“Kamu tidak mengenalku, Anya Stein?”
Netra Anya terbelalak. “A-Anda … laki-laki yang semalam ….”
Anya menggigit bibirnya dengan kuat. Degup jantungnya mendadak berpacu cepat ketika mengingat kegilaannya semalam, tetapi ia mengusir ingatan memalukan itu dari dalam kepalanya dan kembali menatap pria asing itu dengan gugup.
“Dari mana Anda tahu nama saya, Tuan?” selidik Anya.
Tanpa menjawab pertanyaannya, Reinhard mengeluarkan kartu tanda pengenal dari saku jasnya dan menyerahkannya kepada wanita itu.
“Kenapa Anda bisa memegang kartu identitas saya?” tanya Anya, semakin bingung.
“Aku membutuhkannya untuk mengisi data pasien,” jawab Reinhard dengan acuh tak acuh.
Anya pun tertegun menatap kartu identitasnya. Ia baru menyadari jika ruangannya yang ditempatinya saat ini adalah kamar rumah sakit.
“Anda … memasukkan saya ke kamar VIP?” tanya Anya dengan syok.
“Apa ada masalah?” Kening Reinhard mengerut.
Namun, Anya tidak menjawab. Ia bergegas bangkit dari ranjangnya, tetapi gerakannya tertahan karena kepalanya─yang masih dibalut perban─tiba-tiba berdenyut sakit.
“Kamu mau pergi ke mana?” Reinhard menatap wanita itu dengan penuh selidik, lalu memperingatkannya, “Sebaiknya kamu berhenti bergerak sembarangan. Lukamu baru saja diobati.”
Sayangnya, Anya tidak menggubris pria itu. Dengan menahan rasa sakit di dalam kepalanya, ia kembali bangkit dan turun dari ranjangnya.
Ketika Anya hendak mencabut selang infusnya, Reinhard menghalanginya dengan mencengkeram kedua lengannya. “Apa kamu sudah gila? Kamu tidak dengar apa yang aku katakan tadi?” hardik pria itu.
“Anda yang gila, Tuan!” balas Anya tidak kalah murkanya. Netra birunya menyalang tajam dan membuat pria itu terpaku.
Gadis itu kembali berkata, “Saya tidak punya uang untuk membayar kamar ini, Tuan!”
Reinhard tercengang selama tiga detik sebelum terbentuk kerutan di dahinya, lalu detik berikutnya suara tawa kecil pun meluncur dari bibirnya.
Anya pun menatap pria asing itu dengan bingung. Ia merasa sedikit tersinggung dan bertanya, “Apa yang Anda tertawakan?”
Perlahan suara kekehan Reinhard terhenti. Ia juga cukup terkejut dan merasa aneh dengan sikapnya sendiri.
‘Apa yang sudah kulakukan?’ Reinhard ikut bertanya-tanya sendiri. Ia tidak menyangka akan spontan bersikap akrab dengan wanita itu.
“Tuan,” panggil Anya, membuyarkan lamunan Reinhard.
Pria itu pun menoleh, berdeham canggung, lalu berkata, “Mengenai masalah uang, kamu tidak perlu mencemaskannya, Nona. Aku berani membawamu ke sini berarti aku yang menjamin biayanya.”
Anya tertegun, memandang pria itu dengan curiga. “Ini aneh. Kita tidak saling mengenal. Anda tidak memiliki alasan untuk melakukan semua ini untuk saya.”
“Alasan?” Reinhard tersenyum smirk. “Aku baru tahu kalau membantu seseorang harus memerlukan alasan. Jika memang begitu, pantas saja sekarang banyak orang yang memilih untuk tidak peduli dengan kesulitan orang lain.”
Ucapan pria itu menyadarkan Anya bahwa pria itu memang tulus ingin membantunya. “Terima kasih atas bantuanmu, Tuan,” cicit Anya, merasa malu pada dirinya sendiri karena meragukannya.
Akan tetapi, Anya tidak merasa lega begitu saja. Ia tetap merasa aneh dengan pria asing itu. Entah kenapa setiap kali melihat wajahnya, ia merasa pernah melihatnya di suatu tempat.
“Hanya itu?” Satu alis Reinhard terangkat, mengalihkan pandangan Anya padanya.
Kening Anya mengernyit. Ia tidak memahami maksudnya. Namun, sikap acuh tak acuh pria itu sangat mengusiknya.
“Bisakah Anda bersikap dan berbicara sedikit lebih sopan? Sejak tadi Anda terus berbicara santai seolah kita sangat akrab.”
Mendengar protes yang dilontarkan wanita itu, Reinhard malah tersenyum tipis.
“Aku sudah menyelamatkanmu dua kali. Aku rasa aku tidak perlu berbicara formal denganmu dan aku juga pantas mendapatkan lebih dari sekedar ucapan terima kasih,” balas Reinhard dengan nada menggoda, tetapi netra tajamnya mengamati reaksi Anya.
Ingatan malam panas yang mereka lakukan kembali berkelebat di dalam benak Anya.
“Menyelamatkanku?” Wanita itu pun tersenyum getir dan memandang Reinhard dengan tajam. “Apa meniduriku semalam juga kamu perhitungkan sebagai bantuan, Tuan?”
Sindiran sinis yang meluncur dari bibir Anya membuat Reinhard terhenyak. Kini wanita itu juga memasang sikap yang sama dengannya, tidak lagi menunjukkan tata kramanya.
Reinhard dapat melihat kemarahan dari netra wanita itu. Namun, ia tetap bersikap tenang dan membalasnya, “Tentu saja termasuk bantuan meskipun sebenarnya aku terpaksa melakukannya. Tapi, karena kamu begitu agresif, aku─”
Bola mata Anya melebar. “Bohong!” sangkalnya dengan cepat.
“Ini adalah kenyataan, Nona Stein,” ucap Reinhard. “Kamu lupa kalau semalam kamu yang sudah meminta untuk terus melanjutkan permainan sampai beronde-ronde?”
Wajah Anya memerah seketika. “Ti-tidak mungkin!” tampiknya lagi.
“Kenapa tidak mungkin? Kamu mau lihat bukti betapa liarnya kamu semalam, huh?” Reinhard pun membuka mantelnya dan berniat membuka kancing kemejanya untuk menunjukkan bekas cakaran yang ditinggalkan wanita itu di punggungnya.
Namun, wanita itu buru-buru menahan tangannya. “Apa yang kamu lakukan? Dasar mesum!”
Reinhard mengurungkan tindakannya sembari tersenyum smirk. “Seharusnya kamu bersyukur, Anya Stein. Kalau bukan karena aku, semalam kamu pasti─”
Plak!
Satu tamparan keras melayang pada pipi Reinhard, langsung menghentikan ucapannya saat itu juga. Rasa perih pun menjalar pada pipi kanannya. Ia terpaku syok selama tiga detik, lalu dengan cepat kesadarannya kembali, menoleh kepada Anya dan mencengkeram erat pergelangan wanita itu. “Apa kamu sudah gila? Kenapa kamu─”
Bentakan Reinhard terhenti tatkala dirinya melihat sorot mata biru yang menatapnya dengan tajam, seolah menyelami mata ambernya dalam-dalam. Kilasan ingatan tiga tahun lalu kembali berkelebat di dalam kepalanya.
“A-Alicia ….” Reinhard bergumam pelan secara spontan.
Anya bergeming syok saat mendengar sebutan familiar dari bibir pria itu. Air mata yang menggenang pada pelupuk matanya pun luruh seketika dan membuat perasaannya semakin bercampur aduk. Dadanya terasa sangat sesak dan perih. Namun, ia menyeka air matanya dengan cepat.
Di sisi lain, Reinhard tampak kebingungan. Sorot mata wanita itu benar-benar menghipnotisnya. Kerinduan di dalam hatinya pun menggebu-gebu. Terlebih lagi ketika sinar mata yang dipenuhi amarah itu menyala hebat.
“Kamu masih hidup?” gumam Reinhard lagi. Suaranya terdengar berat, namun perih. Tangannya telah menyentuh wajah Anya dengan lembut dan membuat wanita itu mematung, kaget.
Anya menatapnya dengan penuh waspada, tetapi rasa ingin tahunya menguatkan dirinya dan akhirnya ia membuka suaranya dengan gugup, “Kenapa kamu bicara seperti itu?”
Reinhard tersentak. Ia menahan napasnya selama beberapa detik, lalu menarik kembali tangannya dari wajah Anya dan mengepalkannya dengan kuat. Keraguan kembali merayap di dalam hatinya saat wanita itu menatapnya dengan penuh kebingungan.
Perlahan Reinhard memalingkan wajahnya, memejamkan netranya kuat-kuat. ‘Gila! Apa yang sudah aku pikirkan?’ geramnya kepada dirinya sendiri.
Bisa-bisanya ia mengira Alicia masih hidup! Mana mungkin hal itu terjadi!
Sementara itu, masih dengan penuh kebingungan, Anya tertegun dalam-dalam. ‘Tadi … aku tidak salah dengar, kan? Dia memanggilku … Alicia?’
Ingatan asing yang sempat terlintas beberapa waktu lalu dan ucapan aneh pria itu membuat Anya menyadari jika ada satu hal yang tidak sesuai di dalam dirinya.
Kebohongan yang dikatakan Edwin sebelumnya semakin memperkuat dugaan ada rahasia besar yang terselubung di balik kecelakaan yang dialaminya tiga tahun lalu dan ia merasa pria jangkung di hadapannya ini pasti memiliki jawaban yang diinginkannya!
"Si-siapa Alicia?" Anya bertanya dengan suara yang bergetar. Ia mencoba menginterogasi pria itu dengan harapan dapat menemukan sedikit titik terang atas rasa ingin tahunya.Namun, Reinhard malah menatapnya dengan dingin, pandangannya seakan menjadi tembok tak tertembus yang memisahkan mereka. Anya bisa merasakan suhu ruangan seolah turun beberapa derajat, dan sebuah perasaan asing menyelinap di hatinya—perasaan bahwa ia telah melangkahi batas yang seharusnya tak pernah disentuh.“Mengenai hal yang terjadi semalam, aku tidak ingin kamu menyalahkanku secara sepihak. Kamu yang mendatangiku dan meminta bantuanku, sedangkan aku hanya melakukan yang kamu inginkan.”Alih-alih menjawab, Reinhard malah meluruskan kesalahpahaman wanita itu terhadapnya. Namun, Anya malah memberikan tatapan tajam.“Kamu tahu kan apa pun bisa terjadi di saat seseorang berada dalam pengaruh alkohol?” Reinhard mencoba membela dirinya dan tidak menerima tuduhan yang memberatkannya atas perbuatan yang dilakukan semala
“Edwin Stein, Thalia Vale ….”Hanya dengan mengucapkan nama kedua orang itu saja, amarah di dalam dada Anya terasa menggelegak. Segala rasa sakit, penghinaan, dan kekecewaan yang selama ini Anya pendam, kini berubah menjadi kemarahan yang tak terbendung.Anya merasa ia harus bertindak, bukan hanya untuk membalas dendam, tetapi juga untuk membuktikan bahwa ia tidak akan menjadi seseorang yang lemah dan mudah ditindas!‘Tapi, apa yang bisa kulakukan?’Seketika Anya menyadari ketidakberdayaannya. Walaupun ia memiliki tekad dan kebencian yang begitu besar, tetapi ia tidak memiliki dukungan yang dapat diandalkan untuk dapat menuntaskan kebenciannya terhadap Edwin dan Thalia ataupun untuk mengubah keadaannya sendiri.Satu-satunya hal yang dapat Anya lakukan hanyalah menarik kontribusinya terhadap kemajuan perusahaan Stein selama tiga tahun ini. Namun, hal itu tidak akan cukup untuk membuat Edwin dan keluarganya serta Thalia merasakan penderitaan yang dialaminya selama tiga tahun ini.Anya in
“Ini benar-benar gila …,” gumam Anya yang masih mencoba menerima kebenaran dari informasi yang didapatkannya. Melihat kekagetan wanita itu, Reinhard pun tersenyum kecil. "Sekarang kamu baru sadar kalau kamu sudah menjadi wanita yang sangat beruntung?" ucapnya dengan bangga. Tatapan Anya perlahan berubah datar. “Aku tidak merasa beruntung sekali pun, Tuan Muda Hernandez,” timpalnya seraya memutar bola matanya dengan malas. “Kamu yakin?” Netra Reinhard menyipit tajam. “Padahal banyak wanita yang ingin mendekatiku dan rela melakukan apa pun untuk bisa mendapatkan hal yang kamu dapatkan semalam, Anya Stein.” Namun, Anya malah terkekeh kecil mendengar ucapan pria itu. “Kenapa kamu sepanik itu? Apa aku sudah melukai harga dirimu sebagai seorang lelaki,” ledeknya. Reinhard berdeham canggung dan memalingkan wajahnya. “Tidak,” kilahnya, enggan menunjukkan jika ia memang sangat tersinggung dengan penilaian wanita itu. Suara tawa Anya perlahan lenyap. Ia kembali menatap Reinhard dengan waja
“Austin, aku rasa lukanya sangat serius. Jika tidak, tidak mungkin dia bisa pingsan lagi. Apa tidak sebaiknya kamu periksa lebih terperinci?” saran Reinhard kepada sahabatnya yang masih memeriksa keadaan Anya. Austin hanya meliriknya sekilas, lalu menghela napas pelan. “Baiklah. Aku akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan tidak ada cedera serius. Tapi untuk sekarang, sebaiknya kamu tidak mendesaknya lebih jauh seperti yang aku katakan sebelumnya,” jawab Austin seraya memeriksa denyut nadi wanita itu. “Aku tidak mendesaknya, Austin.” Reinhard berkata dengan nada kesal, menatap Austin dengan tajam. Ia tidak terima dituduh sebagai pelaku yang membuat wanita itu tertekan dan pingsan. Austin meletakkan stetoskop di lehernya setelah memastikan kondisi Anya stabil, kemudian melanjutkan, “Menurut pengamatanku, seharusnya lukanya tidak seserius ini. Tapi, melihat kondisinya sekarang, ada kemungkinan cedera lain yang tidak kita ketahui,” paparnya. Reinhard terdiam, men
“Nona Stein, apa kepalamu masih terasa sakit?” Pertanyaan yang dilontarkan Reinhard membuyarkan lamunan Alicia. Perasaan Alicia terasa campur aduk antara kegembiraan dan kesedihan. Gembira karena akhirnya ingatannya bisa kembali dan mengingat jati dirinya sebagai Alicia Lorenzo. Namun, kesedihan meliputi dirinya karena pertemuannya dengan Reinhard kembali membuka luka lama—penolakan dingin dari pria yang pernah mencuri hatinya dulu. Dengan sepasang netra yang berkaca-kaca dan bibir yang masih membisu, Alicia menatap Reinhard dengan pilu. Luka yang pernah diberikan pria itu kini kembali terbuka dan mengingatkan kisah pahit yang terjadi di antara mereka. ‘Memalukan sekali. Kenapa aku bisa bertemu dengannya lagi dalam keadaan seperti ini?’ batin Alicia seraya tersenyum pahit pada dirinya sendiri. “Kenapa kamu diam saja, Nona Stein?” Reinhard mulai terdengar frustrasi, jelas tidak sabar menghadapi keheningan Alicia. Bukan Alicia tidak mau menjawab, tetapi ia masih berusaha menyesuai
“Ma-maaf, Tuan Muda Hernandez. Tadi aku tidak bermaksud apa pun,” ucap Alicia dengan gugup.Sesaat tadi Alicia tidak sengaja menumpahkan amarahnya terhadap Reinhard karena masih terpengaruh oleh ingatan masa lalunya atas tindakan pria itu. Emosi yang telah lama terpendam sulit untuk ia kendalikan.Reinhard menatapnya dengan alis sedikit terangkat, masih berusaha memahami perubahan mendadak dalam sikap Alicia."Tidak apa-apa, Nona Stein," jawab Reinhard dengan nada datar, meskipun ada keheranan dalam suaranya.“Mungkin aku … hanya lelah,” cicit Alicia kemudian dengan wajah tertunduk dalam.Reinhard membisu. Ia dapat melihat kebohongan wanita itu, tetapi tidak berniat membongkarnya dan akhirnya berkata, “Baiklah. Sekarang kamu beristirahatlah, aku juga masih ada urusan lain. Sebaiknya kamu memberi tahu keluargamu mengenai masalahmu ini.”‘Keluarga?’ Alicia terdiam mendengar hal itu.Ia tidak yakin masih memiliki keluarga apabila dirinya memang telah dinyatakan meninggal. Pun, apabila du
Duar!Suara seperti ledakan itulah yang terdengar di dalam kepala Alicia saat ini. Detak jantungnya yang menggila membuatnya merasa seolah waktu berhenti sesaat. Ia tidak bisa berpikir jernih karena kening Reinhard yang menempel pada keningnya terasa begitu panas, seperti api yang membakar seluruh kesadarannya.Aroma maskulin Reinhard juga menggelitik indra penciumannya, membuat deru napas Alicia tercekat selama beberapa saat. Detik-detik yang berlalu terasa sangat lambat dan setiap detak jantungnya menggema seperti ledakan kecil yang mengguncang hatinya.Alicia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari pria itu. Pandangannya terpaku pada mata amber Reinhard yang begitu dekat, seakan ingin menelusuri seluruh isi pikirannya.‘I-ini … benar-benar berbahaya!’ pikirnya dengan panik. Seluruh tubuh Alicia terasa kaku dan ia kehilangan cara untuk berpikir jernih.Melihat ekspresi wanita itu, Reinhard menyadari tindakan yang sengaja dilakukannya ini sangat berdampak besar terhadap wanita itu. S
“Ya ampun, kamu mengenal saya?” Selina Anderson cukup terkejut mendengar pujian dari “kekasih” putranya tersebut. Binar matanya telah dipenuhi rasa ingin tahu yang besar.Namun, Alicia tersentak. Ia menyadari kecerobohannya. Diam-diam ia melirik Reinhard, tetapi pria itu bersikap sangat datar dan tidak peduli. ‘Sepertinya dia tidak ingat,’ batinnya, merasa lega.Padahal dulu Alicia pernah mengatakan kepada Reinhard jika ia sangat mengagumi ibunya dan meminta pria itu untuk mempertemukan mereka. Akan tetapi, Reinhard tidak pernah mengabulkannya.“Kebetulan saya pernah melihat wawancara Anda di televisi. Saya tidak pernah menyangka bisa bertemu langsung dengan Anda seperti ini, Chef,” sahut Alicia yang masih memandang wanita paruh baya itu dengan penuh kekaguman.Selina terkekeh pelan. “Terima kasih. Tapi, jangan memanggil saya seperti itu. Aneh rasanya ada yang memanggil saya Chef saat saya tidak berada di dapur,” sahutnya.Alicia mengangguk kecil. “Baiklah, Nyonya.”Wanita paruh baya
"Kamu pikir kamu siapa? Beraninya mengatur-ngatur saya seperti ini?" Walaupun Iris berbicara dengan nada penuh amarah, tetapi Owen tidak gentar sedikit pun. Melihat asisten Reinhard tersebut tetap menghalangi jalannya, Iris pun memanggil Reinhard yang masih berdiri memunggunginya. “Katakan sesuatu, Rein. Apa kamu biarkan dia berbicara tidak sopan seperti ini padaku?” teriak Iris, suaranya terdengar semakin meninggi. Wanita itu tidak peduli meskipun beberapa pasang mata telah tertuju padanya dan suara riuh rendah mulai menghiasi area kedatangan bandara tersebut. Beberapa pengawal Reinhard bergegas mengerubunginya, mencegah orang-orang untuk mengambil gambar dari situasi yang tidak akan menguntungkan majikan mereka. Reinhard berbalik perlahan. Mata ambernya menatap Iris dengan tajam, lalu dengan wajah dingin, ia berkata, “Apa yang dikatakan Owen adalah maksudku. Berhentilah membuat masalah. Aku tidak ada waktu untuk bermain drama denganmu.” Iris terperanjat. Meskipun ia suda
‘Rein akan pulang?’Jantung Alicia mendadak berdegup cepat. Rasa rindu yang bercampur dengan kecemasan memenuhi dadanya. Namun, ia dengan cepat menggelengkan kepala, berusaha menepis harapan yang mulai tumbuh di dalam hatinya.‘Jangan bodoh, Alicia! Satu minggu tidak pulang dan tidak memberikan kabar, kamu masih ingin percaya dengan ucapan Owen? Dia itu anjing setia Rein. Tentu saja dia memihaknya!’ Suara hati Alicia terus berteriak, memaksa dirinya untuk tidak lagi berharap pada pria itu.Meskipun tadi pagi Owen sudah mengklarifikasi skandal Reinhard dengan Iris, tetapi hati Alicia yang sudah terlanjur terluka, masih tidak semudah itu percaya. Terlebih lagi saat makan siang tadi ia sempat mendengar kembali berita Reinhard dan Iris yang kepergok keluar dari rumah sakit bersama-sama.Alicia tidak tahu hal apa yang keduanya lakukan dan kenapa Reinhard harus ke rumah sakit dengan wanita itu. Alicia bingung. Ia ingin percaya bahwa mereka tidak ada hubungan apa-apa, tapi kenyataan yang ada
Owen menundukkan kepalanya dengan penuh penyesalan. “Maafkan saya, Nyonya Muda. Tolong jangan mempersulit saya,” pintanya dengan suara rendah.Meskipun terjebak dalam pilihan yang sulit, tetapi pada akhirnya ia tetap memilih berpihak kepada tuan mudanya. Ia tidak bisa mengkhianati tuannya, apapun yang terjadi.Sementara itu, manik mata Alicia masih menatap pria itu dengan tajam. Ia menyadari bahwa Owen hanyalah seorang bawahan yang menjalankan perintah saja. Ia tahu bahwa pria itu juga berada dalam posisi yang sulit untuk menjelaskan situasi yang sebenarnya. Sebelum Alicia sempat mengatakan sesuatu, Owen telah lebih dulu menambahkan, “Tapi, saya bisa pastikan kalau tuan muda tidak akan mengkhianati kepercayaan Anda, Nyonya.”Pria itu mengangkat salah satu tangannya seolah bersumpah akan ucapannya. Meskipun ia tidak bisa melanggar perintah tuan mudanya, tetapi ia tidak akan membiarkan nama baik tuan mudanya tercoreng karena skandal tersebut. Apalagi sampai membuat nyonya mudanya meragu
Alicia masih berdiri mematung di pertengahan tangga. Bibirnya setengah terbuka, syok dengan pengalihan Jason yang begitu tiba-tiba.Alicia tahu pria itu menghindarinya agar tidak mendengar penolakannya. Meskipun merasa bersalah karena bersikap dan berbicara dingin, tetapi ia tidak memiliki pilihan lain.Pikirannya melayang kembali ke masa lalu, saat ia menerima penolakan yang begitu menusuk dari Reinhard. Tiba-tiba kedua netranya terasa panas, tetapi ia cepat mendongak, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh.Alicia mencoba menenangkan dirinya dengan menarik napas dalam-dalam. Di saat bersamaan, pernyataan rindu Jason kembali melintas di dalam benaknya. ‘Seandainya saja Rein yang mengatakannya, mungkin ….’Alicia tertawa getir. “Cinta memang tidak dapat dipaksakan,” gumamnya dengan suara yang terdengar pilu.Air mata yang berusaha ditahannya pun meleleh dengan cepat. Namun, ketika mendengar suara langkah di dekatnya, Alicia menyekanya dengan cepat.“Nyonya, Anda baik-baik saja?”Su
“Manajer Morgan, saya tahu kalau Anda memiliki banyak pertanyaan,” ucap Alicia dengan sikap yang lebih terbuka.“Syukurlah kalau kamu paham,” balas Ivona dengan senyum penuh arti. Perlahan sorot matanya berubah sendu, seolah menyiratkan kesedihan yang bercampur rasa kecewanya.“Sebenarnya kenapa─”Sebelum Ivona melanjutkan, Alicia telah menyelanya lebih dulu, “Saya janji, saya pasti akan memberikan jawaban yang Anda inginkan. Tapi, saat ini saya masih harus melakukan beberapa urusan yang belum diselesaikan. Bagaimana kalau selepas pulang kerja saja kita bicara lebih santai, Manajer Morgan?”Ivona tertegun sejenak dengan tawaran tersebut. Ia melirik Jason sekilas. Pria itu tampak menganilisis maksud dari pembicaraaan mereka. Ivona pun memahami keinginan Alicia.“Baiklah. Saya tunggu kabar baikmu …,” Ivona melirik kartu identitas Alicia, lalu melanjutkan sembari tersenyum tipis, “Anya.”Setelah pembicaraan itu, Ivona pun berlalu dari hadapan Alicia dan Jason. Kepergian Ivona membuat hati
“Venus, hm?” gumam Ivona dengan tatapan tajam dan senyuman tipis yang membingkai bibirnya.Jantung Alicia berdegup kencang saat Ivona melangkah mendekat. Matanya terbelalak, menatap Ivona dengan panik.‘Apa yang ingin kamu lakukan, Ivona Morgan?!’ teriak Alicia dengan histeris di dalam hati.Masih dengan kepanikan yang menyergapnya, Alicia berusaha keras menahan diri agar tidak menunjukkan lebih banyak emosi. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menjaga ketenangannya di hadapan wanita itu.Dengan senyuman yang menggantung di wajahnya, Ivona mengamati ekspresi Alicia dengan seksama. Ia sempat berpikir untuk menginterogasi wanita itu, tetapi melihat kegelisahannya, Ivona hanya berucap, “Lama tidak bertemu denganmu, Venus.”Alicia meneguk salivanya dengan kasar. “Sepertinya Anda salah orang, Manajer Morgan,” ucapnya, mencoba tersenyum tetapi malah terlihat kaku.Di satu sisi, Jason telah mengerutkan keningnya saat mendengar penyangkalan Alicia. Pria itu mencoba menelaah situasi yang terj
Alicia segera memutuskan kontak matanya dengan Ivona. Ia menarik napas dalam-dalam, mengalihkan fokusnya kembali pada presentasi yang sudah disiapkan.“Selamat pagi, semuanya. Saya tidak akan mengulur waktu kalian lebih lama lagi. Sebelumnya, saya harap kita dapat mengabaikan hal yang tidak relevan dengan pembahasan saya pagi ini,” ujar Alicia dengan nada yang lebih stabil, berusaha mengendalikan dirinya setelah kejutan yang diberikan oleh kehadiran Ivona.Perhatian semua orang pun tertuju kepadanya dan layar proyektor yang telah memperlihatkan slide pertama dari presentasi yang telah disiapkan.Dengan nada tenang tetapi penuh keyakinan, ia memperkenalkan "Miracle," produk terbaru yang akan dikembangkan perusahaan mereka.“Miracle adalah solusi revolusioner yang saya rancang dengan tujuan tidak hanya memberikan hasil instan, tetapi juga memastikan kesehatan kulit jangka panjang. Produk ini menggabungkan teknologi bahan aktif eksklusif yang sebelumnya belum pernah digunakan di industri,
“Direktur Hernandez akan sangat berterima kasih atas kepedulian Anda terhadap karyawan beliau. Tapi, saya rasa beliau akan lebih senang jika Anda dapat lebih fokus dengan pembahasan hari ini, Direktur Hughes,” imbuh Owen dengan sopan, tetapi ucapannya jelas adalah peringatan tegas untuk pria itu.Walaupun saat ini Reinhard tidak berada di dalam ruangan, sebagai tangan kanannya, Owen tidak akan membiarkan seekor lalat pun mengganggu nyonya mudanya. Apalagi niat Jason terlihat dengan jelas.“Benar, Direktur Hughes. Keterlambatan Nona Hernandez sudah menyita waktu saya. Jangan membiarkan waktu saya tersita lebih banyak lagi.” Salah seorang investor mulai berkomentar.Walaupun mereka juga penasaran dengan keterkaitan antara Jason Hughes dan Reinhard Hernandez dengan wanita itu, tetapi mereka tidak ingin membuang waktu lebih lama untuk urusan pribadi yang tidak relevan dengan tujuan pertemuan pagi ini.Mendengar komentar dari investor tersebut, Jason pun menyeringai dengan acuh tak acuh. N
“Anya, kamu sakit, ya?” tanya Jason dengan nada khawatir.“Kelihatannya kamu lebih kurus sekarang. Padahal aku baru seminggu tidak melihatmu.” Pria itu memandang Alicia dengan sorot perhatian yang tulus. Sejak wanita itu masuk ke dalam ruangan itu, Jason tidak melepaskan tatapannya sedikit pun darinya.Di satu sisi, Alicia masih terkejut dengan situasi yang terjadi di hadapannya. Dari sudut matanya, ia dapat melihat wajah beberapa orang di sekitarnya yang tampak mencuri pandang, menunggu reaksinya atas ucapan Jason.Sembari mengulas senyuman kecil, Alicia melepaskan mantel yang diberikan Jason dari pundaknya. “Terima kasih atas perhatian Anda, Direktur Hughes,” jawabnya dengan lembut seraya mengembalikan mantel di tangannya kepada pria itu. “Minggu lalu saya memang sempat terserang flu. Tapi, sekarang sudah membaik.”Jason menerima mantel itu sambil meliriknya sebentar. Wajahnya menunjukkan sedikit kekecewaan. “Kamu tidak seharusnya memaksakan diri seperti ini, Anya,” katanya pelan.A