***Halimah dan Vano saling berpandangan. Tapi keduanya memilih diam daripada harus berdebat di muka umum. Tomi dan Gina pun nampak kembali menyantap makanan di depan mereka seolah-olah Tirta bukan masalah yang perlu ditakuti. Ya, siapa yang akan takut dengan anak sekecil Tirta?"Aku ada rekomendasi souvernir pernikahan, Mas. Kebetulan langganan cuci mobil di tempatku ada yang menjadi Owner souvernir. Mau kalian coba?"Gina mengangguk antusias membuat Vano tanpa ragu memberikan kontak owner pembuatan souvernir pernikahan."Kita pulang dulu, kasihan Pandu di rumah pasti nungguin," ajak Gina kemudian. "Masalah souvernir biar Mas Tomi yang urus nanti. Gimana?"Halimah dan Vano mengedikkan bahu, "Gimana baiknya aja, Mbak," sahut Halimah.Mereka meninggalkan food court dan berjalan beriringan menuju tempat parkir. Memang kemauan Gina kalau pergi kemana-mana harus membawa Halimah dan Vano, dia masi
***Asvia meninggalkan Jamilah sendirian ditemani dengan rasa takut. Tiba-tiba bayangan saat dirinya meletakkan setrika panas di atas paham Asvia kecil membuat tubuhnya bergetar dan berkeinginan dingin."Tidak, aku tidak boleh kalah dari anak pembawa sial itu!" gerutu Jamilah. "Aku adalah istri Kang Husain, sudah sewajarnya jika harta peninggalan Asma jatuh ke tangan suamiku kan?"Jamilah memaksa tersenyum meskipun ketakutan masih menguasai dirinya. Setelah berhasil menguasai diri, dia sedikit berlari mencari sosok Husain untuk mengatakan alasannya mengapa ia meminta rumah Handoko dijual."Kang ...." Husain yang sedang duduk di tepi ranjang setelah membersihkan diri di kamar mandi pun menoleh. Terdengar helaan napas panjang dari hidung suaminya membuat Jamilah meremas-remas sepuluh jemari karena takut. "Maafkan aku, aku tidak bermaksud untuk melukai hatimu dan Asvia, Kang. Tapi ....""Apa yang Asvia katakan itu benar, Milah. Rumah dan seluruh harta ini adalah peninggalan Asma."Jami
***"Papa ...."Seorang wanita dengan jilbab lebar terlihat syok ketika kedua matanya menatap suaminya yang terkulai lemah dan wajah babak belum penuh lebam. Hampir saja dia limbung jika seorang lelaki yang usianya berkisar antara dua puluhan tahun tidak dengan sigap menopang tubuhnya."Maaf kalau saya menghubungi Ibu di malam hari begini, tapi ....""Apa benar suami saya berzinah, Pak?"Pak RT mengangguk samar. Laki-laki yang merupakan anak dari pelanggan Dania seketika meringsek maju dan melayangkan bogemnya tepat di rahang laki-laki yang dia panggil Papa selama ini."Brengsek!" umpatnya. "Setelah apa yang Mama berikan Papa masih saja berani berhianat?"Laki-laki yang kedua matanya sudah bengap itu nampak menunduk malu. Bibirnya terasa kelu ingin menampik semua ucapan putranya saat ini."Seperti apa wanita yang kamu ajak berzina, aku jadi ingin tau wanita bodoh mana yang
***Semua orang yang ada di ruang tamu seketika terkejut mendengar teriakan Halimah. Terlebih Vano, dia sampai hampir menabrak tubuh Karim karena melesat terlalu cepat menghampiri Sang Istri."Kamu kenapa, Dek? Sakit perutnya?" tanya Vano cemas. Berkali-kali dia mengusap perut Halimah yang sudah membuncit. Halimah menggeleng. Dia menutup wajah dengan menggunakan dua tangan. Tubuhnya bergetar karena menangis dan ketakutan. Vano segera memeluk Halimah dengan erat, disusul dengan Leha yang mulai mengusap-usap lembut lengan putrinya itu."Kenapa, Hal? Kita ke rumah sakit ya," ajak Tomi ikutan resah. "Ngomong, jangan diem aja. Kalau sakit bilang, Halimah!"Telunjuk Halimah menunjuk pada ponselnya yang terjatuh. "Li-- lihat disana, Mas. Ada pesan entah dari siapa."Tomi memungut ponsel yang tergeletak di bawah meja sementara Leha dan Karim menatap putrinya dengan cemas. Bukan tanpa alasan, keduanya sudah menanti kehadiran bayi kecil di keluarga ini sejak lama. Mereka takut jika Halimah ken
***"Di sebuah toko, Mas. Ya, ini kursi tunggu toko ...."Belum sempat Halimah melanjutkan ucapannya, Tomi langsung menyambar dengan berkata, "Toko Kue di perbatasan kota dan kampung rumah Gina."Halimah mengangguk mantap, "Aku sedikit banyak tau view toko itu. Yakin sekali kalau Mbak Gina sedang ada disana, langsung ke lokasi saja, Mas," pinta Halimah pada Vano.Leha dan Karim saling berpegangan tangan. Keduanya diam-diam berdoa dalam hati untuk keselamatan anak-anaknya. Entah dosa apa di masa lalu yang mereka lakukan sampai-sampai kehidupan Halimah dan Tomi selalu saja berada dalam masalah. Apa mungkin ini salah satu cara Tuhan mengangkat derajat mereka sebagai manusia? Wallahu a'lam!Tanpa banyak bertanya lagi, Vano segera mengarahkan mobil ke tempat yang Halimah maksud. Meskipun mereka masih sama-sama ragu dengan foto yang 'pelaku teror' berikan tapi tidak ada salahnya untuk mencoba."Bukannya
***Kalila menangis panik sedangkan Hesti berlari meminta bantuan. "Tolong ... tolong ...."Beberapa warga mendekat, Hesti menceritakan apa yang sedang terjadi membuat mereka menghambur membagi tugas. Dua diantaranya pergi ke rumah Pak RT mengingat rumah Leha sedang kosong, maka tidak ada jalan lain selain ke rumah Pak RT yang mempunyai mobil. Dua yang lainnya membantu Kalila untuk berjalan dengan sangat perlahan."Pelan-pelan, Lil!" pinta Hesti. Dia buru-buru menggendong Felisha sembari satu tangan menekan nomor Kusaini berharap adiknya itu memegang ponsel saat ini."Bu Eni kemana?" tanya Bu RT. Dia datang bersama Pak RT dengan buru-buru ketika salah seorang warga mengatakan kalau Kalila butuh bantuan."Astaghfirullah! Ibu," pekik Hesti. "Ibu di kebun, Bu RT. Saya sampai lupa kalau Ibu ada di kebun sekarang."Bu RT mengangguk paham, dia segera melesat menuju kebun keluarga Hesti yang terleta
***Tomi dan Vano mengumpulkan semua bukti. Gina berulang kali mengucap rasa syukur karena Allah masih melindunginya kali ini. Tidak terbayang jika masa lalu kembali terulang dengan orang yang entah sama entah pula berbeda. Gina begidik ngeri, trauma akibat kelakuan bejad Kusaini masih membekas di pikirannya."Semoga pelakunya segera ketemu, Mas. Aku ... aku takut kalau ....""Tenang saja, kamu tidak sendiri. Lihat, ada keluarga kita disini, mereka akan mendukung langkah kita, Gin!"Gina mengangguk paham. Melihat kegelisahan di wajah calon iparnya, Halimah memeluk bahu Gina agar sedikit lebih tenang sementara Leha dan Fatma sejak tadi bergandengan tangan saling menyalurkan kekuatan sebagai seorang Ibu."Banyak sekali rintangan mereka, saya sampai berpikir buruk pada rencana pernikahan Tomi dan Gina," seloroh Karim membuat semua mata memicing ke arahnya. "Apa jangan-jangan ini pertanda dari Allah jika kalian bukan pasangan yang cocok?"***Napas Eni terdengar ngos-ngosan saat kakinya s
***"Mas, tenang!" bentak Vano. Belum genap 24 jam tim kepolisian sudah menemukan pelaku terror yang meresahkan dua wanita dalam hidupnya. Tomi mengusap wajahnya kasar. Dia tidak mengenal laki-laki di depannya, tapi melihat raut kaget di wajah Gina dan keluarganya, Tomi menjadi yakin jika mereka mengenal laki-laki yang sedang tersudut di ruangan ini."Apa yang Lo mau?"Laki-laki itu terkekeh. Dia mengusap sudut bibir yang berdarah akibat tonjokan Tomi sementara sekarang ada dua polisi yang berjaga, bagaimana seharusnya Tomi tidak melakukan kekerasan di kantor polisi. Begitulah aturannya. "Jadi kamu menolakku karena laki-laki brutal ini, Gina?" tanya Hifzi tenang. "Lihat perbedaan aku dan dia, aku memakai baju kokoh dan celana formal sementara calon suamimu hanya laki-laki berkaos. Apa kamu tidak menyesal menikahi laki-laki yang minim ilmu agama?""Seharusnya kamu mau aku nikahi, aku pasti bisa membantumu untuk menjadi muslimah yang sangat baik. Lihat, aku ini seorang ustad muda, ilm