepon penting. Aku ambilkan air kobokan biar kamu bisa cuci tangan.” “Gak usah, Sayang. Kalau gak ngerepotin, tolong kamu ambil aja HP mas di kantong dan angkat teleponnya.” “Yakin gak apa-apa?” tanyaku memastikan.“Iya gak apa-apa, Sayang.”Aku pun menurut dan merogoh saku celana Mas Bima. Dia menyunggingkan senyum saat tanganku masuk ke saku celananya. Begitu berhasil mengeluarkan ponsel tersebut, aku memperlihatkan kepadanya jika yang sejak tadi menghubungi adalah Cantika. “Angkat aja, Sayang.” Aku menggeleng, tetapi Mas Bima masih memaksa. Aku pun mene
“Sayang, happy anniversary, ya?” Samar-samar aku mendengar suara pria yang familiar di telingaku. Kelopak mataku masih berat untuk terbuka, tetapi sentuhan hangat di wajahku membuatku tetap berusaha untuk terjaga. “Mas?” panggilku lirih. “Selamat mengingat hari jadi, ya,” bisiknya lagi. Aku membuka mata dan melihat sekitar masih dengan kondisi kamar yang remang-remang. Hanya ada cahaya kecil dari lilin yang dibawa Mas Bima. Ya. Lilin di atas kue yang belum terlihat jelas berbentuk apa. Aku terdiam sejenak sampai akhirnya sadar sesuatu. “Anniversary kesepuluh, ya?” gumamku baru teringat. Seharusnya, aku dan Mas Bima pergi bulan madu untuk yang kesekian kalinya ke Bulan Dewata, tetapi batal setelah aku tahu ada wanita lain di dalam rumah tangga kami. “Iya. Selamat ya, Sayang. Semoga kamu bisa maafin semua kesalahan aku, dan mau
“Bapak semalem bobok disini, Bu?” seru Andini terlihat riang. Aku hanya bisa menjawab singkat. “Iya.” “Yeay! Semoga keluarga kita bisa kembali utuh seperti dulu, ya, Bu. Gak apa-apa deh tinggal di rumah kecil kayak waktu Dini belum lahir, yang penting Ibu sama Bapak sama-sama lagi sama kita,” sahut Astuti menimpali. Kami memang baru pindah ke rumah yang lebih besar setelah Andini lahir. Sebelumnya, rumah kami kecil seperti rumah kontrakan yang sekarang aku tinggali dengan anak-anak sekarang. Aku sedikit terkejut karena Astuti masih mengingat masa-masa itu. Padahal saat itu usianya baru empat tahun. Akan tetapi, ternyata daya ingatnya masih sangat bagus. Proses kehidupan kami sampai di titik sekarang memang cukup panjang. Dari tinggal di kamar kos yang hanya sepetak ruang sampai sekarang punya rumah sendiri yang cukup luas. Meskipun sekarang aku dan anak-anak justru terusir karena keda
Ternyata Bara lah yang ditegur oleh Mas Bima. Suamiku memang belum tahu jika aku menyewa rumah mamanya Bara. Entah apa yang akan dikatakan Mas Bima nanti saat tahu rumah ini sama saja milik Bara. Yang sudah jelas bisa kupastikan, Mas Bima akan murka dan tidak setuju dengan pilihanku. “Aku cuma mau memastikan jika rumahku cukup nyaman untuk ditinggali Raya dan anak-anaknya.” “Apa maksudmu?” murka Mas Bima sambil mencengkram bagian depan kaos oblong yang dipakai Bara. “Mas! Apa-apaan, sih, kamu! Lepasin Bara gak!” Aku berjalan tergopoh untuk melerai Mas Bima dan Bara yang pasti sebentar lagi terlibat pertikaian. Sedangkan Bara yang aku khawatirkan justru masih terlihat santai. “Lepasin cowok gak tau diri ini? Jangan harap!” ancam Mas Bima. Aku sudah hampir sampai di dekat keduanya, pada saat Bara membalikkan posisi dimana cengkraman Mas Bima terlepas, dan kini dirin
Aku masih menatap nanar pada foto yang dibawa Bara. Aku pikir, itu adalah fotonya Cantika dengan Mas Bima. Namun, ternyata justru foto-foto Cantika bersama Budi, adik kandungnya Mas Bima. Aku jadi teringat juga dengan cerita Rima belum lama ini. Tentang Cantika yang juga sering menggoda Budi, suaminya. Akan tetapi, aku tidak menyangka jika mereka akan berbuat sejauh itu.“Kamu dapat foto kayak gitu dari mana, Bara?” tanyaku tidak habis pikir.Bara membenarkan posisi duduknya sebelum kemudian memberikan penjelasannya. “Sebenarnya aku belum puas kalau belum hajar suami kamu. Makanya aku mau kasih pelajaran sama dia. Dan waktu aku mendatangi rumah suamimu, aku justru melihat Cantika dijemput cowok itu setelah suamimu pergi bekerja. Pas aku ikuti, ternyata mereka pergi ke Bar dan check in hotel setelahnya.”“Padahal Cantika lagi hamil, lho. Kok bisa-bisanya dia berani tetap minum alkohol wal