"Ganti pakaian Saras di mobil, aku keluar." Danendra memberi sepasang pakaian milik Saras yang sengaja dibawanya dari rumah, menjauh dari mobil.Cempaka menurut tanpa menggerutu lagi. Setelah berpikir jernih dalam perjalanan menuju parkiran mobil, Cempaka merasa Danendra ada benarnya.Namun, ia masih kurang suka dengan cara penyampaian Danendra yang cenderung menghakimi.Danendra mengajak Saras dan Cempaka ke restoran untuk makan malam. Di perjalanan tadi, tidak ada suara Cempaka dan Danendra, kecuali Saras yang bernyanyi mengikuti lagu anak di dalam mobil.Saras menikmati makan malam, sesekali Danendra mengajak Saras bicara, tetapi tidak terhadap Cempaka.Dengan suasana hati seperti itu, nafsu makan Cempaka menurun. Ia meletakkan garpu dan sendok di piring yang masih berisi.Namun, apa yang diharapkannya? Danendra bersikap sebagai seorang suami?Cempaka mengernyih mendapati pikirannya yang tidak sehat. Melunjak! tegur Cempaka pada diri sendiri."Mama, kenapa? Sudah selesai makan?" Ce
Suasana pagi di meja makan diiringi tawa bahagia Saras dan Bima."Saras, mulai besok kamu akan diantar jemput sopir, namanya Pak Heru," sela Danendra yang sedang menikmati sarapan."Apa mama ikut mengantarkan?" tanya Saras. "Tidak. Apa Saras keberatan?" Danendra balik bertanya.Saras menggeleng, hanya saja parasnya datar. Cakrawati dapat menerjemahkan raut lain pada cucunya. "Biar Uti yang temanin Saras, yah. Mama bersama Bima." Cakrawati berusaha memberi penjelasan.Paras Saras yang awalnya gembira menjadi sayu. "Sesekali mama akan mengantarkan Saras, kok. Mama menemani Bima. Berbagi tugas," hibur Cempaka. Proses sarapan terhenti sebentar.Saras tersenyum, ia teringat pada pesan Cempaka tentang penyakit yang diderita Bima bisa ditanyakan pada Danendra. "Pak, aku mau bertanya, boleh?" tanya Saras antusias dibalas anggukan Danendra. "Kanker itu apa, sih? Aku tanya ke mama, mama bilang tanya ke Bapak."Danendra melirik tajam Cempaka yang meringis mendengar pengakuan putri pertamany
"Aku tidak ingin kamu terlalu jauh turut campur pada hidup anak-anakku. Kamu harus punya batasan dengan mengomunikasikannya padaku."Mendengar penolakan beruntun dari Cempaka membuat Danendra sulit mengerti cara istrinya berpikir."Apa sepicik itu pikiran kamu?"Danendra berpaling badan ke arah Cempaka."Pernikahan ini terjadi karena ada mereka, aku bertanggung jawab membantu anak dari kakak sepupuku yang telah tiada. Lagipula, aku seorang dokter jadi tahu Bima masih bisa dapat hak pendidikan."Cempaka bergeming bersamaan Danendra menarik handle dalam pintu mobil."Sebaiknya kamu keluar," ucap Danendra mendorong pintu sedannya.Diliriknya Danendra yang telah duduk menatap jauh ke arah depan, enggan menoleh pada Cempaka. "Nanti malam apa pun yang mau didiskusikan, aku punya waktu."Perlahan Cempaka keluar dari dalam mobil, tanpa permisi Danendra memacu kendaraan keluar dari halaman kediamannya.Helaan napas dalam sekalian pertanyaan apakah dirinya keterlaluan terhadap Danendra mencuat
Sekalipun demikian, Danendra tidak berniat untuk mencicipi masakan Cempaka. Danendra telah kenyang karena makan di luar.Danendra memasuki kamarnya yang gelap gulita, hanya ada berkas cahaya rembulan yang masuk dari sela jendela.Danendra menyalakan lampu remang agar kakinya tidak menabrak apa pun saat berjalan. Ia melihat gerak Cempaka yang sepertinya terganggu dengan cahaya remang itu.Ia mengamati Cempaka yang mulai duduk menyapu pandangan."Sudah pulang?" "Ya."Danendra menaruh tas kerjanya, melangkah ke arah lemari.Merasa jawaban pendek Danendra sebagai tanda pria itu tidak ingin terlibat percakapan, Cempaka memutuskan untuk tidur kembali.Usai membasuh tubuh, Danendra beristirahat pula. Tidak ada obrolan penting yang dilakukan sepasang suami istri itu.Pagi hari, Cempaka terbangun. Janji Danendra untuk membicarakan masalah pendidikan Bima semalam berlalu begitu saja. Ia paham kesibukan Danendra menyita waktu.Cempaka menyeru pada dirinya, perhatian Danendra begitu baik pada an
Melangkah keluar ruang kerja Danendra, Cempaka berjalan menuju dapur. Ia membuang kopi pahit yang tadi disuguhkan pada suaminya.Berat rasa hatinya saat ini, selain masalah penyakit Bima, Cempaka juga merasa menjadi istri terpaksa di kediaman megah Danendra. Sembari mencuci cangkir, ucapan Danendra terngiang-ngiang di pendengaran Cempaka.Isakan kecil keluar dari bibir Cempaka yang bergetar. Sesekali ia mengusap air mata dengan baju di lengannya."Mengapa harus menangis, sih?" tegurnya pada diri sendiri.Selesai itu, Cempaka mengelap tangan, ia merasa enggan untuk kembali ke kamar."Akan sampai kapan umur Bima dan pernikahan ini?" Cempaka menatap ke atas untuk menghentikan derai air matanya, ia memilih duduk di bangku yang ada di dapur, mengangkat kaki dan memeluknya."Bang Haris," lirihnya.Danendra tidak fokus melanjutkan kerja, dahaga menyentuh kerongkongan. Begitu bergerak ke dapur, Danendra mendengar isakan pelan, tak lain dari istrinya.Nama Haris yang keluar dari bibir Cempaka
Keadaan Bima memburuk, tidak seperti yang pernah diramalkan Danendra padanya.Infeksi.Itulah yang dialami Bima sehingga bocah itu menyerah dengan keadaan.Cempaka meraung-raung mengantar kepergian Bima sampai ke liang lahat, lokasi pemakaman yang sama dengan mendiang suaminya, Haris."Bima, jangan tinggalkan mama," racun Cempaka terus-menerus.Cakrawati dan Saras tidak kalah sedih, menatap batu nisan Bima dengan derai air mata.Para pelayan berpulangan, tinggal Cempaka dan keluarga masih mengelilingi makam."Cempaka, yang sabar, ya, Nak," hibur Qonita setibanya di rumah. Ia merasa kasihan pada Cempaka.Cempaka tak mampu bersuara, Qonita mendekapnya dengan erat. Ia memahami betapa hancur hati Cempaka saat ini.Sewaktu Qonita akan mengantar Cempaka ke kamar tidur, sigap Danendra menghalangi."Biar aku saja yang antar, Ma." Danendra tak ingin rahasianya dan Cempaka diketahui siapa pun.Qonita bergeser, lengan Cempaka dilepas, ia melangkah menjauhi anak menantu agar Danendra punya akses
Menangis di nisan Bima, itulah yang dilakukan Cempaka setiap hari. Usai dari sana, dia melintas ke makam Haris. Merasa hidup kejam padanya, Cempaka merebahkan diri bercampur tanah."Cempaka, ayo pulang, hari sudah terik," ajak Cakrawati menatap sekejap matahari yang berada tepat di atas kepala.Gelabah rasa hati Cakrawati melihat gelengan putri semata wayangnya."Saras harus dijemput dari sekolah," ujar Cakrawati menegaskan maksud."Sudah sebulan kamu masih seperti ini, Nak. Bagaimana dengan Saras? Perhatikan juga." Terpaksa Cakrawati memakai cara seperti itu untuk mengingatkan Cempaka.Tangis Cempaka perlahan mereda seiring kesadaran mulai masuk ke dalam pikirannya."Saras?"Seolah-olah Cempaka baru teringat ada kehidupan lain yang terabaikan."Iya, anak kamu. Dia masih ada menemani kamu."Cakrawati menyentuh pundak Cempaka."Ibu mohon, Nak, ikhlaskan ini semua. Masa depan kamu masih panjang."Menyinggung tentang Saras menjadi keberhasilan bagi Cakrawati memengaruhi putrinya.Usai da
"Kamu pikir pernikahan ini mainan, setelah Bima tiada juga turut berakhir, Cempaka?"Tidak mengira kedatangan istrinya untuk meminta perpisahan, Danendra mencerna maksud Cempaka."Tidak. Aku tidak nyaman meneruskannya."Danendra membuang pandangan lalu mendengkus dengan memikul rasa lelah."Kamu masih menganggap aku pembunuh... Bang Haris dan Bima?"Cempaka bergeming, enggan menyahut. Danendra tahu jawabannya. "Aku tidak akan memaksa kamu mengubah cara pikir. Bila aku salah di mata kamu, ada baiknya aku menebusnya, mengobati luka hati kamu."Tidak enak hati Cempaka mendengarnya, selama ini ia memelihara perasaan benci dan Danendra ingin memutarbalikkan rasa itu."Tidak perlu, nanti sembuh sendiri.""Astaga, Cempaka!"Danendra memegang kepala sampai rambutnya kusut."Luka fisik kalau sakit, harus diobati. Pergi ke dokter," jelas Danendra dengan menggerakkan tangan."Luka hati juga demikian, siapa yang membuat kamu terluka, orang itu bisa jadi mampu mengobati."Terkesiap Cempaka menden
Setelah Joko Chandra, giliran Natali ditemui oleh Cempaka. Ia datang sendiri ke kediaman perempuan yang menjadi istri kedua suaminya."Mau apa datang kemari!" Sambutan Natali dingin saat membuka pintu rumahnya. Di belakang Natali, dia melihat seorang perempuan yang diketahui Cempaka sebagai teman dekat Natali."Suruh masuk, ada tamu," ucap Dahlia ramah.Cempaka tak berminat masuk, ia langsung bicara ke topik inti."Ayahmu sudah mendekam di penjara, Natali."Badan Natali meremang, senyum miring Cempaka malah membuatnya gentar."Aku hanya peringatkan, pelan tapi pasti aku minta kamu mundur dari hubunganki dan Danendra!" tegas Cempaka tanpa ada rasa takut.Natali menatap manik Cempaka dalam-dalam lalu tawa lepas dari bibirnya."Kamu datang kemari untuk mengancam aku, heh?!"Natali membalas menggertak Cempaka."Kartumu ada di aku."Tawa Natali terhenti disambut kalimat ramah Dahlia."Apa kita masuk dulu untuk membicarakan hal penting ini?"Tatapan Cempaka beralih pada Dahlia yang tampak t
Natali gelisah usai menonton berita mengenai penangkapan ayahnya sebagai dalang kebakaran ruko yang pernah ditempati Cempaka. "Memang si Tua ini keras kepala, dari dulu merasa benar dan sekarang dapat akibatnya."Meskipun gelisah, ada rasa marah yang menggerogoti hatinya. Ia teringat bagaimana perlakuan Joko Chandra terhadap ibunya di masa silam, bukannya baik-baik saja, melainkan sebaliknya.Natali kecil sering melihat pertengkaran ayah dan ibunya, dia tidak paham masalah apa yang menimpa. Semakin dewasa, ia mendapati kesalahan ibunya yang dituturkan ayahnya, yakni bersama pria lain.Tertawa miris, itulah yang dilakukan Natali. Memiliki orang tua yang menelantarkan dirinya secara batin, membuatnya tidak yakin dengan relasi pernikahan seumur hidup."Kalian membuat masa depanku hancur, penuh dendam dan kebencian," ucapnya di hadapan bingkai berisi gambar kedua orang tuanya.Bukan sedih yang dirasakan oleh Natali atas kejadian yang menimpa ayahnya."Memang pantas mendapatkannya."Natal
Di malam hari, setelah Devano dan Anita pulang, Danendra duduk di ruang keluarga sendirian. Ia mengulir ponsel tanpa berkonsentrasi dengan apa yang dikerjakan. Pikirannya menerawang pada masa lalu, bagaimana hubungan pertemanan dengan Devano kandas karena pria itu menjalin hubungan dengan Natali di belakangnya.Kekhawatiran menyerang Danendra saat melihat istrinya, Cempaka, terlihat nyaman berada di dekat Devano."Sudah jam setengah sebelas, tidak tidur?" tanya Cempaka yang muncul dari arah belakang badan Danendra. Pria itu hanya diam saja tanpa respon."Cantik ngga kalau bunga ini di taruh di sini?" tanya Cempaka membawa vas berisi bunga yang dibawanya tadi."Hm...," jawab Danendra sembari melirik ke arah bunga cantik di nakas.Cempaka duduk di bangku berhadapan dengan Danendra. "Pak Devan tadi datang sekalian mengabarkan kalau dalang kebakaran ruko sudah ditangkap pihak berwajib."Pandangan Danendra mendadak terarah pada Cempaka. Dia belum mendapat kabar apapun."Namanya Joko Cha
Setelah menidurkan Keenan, Cempaka mengulir media sosial miliknya sembari beristirahat.Matanya membelalak membaca sebuah artikel, berulang kali Cempaka membaca dengan seksama."Pelaku pembakaran ruko sudah ditangkap," ulangnya pelan, tersinggung senyum di parasnya.Tidak lama, layar ponselnya menampilkan nama Danendra. Gegas Cempaka menanggapi."Cempaka, aku tadi dihubungi kuasa hukum. Pelaku pembakaran ruko yang kamu sewa sudah tertangkap. Mereka ada tiga orang.""Apa datangnya ada di antara mereka?" tanya Cempaka antusias."Belum sampai ke sana. Wajah mereka dipakaikan masker, diduga masih ada kawanan lainnya."Cempaka mengangguk, dugaannya juga serupa dengan itu. Hanya saja bukti tidak ada."Siapapun orangnya cepat atau lambat pasti akan tertangkap," ujar Cempaka dengan nada emosional. "Tapi, jangan terlalu memikirkan hal ini, ya." Dari nada bicara Cempaka, Danendra bisa mengira-ngira perasaan istrinya sejauh mana."Nanti aku pulang lebih cepat, mau dibawain makanan tidak?" Danen
Insiden di rumah Natali membuat Danendra membatalkan prakteknya secara mendadak. Alasan istrinya sakit dipakai untuk menemani Natali yang memintanya tidak pergi bekerja setelah dirinya meminta maaf."Apa masih sakit?" tanya Danendra memandang pipi Natali memerah. "Sudah berkurang." Natali tersenyum sembari memegang kompres dingin, berbeda dengan raut Danendra yang datar.Danendra melirik jam estetik yang menempel di dinding, tidak terasa setengah hari dilalui di kediaman Natali."Sore nanti aku mau keluar," ucap Danendra seperti seorang anak yang minta izin ke ibunya."Apa tidak bisa menginap lagi di sini?" Natali menyulap pertanyaan dengan keinginan keras. "Temanilah aku lagi," ujarnya dengan merengek. "Aku akan datang lagi besok," janji Danendra, meskipun dia tidak begitu yakin bisa dipenuhi atau tidak.Usai makan siang, Danendra meninggalkan rumah Natali. Beralasan ke rumah sakit lagi, Danendra menyetir ke rumah miliknya, ia ingin melihat istri dan anak-anak.Rumah dalam keadaan
Danendra terbangun di pagi hari dengan ruangan serasa berputar, kepalanya pening.Memandang sekitar, dia tahu kalau malam tadi dirinya menginap di kediaman Natali.Pakaiannya sudah berganti dengan bahan yang lebih ringan.Berjalan memegang dinding agar tidak jatuh, sampai Danendra di luar kamar. Tercinta aroma wangi masakan dari dapur. Ia yakin kalau Natali ada di sana."Mengapa aku bisa menginap di sini?" tanyanya dengan suara meninggi.Tersentak Natali mendengar suara Danendra, ia berbalik dan langsung mengubah raut menjadi lebih ramah."Kamu sudah bangun? Aku lagi siapin sarapan," sahutnya tanpa menjawab pertanyaan Danendra. Natali mengambil sebuah gelas lalu pergi menuju dispenser untuk mengisi dengan air minum. "Minum air hangat setiap pagi baik untuk kesehatan. Aku selalu ingat pesan kamu," ucapnya.Danendra hanya menatap gelas berisi air, tanpa memedulikan hal itu, Danendra berjalan menuju bangku di sekitar meja makan lalu duduk di sana.Memejamkan mata menjadi jalan untuk me
"Maaf, Bu. Ada apa ini? Suara ibu mengganggu tetangga, hari sudah malam." Seorang bapak datang menghampiri Cempaka untuk menegurnya. Cempaka mengatur emosinya dengan baik. Dia meminta maaf lalu menjelaskan perihal Danendra di dalam rumah Natali. "Suami ibu?" "Ya." Tampak bapak-bapak itu pergi lalu berbisik dengan tetangga lain. "Saya RT di sini, apakah ibu yakin ada orang di dalam?" tanyanya. "Itu mobil suami saya." Cempaka menunjuk kendaraan roda empat yang terparkir di garasi. Ketua RT meminta bukti mengenai data suami Cempaka. Ketua RT bersama warga menggedor-gedor pintu kediaman Natali sampai Natali merasa terpojok. "Bu Natali silakan di buka atau kami membuka paksa." Merasa terancam akhirnya Natali membuka pintu. "Mana Danendra?!" jerit Cempaka berusaha memaksa masuk, tetapi cepat dihalangi Natali. "Tidak ada yang boleh masuk paksa ke rumah saya atau saya lapor polisi!" teriak Natali melawan. Cempaka dan warga lain berdiri mematung. "Bu Natali, ibu
Natali merasa tidak puas dengan penuturan Joko Chandra, ia menghadapi masalah baru. yakni Cempaka jadi kembali ke Bekasi paska kejadian kebakaran. Hal membuat Natali kesal adalah keputusan kembali Cempaka dan Danendra kembali serumah."Kamu cukup berempati pada perempuan itu, masalah lain Papa akan membantu," ujar Joko Chandra waktu itu.Natali menghubungi Danendra, ia punya permintaan."Dane, temani aku konsultasi ke dokter kandungan, ya," pintanya melalui sambungan telepon."Kalau mau ke rumah sakit, datang saja, Natali," sahut Danendra sambil memeriksa jadwal operasi, seminar, dan praktek di poliklinik.Gegas Natali melakukan apa yang disuruh Danendra, mereka berdua masuk ke dalam ruang praktek."Coba dilihat ini janinnya masih berukuran kecil. Harap dokter dan istri memperhatikan kebutuhan sang bayi melalui nutrisi ibu hamil," ingat sang dokter.Dokter kandungan meresepkan vitamin untuk Natali."Kamu sudah selesai praktek, 'kan? Mau pulang?" tanya Natali di luar ruangan."Sudah.
Malam ini Cempaka dan anak-anak mulai menginap di Bekasi. Danendra girang bukan kepalanya, tanpa paksaan Cempaka menyerahkan diri padanya.Danendra tidak yakin alasan apa yang membuat istrinya memutuskan hal itu. Apapun alasannya bagi Danendra tidak begitu penting."Saras masih bersekolah di Jakarta, besok Heru bisa mengantar ke sekolah, 'kan?" tanya Cempaka saat mereka berada dalam kamar yang sama. Cempaka memutuskan bersedia sekamar tanpa syarat apapun."Ya, Heru bisa antarkan. Tapi, kamu tidak berniat Saras bolak-balik sejauh itu, bukan? Dia harus bangun sepagi apa, pasti lelah perjalanan jauh."Cempaka telah memikirkannya. "Saras sebenarnya sudah nyaman bersekolah di sana, sejak masalah di sekolahnya dulu. Waktu aku membicarakan hal ini padanya, Saras sedih, jadi aku beri pilihan mau tinggal di Bekasi pindah sekolah atau tetap di Jakarta."Danendra mengangguk. "Jadi jawaban Saras apa?""Kamu tidak tanya?" Cempaka menoleh pada suaminya dengan kernyitan di kening.Danendra berdehem