"Itu gak mungkin Dane, kamu mau balas dendam padaku dengan mengatakan Bima mengidap leukimia akut, 'kan?"
Pelototan tajam Cempaka mengintimidasi Danendra. Ia kehilangan kata-kata lantaran tudingan Cempaka yang tak beralasan."Aku akan pindahkan Bima ke rumah sakit lain, biar diperiksa oleh dokter yang lebih baik."Cempaka membalik tubuh menuju pintu, hanya saja kecepatan cekalan Danendra pada pergelangan tangan Cempaka membuat badan perempuan itu kembali menghadap saudara sepupu mendiang suaminya itu."Pindah rumah sakit tidak segampang yang kamu kira, Cempaka. Lagipula Bima masih bisa ditangani di rumah sakit ini," jelas Danendra.Cempaka mengempas lengannya sehingga cekalan Danendra terlepas."Aku tidak percaya Bima ditangani oleh kamu, setelah nyawa suamiku direnggut oleh kamu." Tangan Cempaka menunjuk-nunjuk Danendra.Pria itu sebenarnya menyimpan amarah terpendam akan kalimat tuduhan Cempaka yang tak sesuai fakta. Namun, mengingat nasib Cempaka yang makin menderita akan kenyataan Bima mengidap penyakit keras membuat Danendra iba."Sekali lagi aku tegaskan Cempaka, Bang Haris terlibat kecelakaan murni dan tunggal. Aku juga korban dari kecelakaan itu. Tolong jangan mengada-ada."Bukannya mereda, Cempaka memuntahkan ucapan pedas lainnya."Ya, bukan kamu secara langsung. Tapi, semua untuk mengurus kepentingan pribadi kamu?! Untuk menemui istri kamu yang tak jelas rimbanya kini. Mana... mana... dia... kasihan kamu," ejek Cempaka dengan sinis.Danendra terngiang-ngiang pada jeritan Natali yang menuntut cerai, Cempaka cari masalah dengan mengingatkan Danendra akan hal itu."Cempaka, hubunganku dengan Natali bukan urusan kamu. Sebaiknya fokus pada penyembuhan Bima."Cempaka dengan napas tersengal membuang pandang ke arah lain. Topik tentang Bima mampu meredam perasaan yang bergemuruh."Untuk kamu ketahui, aku adalah salah satu dokter yang paham mengenai kanker darah. Kalaupun ingin mencari dokter lain, kamu perlu mengeluarkan dana yang tidak sedikit."Kenyataan itu menghantam Cempaka. Andalannya hanyalah asuransi pemerintah, itupun kelas paling bawah.Keuangan keluarga Cempaka sangatlah terbatas. Pendidikan Bima dan kakaknya saja dibantu sekolah pemerintah sehingga Cempaka terbebas dari perkara dana pendidikan.Urusan kesehatan keluarga, Cempaka pun tidak punya pilihan lain selain asuransi pemerintah.Air mata menggenang di pelupuk mata Cempaka. Ia hanya ingin Bima sembuh seperti sedia kala, sekalipun menyerahkan penanganan Bima pada Danendra adalah hal sulit."Dengan berat hati, aku lepaskan penanganan kesehatan Bima pada kamu."Danendra menatap kasihan pada Cempaka yang masih saja mengibarkan bendera perang di detik-detik kelemahannya.Cakrawati tiba di rumah sakit menenteng tas dan rantang untuk Cempaka. Ia sengaja datang sewaktu cucu perempuannya, Saras, bersekolah.Tak habis Cakrawati terisak mendengar penjelasan Cempaka mengenai sakit yang diderita cucunya.Cakrawati memeluk Cempaka dari samping yang sedang menatap ke arah ranjang tempat Bima berbaring."Bu, ke depan bagaimana nasib kita, ya? Kalau aku tidak bekerja, bisa-bisa kita tidak makan. Apa ibu bersedia menemani Bima kalau dia dirawat dalam waktu yang lama?"Cakrawati memejamkan matanya, merasa bersalah. Di hari tua, Cakrawati merasa membebani hidup putri tunggalnya. Sang suami tidak meninggalkan sisa harta semasa hidup.Mereka mengandalkan Haris sebagai satu-satunya pencari nafkah. Tiba Haris dipanggil Yang Kuasa, mereka gelagapan untuk memenuhi kebutuhan hidup."Bu...," panggil Cempaka."Iya, ibu bersedia. Maafkan Ibu, ya, jadi beban buat kamu di usia yang makin tua."Cempaka menoleh pada ibunya."Ibu bicara apa, sih? Kita bukan orang lain yang perlu segan, Bu. Dulu ibu banting tulang buat hidupin aku. Tidak ada hal lebih mulia, bila aku bisa membiayai ibu."Air mata Cakrawati berderai, mereka saling berpelukan dalam kecemasan masing-masing. Namun, saling meneguhkan dalam masalah.Danendra berkunjung ke ruang rawat Bima didampingi oleh perawat. Anak laki-laki itu sudah bangun."Apa kabar kamu, Jagoan?" Mereka ber tos ria."Aku baik-baik saja, Om Dane. Tapi ini bikin sakit." Bima mengangkat tangan yang diinfus.Danendra tersenyum, ia melihat keceriaan Bima sebagai semangat hidup bocah laki-laki berusia 7 tahun itu."Ke mana mama kamu?"Danendra tak menemukan Cempaka di sana."Pulang. Aku bersama Uti," ucapnya merujuk neneknya."Oh, Uti datang. Mana?""Toilet," tunjuk Bima.Danendra mengunjungi tiga orang anak lain yang mengidap sakit yang sama dengan Bima. Tidak lama ia berbincang dari pasien anak ke pasien lainnya.Sewaktu kunjungan dokter telah telah selesai, ia mempersilakan perawat meninggalkan dirinya. Ia ingin bicara pada Cakrawati."Ibu di sini. Gantian dengan Cempaka?"Danendra mengajak Cakrawati keluar ruangan."Iya, Nak. Cempaka harus bekerja."Kening Danendra mengernyit, seketika kembali biasa setelah menyadari kalau Cempaka saat ini menjadi tulang punggung bagi keluarganya."Nanti ke mari lagi?""Iya, siang setelah Saras pulang sekolah, nanti gantian lagi sama Ibu. Maklumlah, Nak." Cakrawati terkekeh mengingat nasib diri sendiri dan sang putri."Bu, pengobatan Bima ini akan berlangsung panjang. Kesehatan Bima akan lebih banyak menyita perhatian dan waktu."Danendra bermaksud baik menjelaskan hal itu pada Cakrawati, sayangnya tanggapan Cakrawati berbeda."Bakal gimana nanti, ya, Nak Dane. Hidup Cempaka makin hari makin banyak tanggungan. Sedih ibu memikirkan anak ibu itu." Cakrawati menangis pelan, mengusap hidungnya yang telah basah.Danendra mengusap pundak Cakrawati untuk menabahkan perempuan yang berusia senja itu."Apa ibu harus cari pengganti Haris untuk membantu Cempaka mengatasi persoalan hidupnya? Tapi, sungguh kejam kalau memanfaatkan orang lain hanya untuk menanggung biaya keluarga kami ini."Bersamaan dengan itu, Cempaka terlihat berjalan cepat di lorong rumah sakit hingga tiba di hadapan mereka berdua."Ibu kenapa menangis?" Cempaka melihat mata dan hidung ibunya. Cakrawati menggeleng sembari tersenyum, Cempaka tidak puas lantas tatapannya beralih pada Danendra."Kamu bicara apa sampai bikin hati ibu sedih?" tanya Cempaka dengan sikap tubuh menantang.Kening Danendra mengernyit berlapis, tidak menyangka ada tuduhan baru di balik pertanyaan Cempaka."Ibu tidak kenapa-napa, Cempaka. Teringat sama Bima jadi sedih." Cakrawati mengusap mata dan hidung dengan sapu tangan dari kantong baju panjangnya."Oh, ya sudah, Bu. Mari kita masuk lihat Bima."Cempaka mengambil alih Cakrawati dari samping Danendra. Pria itu hanya bisa menggeleng-geleng sampai tak melihat ibu dan anak itu masuk ruang rawat inap Bima."Kenapa Bang Haris bisa punya istri seperti Cempaka ini, ya. Gak ada manis-manisnya."Danendra pun pergi meninggalkan ruangan untuk melanjutkan tugasnya sebagai dokter."Ibu, jangan terlalu dekat dengan Danendra. Dia tidak baik buat keluarga kita. Namanya orang pintar dan kaya, bisa saja membodohi orang seperti kita ini."Kalimat itu ditangkap oleh Bima yang duduk menikmati buah potong."Kenapa tidak boleh, Ma? Om Dane baik, kok."Cempaka menatap putranya yang kebingungan. Dia sadar telah salah memilih waktu menceritakan Danendra. Bima dan Danendra adalah dua sosok yang bisa disebut sebagai sahabat, sekalipun saat Haris masih hidup.Bima pernah mengatakan kalau ia ingin menjadi seperti om-nya kelak yang senang membantu anak-anak untuk bisa hidup sehat.Cempaka tersenyum canggung sembari menggaruk dagunya yang tak gatal."I... iya, Bima."Setelah mendapat perawatan medis, Bima diperbolehkan kembali pulang sembari menunggu jadwal kemoterapi.Setelah Cempaka dagang, ia langsung ke rumah sakit untuk membenahi barang pribadi Bima."Kemoterapi ini pengobatan utama, ada obat antikanker yang akan dimasukkan melalui pembuluh darah, otot, bahkan diminum. Dengan terapi ini obat akan menjangkau seluruh tubuh, Cempaka," jelas Danendra kala pria itu berkunjung ke kamar rawat.Cempaka tahu kalau kemoterapi punya efek samping yang tidak main-main.Ia memandang iba pada anaknya, Bima, yang tengah memainkan robot-robotan dari Danendra di ranjangnya. Setitik air mata jatuh membasahi pipi Cempaka yang langsung diusapnya.Cempaka tidak mau sampai ketahuan Bima bila menangis. Bima butuh semangat kuat untuk hidup darinya sebagai ibu."Kita pulang dulu, ya, Sayang, hari ini," ucap Cempaka mendekati Bima."Asyiknya... Aku sudah bosan di sini, Ma, mau bermain bersama kakak juga sudah rindu pada teman sekolah," sahut Bima antusias dengan binar
Sepekan dilewati Cempaka dengan rasa sedih mengingat Bima, ia tidak konsentrasi saat berjualan, alhasil saat memberi kembalian kadang kurang seringkali berlebih."Selisih lagi?" tanya Cakrawati malam hari saat Saras dan Bima telah tertidur.Cempaka mengangguk pasrah."Pembelinya tidak beritahu kalau dikasih kelebihan," sesalnya. Cempaka berdiri mengambil segelas air lalu meminumnya dan kembali duduk di bangku dekat dapur."Ya, pelangganmu banyakan anak-anak. Mereka senanglah kalau dikasih kelebihan."Cempaka mengangguk lagi usai meneguk air dari dalam gelas."Ikhlaskan.""Ya, Bu," sahut Cempaka sembari mengemasi catatan penjualan beserta uang hasil jerih payahnya hari ini."Pekan depan Bima mulai kemoterapi, Bu. Bima harus dalam keadaan fit menjalaninya.""Ibu akan temani Bima," usul Cakrawati membuat Cempaka terdiam. Dirinya sebagai ibu juga ingin hadir menemani Bima, hanya saja tuntutan hidup tidak memberinya kesempatan."Sejak Bang Haris berpulang, roda hidupku rasanya sulit berput
"Mama senang dengar kamu bakal menikahi Cempaka. Lama mama tidak jumpa Cempaka," ujar Qonita, ibunda Danendra, melalui sambungan telepon.Danendra bergeming, ia hanya melapor apa yang baru saja terjadi."Dibanding istri kamu itu, Cempaka lebih baik. Dia selalu memakai alasan konflik dengan mertua untuk berpisah dengan kamu, padahal mama sekedar mengingatkan kalau kamu itu dokter dengan tugas seabrek," lanjut Qonita menyinggung persoalan Natali."Ma, tidak perlu kita bahas soal Natali.""Mama angkat soal istri kamu itu, supaya mata kamu terbuka Dane. Dia menginginkan berpisah dari kamu, kamu bilang sekarang dia sudah punya pasangan lain. Lihat, mama tidak salah menilai."Danendra menyugar rambutnya. Malam ini ia lelah sekali usai dari rumah Cempaka langsung menghubungi Qonita. "Mau di mana pernikahan dilangsungkan? Balikpapan, tempat mama, atau Bekasi?" Qonita mulai merasa Danendra tidak nyaman lantaran membahas soal Natali, maka ia menanyakan perihal pernikahan."Bekasi saja, Ma. Bim
Cempaka tersenyum sembari mengangguk. Cempaka pun salut pada kinerja Danendra dalam menangani Bima."Mantan Dane dulu tidak mengerti itu, keberatan kalau Dane terus bekerja, dibilangnya tidak dapat perhatian. Dibilangnya lagi, mama yang menghasut Dane." Secara kebetulan, sejak mereka berkenalan, Cempaka telah memanggil mama pada Qonita.Lukito mencolek istrinya, ia segan menegur dengan kata pada Qonita yang berani menceritakan tentang masa lalu anaknya. ***Pernikahan Danendra dan Cempaka digelar terbatas, hanya keluarga yang menghadiri pernikahan mereka. Qonita dan Lukito pun tidak berlama-lama di Bekasi lantaran bisnis yang tak bisa ditinggal lama. Malam hari pernikahan, mereka putuskan untuk kembali ke Balikpapan. "Dalam kamar ini ada dua ranjang terpisah untuk kita masing-masing. Jangan biarkan ibu atau anak-anak masuk ke dalam."Pandangan Cempaka menyapu kamar besar milik Danendra. Cukup mengagetkan bagi Cempaka ternyata Danendra telah menyediakan ranjang terpisah bagi mereka.
Mereka makan dengan lahap, terutama Bima dan Saras yang sedang tahap pertumbuhan. Danendra menitipkan pesan pada asistennya, Saidah, agar menyediakan makanan sehat di rumahnya."Makananya enak?" tanya Cempaka. "Ya, Ma. Makanan yang luar biasa," puji Saras."Tadi uti memasak bersama bik Saidah," ungkap Cakrawati. "Kamu mau nambah?" Anggukan Saras menjadi jawaban."Danendra seorang dokter anak, dia memesan bahan makanan yang menyehatkan di rumah," ungkap Cempaka, teringat pada pesan pria itu agar percaya pada Saidah sebagai juru masak di rumah."Cempaka, kamu masih panggil nak Dane dengan sebutan nama?"Cempaka yang sedang mengunyah hanya memberi anggukan."Ibu rasa kamu harus punya panggilan khusus, tidak menyebut nama suami."Kunyahan Cempaka memelan hingga berhenti, ia merasa kesulitan menelan, kerongkongan seolah-olah terisi penuh.Cempaka meraih segelas air lalu meneguknya."Saras dan Bima tadi memanggil Om Dane dengan sebutan Bapak," lapor Bima dari bangku seberang meja.Cempaka
"Ganti pakaian Saras di mobil, aku keluar." Danendra memberi sepasang pakaian milik Saras yang sengaja dibawanya dari rumah, menjauh dari mobil.Cempaka menurut tanpa menggerutu lagi. Setelah berpikir jernih dalam perjalanan menuju parkiran mobil, Cempaka merasa Danendra ada benarnya.Namun, ia masih kurang suka dengan cara penyampaian Danendra yang cenderung menghakimi.Danendra mengajak Saras dan Cempaka ke restoran untuk makan malam. Di perjalanan tadi, tidak ada suara Cempaka dan Danendra, kecuali Saras yang bernyanyi mengikuti lagu anak di dalam mobil.Saras menikmati makan malam, sesekali Danendra mengajak Saras bicara, tetapi tidak terhadap Cempaka.Dengan suasana hati seperti itu, nafsu makan Cempaka menurun. Ia meletakkan garpu dan sendok di piring yang masih berisi.Namun, apa yang diharapkannya? Danendra bersikap sebagai seorang suami?Cempaka mengernyih mendapati pikirannya yang tidak sehat. Melunjak! tegur Cempaka pada diri sendiri."Mama, kenapa? Sudah selesai makan?" Ce
Suasana pagi di meja makan diiringi tawa bahagia Saras dan Bima."Saras, mulai besok kamu akan diantar jemput sopir, namanya Pak Heru," sela Danendra yang sedang menikmati sarapan."Apa mama ikut mengantarkan?" tanya Saras. "Tidak. Apa Saras keberatan?" Danendra balik bertanya.Saras menggeleng, hanya saja parasnya datar. Cakrawati dapat menerjemahkan raut lain pada cucunya. "Biar Uti yang temanin Saras, yah. Mama bersama Bima." Cakrawati berusaha memberi penjelasan.Paras Saras yang awalnya gembira menjadi sayu. "Sesekali mama akan mengantarkan Saras, kok. Mama menemani Bima. Berbagi tugas," hibur Cempaka. Proses sarapan terhenti sebentar.Saras tersenyum, ia teringat pada pesan Cempaka tentang penyakit yang diderita Bima bisa ditanyakan pada Danendra. "Pak, aku mau bertanya, boleh?" tanya Saras antusias dibalas anggukan Danendra. "Kanker itu apa, sih? Aku tanya ke mama, mama bilang tanya ke Bapak."Danendra melirik tajam Cempaka yang meringis mendengar pengakuan putri pertamany
"Aku tidak ingin kamu terlalu jauh turut campur pada hidup anak-anakku. Kamu harus punya batasan dengan mengomunikasikannya padaku."Mendengar penolakan beruntun dari Cempaka membuat Danendra sulit mengerti cara istrinya berpikir."Apa sepicik itu pikiran kamu?"Danendra berpaling badan ke arah Cempaka."Pernikahan ini terjadi karena ada mereka, aku bertanggung jawab membantu anak dari kakak sepupuku yang telah tiada. Lagipula, aku seorang dokter jadi tahu Bima masih bisa dapat hak pendidikan."Cempaka bergeming bersamaan Danendra menarik handle dalam pintu mobil."Sebaiknya kamu keluar," ucap Danendra mendorong pintu sedannya.Diliriknya Danendra yang telah duduk menatap jauh ke arah depan, enggan menoleh pada Cempaka. "Nanti malam apa pun yang mau didiskusikan, aku punya waktu."Perlahan Cempaka keluar dari dalam mobil, tanpa permisi Danendra memacu kendaraan keluar dari halaman kediamannya.Helaan napas dalam sekalian pertanyaan apakah dirinya keterlaluan terhadap Danendra mencuat
Setelah Joko Chandra, giliran Natali ditemui oleh Cempaka. Ia datang sendiri ke kediaman perempuan yang menjadi istri kedua suaminya."Mau apa datang kemari!" Sambutan Natali dingin saat membuka pintu rumahnya. Di belakang Natali, dia melihat seorang perempuan yang diketahui Cempaka sebagai teman dekat Natali."Suruh masuk, ada tamu," ucap Dahlia ramah.Cempaka tak berminat masuk, ia langsung bicara ke topik inti."Ayahmu sudah mendekam di penjara, Natali."Badan Natali meremang, senyum miring Cempaka malah membuatnya gentar."Aku hanya peringatkan, pelan tapi pasti aku minta kamu mundur dari hubunganki dan Danendra!" tegas Cempaka tanpa ada rasa takut.Natali menatap manik Cempaka dalam-dalam lalu tawa lepas dari bibirnya."Kamu datang kemari untuk mengancam aku, heh?!"Natali membalas menggertak Cempaka."Kartumu ada di aku."Tawa Natali terhenti disambut kalimat ramah Dahlia."Apa kita masuk dulu untuk membicarakan hal penting ini?"Tatapan Cempaka beralih pada Dahlia yang tampak t
Natali gelisah usai menonton berita mengenai penangkapan ayahnya sebagai dalang kebakaran ruko yang pernah ditempati Cempaka. "Memang si Tua ini keras kepala, dari dulu merasa benar dan sekarang dapat akibatnya."Meskipun gelisah, ada rasa marah yang menggerogoti hatinya. Ia teringat bagaimana perlakuan Joko Chandra terhadap ibunya di masa silam, bukannya baik-baik saja, melainkan sebaliknya.Natali kecil sering melihat pertengkaran ayah dan ibunya, dia tidak paham masalah apa yang menimpa. Semakin dewasa, ia mendapati kesalahan ibunya yang dituturkan ayahnya, yakni bersama pria lain.Tertawa miris, itulah yang dilakukan Natali. Memiliki orang tua yang menelantarkan dirinya secara batin, membuatnya tidak yakin dengan relasi pernikahan seumur hidup."Kalian membuat masa depanku hancur, penuh dendam dan kebencian," ucapnya di hadapan bingkai berisi gambar kedua orang tuanya.Bukan sedih yang dirasakan oleh Natali atas kejadian yang menimpa ayahnya."Memang pantas mendapatkannya."Natal
Di malam hari, setelah Devano dan Anita pulang, Danendra duduk di ruang keluarga sendirian. Ia mengulir ponsel tanpa berkonsentrasi dengan apa yang dikerjakan. Pikirannya menerawang pada masa lalu, bagaimana hubungan pertemanan dengan Devano kandas karena pria itu menjalin hubungan dengan Natali di belakangnya.Kekhawatiran menyerang Danendra saat melihat istrinya, Cempaka, terlihat nyaman berada di dekat Devano."Sudah jam setengah sebelas, tidak tidur?" tanya Cempaka yang muncul dari arah belakang badan Danendra. Pria itu hanya diam saja tanpa respon."Cantik ngga kalau bunga ini di taruh di sini?" tanya Cempaka membawa vas berisi bunga yang dibawanya tadi."Hm...," jawab Danendra sembari melirik ke arah bunga cantik di nakas.Cempaka duduk di bangku berhadapan dengan Danendra. "Pak Devan tadi datang sekalian mengabarkan kalau dalang kebakaran ruko sudah ditangkap pihak berwajib."Pandangan Danendra mendadak terarah pada Cempaka. Dia belum mendapat kabar apapun."Namanya Joko Cha
Setelah menidurkan Keenan, Cempaka mengulir media sosial miliknya sembari beristirahat.Matanya membelalak membaca sebuah artikel, berulang kali Cempaka membaca dengan seksama."Pelaku pembakaran ruko sudah ditangkap," ulangnya pelan, tersinggung senyum di parasnya.Tidak lama, layar ponselnya menampilkan nama Danendra. Gegas Cempaka menanggapi."Cempaka, aku tadi dihubungi kuasa hukum. Pelaku pembakaran ruko yang kamu sewa sudah tertangkap. Mereka ada tiga orang.""Apa datangnya ada di antara mereka?" tanya Cempaka antusias."Belum sampai ke sana. Wajah mereka dipakaikan masker, diduga masih ada kawanan lainnya."Cempaka mengangguk, dugaannya juga serupa dengan itu. Hanya saja bukti tidak ada."Siapapun orangnya cepat atau lambat pasti akan tertangkap," ujar Cempaka dengan nada emosional. "Tapi, jangan terlalu memikirkan hal ini, ya." Dari nada bicara Cempaka, Danendra bisa mengira-ngira perasaan istrinya sejauh mana."Nanti aku pulang lebih cepat, mau dibawain makanan tidak?" Danen
Insiden di rumah Natali membuat Danendra membatalkan prakteknya secara mendadak. Alasan istrinya sakit dipakai untuk menemani Natali yang memintanya tidak pergi bekerja setelah dirinya meminta maaf."Apa masih sakit?" tanya Danendra memandang pipi Natali memerah. "Sudah berkurang." Natali tersenyum sembari memegang kompres dingin, berbeda dengan raut Danendra yang datar.Danendra melirik jam estetik yang menempel di dinding, tidak terasa setengah hari dilalui di kediaman Natali."Sore nanti aku mau keluar," ucap Danendra seperti seorang anak yang minta izin ke ibunya."Apa tidak bisa menginap lagi di sini?" Natali menyulap pertanyaan dengan keinginan keras. "Temanilah aku lagi," ujarnya dengan merengek. "Aku akan datang lagi besok," janji Danendra, meskipun dia tidak begitu yakin bisa dipenuhi atau tidak.Usai makan siang, Danendra meninggalkan rumah Natali. Beralasan ke rumah sakit lagi, Danendra menyetir ke rumah miliknya, ia ingin melihat istri dan anak-anak.Rumah dalam keadaan
Danendra terbangun di pagi hari dengan ruangan serasa berputar, kepalanya pening.Memandang sekitar, dia tahu kalau malam tadi dirinya menginap di kediaman Natali.Pakaiannya sudah berganti dengan bahan yang lebih ringan.Berjalan memegang dinding agar tidak jatuh, sampai Danendra di luar kamar. Tercinta aroma wangi masakan dari dapur. Ia yakin kalau Natali ada di sana."Mengapa aku bisa menginap di sini?" tanyanya dengan suara meninggi.Tersentak Natali mendengar suara Danendra, ia berbalik dan langsung mengubah raut menjadi lebih ramah."Kamu sudah bangun? Aku lagi siapin sarapan," sahutnya tanpa menjawab pertanyaan Danendra. Natali mengambil sebuah gelas lalu pergi menuju dispenser untuk mengisi dengan air minum. "Minum air hangat setiap pagi baik untuk kesehatan. Aku selalu ingat pesan kamu," ucapnya.Danendra hanya menatap gelas berisi air, tanpa memedulikan hal itu, Danendra berjalan menuju bangku di sekitar meja makan lalu duduk di sana.Memejamkan mata menjadi jalan untuk me
"Maaf, Bu. Ada apa ini? Suara ibu mengganggu tetangga, hari sudah malam." Seorang bapak datang menghampiri Cempaka untuk menegurnya. Cempaka mengatur emosinya dengan baik. Dia meminta maaf lalu menjelaskan perihal Danendra di dalam rumah Natali. "Suami ibu?" "Ya." Tampak bapak-bapak itu pergi lalu berbisik dengan tetangga lain. "Saya RT di sini, apakah ibu yakin ada orang di dalam?" tanyanya. "Itu mobil suami saya." Cempaka menunjuk kendaraan roda empat yang terparkir di garasi. Ketua RT meminta bukti mengenai data suami Cempaka. Ketua RT bersama warga menggedor-gedor pintu kediaman Natali sampai Natali merasa terpojok. "Bu Natali silakan di buka atau kami membuka paksa." Merasa terancam akhirnya Natali membuka pintu. "Mana Danendra?!" jerit Cempaka berusaha memaksa masuk, tetapi cepat dihalangi Natali. "Tidak ada yang boleh masuk paksa ke rumah saya atau saya lapor polisi!" teriak Natali melawan. Cempaka dan warga lain berdiri mematung. "Bu Natali, ibu
Natali merasa tidak puas dengan penuturan Joko Chandra, ia menghadapi masalah baru. yakni Cempaka jadi kembali ke Bekasi paska kejadian kebakaran. Hal membuat Natali kesal adalah keputusan kembali Cempaka dan Danendra kembali serumah."Kamu cukup berempati pada perempuan itu, masalah lain Papa akan membantu," ujar Joko Chandra waktu itu.Natali menghubungi Danendra, ia punya permintaan."Dane, temani aku konsultasi ke dokter kandungan, ya," pintanya melalui sambungan telepon."Kalau mau ke rumah sakit, datang saja, Natali," sahut Danendra sambil memeriksa jadwal operasi, seminar, dan praktek di poliklinik.Gegas Natali melakukan apa yang disuruh Danendra, mereka berdua masuk ke dalam ruang praktek."Coba dilihat ini janinnya masih berukuran kecil. Harap dokter dan istri memperhatikan kebutuhan sang bayi melalui nutrisi ibu hamil," ingat sang dokter.Dokter kandungan meresepkan vitamin untuk Natali."Kamu sudah selesai praktek, 'kan? Mau pulang?" tanya Natali di luar ruangan."Sudah.
Malam ini Cempaka dan anak-anak mulai menginap di Bekasi. Danendra girang bukan kepalanya, tanpa paksaan Cempaka menyerahkan diri padanya.Danendra tidak yakin alasan apa yang membuat istrinya memutuskan hal itu. Apapun alasannya bagi Danendra tidak begitu penting."Saras masih bersekolah di Jakarta, besok Heru bisa mengantar ke sekolah, 'kan?" tanya Cempaka saat mereka berada dalam kamar yang sama. Cempaka memutuskan bersedia sekamar tanpa syarat apapun."Ya, Heru bisa antarkan. Tapi, kamu tidak berniat Saras bolak-balik sejauh itu, bukan? Dia harus bangun sepagi apa, pasti lelah perjalanan jauh."Cempaka telah memikirkannya. "Saras sebenarnya sudah nyaman bersekolah di sana, sejak masalah di sekolahnya dulu. Waktu aku membicarakan hal ini padanya, Saras sedih, jadi aku beri pilihan mau tinggal di Bekasi pindah sekolah atau tetap di Jakarta."Danendra mengangguk. "Jadi jawaban Saras apa?""Kamu tidak tanya?" Cempaka menoleh pada suaminya dengan kernyitan di kening.Danendra berdehem