“Ya kan siapa tau aja kalau Mbak Raya sengaja kasih sesuatu di makanan yang mau aku makan,” celetuk Cantika lagi masih menuduhku.
“Ternyata selain gak tau diri, kamu juga gak ada otak, ya? Kita semua juga tadi tau, gak ada masakan yang dibeda-bedakan. Makanan yang kamu ambil satu tempat yang kami makan juga. Mungkin itu karma karena kamu udah serakah ngabisin ikan siang tadi,” sindirku sekalian.“Tuh, kan, Mas. Mbak Raya itu masih gak terima karena dede bayi siang tadi makan ikan goreng yang sisa tadi pagi itu. Makanya sampai tega bikin sakit perutku sekarang.”“Sisa kamu bilang? Itu ada lebih dari sepuluh potong. Sebanyak itu kamu hilang sisa? Lagian siapa juga sih yang kurang kerjaan bikin kamu sakit perut. Gak usah banyak drama!”“Sudah, Raya, sudah. Cuma makanan aja diributin kayak orang susah aja. Kamu harusnya maklum kalau Cantika makannya banyak. Dia lagi hamil, kan? Jadi, wajar lah. Masa sampai ba“Ini suamimu kayaknya halal deh aku sleding! Kesel banget, sumpah!” rutuk Endah begitu kami bisa mengobrol setelah anak-anakku kembali tidur di apartemen Endah. Beruntung sekali Endah punya dua kamar di apartemennya. Satu kamar tamu sudah ditempati anak-anakku yang nantinya aku pun akan ikut tidur bersama mereka. Saat ini Endah masih mengajakku mengobrol, atau lebih tepatnya mengghibah dengan bahan utamanya tentu saja Mas Bima dan Cantika. Endah tidak henti-hentinya menyumpahi kedua pasangan laknat tersebut. Dia bahkan mengatakan jika aku mau, dia bisa dengan mudah menjatuhkan usaha Mas Bima dengan satu panggilan. Bukan rahasia lagi jika jaringan Endah sangat luas. Dari kalangan elit sampai preman pasar rasanya Endah punya kenalan. Jadi, jika hanya ingin menghancurkan rumah makan Mas Bima, bukanlah hal sulit baginya yang uang pun tersedia. “Gak usah, Ndah. Aku lebih suka melihat dia terhukum oleh alam se
“Bara? Kamu kok di sini?” tanyaku saat tanpa sengaja kembali bertemu dengannya. “Lah, harusnya aku yang tanya. Kok kamu kenal sama mamaku?” “Mamamu?” ulangku tidak percaya dengan indera pendengaranku sendiri. “Iya, itu yang duduk samping kamu mamaku, Raya.” Aku masih terkejut. Tidak menduga jika aku akan menyewa rumah kontrakan milik mamanya Bara. Walaupun kami teman saat di bangku SMA, tetapi dulu yang kutahu Bara tinggal bersama neneknya. Sedangkan dengan mamanya, aku belum pernah bertemu sekalipun, karena katanya beliau menjadi TKW di Taiwan. Mamanya Bara adalah single parent. Kedua orang tua Bara sudah bercerai sejak dia masih SMP. Bara memang pernah bercerita demikian kepadaku. Namun, aku tidak menyangka jika akhirnya akan berkenalan dengan beliau setelah sudah dewasa seperti sekarang. “Mbak Raya ini mau sewa rumah kontrakan Mama, Bar,” terang Bu Rania, mamany
“Kamu kenapa tadi cegah aku, sih?” kesal Bara padaku. Mukanya masih ditekuk menahan emosi. Dia pasti akan melakukan kekerasan kepada Mas Bima jika tadi aku tidak mencegahnya. Aku tahu bagaimana Bara jika sudah terbawa emosi. Dia tidak akan segan untuk baku hantam jika berurusan dengan laki-laki brengsek seperti Mas Bima. Bara pernah bercerita padaku, jika dulu saat dia tahu papanya menyakiti hati mamanya, dia sangat ingin melayangkan pukulan kepada sang papa. Sayangnya, sebenci apapun dia dengan papanya, dia tidak pernah bisa memukul pria itu. Jadinya, setiap Bara mendapati pria brengsek seperti papanya, dia tidak akan segan menyalurkan kemarahan terpendamnya kepada orang tersebut. “Aku gak mau kamu ribut-ribut di sekolah anakku, Bara. Sudah jangan ditanggapi. Gak ada untungnya.” “Berarti kalau aku kasih pelajaran dia di tempat lain, bisa kan?” Aku pukul lengan ata
“Aman?” “Aman, dong. Kamu jangan khawatir. Aku baik-baik saja kok. Dan satu lagi … ” Aku menjeda kalimatku. Mencari padanan kata yang paling pas untuk memberikan pengertian kepada Bara. “Satu lagi apa, Raya?” “Kamu …, bisa kan buat bersikap biasa aja kayak kita sebelum ketemu lagi kemarin. Aku cuma gak mau ada yang salah sangka sama kamu. Mau bagaimanapun, status aku saat ini masih wanita bersuami. Lagi hamil pula. Gak bakalan baik kalau kamu terlalu perhatian sama aku, meskipun aku tahu niat kamu sangat baik dan gak aneh-aneh.” Bara menunduk dan mengangguk pelan. “Iya aku paham, Raya. Maaf ya kalau aku bikin kamu gak nyaman.” “Sebenarnya bukan masalah nyaman atau gak nyaman. Aku cuma gak pengen ada fitnah aja, sih. Apalagi kondisi rumah tanggaku sedang goyang. Aku gak mau nama baik kamu tercoreng, dan aku gak mau nambah masalah yang bisa bikin anak-anakku makin te
Gara-gara Astuti mengatakan jika pertanyaan Endah dengan Bara sebelumnya hampir sama. Kami jadi ketahuan jika tadi siang membicarakan Endah di depan Bara. Endah pun heboh dan meminta diceritakan secara detail. Dia siap-siap mengamuk jika kami sampai membuat harga dirinya turun. “Kata Om Bara, kelasnya Tante Endah ketinggian. Emang Tante kelas berapa, sih? Masih sekolah juga, ya? Dini kira, Tante udah gak sekolah,” ceplos Andini dengan suara polos. Aku pun melihat dahi Endah mengernyit. Entah heran dengan pertanyaan Andini atau heran dengan pendapat Bara yang dibocorkan anak bungsuku. “Duh, Raya …, kasih paham anakmu sana,” bisiknya padaku. Aku pun hanya menggeleng pelan. “Maksudnya Om Bara itu, bukan kelas di sekolahan, Sayang. Nanti kalau Dini sudah besar, baru paham sama yang dimaksud Om Bara.”Beruntung sekali Andini tidak memperpanjang pertanyaannya, sehingga aku terbebas dari jeba
“Halo, Mas.” “Raya, mana alamatmu dan anak-anak. Katanya kamu mau kirim alamatnya sama aku?” “Iya, Mas. Nanti juga aku kirim. Sabar kenapa, sih!” sewotku. Aku pikir Mas Bima mau apa telepon malam-malam. Ternyata dia hanya menagih janji yang ku katakan siang tadi di cafe jika aku akan membagi alamat tinggal kami kepadanya. “Ya aku takut aja kamu ingkar atau justru lupa sama janjinya sendiri,” balasnya. “Aku bukan kamu yang bisa dengan mudahnya ingkar janji saat ada orang baru yang datang menggoda, Mas.” “Malah nyindir, kan?” tegurnya. “Jadi kamu tersinggung, Mas? Berarti merasa dong?” “Udah lah, Raya. Jangan berantem lagi. Udah gak serumah aja kamu masih aja ngajakin aku ribut.”Aku mendengus saat dipersalahkan olehnya. Aku memang terbawa emosi, tetapi aku segera mengontrol diri dan tidak memperpanjang urusa
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab kami bersamaan. “Bapak!” Andini langsung berlari berhambur memeluk Mas Bima. Dia memang terbilang cukup manja dengan bapaknya. Sejak kecil, dia sudah menjadi kesayangan Mas Bima karena tingkahnya yang menggemaskan. “Dini sehat, kan?” “Sehat, Pak. Ayo sarapan, Pak. Ibu muntah-muntah dari tadi pagi, Pak. Kata Mbak Tuti, dulu waktu hamil Dini, Ibu juga sering muntah-muntah, ya? Terus kalau makan harus disuapin sama Bapak. Coba sekarang Bapak suapin Ibu, biar ibu bisa makan dan gak lemas lagi. Kasihan dedenya Dini, Pak” Mataku membulat mendengar celetukan dari Dini. Tentu saja aku tidak setuju dengan usulan tersebut. Jangankan makan disuapi Mas Bima, melihat wajahnya saja aku sudah muak. Namun, sayangnya apa yang aku rasakan tidak sejalan dengan hormon bawaan hamil yang justru menerima perhatian dari Mas Bima. “Kamu m
Dering ponsel di saku celana Mas Bima menghentikan aktifitas kami semua. Mas Bima yang tangannya kotor karena sedang makan, membuatnya tidak bisa menerima panggilan. Tidak lama setelah panggilan berakhir, dering dengan nada yang sama kembali menggema. “Gak kamu angkat dulu aja, Mas? Siapa tahu telepon penting. Aku ambilkan air kobokan biar kamu bisa cuci tangan.” “Gak usah, Sayang. Kalau gak ngerepotin, tolong kamu ambil aja HP mas di kantong dan angkat teleponnya.” “Yakin gak apa-apa?” tanyaku memastikan.“Iya gak apa-apa, Sayang.”Aku pun menurut dan merogoh saku celana Mas Bima. Dia menyunggingkan senyum saat tanganku masuk ke saku celananya. Begitu berhasil mengeluarkan ponsel tersebut, aku memperlihatkan kepadanya jika yang sejak tadi menghubungi adalah Cantika. “Angkat aja, Sayang.” Aku menggeleng, tetapi Mas Bima masih memaksa. Aku pun mene
Mataku membola mendengar apa yang dikatakan ibunya Mas Bima. Aku terkejut mendengar cerita kenekatan Cantika demi Mas Bima. Aku segera memberi kode kepada kedua putriku untuk berpindah ruangan. Aku tidak mau mereka mendengar kata-kata yang tidak sepantasnya didengar anak kecil. Untungnya kedua putriku sangat penurut dan segera pindah keluar. Ada rasa sedikit khawatir karena niat baik untuk rujuk dengan Mas Bima sudah langsung kembali dihadapkan akan masalah seperti ini. Aku tidak mungkin menghalangi Mas Bima untuk pergi, jika taruhannya sebuah nyawa. “Bima, kenapa kamu diam saja, Nak? Kamu dengar Ibu bilang apa, kan? Kamu mau kesini, kan? Ibu dan Budi gak bisa mengatasi Cantika soalnya. Ibu takut dia beneran nekat.” Suara ibunya Mas Bima terlihat sangat panik. Dia pasti sungguhan takut terjadi apa-apa pada Cantika. Karena, jujur saja aku pun sama takutnya dan tidak ingin Cantika n
“Kamu kenapa nekat banget, sih, Mas? Tahu sendiri Cantika segitunya pertahankan kamu. Harusnya kamu bisa pertimbangkan dulu, barangkali memang kamu baiknya sama dia aja.” Meskipun aku tidak suka dengan perbuatan Cantika, tetapi aku tidak tega melihat dia seperti saat ini. Cintaku untuk Mas Bima mungkin juga sudah tidak utuh seperti dulu. Sehingga aku bisa memberikan opsi kepadanya untuk mempertimbangkan Cantika. “Seperti yang aku bilang tadi, Raya. Aku baru sadar kalau aku gak cinta sama dia. Aku cuma kasihan dan itu jauh berbeda dengan rasa yang aku punya buat kamu.” “Aku belum tentu mau untuk mempertahankan rumah tangga kita, Mas.” “Aku gak peduli, Raya. Walaupun nanti kamu memilih untuk berpisah denganku, aku tidak akan menyesal karena sudah mentalak tiga Cantika. Bagiku saat ini, jika bukan bersamamu, maka aku tidak akan bersama siapapun. Biarlah hidupku nanti aku dedikasikan untuk bekerja, untuk men
“Kamu gak boleh balikan sama Mbak Raya, Mas. Kamu harus rujuknya sama aku,” rengek Cantika yang datang tanpa diundang. “Kamu sudah gak ada hak untuk ikut campur sama apapun urusanku, Cantika. Aku sudah mentalakmu. Kamu bukan istriku lagi dan sekarang tidak punya hak apapun untuk mengaturku.” “Tapi aku gak mau ditalak, Mas. Please, maafin aku. Kasih aku kesempatan untuk perbaiki hubungan kita. Aku janji gak akan punya hubungan apa-apa lagi sama Mas Budi, atau pria manapun. Ya, Mas, ya? Aku mohon, Mas.” Secara spontan kakiku melangkah mundur saat Cantika berjalan mendekati Mas Bima untuk merayunya. Mimik wajah masih ku pertahankan tetap tenang dan tidak cepat bereaksi. Aku mau melihat bagaimana Mas Bima menghadapi wanita itu. Apakah dia akan kembali tergoda, atau sebaliknya? Terlebih saat ini Cantika terlihat sangat menarik dengan pakaian seksi dan dandanan m
“Em, itu …,” kataku dengan ragu. Belum sampai aku menjawab lengkap pertanyaan dari Mas Bima, sudah terdengar suara sapaan dari luar kamar. “Assalamualaikum,” ucap Astuti dan Andini dengan kompak. “Waalaikumsalam warahmatullah,” balasku dengan Mas Bima juga bersamaan. Kedua putri kami itu terlihat terkejut saat melihat keberadaan Mas Bima yang sedang menggendong adik bayi mereka. Namun, keterkejutan itu hanya sesaat sampai Astuti memulai mendekat untuk menjabat tangannya. Andini pun mengekor di belakangnya. Walaupun keduanya diam tanpa kata, tetapi aku sudah cukup bangga dengan kesantunan mereka yang masih bersikap baik kepada Mas Bima yang mungkin pernah menyakiti hati anak-anaknya. “Mbak Tuti sama Dik Dini dari mana?” tanya Mas Bima berusaha membangun interaksi dengan kedua putrinya. “Dari masjid, Pak. Kalau sore kita ada belajar ngaji di masji
“Bagaimana jika aku tidak pernah ingin menalakmu, Raya? Apa kamu akan menggugat cerai aku di pengadilan?” Aku diam saja. Ternyata pertanyaan itu cukup menggoyahkan perasaanku. Aku yang awalnya sudah yakin akan berpisah dengan Mas Bima, menjadi ragu karena sudah tahu semua kronologinya. Meskipun itu semua tidak cukup untuk menghapus dan menyembuhkan luka yang terlanjur dibuatnya. “Aku sudah menjatuhkan talak kepada Cantika, tapi kamu tenang saja. Aku tidak akan memaksamu untuk harus menerimaku kembali. Aku cukup tahu diri, karena yang terpenting bagiku saat ini adalah melihatmu bahagia tanpa kurang suatu apapun. Baik dengan kembali kepadaku, ataupun tanpa diriku lagi.” “Aku …, belum tahu, Mas,” kataku dengan jujur. Banyak pertimbangan yang membuatku ragu. Bukan hanya takut Mas Bima akan kembali mengulang kesalahan yang sama. Akan tetapi, aku pun takut jika aku akan mengungkit kesalahan Mas Bima ini di mas
Aku meminta Mak Ijah membawakan kotak P3K yang biasa disimpan di dapur. Aku tidak tahan melihat luka di wajah Mas Bima dibiarkan begitu saja. Aku mengambil kompres dingin untuk memar di beberapa bagian wajahnya. Juga membersihkan luka dan memberikan obat antiseptik. Awalnya Mas Bima menolak untuk diobati. Katanya, dia tidak membutuhkan itu dan melihatku sudah cukup untuknya. Akan tetapi, bukan Raya jika tidak keras kepala dan tegas memaksanya. Sampai akhirnya Mas Bima menyerah dan membiarkanku merawat lukanya. “Kamu habis berantem sama siapa, sih, Mas?” Mas Bima tertunduk lesu. Aku memang bukan tipe orang yang suka ikut campur dengan urusan orang lain. Namun, kali ini aku sungguh berharap Mas Bima mau bercerita. “Mas? Aku gak boleh tau tentang kamu lagi, ya?” tandasku membuatnya mengangkat kepala. “Bukan begitu, Raya.”“Terus, apa?” Mas Bima men
“Karena apa, Rima?” tanyaku tidak sabar menunggu penjelasan dari Rima. “Karena Cantika juga di rumah sakit untuk melahirkan juga, Mbak. Hanya saja, anaknya tidak bisa selamat. Makanya ini Mas Bima lagi urus pemakamannya.” “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.” Aku sangat terkejut mendengar kabar duka yang dibawa Rima. Tadinya aku sudah kecewa dengan Mas Bima yang tidak segera datang melihat aku dan anaknya yang baru lahir. Akan tetapi, setelah mendengar kabar duka ini yang tentunya sedang dirasakan Mas Bima juga, aku pun berubah iba padanya. “Kok bisa, Rima?” “Ceritanya panjang, Mbak.” Aku pun mendengarkan cerita dari Rima sejak Mas Bima menerima telepon dariku. Katanya, Mas Bima sudah mau pergi untuk menemuiku, tetapi Cantika mencegahnya dan terjadi pertengkaran hebat yang membuat Cantika terjatuh karena tidak sengaja terdorong oleh Mas Bima. “As
Beruntungnya tidak lama setelah itu, Mak Ijah datang dengan taksi yang langsung kuminta untuk mengantarku ke rumah sakit terdekat. “Mak…” “Bu Raya?” “Mak, ketubannya sudah pecah,” aduku sambil meringis menahan sakit. “Ya Allah, Bu. Maaf ya, Mak baru datang. Kita ke rumah sakit sekarang.”Aku mengangguk dan membiarkan Mak Ijah membantuku ke taksi. Astuti dan Andini ikut ke rumah sakit juga. Ponselku dipegang Astuti. Aku tidak lagi memikirkan apa-apa selain fokus untuk persalinan dan keselamatan anak yang sedang aku kandung. ‘Gak apa-apa, ya, Nak. Gak ada Bapak. Kita berjuang berdua. Harus selamat dan sehat,’ batinku saat sudah di ruang IGD rumah sakit. Air mata tidak berhenti menetes sejak tadi. Rasa sakit yang luar biasa makin terasa saat pembukaan bertambah. Aku hanya bisa mengadu pada bidan rumah sakit yang mendampingi proses melahirkan.
“Kamu sehat, kan?” “Alhamdulilah sehat, Mas. Kamu yang terlihat kurusan, Mas.” Setelah aku desak untuk bertemu, akhirnya Mas Bima datang juga ke rumahku. Dia terlihat sangat terkejut dengan perubahan rumah yang aku tinggali. Apalagi melihat ada sebuah toko sederhana di depannya. Sebenarnya aku berniat mengajaknya bertemu di luar rumah saja. Akan tetapi Mas Bima takut membuatku repot jika harus bertemu di luar. Jadilah dia memilih untuk datang ke rumah saja. Aku sudah bisa membayangkan apa yang dipikirkan Mas Bima saat ini. Wajah tirusnya karena sepertinya berat badannya turun banyak, makin pucat saja karena tercengang. “Kamu, sudah sukses sekarang, Raya,” desisnya nyaris tanpa suara. “Gak juga kok, Mas. Sekedar mengisi waktu luang aja.” Mas Bima tersenyum miring. Dia pasti merasa jika aku terlalu merendah. Terserah saja dia mau menilai jawaban d