***"Mas!" Suara Kalila membuat Kusaini berjingkat. Buru-buru dia mengusap air mata yang membekas di pipi dan menyusut hidung yang sedikit berair. "Katanya mau beli susu Ibu hamil, kok masih berdiri di sini?""Ah, bentar. Ini mataku tiba-tiba kelilipan," dusta Kusaini. Dia mengucek mata yang memang sudah memerah agar istrinya tidak curiga dengan apa yang sedang terjadi."Sini lihat! Kok bisa sih di depan rumah aja kelilipan?" Kalila meniup pelan mata suaminya. Dia merasa janggal karena kedua mata serta hidung Kusaini memerah. Merasa ada yang tidak beres, kepalanya celingukan mencari sumber permasalahan disini. Kusaini gegas menaiki motor dan meninggalkan Lila di halaman rumah dengan segudang pertanyaan yang memenuhi pikirannya.Wanita hamil itu meraup udara dengan rakus. Dia mencoba abai dan berbaik sangka pada gelagat Kusaini barusan. Tapi penuturan Diah membuat hati Lila seketika remuk redam."Heh, Lila. Kamu tau nggak kalau Tomi mau menikah sama Gina?"Lila menggeleng samar karen
***"Apa sih, Bu?" gerutu Dania-- anak Diah. "Lagipula jaman sekarang masih aja pusing sama omongan orang, mau Ibu nggak bisa makan karena nggak punya uang?""Bukan begitu, Nia. Kamu tau, Hesti sudah mengendus pekerjaan kamu sekarang."Dania berdecak kesal. Dia membanting ponsel di atas ranjang dan berdiri mendekati Ibunya. "Makanya aku udah bilang kan, Bu. Kurang-kurangin julid sama orang, Ibu mau mereka balas dendam dan membuat kita miskin seperti dulu?"Diah menggeleng cepat. Dia menggigit bibir bawah dengan gelisah mendengar penuturan Dania. Memang benar, menantu yang dia koar-koarkan minggat ternyata sengaja pergi karena tidak tahan dengan kelakuan Dania yang suka berganti-ganti pasangan terlebih laki-laki yang lebih tua dan beruang. Sayangnya, Diah mendukung keburukan anaknya selama ini."Ya ... gimana dong, Nia, kamu tau sendiri kan kalau Ibu emang nggak suka sama keluarga Eni."Dania mencebik. Dia mengambil ponsel di atas ranjang dan berlalu meninggalkan Diah yang terpaku di d
***Sembilan hari setelah acara pertunangan ...."Aku mau ke rumah Ayah Tomi, Ma," ungkap Tirta sendu. "Sudah lama sekali kita tidak bertemu, Tirta kangen."Astri yang sedang membantu Sang Ibu membungkus jajanan basah untuk dititipkan di beberapa toko di kampung mereka seketika melirik sebentar ke arah putranya. Uang penjualan rumah sengaja dia tabung untuk masa depan Tirta, sementara untuk kebutuhan sehari-hari dia mengakali dengan berjualan jajanan basah setiap harinya."Ayah Tomi lagi kerja, Tir. Dia ada di kota mungkin sekarang," dusta Astri. "Lagipula untuk pulang ke rumah Nenek Leha, kita butuh ongkos. Ini Mama cari ongkos dulu biar kita bisa main kesana. Kamu yang sabar ya!"Tirta menunduk kecewa. Di hari Minggu ini dia ingin sekali pergi ke rumah Tomi dan menghabiskan waktu disana, tapi apalah daya ... dia hanya seorang anak kecil yang segala sesuatunya menunggu persetujuan Astri."Telepon Ayah, Ma. Aku kangen!"Astri mencoba abai dengan tetap malanjutkan pekerjaannya. Dia ing
***Astri menatap sendu pada putranya yang terlihat begitu sedih. Tirta menunduk dalam dan kembali menangis dalam diam. Entah bagaimana caranya memberi pengertian jika Tomi berhak bahagia dengan calon keluarga barunya. Astri merasa Tirta belum cukup paham tentang ini."Ayah Tomi berhak bahagia, Nak.""Apa kalau hanya aku yang menjadi anaknya, maka Ayah Tomi tidak bahagia, Ma?"Astri menggeleng. Ingin sekali dia mengatakan dengan tegas agar Tirta bisa melupakan Tomi, tapi melihat sorot mata Tirta yang semakin redup maka Astri mengurungkan niatnya."Kamu adalah anak Papa, Tir. Bukan anak Ayah Tomi, paham?""Tapi Papa tidak pernah menyayangiku seperti Ayah Tomi, Ma. Aku mau menjadi anak Ayah Tomi seperti dulu. Mama mau kan menikah sama Ayah lagi?"Astri menggeleng cepat. Dia buru-buru mengusap air mata yang mengalir di pipi. Melihat cinta di mata Tirta justru membuat hati Astri berdenyut nyeri. Andai saja dulu dia tidak bertingkah, maka dia dan Tomi pasti ... ah, mengenang masa lalu mema
***Halimah dan Vano saling berpandangan. Tapi keduanya memilih diam daripada harus berdebat di muka umum. Tomi dan Gina pun nampak kembali menyantap makanan di depan mereka seolah-olah Tirta bukan masalah yang perlu ditakuti. Ya, siapa yang akan takut dengan anak sekecil Tirta?"Aku ada rekomendasi souvernir pernikahan, Mas. Kebetulan langganan cuci mobil di tempatku ada yang menjadi Owner souvernir. Mau kalian coba?"Gina mengangguk antusias membuat Vano tanpa ragu memberikan kontak owner pembuatan souvernir pernikahan."Kita pulang dulu, kasihan Pandu di rumah pasti nungguin," ajak Gina kemudian. "Masalah souvernir biar Mas Tomi yang urus nanti. Gimana?"Halimah dan Vano mengedikkan bahu, "Gimana baiknya aja, Mbak," sahut Halimah.Mereka meninggalkan food court dan berjalan beriringan menuju tempat parkir. Memang kemauan Gina kalau pergi kemana-mana harus membawa Halimah dan Vano, dia masi
***Asvia meninggalkan Jamilah sendirian ditemani dengan rasa takut. Tiba-tiba bayangan saat dirinya meletakkan setrika panas di atas paham Asvia kecil membuat tubuhnya bergetar dan berkeinginan dingin."Tidak, aku tidak boleh kalah dari anak pembawa sial itu!" gerutu Jamilah. "Aku adalah istri Kang Husain, sudah sewajarnya jika harta peninggalan Asma jatuh ke tangan suamiku kan?"Jamilah memaksa tersenyum meskipun ketakutan masih menguasai dirinya. Setelah berhasil menguasai diri, dia sedikit berlari mencari sosok Husain untuk mengatakan alasannya mengapa ia meminta rumah Handoko dijual."Kang ...." Husain yang sedang duduk di tepi ranjang setelah membersihkan diri di kamar mandi pun menoleh. Terdengar helaan napas panjang dari hidung suaminya membuat Jamilah meremas-remas sepuluh jemari karena takut. "Maafkan aku, aku tidak bermaksud untuk melukai hatimu dan Asvia, Kang. Tapi ....""Apa yang Asvia katakan itu benar, Milah. Rumah dan seluruh harta ini adalah peninggalan Asma."Jami
***"Papa ...."Seorang wanita dengan jilbab lebar terlihat syok ketika kedua matanya menatap suaminya yang terkulai lemah dan wajah babak belum penuh lebam. Hampir saja dia limbung jika seorang lelaki yang usianya berkisar antara dua puluhan tahun tidak dengan sigap menopang tubuhnya."Maaf kalau saya menghubungi Ibu di malam hari begini, tapi ....""Apa benar suami saya berzinah, Pak?"Pak RT mengangguk samar. Laki-laki yang merupakan anak dari pelanggan Dania seketika meringsek maju dan melayangkan bogemnya tepat di rahang laki-laki yang dia panggil Papa selama ini."Brengsek!" umpatnya. "Setelah apa yang Mama berikan Papa masih saja berani berhianat?"Laki-laki yang kedua matanya sudah bengap itu nampak menunduk malu. Bibirnya terasa kelu ingin menampik semua ucapan putranya saat ini."Seperti apa wanita yang kamu ajak berzina, aku jadi ingin tau wanita bodoh mana yang
***Semua orang yang ada di ruang tamu seketika terkejut mendengar teriakan Halimah. Terlebih Vano, dia sampai hampir menabrak tubuh Karim karena melesat terlalu cepat menghampiri Sang Istri."Kamu kenapa, Dek? Sakit perutnya?" tanya Vano cemas. Berkali-kali dia mengusap perut Halimah yang sudah membuncit. Halimah menggeleng. Dia menutup wajah dengan menggunakan dua tangan. Tubuhnya bergetar karena menangis dan ketakutan. Vano segera memeluk Halimah dengan erat, disusul dengan Leha yang mulai mengusap-usap lembut lengan putrinya itu."Kenapa, Hal? Kita ke rumah sakit ya," ajak Tomi ikutan resah. "Ngomong, jangan diem aja. Kalau sakit bilang, Halimah!"Telunjuk Halimah menunjuk pada ponselnya yang terjatuh. "Li-- lihat disana, Mas. Ada pesan entah dari siapa."Tomi memungut ponsel yang tergeletak di bawah meja sementara Leha dan Karim menatap putrinya dengan cemas. Bukan tanpa alasan, keduanya sudah menanti kehadiran bayi kecil di keluarga ini sejak lama. Mereka takut jika Halimah ken