“Mas udah ketemu pemiliknya?” Galih menggeleng, “Belum, Syah. Aku ke sini tapi belum dapat informasi apa pun soal lahan ini.” Aisyah mengernyit, bingung. Ia tidak paham mengapa suaminya tertarik, padahal belum tahu apa pun? Bagaimana kalau harga lahan di sini lebih mahal? “Terus gimana, Mas?” Tanya Aisyah. “Saya akan cari tau dulu siapa pemiliknya. Kamu di mobil aja, di sini panas.” Galih meminta Aisyah untuk masuk kembali ke mobil, cuaca di tempat mereka sekarang sangat panas. Aisyah manut. la masuk dan memilih menunggu di dalam mobil ketika Galih menghubungi seseorang. Lelaki itu meminta pada orang suruhannya, untuk mencari siapa pemilik lahan yang tengah ia incar. Setelah beberapa saat, Galih kembali masuk ke dalam mobil, “Kita tunggu aja di sini, paling lama satu jam.” Ucapnya, Aisyah hanya mengangguk. Mereka menunggu di dalam mobil, tetapi kurang dari satu jam, Galih sudah mengetahui di mana alamat si pemilik lahan itu. Rupanya rumah orang tersebut, tak jauh dari tempat me
Warna dan model seragam sudah di sepakati. Rumah juga sudah dalam keadaan sejuk karena tidak ada lagi perdebatan. Semuanya berjalan begitu lancar selama makan malam. Aisyah sempat menemani mertuanya menonton televisi, sebelum pamit undur diri ke kamar karena sudah merasa ngantuk. Namun, langkahnya di tahan oleh Renita yang memberikan sebuah paper bag pada sang menantu. “Ini buat kamu. Dan harus di pake kalau udah masuk kamar!” Ucap Renita yang langsung berbalik pergi, padahal menantunya belum mengucapkan terima kasih. Aisyah tercengang, apa isi paper bag yang di berikan oleh ibu mertuanya itu? Karena wanita itu merasa penasaran, ia pun bergegas menuju ke kamar. Ingin segera membuka dan melihat isi dari paper bag yang kini ada di tangannya. Setelah tiba di kamar, Aisyah membuka paper bag tersebut, mengeluarkan isinya. Seketika matanya melebar, terkejut bukan main. “I-ini ... Lingerie?” Lirih Aisyah, kaget. Aisyah Menelan ludah, paham kalau baju tersebut, adalah baju yang di guna
“A-aku_arrghhh!!!” Aisyah mendesah manja karena leher jenjang putih mulusnya di hisap kuat oleh Galih. Pria itu tak hanya melakukan di satu tempat namun tak memberi space sedikitpun di area itu untuk luput dari hisapannya. Geli, nyeri namun nikmat! Itu yang Aisyah rasakan. Matanya terpejam menikmati hisapan dan gigitan kecil Galih di lehernya, kedua tangannya yang tadi di kalungkan di leher Galih turun ke punggung lebar dan kekar itu, meraba-raba dan mengelus lembut, sesekali meremas kuat baju Galih akibat sensasi nikmat hisapan pria itu hingga Galih pun ikut merasakan sentuhan hangat tangan Aisyah yang semakin menaikkan tegangan tinggi pada bagian inti bawahnya. Kedua tangan Galih semakin turun ke pinggul Aisyah, perlahan semakin mendekat ke bagian yang diam-diam paling sering Galih curi-curi pandang. Ya, bokong padat dan berisi itu selama ini sering mengganggu akal sehat Galih saat di dekat Aisyah. Sejujurnya sudah lama ia ingin sekali meremas bokong montok itu, namun ia tidak puny
Galih setengah berdiri di atas kaki Aisyah, kemudian membuka celana panjangnya dan tampak underwear ketat yang memperlihatkan tonjolan besar di tengahnya, membuat bagian bawah pria itu terlihat sangat seksi dan jantan. Tanpa rasa malu Galih membukanya di hadapan istrinya itu. Glek! Bola mata Aisyah membulat seketika. ‘Gede banget!!!’ Batinnya. Gadis itu terlihat syok melihat batang milik Galih yang sudah menegang berurat dengan ukuran sangat besar dan panjang. ‘Gimana cara masuknya, apa muat?? Ya Tuhan pasti sakit!!” Aisyah berbicara dalam hati. Tiba-tiba keberanian yang ada tadi sedikit demi sedikit memudar menjadi rasa takut. Galih tiba-tiba melepas lingerie yang masih menutupi tubuh bagian bawah Aisyah. Sehingga tampak sudah dengan jelas tubuh polos Aisyah seluruhnya. Gadis itupun terkejut bukan main. Nafas Galih tak beraturan. Jakunnya masih naik-turun, sedang Matanya benar-benar sudah di selimuti kabut gairah yang menggebu-gebu saat melihat bagian paling inti Aisyah ya
“Gimana semalam, Syah? Apa semuanya lancar?” Bisik Renita saat berpapasan dengan Aisyah. Kini mereka sedang menuju ke ruang makan. Wajah Aisyah memerah menahan malu, “Em... Mama bisa saja.” “Mama nggak sabar punya cucu, Syah.” “Doakan ya, Ma. Semoga secepatnya Allah kasih rezeki yang Mama inginkan...” Ujar Aisyah membuat Renita mengangguk. “Itu sudah pasti. Mama selalu mendoakan kebaikan kalian.” Setelah memastikan perut kenyang usai sarapan, Renita yang tidak memiliki agenda kesibukan hari ini, berinisiatif mengajak menantunya untuk menikmati waktu berdua. Perempuan paruh baya itu berpikir, ia harus lebih dekat dengan menantunya itu. “Syah, ayo kita pergi ke mall.” Ajak Renita. Aisyah yang baru saja mendudukkan diri di atas sofa, spontan menoleh pada sang ibu mertua. Keningnya berkerut sebentar, tetapi ia segera menarik kedua sudut bibir. “Ada yang mau Mama beli?” Tanyanya sopan. “Banyak. Mama yakin kamu juga perlu beli banyak barang. Contohnya kayak baju, make up, sama ski
Dari sikap Galih selama ini, lelaki itu memang sudah banyak berkorban untuk dirinya. Semua hutang Herman di lunasi. Galih memberikan mahar fantastis pada Aisyah ketika pernikahan mereka. Selain itu, Galih juga memperlakukan Fadil dengan sangat baik dan memastikan kebutuhan adik semata wayang Aisyah terpenuhi dari segala sisi.Apa iya Galih setulus itu padanya karena rasa cinta? Bagaimana bisa lelaki yang menjadi suaminya itu bersikap seperti manusia yang tengah di mabuk kepayang pada dirinya, padahal mereka berdua tidak pernah saling bertemu sebelum kejadian di rumah Herman?Pertanyaan itu masih tersimpan baik. Aisyah tak tahan ingin bertanya, tetapi ia yakin, hanya Galih yang tahu jawabannya. Maka dari itu, Aisyah menahan diri untuk tak lagi melayangkan pertanyaan, apalagi saat ini, mereka sudah sampai di tempat tujuan.Renita memarkirkan mobil di basement dan mengajak Aisyah keluar. Mereka masuk melalui lift dan menjadikan lantai satu sebagai destinasi pertama yang harus di jelajahi
“Tadi kamu bilang apa? Menantu saya maling? Hey, jangankan satu tas, satu toko saja saya mempu membelikannya untuk menantu saya!” Renita begitu berang, sehingga ia tak peduli dengan keadaan sekitar.Malah bagus kalau ada banyak mata memandang, agar semua orang di toko tahu ada perempuan bermulut sampah dengan sikap yang sangat tidak sopan dan menyebalkan. Syahnaz pantas mendapatkan perlakuan buruk sebagai timbal balik, begitulah pikir Renita.Sementara Syahnaz sudah mundur dua langkah. Alarm dalam dirinya berkata, kalau ia memang harus menjauh dari perempuan paruh baya yang menyebut kalau dirinya adalah mertua Aisyah.‘Dia pasti bohong! Suami Aisyah itu preman, mana mungkin dia punya orang tua seglamor ini! Aku yakin, si ibu yang berdiri di depanku, memang sengaja mau melindungi Aisyah dan pura-pura jadi mertuanya!” Syahnaz masih meyakini itu dalam hati.Sungguh, dirinya tak akan percaya begitu saja jika tidak ada bukti yang benar-benar menjelaskan langsung. Siapa pun bisa mengaku-nga
°°°°°Aisyah dan Renita sudah duduk di area food court. Mereka telah memesan beberapa menu untuk makan siang. Sembari menunggu, Renita menatap menantunya dengan intens, membuat Aisyah merasa canggung di tatap seperti itu oleh sang mertua.“Kamu gak mau cerita sama Mama, siapa perempuan kurang ajar tadi, Syah?” Tanya Renita, “Mama masih geram, karena dia sudah bersikap lancang sama kamu. Coba ceritakan sama Mama, siapa perempuan itu dan apa hubungannya sama kamu?” Renita ingin mengetahui siapa sebenarnya Syahnaz.Sebenarnya ia sudah sangat penasaran, tetapi menahan diri untuk tidak bertanya, karena berpikir Aisyah akan bercerita dengan sendirinya. Namun, menantunya itu malah menutup mulut. Jika tidak di pancing, Aisyah tidak akan bicara.Aisyah terdiam sejenak, menatap Renita dengan serius, “Em... Dia sepupuku, Ma. Syahnaz namanya, anak Paman Herman dan Tante Rina.” Jelas Aisyah pada akhirnya.Renita mengernyit heran, “Sepupu? Tapi kok sikapnya sangat kasar, Syah? Dia sampai menuduh k
“Tante selalu mendoakan rumah tangga kamu dan Galih agar senantiasa harmonis, Syah.” ucap Rina seraya menengadahkan tangan, layaknya orang yang tengah berdoa dengan khidmat.Harusnya Galih dan Aisyah mengaminkan doa perempuan paruh baya itu. Namun setelah saling pandang selama beberapa kali, mereka sepakat bahwa Rina tidak tulus mendoakan pernikahan mereka. Tepatnya ada udang di balik batu dari sikapnya yang tiba-tiba sangat baik bak ibu peri itu.“Ada perlu apa Tante dan Syahnaz datang ke sini?” Tanya Galih lebih dulu, mendahului Rina sebelum kembali bertingkah penuh kepalsuan.Muak sekali rasanya jika harus menyaksikan sandiwara dari kedua manusia tidak tahu diri ini.“Aku sama Ibu akan jelaskan semuanya, tapi masa kita ngobrol di sini? Kenapa gak di dalem aja? Di sini panas tau,” keluh Syahnaz mengibaskan tangan di depan wajahnya untuk mengusir rasa panas.Meski di sekelilingnya memang sejuk, tetapi semua pepohonan yang ada di halaman rumah Galih tidak bisa menghalangi panasnya cah
“Ini beneran rumahnya Galih, Syahnaz?” Tanya Rina masih tak percaya dengan apa yang ia lihat di depan matanya itu. Bola mata Rina melebar karena takjub.Syahnaz sendiri sampai mengerjap beberapa kali, juga mengecek kembali alamat yang di berikan wanita tadi padahya.Semuanya benar, tak ada yang salah. Syahnaz semakin menyimpan kedengkian pada Aisyah, karena dari luar saja, rumah tersebut tampak sangat besar dan mewah.Pagar yang tinggi dan kokoh, terkesan angkuh seakan menandakan tidak sembarang orang bisa melewatinya. Syahnaz berkali-kali menelan saliva, membayangkan betapa mewah dan lengkapnya fasilitas yang ada di dalam rumah tersebut.“Bahkan rumah Mas Arman dan keluarganya, masih kalah jauh sama rumah ini, Bu,” Ucap Syahnaz pelan, teringat pada rumah yang di kuasai oleh Tiara.“Itu artinya Galih lebih kaya dari Arman, Naz!” seru Rina setengah memekik.Syahnaz mengangguk, mengakui perkataan ibunya yang memang benar. Kekayaan Arman masih kalah jauh dengan kekayaan yang Galih miliki
“Kita udah banyak ngeluarin biaya buat sampai rumahnya Galuh, Bu. Awas aja kalau nanti kita gak dapat hasil apa-apa,” Ucap Syahnaz ketika berada di dalam angkot.Sungguh, sebenarnya ingin sekali Syahnaz turun dari angkot ini dan memesan taksi online saja, tetapi lagi-lagi uang lah yang menjadi kendalanya.“Iya, kamu jangan terpancing emosi nanti. Kita harus bisa ambil hati Aisyah dulu, terutama Galih. Karena Galih adalah kuncinya. Ibu gak peduli dari mana hartanya itu, mau dari money loundry kek atau hasil ngepet juga. Yang penting Ibu dapat kebagian uang mereka, dan paling pentingnya bapakmu harus bebas, Naz!”Syahnaz mengangguk setuju. “Iya, Bu. Kalau perlu nanti kita nangis-nangis aja di depan Aisyah. Gak apa-apa deh ngerendahin diri dikit, asalkan bisa membuat Aisyah luluh sama kita.” Tambah Syahnaz.Rina tersenyum lebar, kali ini rencananya tak boleh gagal lagi.“Eh, Bu. Tapi kok tadi karyawannya Galih mau ngasih tau kita alamatnya ya? Yang lain aja pada diem,” Tanya Syahnaz terh
“Aduh, maaf Bu... Saya gak tau di mana rumah Pak Galih. Saya di sini cuma sebatas kerja aja.” Akhirnya Agus mengucapkan kalimat yang membuat Syahnaz dan Rina tampak kecewa. Dua raut wajah wanita itu juga langsung berubah masam. Namun, Agus sama sekali tidak peduli. Masa bodoh kalau saat ini, mereka kesal pada dirinya. “Bapak jangan bohong sama kita!” Syahnaz menekan kata demi kata. Matanya tajam menatap ke arah sang tukang parkir. “Untuk apa saya bohong?” Agus meninggalkan Syahnaz dan Rina lebih dulu, sebab ada satu mobil pelanggan yang masuk. Memang lebih baik menunaikan pekerjaan, daripada terus berdiri di depan dua wanita, yang sepertinya akan berkata kasar padanya. “Gimana ini, Bu?” Tanya Syahnaz seraya menatap Agus dengan sorot mata yang masih kesal. “Kita masuk ke dalem aja, Naz. Kita desak pegawai yang ada di sana.” Ujar Rina, tak akan menyerah. Syahnaz mengangguk. Sekarang, keduanya benar-benar masuk ke dalam kedai dan menghampiri meja kasir. “Mbak, kasih tau kita di m
“Ini semua karena Aisyah!” Ucap Rina dan Syahnaz tiba-tiba serentak. Rina dan Syahnaz kini saling pandang, paham dengan apa yang mereka pikirkan tanpa mengutarakan yang di rasakan masing-masing. “Nah... Awal permasalahan ini karena Aisyah kan, Bu? Bukan gara-gara aku?” Ucap Syahnaz mempengaruhi Rina agar menyalahkan Aisyah. Rina seketika mengangguk penuh keyakinan, “Kamu betul, Naz. ini semua gara-gara si Aisyah!” timpal Rina begitu geram. “Kalau aja Aisyah nikah sama Juragan Bram, kehidupan kita gak akan sengsara seperti ini! Ibu pasti udah punya rumah bagus, karena Juragan Bram begitu royal sama orang-orang yang ngasih dia keuntungan!” Senyum Syahnaz akhirnya terukir lebar. Baguslah kalau Rina menyadari Aisyah punya andil besar dalam memporak-porandakan keluarga mereka. Dirinya bisa terselamatkan dari kecaman sang ibu yang tak ada habisnya. “Nah iya, Bu. Buat apa si Aisyah nikah sama Galih? Dia memang orang kaya, tapi apa untungnya buat kita? Tambah Syahnaz semakin mengompori a
Di rumah besar itu, Fadil sudah kembali ke pelukan kakak tercintanya. Dengan air mata berlinang, Aisyah langsung memeluk Fadil dengan erat. la sungguh bahagia dan lega, karena adik semata wayangnya itu berhasil selamat dan tak kurang satu apa pun saat kembali ke rumah. “Makasih ya, Mas... Makasih karena kamu udah bawa pulang Fadil dalam keadaan selamat,” Ucap Aisyah tak bisa berkata apa pun lagi. “lya, Sayang, sudah tugasku melakukan yang terbaik buat keluarga kita.” Jawab Galih. Fadil melepas pelukannya pada Aisyah, lalu menatap ke arah Galih, “Mas Galih, aku juga mau bilang makasih. Kalau gak ada Mas Galih_” “Sudahlah, Dil, tidak usah di ingat-ingat lagi kejadian yang tadi,” potong Galih, saat menyadari raut wajah adik iparnya tampak tidak nyaman ketika ingin membicarakan kejadian tadi. Akhirnya Fadil mengangguk dan menerima segelas susu hangat yang di berikan oleh Renita. “Bagaimana bisa Fadil ada di tangan mereka sih, Galih?” Tanya Renita begitu penasaran sekaligus geram buk
Kedua istri Juragan Bram itu sudah berada di kantor kepolisian. Kedatangan mereka ke kantor tersebut, tentu untuk membebaskan sang suami yang saat ini tengah mendekam di balik jeruji besi.“Lakukan apa pun supaya suami kita bebas!” Ucap Arni, istri pertama Juragan Bram dengan tegas.Fira mengangguk saja. Tak perlu di suruh pun, tentu ia akan mengusahakan segala cara agar suaminya bisa di bebaskan dari kantor itu.“Pak, kami mau melihat suami kami yang baru saja di tahan!” Ujar Fira pada polisi yang bertugas.Polisi yang sedang duduk di meja itu mengerutkan kening sebentar. “Suami yang mana, Bu?” Tanyanya.Kemudian Arni menceritakan ciri-ciri juragan Bram pada polisi tersebut, dan menjelaskan atas kasus apa Juragan Bram sampai bisa di tahan. Petugas polisi pun lantas menganggukkan kepala, kemudian meminta Arni dan Fira untuk duduk di ruang tunggu.Tak lama setelah itu, polisi yang tadinya masuk mengecek juragan Bram, kini sudah keluar dan duduk kembali di meja kerjanya.“Maaf Bu... Se
“Ibuu...” Teriak Syahnaz, panik melihat Rina yang tersungkur ke lantai.“Ini semua pasti cuma mimpi kan, Naz? lbu hanya mimpir buruk kan??” Tanya Rina dengan suara lemah, dirinya masih belum bisa mempercayai fakta yang baru saja di katakan putri semata wayangnya.Detik berikutnya, wanita paruh baya itu pun terpejam, Rina pingsan saking terkejutnya dengan fakta perceraian Syahnaz.Syahnaz seketika panik, ia segera meminta tolong pada tetangganya. Membawa sang lbu ke rumah sakit bukan pilihan yang tepat karena pasti nanti akan memakan banyak biaya. Syahnaz memang masih memegang uang, tapi anak itu sangat perhitungan.“Bawa masuk ke dalam kamar saja, Pak! Paling lbu pingsan biasa, biar nanti saya Olesi pakai minyak kayu putih,” Titah Syahnaz.Para tetangga yang berdatangan membantunya pun segera membopong tubuh gempal Rina masuk ke dalam kamar.“Astaga, berat sekali ibumu ini, Syahnaz,” Ketus salah seorang yang membopong Rina, dengan napas ngos-ngosan.“Betul! Kebanyakan dosa kayaknya,”
‘Dasar! Ibu malah makin menjadi-jadi! Harusnya tunggu Mas Arman ngomong duluan, ini malah nyerocos aja kayak gitu! Pasti aku lagi yang kena getahnya!” rutuk Syahnaz sangat sadar, dirinya akan di timpa masalah lain karena ucapan Rina yang sangat menyebalkan dan tinggi hati.“Syahnaz bilang gitu sama Ibu?” Tanya Arman, memastikan kembali.Rina segera mengangguk. “Iya... Bahkan Syahnaz janjiin sendiri sama Ibu dan Bapak, kalo kamu akan merenovasi rumah ini.”Untuk pertama kalinya sejak datang ke rumah ini, Arman baru tersenyum. Namun, jelas bukan senyum bahagia yang terukir, melainkan senyum getir sebab perempuan yang di nikahinya memang punya mulut besar yang senang berucap dan mengumbar janji sembarangan.Perkara ini harus di luruskan dengan secepat mungkin. Tak boleh di biarkan begitu saja. Arman harus menyampaikan maksud dan tujuan sebenarnya pada Rina, agar perempuan paruh baya itu berhenti berharap lebih padanya.“Maaf, Bu... Tapi tujuan saya datang ke sini bukan mau ngasih Ibu dan