Natali kesal pada Danendra lantaran pria itu terus merecoki hidupnya. Danendra tidak berhenti mengirimkan pesan singkat dan menelepon kapan pria itu mau.
"Sudah ku katakan, jangan menghubungiku lagi! Aku telah bahagia bersama orang lain!" bentak Natali melalui saluran telepon."Aku ingin kita bicara baik-baik," pinta Danendra di sela istirahat siang."Tidak ada yang perlu dibicarakan baik-baik Danendra, kita hanya perlu mempertegas hubungan. Ceraikan aku!" jerit Natali diiringi tangis wanita berusia 28 tahun itu.Danendra terdiam, ia tahu Natali terluka banyak saat menjadi istrinya. Kesibukan sebagai dokter spesialis hemato onkologi anak menyisakan sedikit waktu untuk Natali.Ditambah lagi, konflik menantu dan mertua yang membelit hubungan Natali dan ibu kandung Danendra memperparah relasi suami istri itu."Apakah perceraian akan membahagiakan kamu?" tanya Danendra pelan."Lepas dari kamu setahun ini membuat mentalku yang jatuh kembali bangkit, Dane. Siapapun yang menjadi istrimu pasti tidak akan tahan."Terdengar bagai kutukan, Danendra mengepalkan tangannya. Terbit rasa kesal pada Natali lantaran wanita itu menyudutkan dirinya sebagai suami terus-menerus."Tetapi, kamu juga bukan istri yang sempurna. Dan aku mampu menerima kekurangan itu."Natali tertawa sumbang. "Karena aku belum bisa memberikan keturunan selama menjadi istri kamu? Bagaimana bisa mengandung kalau batinku selama tiga tahun terus-terusan tertekan," ucap Natali tegas dengan ekspresi tajam di balik telepon."Aku tahu, itu sebabnya aku ingin menebus kesalahan ini, Natali," bujuk Danendra."Baik, aku beri penawaran terhadap kamu, kita tetap menjadi suami istri setahun ke depan. Selama itu aku akan melakukan sikap baik sebagai seorang suami. Setelahnya, bila kamu tidak puas dengan perubahanku, kita sepakat berpisah," tawar Danendra kemudian.Mereka berdua sama-sama diam untuk berpikir. Beberapa waktu kemudian, Natali angkat suara."Telah aku katakan bahwa telah memiliki seseorang yang lebih mampu menghargaiku."Usaha Danendra meyakinkan istrinya bila ia telah berubah menjadi sosok baru, tak berarti sama sekali. Natali tetap dengan keputusannya ingin berpisah."Baiklah. Bila kamu ingin lepas selamanya dariku. Hanya satu aku peringatkan, bila tidak ada kesempatan lagi untuk kembali padaku, Natali. Meski __." Danendra menghela napas dalam."Meskipun aku masih menyayangi kamu."Sambungan telepon diputus sepihak oleh Danendra. Pria itu menyadarkan punggung ke bangku di ruang istirahat khusus dokter, bertepatan dirinya sendirian saat ini.Danendra berdiri lalu berjalan menuju kaca jendela menatap pemandangan kota Bekasi yang terhampar luas. Ia menyugar rambut, muncul perasaan sesal lantaran tidak berhasil mempertahankan pernikahan dengan wanita yang ia cintai sekaligus abaikan."Urus perceraianku," ucap Danendra begitu mengambil ponsel untuk mencari kontak penasihat hukumnya.Di usia kepala tiga, Danendra belum lagi memiliki seorang anak. Malahan, ia akan menjadi duda tanpa anak tidak lama lagi.Terdengar bunyi dari ponselnya pertanda jadwal Danendra mengunjungi pasien rawat inap siang ini.Segera Danendra keluar dari ruang istirahat menuju ke ruang pasien dengan tidak lupa mengenakan jas putih dokter, alat perlindungan diri, dan stetoskop.Danendra menyapa anak yang menjadi pasiennya dengan membawa sebuah boneka untuk anak perempuan dan mainan dalam kantong celananya. Tidak segan Danendra bercerita menggunakan mainan sebagai alat bantu peraga.Usai mengunjungi pasien, Danendra masih punya waktu luang menuju jam praktek di poliklinik. Saat berjalan, ia mendapat panggilan darurat."Dokter, ada seorang anak di UGD yang kondisinya perlu penanganan. Telah periksa darah, ada nilai yang rendah," lapor seorang dokter melalui panggilan telepon.Danendra gegas menuju UGD, mengecek hasil tes darah sebentar."Anak tiba dengan keadaan demam dan lesu, hingga penurunan kesadaran setelah tes darah. Di sekitar tubuhnya terdapat titik memar. Ada kecurigaan pada darah pasien dokter," ungkap dokter jaga.Betapa terkejut Danendra mendapati nama pasien, segera ia menuju ranjang tempat pasien terbaring. Dia adalah Bima, anak dari mendiang kakak sepupunya.Cempaka yang begitu fokus pada Bima, tidak menyadari kedatangan Danendra."Aku akan memeriksanya."Suara itu mengagetkan Cempaka, ia lantas berdiri melihat Danendra. Cempaka sendiri tidak tahu kalau Danendra bekerja di rumah sakit Selamat Jaya.Demi keselamatan putranya, Cempaka menjauh memberi akses pada Danendra.Usai Danendra memeriksa Bima, ia sendiri mengabarkan pada Cempaka agar bocah laki-laki itu dirawat di rumah sakit.Awalnya Cempaka keberatan lantaran Danendra sebagai dokter yang merawat anaknya. Namun, atas desakan kondisi Bima yang membutuhkan penanganan cepat, akhirnya Cempaka bersedia."Bu, Bima harus dirawat di rumah sakit. Malam ini aku jaga di sini." Ucap Cempaka pelan di samping Bima yang sedang terlelap.Dalam ruangan ada 3 orang anak lainnya, Cempaka memiliki asuransi kesehatan pemerintah, ia bersyukur karena rutin membayar iuran bulanan untuk jaga-jaga.Padahal, ia sempat ingin menghentikan pembayaran karena dirasa berat membayar untuk empat orang sekaligus."Sakit apa Bima?" tanya Cakrawati."Belum tahu, Bu. Kata Danendra hasil tes darahnya kurang baik. Besok masih mau ambil darah lagi," jawab Cempaka."Nak Dane jadi dokternya Bima?" Berita itu mengejutkan Cakrawati, ia lebih tenang bila Bima ditangani oleh pamannya sendiri."Ya, Bu. Kalau Bima membaik, aku rencana mau rawat jalan atau pindah rumah sakit saja."Cakrawati menghela napas panjang, ia tak mengerti cara berpikir putrinya."Masih sempat-sempatnya kamu berpikir seperti itu, Nak. Fokuslah pada kesehatan Bima. Kalau ternyata kesehatan Bima lebih baik bila diurusi om-nya, kamu tidak berhak loh menghalangi Bima mendapat layanan kesehatan terrbaik," ingat Cakrawati.Cempaka terdiam, tetapi dalam hati menyatakan setuju pada kalimat Cakrawati.Hubungan telepon usai, Cempaka berpikir tentang betapa buruk cara dirinya berpikir. Seharusnya apa yang terbaik buat Bima, itulah yang dipilih oleh ia sebagai seorang ibu.Malam semakin larut, Danendra telah tiba di rumahnya. Namun, perasaannya tidak tenang mengingat kondisi Bima yang sedang tidak baik-baik saja.Danendra tidak bisa tidur nyenyak, ia khawatir pula dengan Cempaka yang pasti akan terpukul saat tahu anaknya menderita sakit keras.Belum usai kesedihan Cempaka atas kepergian kakak sepupunya, kini perempuan itu harus dipaksa tabah menerima kenyataan putranya mengalami kanker darah.Apakah Cempaka bisa menerima kenyataan pahit itu esok?Danendra berpikir terlalu keras, sampai berteriak sendiri hingga kedua tangannya terkepal.Ponsel Cempaka berdering kecil, ia terbangun di tengah malam. Cempaka duduk beralas tikar demi menemani putra terkasihnya.Cempaka membaca nama penelepon.'Pembunuh Bang Haris'Geram Cempaka membaca namanya, memori lama memanggil Cempaka yang sekarang untuk membenci Danendra selamanya.Tiga kali panggilan diabaikan oleh Cempaka. Tanpa sengaja pandangannya tertuju pada Bima yang sedang diinfus. Lagi-lagi Cempaka mengingat keselamatan putranya ada di tangan Danendra.Dengan terpaksa Cempaka mengangkat panggilan."Halo.""Itu gak mungkin Dane, kamu mau balas dendam padaku dengan mengatakan Bima mengidap leukimia akut, 'kan?"Pelototan tajam Cempaka mengintimidasi Danendra. Ia kehilangan kata-kata lantaran tudingan Cempaka yang tak beralasan."Aku akan pindahkan Bima ke rumah sakit lain, biar diperiksa oleh dokter yang lebih baik."Cempaka membalik tubuh menuju pintu, hanya saja kecepatan cekalan Danendra pada pergelangan tangan Cempaka membuat badan perempuan itu kembali menghadap saudara sepupu mendiang suaminya itu."Pindah rumah sakit tidak segampang yang kamu kira, Cempaka. Lagipula Bima masih bisa ditangani di rumah sakit ini," jelas Danendra. Cempaka mengempas lengannya sehingga cekalan Danendra terlepas."Aku tidak percaya Bima ditangani oleh kamu, setelah nyawa suamiku direnggut oleh kamu." Tangan Cempaka menunjuk-nunjuk Danendra. Pria itu sebenarnya menyimpan amarah terpendam akan kalimat tuduhan Cempaka yang tak sesuai fakta. Namun, mengingat nasib Cempaka yang makin menderita akan kenyata
Setelah mendapat perawatan medis, Bima diperbolehkan kembali pulang sembari menunggu jadwal kemoterapi.Setelah Cempaka dagang, ia langsung ke rumah sakit untuk membenahi barang pribadi Bima."Kemoterapi ini pengobatan utama, ada obat antikanker yang akan dimasukkan melalui pembuluh darah, otot, bahkan diminum. Dengan terapi ini obat akan menjangkau seluruh tubuh, Cempaka," jelas Danendra kala pria itu berkunjung ke kamar rawat.Cempaka tahu kalau kemoterapi punya efek samping yang tidak main-main.Ia memandang iba pada anaknya, Bima, yang tengah memainkan robot-robotan dari Danendra di ranjangnya. Setitik air mata jatuh membasahi pipi Cempaka yang langsung diusapnya.Cempaka tidak mau sampai ketahuan Bima bila menangis. Bima butuh semangat kuat untuk hidup darinya sebagai ibu."Kita pulang dulu, ya, Sayang, hari ini," ucap Cempaka mendekati Bima."Asyiknya... Aku sudah bosan di sini, Ma, mau bermain bersama kakak juga sudah rindu pada teman sekolah," sahut Bima antusias dengan binar
Sepekan dilewati Cempaka dengan rasa sedih mengingat Bima, ia tidak konsentrasi saat berjualan, alhasil saat memberi kembalian kadang kurang seringkali berlebih."Selisih lagi?" tanya Cakrawati malam hari saat Saras dan Bima telah tertidur.Cempaka mengangguk pasrah."Pembelinya tidak beritahu kalau dikasih kelebihan," sesalnya. Cempaka berdiri mengambil segelas air lalu meminumnya dan kembali duduk di bangku dekat dapur."Ya, pelangganmu banyakan anak-anak. Mereka senanglah kalau dikasih kelebihan."Cempaka mengangguk lagi usai meneguk air dari dalam gelas."Ikhlaskan.""Ya, Bu," sahut Cempaka sembari mengemasi catatan penjualan beserta uang hasil jerih payahnya hari ini."Pekan depan Bima mulai kemoterapi, Bu. Bima harus dalam keadaan fit menjalaninya.""Ibu akan temani Bima," usul Cakrawati membuat Cempaka terdiam. Dirinya sebagai ibu juga ingin hadir menemani Bima, hanya saja tuntutan hidup tidak memberinya kesempatan."Sejak Bang Haris berpulang, roda hidupku rasanya sulit berput
"Mama senang dengar kamu bakal menikahi Cempaka. Lama mama tidak jumpa Cempaka," ujar Qonita, ibunda Danendra, melalui sambungan telepon.Danendra bergeming, ia hanya melapor apa yang baru saja terjadi."Dibanding istri kamu itu, Cempaka lebih baik. Dia selalu memakai alasan konflik dengan mertua untuk berpisah dengan kamu, padahal mama sekedar mengingatkan kalau kamu itu dokter dengan tugas seabrek," lanjut Qonita menyinggung persoalan Natali."Ma, tidak perlu kita bahas soal Natali.""Mama angkat soal istri kamu itu, supaya mata kamu terbuka Dane. Dia menginginkan berpisah dari kamu, kamu bilang sekarang dia sudah punya pasangan lain. Lihat, mama tidak salah menilai."Danendra menyugar rambutnya. Malam ini ia lelah sekali usai dari rumah Cempaka langsung menghubungi Qonita. "Mau di mana pernikahan dilangsungkan? Balikpapan, tempat mama, atau Bekasi?" Qonita mulai merasa Danendra tidak nyaman lantaran membahas soal Natali, maka ia menanyakan perihal pernikahan."Bekasi saja, Ma. Bim
Cempaka tersenyum sembari mengangguk. Cempaka pun salut pada kinerja Danendra dalam menangani Bima."Mantan Dane dulu tidak mengerti itu, keberatan kalau Dane terus bekerja, dibilangnya tidak dapat perhatian. Dibilangnya lagi, mama yang menghasut Dane." Secara kebetulan, sejak mereka berkenalan, Cempaka telah memanggil mama pada Qonita.Lukito mencolek istrinya, ia segan menegur dengan kata pada Qonita yang berani menceritakan tentang masa lalu anaknya. ***Pernikahan Danendra dan Cempaka digelar terbatas, hanya keluarga yang menghadiri pernikahan mereka. Qonita dan Lukito pun tidak berlama-lama di Bekasi lantaran bisnis yang tak bisa ditinggal lama. Malam hari pernikahan, mereka putuskan untuk kembali ke Balikpapan. "Dalam kamar ini ada dua ranjang terpisah untuk kita masing-masing. Jangan biarkan ibu atau anak-anak masuk ke dalam."Pandangan Cempaka menyapu kamar besar milik Danendra. Cukup mengagetkan bagi Cempaka ternyata Danendra telah menyediakan ranjang terpisah bagi mereka.
Mereka makan dengan lahap, terutama Bima dan Saras yang sedang tahap pertumbuhan. Danendra menitipkan pesan pada asistennya, Saidah, agar menyediakan makanan sehat di rumahnya."Makananya enak?" tanya Cempaka. "Ya, Ma. Makanan yang luar biasa," puji Saras."Tadi uti memasak bersama bik Saidah," ungkap Cakrawati. "Kamu mau nambah?" Anggukan Saras menjadi jawaban."Danendra seorang dokter anak, dia memesan bahan makanan yang menyehatkan di rumah," ungkap Cempaka, teringat pada pesan pria itu agar percaya pada Saidah sebagai juru masak di rumah."Cempaka, kamu masih panggil nak Dane dengan sebutan nama?"Cempaka yang sedang mengunyah hanya memberi anggukan."Ibu rasa kamu harus punya panggilan khusus, tidak menyebut nama suami."Kunyahan Cempaka memelan hingga berhenti, ia merasa kesulitan menelan, kerongkongan seolah-olah terisi penuh.Cempaka meraih segelas air lalu meneguknya."Saras dan Bima tadi memanggil Om Dane dengan sebutan Bapak," lapor Bima dari bangku seberang meja.Cempaka
"Ganti pakaian Saras di mobil, aku keluar." Danendra memberi sepasang pakaian milik Saras yang sengaja dibawanya dari rumah, menjauh dari mobil.Cempaka menurut tanpa menggerutu lagi. Setelah berpikir jernih dalam perjalanan menuju parkiran mobil, Cempaka merasa Danendra ada benarnya.Namun, ia masih kurang suka dengan cara penyampaian Danendra yang cenderung menghakimi.Danendra mengajak Saras dan Cempaka ke restoran untuk makan malam. Di perjalanan tadi, tidak ada suara Cempaka dan Danendra, kecuali Saras yang bernyanyi mengikuti lagu anak di dalam mobil.Saras menikmati makan malam, sesekali Danendra mengajak Saras bicara, tetapi tidak terhadap Cempaka.Dengan suasana hati seperti itu, nafsu makan Cempaka menurun. Ia meletakkan garpu dan sendok di piring yang masih berisi.Namun, apa yang diharapkannya? Danendra bersikap sebagai seorang suami?Cempaka mengernyih mendapati pikirannya yang tidak sehat. Melunjak! tegur Cempaka pada diri sendiri."Mama, kenapa? Sudah selesai makan?" Ce
Suasana pagi di meja makan diiringi tawa bahagia Saras dan Bima."Saras, mulai besok kamu akan diantar jemput sopir, namanya Pak Heru," sela Danendra yang sedang menikmati sarapan."Apa mama ikut mengantarkan?" tanya Saras. "Tidak. Apa Saras keberatan?" Danendra balik bertanya.Saras menggeleng, hanya saja parasnya datar. Cakrawati dapat menerjemahkan raut lain pada cucunya. "Biar Uti yang temanin Saras, yah. Mama bersama Bima." Cakrawati berusaha memberi penjelasan.Paras Saras yang awalnya gembira menjadi sayu. "Sesekali mama akan mengantarkan Saras, kok. Mama menemani Bima. Berbagi tugas," hibur Cempaka. Proses sarapan terhenti sebentar.Saras tersenyum, ia teringat pada pesan Cempaka tentang penyakit yang diderita Bima bisa ditanyakan pada Danendra. "Pak, aku mau bertanya, boleh?" tanya Saras antusias dibalas anggukan Danendra. "Kanker itu apa, sih? Aku tanya ke mama, mama bilang tanya ke Bapak."Danendra melirik tajam Cempaka yang meringis mendengar pengakuan putri pertamany
Sepekan berlalu, Danendra rutin setiap hari mengirimkan buket bunga mawar untuk istrinya. Sayangnya, ia terus menemukan buket cantik itu di tong sampah belakang rumah.Danendra tahu benar kalau istrinya sangat menyukai mawar.Ada perasaan tersinggung muncul di awal, Danendra memahami bila ia patut mendapat perlakuan seperti itu dari Cempaka.Ini hari kedelapan, masih berlangsung demikian. Selain itu, Danendra berusaha mengajak Cempaka untuk berdialog berdua, makan malam, sampai jalan-jalan bersama, Cempaka kekeh menolak."Apalagi yang harus aku lakukan? Waktu semakin mendekat," lirihnya usai praktek di poliklinik.Danendra tetap bekerja secara profesional, sekalipun pikirannya tertuju pada Cempaka.[Sudah makan?]Danendra mengirim pesan pada Cempaka. Hanya centang dua biru tanpa ada balasan.Danendra menggaruk-garuk kepala, menepuki wajah, sampai menggosok matanya, saking bingung menghadapi istrinya."Memang cukup saja satu istri, sakit kepala kalau ada masalah seperti ini."***"Sara
Hubungan Danendra dan Cempaka tidak berangsur membaik, hal paling ditakutkan Danendra malah terjadi lebih cepat."Kita bisa mengurus perceraian lebih cepat." Cempaka duduk di seberang meja kerja Danendra di rumahnya.Jantung Danendra terasa sesak, seperti akan berhenti berdetak. Wajahnya seperti dihantam benda berat.Kehilangan Cempaka?"Cempaka, aku mohon jangan lakukan ini." Danendra akan mengupayakan apa pun untuk rumah tangganya kali ini."Mau kamu apa? Kamu mau mengikat aku di pernikahan yang tidak bahagia ini. Kamu hanya mau membalas kebaikan Haris dan itu sudah cukup, Dane!"Napas Cempaka tersengal mengatakannya. Danendra masih ingin menahannya lebih lama?Dasar tidak berperasaan!"Aku akan mengikat kamu seumur hidup, Cempaka."Ingin rasanya Cempaka memberi Danendra pukulan supaya pria itu sadar kalau semakin lama bersamanya, Cempaka bisa-bisa mati berdiri atau kemungkinan gila.Namun, badannya yang lebih kecil tidak akan ada artinya bila ia melakukan kekerasan fisik pada Danen
Dahlia menemui Danendra di rumah sakit, mereka duduk di taman yang sedang tidak banyak orang. "Aku mohon kamu mau menemui Natali." "Aku akan menceraikannya setelah anak itu lahir lalu mengasuhnya bersama Cempaka." Rahang Dahlia mengatup kuat. Dia semakin yakin cinta Danendra pada Natali sudah sirna seiring terkuak kebenaran. "Apa kamu yakin Cempaka akan menerima anak itu?" Natali tidak setuju, tetapi dia pun tidak bisa berbuat banyak. "Untuk terakhir kali aku menemui Natali, setelah itu jangan kamu datang lagi atas suruhan Natali!" "Aku tidak disuruh Natali atau siapapun, hanya demi kemanusiaan." Danendra berdecak lalu tertawa seolah-olah ada yang membuat kelucuan. Cempaka keluar dari persembunyiannya, ia mencuri dengar percakapan antara Danendra dan Dahlia. Keinginan untuk menemui suami pudar, Cempaka memiliki rencana lain. *** "Dane, kamu masih bersedia menemui aku?" Danendra memenuhi keinginan Dahlia untuk menemui Natali. Danendra duduk berseberangan dengan N
Sebulan berlalu sejak kejadian Cempaka meminta cerai, tinggal tiga bulan lagi. Hubungan antara Cempaka dan Danendra semakin renggang. "Mengapa akhir-akhir ini kamu sering keluar rumah?""Memangnya kenapa? Bik Saidah mengadu?" tanya Cempaka tanpa memandang suaminya. Dia sibuk dengan banyak kertas di tangannya."Kamu buka toko baru?""Kamu membuntutiku?""Kalau tidak seperti itu, kamu tidak pernah mau cerita. Sudah berapa lama?""Bukan urusan kamu." Cempaka berdiri memandang suaminya. "Kamu urusi saja istri kamu yang mau melahirkan itu, bukannya sebentar lagi?"Danendra menghela napas."Jangan mengalihkan pembicaraan. Oh, ya, perlu aku ingatkan keinginan bercerai kamu tidak akan pernah terkabul." Danendra pergi begitu saja dari kamar ke ruang makan. Beberapa minggu belakangan, Danendra sering pulang lebih awal dari rumah sakit.Cempaka terduduk kembali, gilirannya mendengkus karena Danendra memutuskan secara sepihak nasibnya di masa mendatang. ***Usai praktek di poliklinik, Danendra
"Natali, sudahi kebodohan ini!" ujar Dahlia. Baru kali ini perkataan Dahlia serasa tajam di pendengaran Natali."Keluarga Danendra sulit ditumbangkan, lihat papamu, malahan masuk penjara demi aksi balas dendamnya. Apa kamu mau berakhir seperti itu? Cukup menjadi orang jahat, fokuslah sekarang pada anakmu!"Dahlia rasanya tidak sabar lagi menghadapi sahabat karibnya yang terlihat konyol."Tapi... tapi... aku mencintainya, Dahlia," isaknya duduk di kursi."Apa aku bilang! Dulu kamu menikah dengannya tanpa cinta, hanya untuk membalas dendam. Danendra sangat mencintai kamu. Sekarang giliran kamu mencintainya, pria itu sudah tak punya lagi hati untuk kamu. Sadar, Natali!!"Natali semakin terisak, ia merasa menyesal dengan sikapnya di masa lalu sehingga membuat cinta Danendra luntur padanya."Tapi, aku mau berusaha untuk mendapatkan Danendra lagi, Dahlia," ucapnya dibarengi gelengan dari Dahlia."Sadar Natali kesalahan kamu itu banyak, jangan sampai Danendra tahu rahasia kelam kamu, tiba wa
Cempaka membaca pesan Danendra, ia mengerti mengapa suaminya tidak pulang, tanpa dijelaskan secara rinci.Helaan napas Cempaka menandakan kekecewaan dibanding marah. Kecewa pada Danendra yang tidak menganggap perhatiannya selama menjadi istri Danendra. Baru saja Danendra pulih dari sakit dan yang merawat adalah Cempaka.Setelah sehat, pria itu malah pergi ke istrinya yang lain.Cempaka melangkahkan kaki ke kamar anak-anaknya. Ia melihat betapa nyaman dan tentram keadaan kedua buah hatinya.Berbeda saat ia masih menjadi istri Haris, harus mengirit segala pengeluaran untuk bertahan hidup."Bagaimana nanti?" Pikiran Cempaka malah diselubungi kekhawatiran.Namun, sesaat saja, ia teringat pada mertuanya yang penuh perhatian pada kedua anaknya. Cempaka mengusap secara bergantian rambut Saras dan adiknya.Cempaka tersenyum. "Mama harus selesaikan ini sampai akhir, kalian menjadi kekuatan mama," bisiknya lebih untuk dirinya sendiri.Ia melangkahkan kaki keluar, melihat jam di ponsel menunjukk
Setelah istirahat beberapa hari, Danendra beraktivitas seperti biasa di rumah sakit tempatnya bekerja.Sewaktu berjalan menuju ruang praktek, tidak sengaja berpapasan dengan Natali yang tampak murung."Kamu kenapa tidak bilang mau periksa?" tanya Danendra merasa tidak enak hati.Natali diam saja sembari menatap suaminya. Dengan kesal Natali berjalan begitu saja meninggalkan Danendra. Pria itu mengejarnya lalu menangkap lengan Natali."Mengapa menangis?"Danendra tahu kalau istrinya sedang tidak baik-baik saja. Ia menyentuh tangan Natali untuk memberi penguatan. "Bayinya ada masalah. Beratnya lebih kecil daripada yang seharusnya," ucap Natali lalu melepaskan tangan dari Danendra. "Itu semua karena kamu!" teriak Natali pada Danendra, ia menunjuk-nunjuk suaminya. "Kamu tidak pernah memperhatikan aku selama kehamilan!"Natali menangis, Danendra merasa tidak enak dengan Natali dan lingkungan sekitar yang berisi banyak pasien."Tenanglah, Natali, mari kita pergi dari sini." Danendra meng
Siang itu Cempaka berniat keluar rumah. ia menitipkan putranya pada Saidah. Bertepatan Danendra keluar kamar, tubuhnya mulai pulih."Kamu mau ke mana?" Dia mengamati pakaian Cempaka yang rapi dari bawah kaki hingga kepala.Cempaka tertegun sejenak. "Mau ketemu teman."Kening Danendra mengerut, tidak biasanya Cempaka pergi tanpa izin darinya."Siapa?""Kamu tidak kenal," jawab Cempaka lalu melangkah ke arah pintu.Danendra menyusul lalu menghambat lengan Cempaka."Laki-laki atau perempuan?"Cempaka diam saja tanpa reaksi berarti. "Aku bertanya, Cempaka?"Mendengar namanya disebut, Cempaka tersadar kalau suaminya menuntut jawaban."Laki-laki."Tatapan Danendra penuh tanya, tetapi Cempaka bersikap seolah-olah tak ada masalah."Aku pergi dulu."Danendra tidak menahan kepergian istrinya. Namun, rasa penasaran membuatnya bertanya-tanya siapa gerangan yang ditemui oleh istrinya. Dia mengintip dari celah gorden, melihat Cempaka pergi dengan taksi berwarna kuning. ***Danendra uring-uringan
Cempaka ingin mengalahkan rasa kasihan dengan kekesalan dan kekecewaan pada suaminya. Namun, melihat keadaan Danendra tidak baik-baik saja, hatinya pun luluh."Terima kasih sudah mau mengurusku," ucap Danendra usai disuapi makan dan minum obat pereda demam. Danendra telah meminta izin tidak masuk kerja pada pihak rumah sakit sehingga dia bisa beristirahat. "Hm," jawab Cempaka pendek dengan paras datar lalu perempuan itu pergi membawa piring kotor keluar kamar."Cempaka," Panggil Danendra membuat langkahnya terhenti sewaktu akan membuka pintu kamar."Aku minta maaf soal semalam."Tarikan napas pelan menandakan Cempaka teringat akan reaksi Danendra sewaktu ia mengungkap kalau anak dalam kandungan Natali bukanlah anak pria itu. Rasanya sesak dada Cempaka, tetapi ia tak mau ambil pusing lagi.Cempaka pergi keluar kamar tanpa kata. Danendra menyenderkan punggung ke kepala ranjang, diamnya Cempaka menyisakan perasaan bersalah dalam diri pria itu.***"Ya, tolong bagaimana pun caranya info