***"Apa sih, Bu?" gerutu Dania-- anak Diah. "Lagipula jaman sekarang masih aja pusing sama omongan orang, mau Ibu nggak bisa makan karena nggak punya uang?""Bukan begitu, Nia. Kamu tau, Hesti sudah mengendus pekerjaan kamu sekarang."Dania berdecak kesal. Dia membanting ponsel di atas ranjang dan berdiri mendekati Ibunya. "Makanya aku udah bilang kan, Bu. Kurang-kurangin julid sama orang, Ibu mau mereka balas dendam dan membuat kita miskin seperti dulu?"Diah menggeleng cepat. Dia menggigit bibir bawah dengan gelisah mendengar penuturan Dania. Memang benar, menantu yang dia koar-koarkan minggat ternyata sengaja pergi karena tidak tahan dengan kelakuan Dania yang suka berganti-ganti pasangan terlebih laki-laki yang lebih tua dan beruang. Sayangnya, Diah mendukung keburukan anaknya selama ini."Ya ... gimana dong, Nia, kamu tau sendiri kan kalau Ibu emang nggak suka sama keluarga Eni."Dania mencebik. Dia mengambil ponsel di atas ranjang dan berlalu meninggalkan Diah yang terpaku di d
***Sembilan hari setelah acara pertunangan ...."Aku mau ke rumah Ayah Tomi, Ma," ungkap Tirta sendu. "Sudah lama sekali kita tidak bertemu, Tirta kangen."Astri yang sedang membantu Sang Ibu membungkus jajanan basah untuk dititipkan di beberapa toko di kampung mereka seketika melirik sebentar ke arah putranya. Uang penjualan rumah sengaja dia tabung untuk masa depan Tirta, sementara untuk kebutuhan sehari-hari dia mengakali dengan berjualan jajanan basah setiap harinya."Ayah Tomi lagi kerja, Tir. Dia ada di kota mungkin sekarang," dusta Astri. "Lagipula untuk pulang ke rumah Nenek Leha, kita butuh ongkos. Ini Mama cari ongkos dulu biar kita bisa main kesana. Kamu yang sabar ya!"Tirta menunduk kecewa. Di hari Minggu ini dia ingin sekali pergi ke rumah Tomi dan menghabiskan waktu disana, tapi apalah daya ... dia hanya seorang anak kecil yang segala sesuatunya menunggu persetujuan Astri."Telepon Ayah, Ma. Aku kangen!"Astri mencoba abai dengan tetap malanjutkan pekerjaannya. Dia ing
***Astri menatap sendu pada putranya yang terlihat begitu sedih. Tirta menunduk dalam dan kembali menangis dalam diam. Entah bagaimana caranya memberi pengertian jika Tomi berhak bahagia dengan calon keluarga barunya. Astri merasa Tirta belum cukup paham tentang ini."Ayah Tomi berhak bahagia, Nak.""Apa kalau hanya aku yang menjadi anaknya, maka Ayah Tomi tidak bahagia, Ma?"Astri menggeleng. Ingin sekali dia mengatakan dengan tegas agar Tirta bisa melupakan Tomi, tapi melihat sorot mata Tirta yang semakin redup maka Astri mengurungkan niatnya."Kamu adalah anak Papa, Tir. Bukan anak Ayah Tomi, paham?""Tapi Papa tidak pernah menyayangiku seperti Ayah Tomi, Ma. Aku mau menjadi anak Ayah Tomi seperti dulu. Mama mau kan menikah sama Ayah lagi?"Astri menggeleng cepat. Dia buru-buru mengusap air mata yang mengalir di pipi. Melihat cinta di mata Tirta justru membuat hati Astri berdenyut nyeri. Andai saja dulu dia tidak bertingkah, maka dia dan Tomi pasti ... ah, mengenang masa lalu mema
***Halimah dan Vano saling berpandangan. Tapi keduanya memilih diam daripada harus berdebat di muka umum. Tomi dan Gina pun nampak kembali menyantap makanan di depan mereka seolah-olah Tirta bukan masalah yang perlu ditakuti. Ya, siapa yang akan takut dengan anak sekecil Tirta?"Aku ada rekomendasi souvernir pernikahan, Mas. Kebetulan langganan cuci mobil di tempatku ada yang menjadi Owner souvernir. Mau kalian coba?"Gina mengangguk antusias membuat Vano tanpa ragu memberikan kontak owner pembuatan souvernir pernikahan."Kita pulang dulu, kasihan Pandu di rumah pasti nungguin," ajak Gina kemudian. "Masalah souvernir biar Mas Tomi yang urus nanti. Gimana?"Halimah dan Vano mengedikkan bahu, "Gimana baiknya aja, Mbak," sahut Halimah.Mereka meninggalkan food court dan berjalan beriringan menuju tempat parkir. Memang kemauan Gina kalau pergi kemana-mana harus membawa Halimah dan Vano, dia masi
***Asvia meninggalkan Jamilah sendirian ditemani dengan rasa takut. Tiba-tiba bayangan saat dirinya meletakkan setrika panas di atas paham Asvia kecil membuat tubuhnya bergetar dan berkeinginan dingin."Tidak, aku tidak boleh kalah dari anak pembawa sial itu!" gerutu Jamilah. "Aku adalah istri Kang Husain, sudah sewajarnya jika harta peninggalan Asma jatuh ke tangan suamiku kan?"Jamilah memaksa tersenyum meskipun ketakutan masih menguasai dirinya. Setelah berhasil menguasai diri, dia sedikit berlari mencari sosok Husain untuk mengatakan alasannya mengapa ia meminta rumah Handoko dijual."Kang ...." Husain yang sedang duduk di tepi ranjang setelah membersihkan diri di kamar mandi pun menoleh. Terdengar helaan napas panjang dari hidung suaminya membuat Jamilah meremas-remas sepuluh jemari karena takut. "Maafkan aku, aku tidak bermaksud untuk melukai hatimu dan Asvia, Kang. Tapi ....""Apa yang Asvia katakan itu benar, Milah. Rumah dan seluruh harta ini adalah peninggalan Asma."Jami
***"Papa ...."Seorang wanita dengan jilbab lebar terlihat syok ketika kedua matanya menatap suaminya yang terkulai lemah dan wajah babak belum penuh lebam. Hampir saja dia limbung jika seorang lelaki yang usianya berkisar antara dua puluhan tahun tidak dengan sigap menopang tubuhnya."Maaf kalau saya menghubungi Ibu di malam hari begini, tapi ....""Apa benar suami saya berzinah, Pak?"Pak RT mengangguk samar. Laki-laki yang merupakan anak dari pelanggan Dania seketika meringsek maju dan melayangkan bogemnya tepat di rahang laki-laki yang dia panggil Papa selama ini."Brengsek!" umpatnya. "Setelah apa yang Mama berikan Papa masih saja berani berhianat?"Laki-laki yang kedua matanya sudah bengap itu nampak menunduk malu. Bibirnya terasa kelu ingin menampik semua ucapan putranya saat ini."Seperti apa wanita yang kamu ajak berzina, aku jadi ingin tau wanita bodoh mana yang
***Semua orang yang ada di ruang tamu seketika terkejut mendengar teriakan Halimah. Terlebih Vano, dia sampai hampir menabrak tubuh Karim karena melesat terlalu cepat menghampiri Sang Istri."Kamu kenapa, Dek? Sakit perutnya?" tanya Vano cemas. Berkali-kali dia mengusap perut Halimah yang sudah membuncit. Halimah menggeleng. Dia menutup wajah dengan menggunakan dua tangan. Tubuhnya bergetar karena menangis dan ketakutan. Vano segera memeluk Halimah dengan erat, disusul dengan Leha yang mulai mengusap-usap lembut lengan putrinya itu."Kenapa, Hal? Kita ke rumah sakit ya," ajak Tomi ikutan resah. "Ngomong, jangan diem aja. Kalau sakit bilang, Halimah!"Telunjuk Halimah menunjuk pada ponselnya yang terjatuh. "Li-- lihat disana, Mas. Ada pesan entah dari siapa."Tomi memungut ponsel yang tergeletak di bawah meja sementara Leha dan Karim menatap putrinya dengan cemas. Bukan tanpa alasan, keduanya sudah menanti kehadiran bayi kecil di keluarga ini sejak lama. Mereka takut jika Halimah ken
***"Di sebuah toko, Mas. Ya, ini kursi tunggu toko ...."Belum sempat Halimah melanjutkan ucapannya, Tomi langsung menyambar dengan berkata, "Toko Kue di perbatasan kota dan kampung rumah Gina."Halimah mengangguk mantap, "Aku sedikit banyak tau view toko itu. Yakin sekali kalau Mbak Gina sedang ada disana, langsung ke lokasi saja, Mas," pinta Halimah pada Vano.Leha dan Karim saling berpegangan tangan. Keduanya diam-diam berdoa dalam hati untuk keselamatan anak-anaknya. Entah dosa apa di masa lalu yang mereka lakukan sampai-sampai kehidupan Halimah dan Tomi selalu saja berada dalam masalah. Apa mungkin ini salah satu cara Tuhan mengangkat derajat mereka sebagai manusia? Wallahu a'lam!Tanpa banyak bertanya lagi, Vano segera mengarahkan mobil ke tempat yang Halimah maksud. Meskipun mereka masih sama-sama ragu dengan foto yang 'pelaku teror' berikan tapi tidak ada salahnya untuk mencoba."Bukannya
Dikira Miskin (Extra Part) *** Lima bulan kemudian .... "Hai ... lama tidak bertemu, usia berapa kandungan kamu?" Sea menoleh dan mendapati sosok Nando tengah berdiri dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana. "Se?" "Ah, maaf, Bang. Aku ... kaget aja tiba-tiba kamu muncul disini," celetuk Sea gugup. "Sendirian, Bang?" "Ya, karena wanita yang hampir menemani masa tuaku ternyata lebih memilih pria lain. Takdir memang selucu itu, Se." Sea membuang muka. Ada perasaan sedih ketika melihat Nando yang masih mengingat dirinya bahkan disaat dia dan Tirta sedang bahagia menanti buah hati mereka lahir. "Maaf, Bang." Nando terkekeh. "Aku baik-baik saja, Sea. Mungkin Tuhan memang melindungi kamu dari pria tua sepertiku." Sea menggeleng samar. Kedua matanya berembun melihat raut putus asa di wajah Nando. "Sudah kukatakan, kamu pasti mendapatkan wanita yang jauh lebih baik, Bang." "Sendirian?" tanya Nando mengalihkan pembicaraan. Sea mengangguk samar, "Mas Tirta sibuk ngurus Caf
Dikira Miskin (TAMAT)***Satu tahun kemudian ...."Pulang dulu, Sayang. Brian pasti nyariin kamu," kata Bagas lembut. Anita mendongak, kedua matanya memerah dengan bekas air mata yang di pipi. "Sebentar lagi ya, Mas. Sebentar saja," rengeknya manja. Jemarinya yang lentik mengusap-usap pusara kedua orang taunya bergantian, lalu beralih pada pusara Haryati yang nampak segar dengan bunga-bunga yang Anita taburkan barusan. "Brian sudah bisa berjalan, Yah. Kalau saja Ayah dan Ibu masih ada ....""Nit ...." Suara Bagas mengambang di udara. Kehilangan adalah hal yang paling menakutkan baginya. "Biarkan mereka semua tenang di alam sana. Ayo pulang!"Anita bergeming. Matanya semakin sembab karena sudah hampir satu jam ia menangis di pusara tiga orang tercintanya. Haryati sengaja di kuburkan tepat di samping anak dan menantunya. "Semua terasa begitu cepat, Mas.""Takdir Tuhan adalah misteri, apalagi kematian ... semua tidak ada yang tahu sampai kapan batas usia mereka, Sayang. Berhenti berse
***"Darimana kamu tahu kalau Bang Nando menaruh hati pada Sea, Sayang?"Anita mengedikkan bahu. Dia bangkit dan berjalan menjauhi Bagas yang saat ini nampak cengo karena keterkejutannya barusan."Anita ...," pekik Bagas tertahan mengingat sekarang dia sedang berada diantara banyak tamu undangan.Anita menghentikan langkah dan bergelayut manja di lengan Halimah. Wanita cantik itu sekarang tidak segan-segan untuk memeluk mertuanya karena selama ini Halimah memang mencurahkan perhatiannya pada Anita."Bawa Anita pulang, Gas. Dia pucat sekali," ucap Halimah panik. Dia mengusap-usap pipi menantunya dengan lembut. "Pulanglah, acaranya mungkin akan selesai agak malam. Kamu istirahat saja, biar Ibu yang menjelaskan pada Sea nanti."Anita mengangguk patuh. Dia mengikuti langkah Bagas dengan jemari yang saling bertaut. Acara pernikahan Sea memang di adakan di sebuah hotel ternama, perjalanan untuk pulang ke rumah mereka pun menempuh waktu sekitar dua puluh menit."Kamu belum menjawab pertanyaa
***"Nit, kami ...."Anita beralih menatap Tomi dan Gina. Sorot matanya penuh selidik sampai suara Sea membuatnya tiba-tiba terpekik dan berjingkrak bahagia seperti gadis kecil yang mendapat mainan. "Kami ... sebentar lagi akan menikah.""Hah? Serius, kalian ... tidak lagi membohongi aku kan?"Sea menggeleng. Dia merentangkan tangan untuk menyambut tubuh Anita, sahabat yang paling baik yang ia punya selama ini. Sea dan Tirta tertawa ketika Anita jingkrak-jingkrak senang dengan kabar yang ia dengar."Kamu membuatku takut, Se!" Anita mengusap air mata sambil memeluk Sea. "Kalian ... akhirnya. Ya Tuhan!" Anita kembali memekik bahagia. Dia mengurai pelukan dan berlari menuju Gina. Tanpa aba-aba lagi, kedua wanita beda generasi itu saling memeluk dan menangis lirih. Betapa Tomi merasa haru dengan suasana di depan matanya. Siapa sangka, restu yang ia berikan justru memberikan kebahagiaan bagi banyak orang, tidak hanya Sea dan Tirta. "Kami sudah lelah menangis, Nit. Ayolah, kalau kamu masi
***"Brengsek! Berani-beraninya dia ngusir kita, Mas?!" jerit Nayna marah. Bibirnya mengerucut sembari satu tangan mengusap dahi yang mulai berpeluh. "Harusnya kamu bisa tegas sama istrimu itu, Mas! Bagaimanapun kamu adalah kepala keluarga, jangan lembek gini dong!" Suara Nayna semakin membuat kepala Rayan berdenyut nyeri. "Diam, Nay!""Kenapa kamu malah bentak aku? Harusnya kamu bentak saja di Prisa yang kurang ajar itu!""Semua ini salah kamu! Murahan! Kamu bisa kan bersikap baik di depan Prisa bukan malah menyulut pertengkaran seperti ini!""Ya, ya! Salahkan saja aku terus, Mas! Bela wanita mandul yang tidak berguna itu! Aku muak melihat sikapmu yang lemah di depan Prisa!"Plak ....Nayna memegang pipi kanannya yang terasa panas. Tidak ada air mata melainkan hanya kemarahan yang bersarang di dadanya saat ini. "Tampak! Tampar yang banyak kalau perlu bunuh sekalian bayimu ini! Pria miskin! Aku menyesal mau mengakui anak ini sebagai darah dagingmu!"Rayan mengusap wajahnya kasar. Pe
***Tirta dan Sea bergeming. Ucapan Tomi membuat rasa percaya diri Tirta yang sempat tumbuh terasa dihempas begitu saja. Ternyata, setelah bisa mendapatkan kembali hati Sea, ia harus melalui satu jalan lagi yaitu Tomi dan Gina. "Ada banyak pria di luaran sana, Sea! Kamu cantik, mandiri dan ... kamu bisa mencari pria lain tanpa harus terjebak dengan pria yang sama!" ucap Tomi marah. "Kamu lupa ... dia bahkan rela memohon agar wanita yang sudah membuatmu celaka itu bebas. Jangan bodoh!"Sea menunduk. Bodoh! Ya, dia memang sudah bodoh karena setelah berbulan-bulan terlewati, perasaannya pada Tirta terus saja tumbuh tanpa sedikitpun berkurang. Gina mengusap lengan Tomi dengan lembut. Kedua matanya menatap Sea dengan nanar. Putri yang ia anggap sudah melupakan Tirta ternyata masih memiliki perasaan yang begitu besar untuk pria itu."Dia sudah membuatmu terluka, Se. Apa kamu pikir Ayah akan melepaskanmu dengan pria yang sudah pernah membuatmu kecewa?""Yah ....""Tidak!" sahut Tomi tegas.
***Sea dan Tirta terlonjak. Wanita itu mengurai pelukan saat kedua matanya mulai terbuka dan mendapati sosok Freya berdiri di ambang pintu dengan air muka kebingungan."Fre mau ikut peluk," ucapnya polos. Sea merentangkan tangan dan menghambur di pelukan Sea. Bibirnya terus mengukir senyum seolah-olah dua pasangan di depannya bukanlah sebuah ancaman bagi Papanya. "Ini siapa, Tante? Papa ...." Freya memanggil Hamka ketika pertanyaannya tidak kunjung mendapat jawaban dari mulut Sea. "Ayo, sini! Kita pelukan sama-sama!"Brenda membuang muka. Sedikit banyak dia mulai mengerti apa yang sedang terjadi di depan matanya. Melihat Freya yang begitu dekat dengan Sea sudah memberikan jawaban atas pertanyaan Brenda pada Hamka tadi."Kalian ... di-- dia kenal Sea?" tanya Brenda terbata. "Kalian ... sudah saling mengenal?"Hamka mengangguk sambil tersenyum tipis. Pria itu melangkah mendekati Freya dan meninggalkan Brenda di depan toko dengan rasa cemas yang luar biasa."Hai ...," sapa Hamka. "Maaf
***"Se, tolong dengarkan aku!" pinta Tirta memelas. Dia melangkah mendekati Sea yang memunggunginya sembari menutup telinga dengan dua tangan seakan-akan tidak ada yang ingin dia dengarkan dari mulut Tirta. "Aku datang hanya ingin menjelaskan semuanya. Setelah itu semua keputusan terserah padamu. Aku ... hanya ingin meminta maaf atas semua rasa kecewa yang kamu rasakan.""Untuk apa meminta keputusan dariku, Mas? Bukankah kamu sudah memutuskan semuanya sendiri? Kamu lebih memilih wanita itu daripada aku yang ... aku yang tidak sedang mengandung anakmu!" "Dia bukan anakku, Sea!""Dan aku tidak peduli!" teriak Sea. Air matanya berlomba-lomba untuk meluncur bebas ke pipi. "Anakmu atau bukan, yang jelas kamu sudah memilih Nayna daripada aku! Dan itu ... sudah cukup membuatku paham jika nama Nayna berada di posisi tertinggi dalam hatimu."Tirta menunduk. Langkahnya terhenti ketika Sea sudah berada tepat di depan matanya. "Bahkan setelah melukai hatiku berkali-kali, kamu datang dengan wani
***"Mana sarapan untukku?"Nayna duduk di kursi makan dengan melipat tangan. Persis seperti seorang anak kecil yang sedang menunggu sarapannya tersaji."Coba ulangi lagi!"Nayna mendengus kesal. "Ck! Jangan cari gara-gara ya, Mbak. Ini masih pagi, mood ku juga sedang buruk, kamu nggak mau kan kalau sampai aku ngadu ke Mas ....""Kamu pikir aku takut?""Ouh, jadi nantangin? Kamu mau tau siapa yang akan dipilih oleh suami kamu, begitu?" angkuh Nayna. "Lihat! Di perutku ada kehidupan lain, dia yang bertahun-tahun lamanya sangat diinginkan oleh Mas Rayan, yakin kalau aku merajuk dia bakalan lepas kamu begitu saja?"Wanita yang usianya jauh lebih tua di banding Nayna itu tertawa sumbang. Ya, tidak mengelak jika hadirnya seorang bayi adalah keinginan dia dan Rayan selama bertahun-tahun menjalani biduk rumah tangga. Tapi tidak dengan bayi dalam hubungan yang kotor. Rayan sudah mencurangi pernikahan mereka."Kenapa diam,