“Kamu tidak mengenalku, Anya Stein?”
Netra Anya terbelalak. “A-Anda … laki-laki yang semalam ….”
Anya menggigit bibirnya dengan kuat. Degup jantungnya mendadak berpacu cepat ketika mengingat kegilaannya semalam, tetapi ia mengusir ingatan memalukan itu dari dalam kepalanya dan kembali menatap pria asing itu dengan gugup.
“Dari mana Anda tahu nama saya, Tuan?” selidik Anya.
Tanpa menjawab pertanyaannya, Reinhard mengeluarkan kartu tanda pengenal dari saku jasnya dan menyerahkannya kepada wanita itu.
“Kenapa Anda bisa memegang kartu identitas saya?” tanya Anya, semakin bingung.
“Aku membutuhkannya untuk mengisi data pasien,” jawab Reinhard dengan acuh tak acuh.
Anya pun tertegun menatap kartu identitasnya. Ia baru menyadari jika ruangannya yang ditempatinya saat ini adalah kamar rumah sakit.
“Anda … memasukkan saya ke kamar VIP?” tanya Anya dengan syok.
“Apa ada masalah?” Kening Reinhard mengerut.
Namun, Anya tidak menjawab. Ia bergegas bangkit dari ranjangnya, tetapi gerakannya tertahan karena kepalanya─yang masih dibalut perban─tiba-tiba berdenyut sakit.
“Kamu mau pergi ke mana?” Reinhard menatap wanita itu dengan penuh selidik, lalu memperingatkannya, “Sebaiknya kamu berhenti bergerak sembarangan. Lukamu baru saja diobati.”
Sayangnya, Anya tidak menggubris pria itu. Dengan menahan rasa sakit di dalam kepalanya, ia kembali bangkit dan turun dari ranjangnya.
Ketika Anya hendak mencabut selang infusnya, Reinhard menghalanginya dengan mencengkeram kedua lengannya. “Apa kamu sudah gila? Kamu tidak dengar apa yang aku katakan tadi?” hardik pria itu.
“Anda yang gila, Tuan!” balas Anya tidak kalah murkanya. Netra birunya menyalang tajam dan membuat pria itu terpaku.
Gadis itu kembali berkata, “Saya tidak punya uang untuk membayar kamar ini, Tuan!”
Reinhard tercengang selama tiga detik sebelum terbentuk kerutan di dahinya, lalu detik berikutnya suara tawa kecil pun meluncur dari bibirnya.
Anya pun menatap pria asing itu dengan bingung. Ia merasa sedikit tersinggung dan bertanya, “Apa yang Anda tertawakan?”
Perlahan suara kekehan Reinhard terhenti. Ia juga cukup terkejut dan merasa aneh dengan sikapnya sendiri.
‘Apa yang sudah kulakukan?’ Reinhard ikut bertanya-tanya sendiri. Ia tidak menyangka akan spontan bersikap akrab dengan wanita itu.
“Tuan,” panggil Anya, membuyarkan lamunan Reinhard.
Pria itu pun menoleh, berdeham canggung, lalu berkata, “Mengenai masalah uang, kamu tidak perlu mencemaskannya, Nona. Aku berani membawamu ke sini berarti aku yang menjamin biayanya.”
Anya tertegun, memandang pria itu dengan curiga. “Ini aneh. Kita tidak saling mengenal. Anda tidak memiliki alasan untuk melakukan semua ini untuk saya.”
“Alasan?” Reinhard tersenyum smirk. “Aku baru tahu kalau membantu seseorang harus memerlukan alasan. Jika memang begitu, pantas saja sekarang banyak orang yang memilih untuk tidak peduli dengan kesulitan orang lain.”
Ucapan pria itu menyadarkan Anya bahwa pria itu memang tulus ingin membantunya. “Terima kasih atas bantuanmu, Tuan,” cicit Anya, merasa malu pada dirinya sendiri karena meragukannya.
Akan tetapi, Anya tidak merasa lega begitu saja. Ia tetap merasa aneh dengan pria asing itu. Entah kenapa setiap kali melihat wajahnya, ia merasa pernah melihatnya di suatu tempat.
“Hanya itu?” Satu alis Reinhard terangkat, mengalihkan pandangan Anya padanya.
Kening Anya mengernyit. Ia tidak memahami maksudnya. Namun, sikap acuh tak acuh pria itu sangat mengusiknya.
“Bisakah Anda bersikap dan berbicara sedikit lebih sopan? Sejak tadi Anda terus berbicara santai seolah kita sangat akrab.”
Mendengar protes yang dilontarkan wanita itu, Reinhard malah tersenyum tipis.
“Aku sudah menyelamatkanmu dua kali. Aku rasa aku tidak perlu berbicara formal denganmu dan aku juga pantas mendapatkan lebih dari sekedar ucapan terima kasih,” balas Reinhard dengan nada menggoda, tetapi netra tajamnya mengamati reaksi Anya.
Ingatan malam panas yang mereka lakukan kembali berkelebat di dalam benak Anya.
“Menyelamatkanku?” Wanita itu pun tersenyum getir dan memandang Reinhard dengan tajam. “Apa meniduriku semalam juga kamu perhitungkan sebagai bantuan, Tuan?”
Sindiran sinis yang meluncur dari bibir Anya membuat Reinhard terhenyak. Kini wanita itu juga memasang sikap yang sama dengannya, tidak lagi menunjukkan tata kramanya.
Reinhard dapat melihat kemarahan dari netra wanita itu. Namun, ia tetap bersikap tenang dan membalasnya, “Tentu saja termasuk bantuan meskipun sebenarnya aku terpaksa melakukannya. Tapi, karena kamu begitu agresif, aku─”
Bola mata Anya melebar. “Bohong!” sangkalnya dengan cepat.
“Ini adalah kenyataan, Nona Stein,” ucap Reinhard. “Kamu lupa kalau semalam kamu yang sudah meminta untuk terus melanjutkan permainan sampai beronde-ronde?”
Wajah Anya memerah seketika. “Ti-tidak mungkin!” tampiknya lagi.
“Kenapa tidak mungkin? Kamu mau lihat bukti betapa liarnya kamu semalam, huh?” Reinhard pun membuka mantelnya dan berniat membuka kancing kemejanya untuk menunjukkan bekas cakaran yang ditinggalkan wanita itu di punggungnya.
Namun, wanita itu buru-buru menahan tangannya. “Apa yang kamu lakukan? Dasar mesum!”
Reinhard mengurungkan tindakannya sembari tersenyum smirk. “Seharusnya kamu bersyukur, Anya Stein. Kalau bukan karena aku, semalam kamu pasti─”
Plak!
Satu tamparan keras melayang pada pipi Reinhard, langsung menghentikan ucapannya saat itu juga. Rasa perih pun menjalar pada pipi kanannya. Ia terpaku syok selama tiga detik, lalu dengan cepat kesadarannya kembali, menoleh kepada Anya dan mencengkeram erat pergelangan wanita itu. “Apa kamu sudah gila? Kenapa kamu─”
Bentakan Reinhard terhenti tatkala dirinya melihat sorot mata biru yang menatapnya dengan tajam, seolah menyelami mata ambernya dalam-dalam. Kilasan ingatan tiga tahun lalu kembali berkelebat di dalam kepalanya.
“A-Alicia ….” Reinhard bergumam pelan secara spontan.
Anya bergeming syok saat mendengar sebutan familiar dari bibir pria itu. Air mata yang menggenang pada pelupuk matanya pun luruh seketika dan membuat perasaannya semakin bercampur aduk. Dadanya terasa sangat sesak dan perih. Namun, ia menyeka air matanya dengan cepat.
Di sisi lain, Reinhard tampak kebingungan. Sorot mata wanita itu benar-benar menghipnotisnya. Kerinduan di dalam hatinya pun menggebu-gebu. Terlebih lagi ketika sinar mata yang dipenuhi amarah itu menyala hebat.
“Kamu masih hidup?” gumam Reinhard lagi. Suaranya terdengar berat, namun perih. Tangannya telah menyentuh wajah Anya dengan lembut dan membuat wanita itu mematung, kaget.
Anya menatapnya dengan penuh waspada, tetapi rasa ingin tahunya menguatkan dirinya dan akhirnya ia membuka suaranya dengan gugup, “Kenapa kamu bicara seperti itu?”
Reinhard tersentak. Ia menahan napasnya selama beberapa detik, lalu menarik kembali tangannya dari wajah Anya dan mengepalkannya dengan kuat. Keraguan kembali merayap di dalam hatinya saat wanita itu menatapnya dengan penuh kebingungan.
Perlahan Reinhard memalingkan wajahnya, memejamkan netranya kuat-kuat. ‘Gila! Apa yang sudah aku pikirkan?’ geramnya kepada dirinya sendiri.
Bisa-bisanya ia mengira Alicia masih hidup! Mana mungkin hal itu terjadi!
Sementara itu, masih dengan penuh kebingungan, Anya tertegun dalam-dalam. ‘Tadi … aku tidak salah dengar, kan? Dia memanggilku … Alicia?’
Ingatan asing yang sempat terlintas beberapa waktu lalu dan ucapan aneh pria itu membuat Anya menyadari jika ada satu hal yang tidak sesuai di dalam dirinya.
Kebohongan yang dikatakan Edwin sebelumnya semakin memperkuat dugaan ada rahasia besar yang terselubung di balik kecelakaan yang dialaminya tiga tahun lalu dan ia merasa pria jangkung di hadapannya ini pasti memiliki jawaban yang diinginkannya!
"Si-siapa Alicia?" Anya bertanya dengan suara yang bergetar. Ia mencoba menginterogasi pria itu dengan harapan dapat menemukan sedikit titik terang atas rasa ingin tahunya.Namun, Reinhard malah menatapnya dengan dingin, pandangannya seakan menjadi tembok tak tertembus yang memisahkan mereka. Anya bisa merasakan suhu ruangan seolah turun beberapa derajat, dan sebuah perasaan asing menyelinap di hatinya—perasaan bahwa ia telah melangkahi batas yang seharusnya tak pernah disentuh.“Mengenai hal yang terjadi semalam, aku tidak ingin kamu menyalahkanku secara sepihak. Kamu yang mendatangiku dan meminta bantuanku, sedangkan aku hanya melakukan yang kamu inginkan.”Alih-alih menjawab, Reinhard malah meluruskan kesalahpahaman wanita itu terhadapnya. Namun, Anya malah memberikan tatapan tajam.“Kamu tahu kan apa pun bisa terjadi di saat seseorang berada dalam pengaruh alkohol?” Reinhard mencoba membela dirinya dan tidak menerima tuduhan yang memberatkannya atas perbuatan yang dilakukan semala
“Edwin Stein, Thalia Vale ….”Hanya dengan mengucapkan nama kedua orang itu saja, amarah di dalam dada Anya terasa menggelegak. Segala rasa sakit, penghinaan, dan kekecewaan yang selama ini Anya pendam, kini berubah menjadi kemarahan yang tak terbendung.Anya merasa ia harus bertindak, bukan hanya untuk membalas dendam, tetapi juga untuk membuktikan bahwa ia tidak akan menjadi seseorang yang lemah dan mudah ditindas!‘Tapi, apa yang bisa kulakukan?’Seketika Anya menyadari ketidakberdayaannya. Walaupun ia memiliki tekad dan kebencian yang begitu besar, tetapi ia tidak memiliki dukungan yang dapat diandalkan untuk dapat menuntaskan kebenciannya terhadap Edwin dan Thalia ataupun untuk mengubah keadaannya sendiri.Satu-satunya hal yang dapat Anya lakukan hanyalah menarik kontribusinya terhadap kemajuan perusahaan Stein selama tiga tahun ini. Namun, hal itu tidak akan cukup untuk membuat Edwin dan keluarganya serta Thalia merasakan penderitaan yang dialaminya selama tiga tahun ini.Anya in
“Ini benar-benar gila …,” gumam Anya yang masih mencoba menerima kebenaran dari informasi yang didapatkannya. Melihat kekagetan wanita itu, Reinhard pun tersenyum kecil. "Sekarang kamu baru sadar kalau kamu sudah menjadi wanita yang sangat beruntung?" ucapnya dengan bangga. Tatapan Anya perlahan berubah datar. “Aku tidak merasa beruntung sekali pun, Tuan Muda Hernandez,” timpalnya seraya memutar bola matanya dengan malas. “Kamu yakin?” Netra Reinhard menyipit tajam. “Padahal banyak wanita yang ingin mendekatiku dan rela melakukan apa pun untuk bisa mendapatkan hal yang kamu dapatkan semalam, Anya Stein.” Namun, Anya malah terkekeh kecil mendengar ucapan pria itu. “Kenapa kamu sepanik itu? Apa aku sudah melukai harga dirimu sebagai seorang lelaki,” ledeknya. Reinhard berdeham canggung dan memalingkan wajahnya. “Tidak,” kilahnya, enggan menunjukkan jika ia memang sangat tersinggung dengan penilaian wanita itu. Suara tawa Anya perlahan lenyap. Ia kembali menatap Reinhard dengan waja
“Austin, aku rasa lukanya sangat serius. Jika tidak, tidak mungkin dia bisa pingsan lagi. Apa tidak sebaiknya kamu periksa lebih terperinci?” saran Reinhard kepada sahabatnya yang masih memeriksa keadaan Anya. Austin hanya meliriknya sekilas, lalu menghela napas pelan. “Baiklah. Aku akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan tidak ada cedera serius. Tapi untuk sekarang, sebaiknya kamu tidak mendesaknya lebih jauh seperti yang aku katakan sebelumnya,” jawab Austin seraya memeriksa denyut nadi wanita itu. “Aku tidak mendesaknya, Austin.” Reinhard berkata dengan nada kesal, menatap Austin dengan tajam. Ia tidak terima dituduh sebagai pelaku yang membuat wanita itu tertekan dan pingsan. Austin meletakkan stetoskop di lehernya setelah memastikan kondisi Anya stabil, kemudian melanjutkan, “Menurut pengamatanku, seharusnya lukanya tidak seserius ini. Tapi, melihat kondisinya sekarang, ada kemungkinan cedera lain yang tidak kita ketahui,” paparnya. Reinhard terdiam, men
“Nona Stein, apa kepalamu masih terasa sakit?” Pertanyaan yang dilontarkan Reinhard membuyarkan lamunan Alicia. Perasaan Alicia terasa campur aduk antara kegembiraan dan kesedihan. Gembira karena akhirnya ingatannya bisa kembali dan mengingat jati dirinya sebagai Alicia Lorenzo. Namun, kesedihan meliputi dirinya karena pertemuannya dengan Reinhard kembali membuka luka lama—penolakan dingin dari pria yang pernah mencuri hatinya dulu. Dengan sepasang netra yang berkaca-kaca dan bibir yang masih membisu, Alicia menatap Reinhard dengan pilu. Luka yang pernah diberikan pria itu kini kembali terbuka dan mengingatkan kisah pahit yang terjadi di antara mereka. ‘Memalukan sekali. Kenapa aku bisa bertemu dengannya lagi dalam keadaan seperti ini?’ batin Alicia seraya tersenyum pahit pada dirinya sendiri. “Kenapa kamu diam saja, Nona Stein?” Reinhard mulai terdengar frustrasi, jelas tidak sabar menghadapi keheningan Alicia. Bukan Alicia tidak mau menjawab, tetapi ia masih berusaha menyesuai
“Ma-maaf, Tuan Muda Hernandez. Tadi aku tidak bermaksud apa pun,” ucap Alicia dengan gugup.Sesaat tadi Alicia tidak sengaja menumpahkan amarahnya terhadap Reinhard karena masih terpengaruh oleh ingatan masa lalunya atas tindakan pria itu. Emosi yang telah lama terpendam sulit untuk ia kendalikan.Reinhard menatapnya dengan alis sedikit terangkat, masih berusaha memahami perubahan mendadak dalam sikap Alicia."Tidak apa-apa, Nona Stein," jawab Reinhard dengan nada datar, meskipun ada keheranan dalam suaranya.“Mungkin aku … hanya lelah,” cicit Alicia kemudian dengan wajah tertunduk dalam.Reinhard membisu. Ia dapat melihat kebohongan wanita itu, tetapi tidak berniat membongkarnya dan akhirnya berkata, “Baiklah. Sekarang kamu beristirahatlah, aku juga masih ada urusan lain. Sebaiknya kamu memberi tahu keluargamu mengenai masalahmu ini.”‘Keluarga?’ Alicia terdiam mendengar hal itu.Ia tidak yakin masih memiliki keluarga apabila dirinya memang telah dinyatakan meninggal. Pun, apabila du
Duar!Suara seperti ledakan itulah yang terdengar di dalam kepala Alicia saat ini. Detak jantungnya yang menggila membuatnya merasa seolah waktu berhenti sesaat. Ia tidak bisa berpikir jernih karena kening Reinhard yang menempel pada keningnya terasa begitu panas, seperti api yang membakar seluruh kesadarannya.Aroma maskulin Reinhard juga menggelitik indra penciumannya, membuat deru napas Alicia tercekat selama beberapa saat. Detik-detik yang berlalu terasa sangat lambat dan setiap detak jantungnya menggema seperti ledakan kecil yang mengguncang hatinya.Alicia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari pria itu. Pandangannya terpaku pada mata amber Reinhard yang begitu dekat, seakan ingin menelusuri seluruh isi pikirannya.‘I-ini … benar-benar berbahaya!’ pikirnya dengan panik. Seluruh tubuh Alicia terasa kaku dan ia kehilangan cara untuk berpikir jernih.Melihat ekspresi wanita itu, Reinhard menyadari tindakan yang sengaja dilakukannya ini sangat berdampak besar terhadap wanita itu. S
“Ya ampun, kamu mengenal saya?” Selina Anderson cukup terkejut mendengar pujian dari “kekasih” putranya tersebut. Binar matanya telah dipenuhi rasa ingin tahu yang besar.Namun, Alicia tersentak. Ia menyadari kecerobohannya. Diam-diam ia melirik Reinhard, tetapi pria itu bersikap sangat datar dan tidak peduli. ‘Sepertinya dia tidak ingat,’ batinnya, merasa lega.Padahal dulu Alicia pernah mengatakan kepada Reinhard jika ia sangat mengagumi ibunya dan meminta pria itu untuk mempertemukan mereka. Akan tetapi, Reinhard tidak pernah mengabulkannya.“Kebetulan saya pernah melihat wawancara Anda di televisi. Saya tidak pernah menyangka bisa bertemu langsung dengan Anda seperti ini, Chef,” sahut Alicia yang masih memandang wanita paruh baya itu dengan penuh kekaguman.Selina terkekeh pelan. “Terima kasih. Tapi, jangan memanggil saya seperti itu. Aneh rasanya ada yang memanggil saya Chef saat saya tidak berada di dapur,” sahutnya.Alicia mengangguk kecil. “Baiklah, Nyonya.”Wanita paruh baya
“Nenek, bagaimana keadaanmu?”Suara riang Amora terdengar memenuhi ruangan saat ia masuk bersama ibu mertuanya, Liliana Ritter.Alicia dan neneknya langsung menoleh bersamaan. Melihat kedatangan mereka, Alicia segera bangkit dari tempat duduknya, menghampiri Amora dan menuntun langkahnya menuju tempat duduknya tadi.“Terima kasih, Alicia,” ucap Amora seraya tersenyum kecil dan menatap adik iparnya dengan seksama.Ia kemudian terkekeh kecil. "Kalau dipikir-pikir, kamu benar-benar sudah dewasa sekarang. Sudah tahu bagaimana merawat orang lain."Alicia terkejut dengan pujian itu. "Ka-Kak Amora?" Wajahnya langsung memerah.Amora tersenyum penuh arti. Ia ingat betul, dulu saat ia masih mengandung Ryuji, Alicia hampir tak pernah menunjukkan kepedulian seperti ini."Memangnya dulu aku seburuk itu sampai Kakak harus menggodaku begitu?" gerutu Alicia, pura-pura kesal."Aku memujimu, Alicia," sahut Amora seraya memutar bola matanya.Liliana Ritter, yang sejak tadi meletakkan barang bawaannya di
Reinhard menghentikan langkahnya sejenak di dekat parkiran mobil setelah berada di luar rumah terlantar tersebut. Ia menoleh sekilas ke arah bangunan yang kini bergema oleh jeritan putus asa Edwin.Owen, yang berdiri di sampingnya, melirik ekspresi dingin Reinhard sekilas sebelum akhirnya bertanya dengan hati-hati, “Tuan Muda, apa Anda percaya dengan ucapan Edwin tadi?”Reinhard menghela napas pelan, tatapannya masih terpaku pada rumah itu. "Percaya atau tidak, dia pantas mendapatkan semua ini."Owen meneguk salivanya dengan kasar, lalu mengangguk pelan. Ia dapat memahami kebencian Reinhard terhadap Edwin, mengingat semua hal yang dilakukan pria itu pada Alicia selama tiga tahun ini.Owen melirik darah Edwin yang masih menempel pada telapak tangan tuan mudanya tersebut. Ia pun memberikan sapu tangannya kepada Reinhard dan kembali bertanya, “Apa Anda tidak ingin menanyakannya langsung kepada Nyonya mengenai masalah ini, Tuan Muda?”Reinhard menerima sapu tangan itu tanpa berkata apa-ap
“Jangan … jangan lakukan itu … aku benar-benar tidak tahu apa-apa ….”Edwin tergagap, suaranya gemetar, hampir tak terdengar. Matanya terpaku pada kilatan tajam ujung pisau yang hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya. Ia tidak bisa membayangkan rasa sakit yang akan ia alami jika bilah itu merobek kulitnya.Seketika, Edwin tersentak ketika mata pisau menyentuh pipinya. Darah pun mengalir dari goresan tipis yang diberikan Reinhard pada wajahnya tersebut.Suara ringisan terdengar dari bibir Edwin tatkala pisau tersebut menyayat kulit wajahnya.. Air matanya pun perlahan mengalir. “Su-sudah kubilang … itu hanya kecelakaan. Waktu itu … aku terlalu mabuk dan aku─”Ucapan Edwin terhenti karena mata pisau tersebut telah beralih dan menancap di punggung tangannya. Suara erangan kesakitan lolos dari bibirnya, tubuhnya menegang sementara darah segar mulai merembes dari luka tersebut.Edwin berniat menarik tangannya, tetapi Reinhard malah menekan ujungnya semakin kuat. “Aarggh!” teriak Edwin.
“Aku juga bisa membuat seolah-olah kamu melarikan diri dari persidangan. Dengan begitu, polisi tidak akan mencurigai apa pun,” lanjut Reinhard dengan nada santai. "Bagaimana? Tidak ada lagi yang perlu kamu cemaskan, bukan?" Edwin menggeram, napasnya memburu karena kemarahan yang meluap-luap. “Kau …!” Tanpa berpikir panjang, Edwin mencoba menerjang ke arah Reinhard, tetapi sebelum sempat menyentuhnya, Owen sudah lebih dulu bertindak. Sebuah pukulan keras mendarat di wajah Edwin, membuatnya terhuyung ke belakang. Rasa sakit menyebar dari rahangnya hingga ke kepala. Sebelum Edwin sempat bereaksi, tangan kuat Owen segera mencengkeram kerah bajunya, lalu menariknya ke tepi kolam. “Lepaskan aku!” teriak Edwin, memberontak histeris. Owen menghempaskan tubuh Edwin dengan kuat hingga wajah pria itu menghantam besi di pinggiran kolam. Darah pun mengucur deras dari hidungnya. Reinhard telah berdiri dari tempat duduknya, berjalan ke tepi kolam. “Owen, cukup,” cegahnya saat melihat a
“Reinhard Hernandez … ter-ternyata kamu ….” Perlahan rahang Edwin mengatup erat. Sorot matanya yang dipenuhi kebencian, menatap Reinhard dengan tajam. Ia tidak akan pernah lupa bagaimana dirinya dipermalukan dan dihancurkan di acara pernikahannya beberapa hari lalu. Amarah di dalam diri Edwin pun meledak. Ia berniat bangkit dan menyerang Reinhard,. Akan tetapi, pria itu baru menyadari jika dirinya dalam kondisi terikat. Salah seorang bawahan Reinhard juga langsung menekannya kembali ke kursi dengan kuat. "Lepaskan aku!" Edwin menggeram, meronta sekuat tenaga. Namun, cengkeraman pengawal Reinhard tersebut tidak memberinya celah sedikit pun. Tanpa peringatan, sebuah tinju pun mendarat telak di perutnya. Edwin tersentak, mengerang kesakitan. Tubuhnya hampir terjungkal ke belakang, tetapi bawahan Reinhard tersebut segera menarik kerah bajunya, membuatnya tetap duduk. Rasa sakit membuat Edwin terdiam selama beberapa saat. Namun, ketika ia bisa bernapas teratur kembali, ia melontarkan
Setelah tiga jam membahas beberapa perkembangan dan proyek yang dilakukan Nexus, akhirnya pertemuan tersebut pun berakhir. “Serahkan laporannya kepada tim saya dan silakan kembali ke ruangan masing-masing,” ucap Reinhard sebelum berdiri dari tempat duduknya. Tanpa menunggu tanggapan semua orang, Reinhard langsung melangkah keluar, diikuti oleh Owen. Begitu pintu ruangan tertutup kembali, semua orang pun menarik napas lega. Selama rapat berlangsung, mereka merasa sedang mengikuti interogasi daripada diskusi bisnis. Akan tetapi, kebijakan-kebijakan baru yang diambil oleh Reinhard membuat mereka yakin Nexus dapat kembali bangkit di bawah kepemimpinan Reinhard. Sayangnya, tidak semua orang berpikiran yang sama. Ada beberapa orang yang merasa terancam, tetapi mereka hanya bisa menyembunyikan kegelisahan mereka di balik ekspresi tenang dan mencoba mencari cara untuk mendapatkan kepercayaan Reinhard. Saat Reinhard turun ke lobi, matanya menangkap kerumunan wartawan yang sudah menunggu
Reinhard melirik sekilas ke arah Alexei yang duduk di ujung meja. Wajah pamannya tampak tenang, tetapi ada ketegangan samar di balik sorot matanya.Pria paruh baya itu bergegas menghampiri Reinhard, lalu menjabat tangannya.“Rein, akhirnya kamu datang juga,” sapa Alexei dengan nada ramah, tetapi Reinhard bisa merasakan kegugupan yang tersirat dalam suara pamannya tersebut.“Sepertinya Paman takut aku tidak datang dan berubah pikiran.”Meskipun Alexei cukup terkejut dengan sindiran dingin yang menusuk tersebut, tetapi pria paruh baya itu tetap mempertahankan senyumannya. “Mana mungkin. Aku tahu kamu adalah orang yang menepati janji, Rein.”Reinhard menatap Alexei lurus-lurus. Ia tidak menanggapi ucapannya.Alexei pun mempersilakannya duduk, kemudian mereka pun memulai perbincangan tentang proses pengalihan saham.Saat notaris Alexei hendak menyerahkan dokumen, Reinhard mengangkat tangan, menghentikannya.“Ada apa?” tanya Alexei dengan bingung.“Aku membawa notarisku sendiri dan dia sud
Owen terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja diucapkan oleh Reinhard. “Maksud Anda … pengalihan saham ini memang jebakan Tuan Alexei?” Reinhard tersenyum sinis. “Kamu tahu … semalam diam-diam pamanku itu ternyata sudah menarik sebagian besar modalnya dari Nexus.” Reinhard mengetahui hal tersebut saat melakukan peretasan ke dalam sistem keuangan Nexus. Sama seperti Owen, ia juga sangat terkejut dan hampir tidak percaya dengan hal yang ditemukannya. Owen menatapnya, tak percaya. "Padahal Anda adalah keponakannya, tapi kenapa beliau begitu tega menjerumuskan Anda?" geramnya, ikut terluka dan marah atas tindakan Alexei tersebut. Reinhard dapat memahami peraaaan asistennya tersebut. Ia menghela napas panjang dan berkata, “Tapi, saya rasa Paman Alexei bukan orang seperti ini.” Owen cukup terkejut mendengar pemikiran positif tuan mudaya tersebut. “Tuan Muda, Anda masih saja membelanya. Padahal dia─” Sebelum Owen sempat menyelesaikan kalimatnya, Reinhard telah memotongnya den
Setelah mendengar suara Alicia, rasa kantuk Reinhard seakan menguap. Wajah malu-malu Alicia memberikan sedikit kehangatan di dalam hatinya setelah ia kelelahan karena berkutat dengan pekerjaannya.Demi mengetahui informasi yang dirahasiakan ayahnya mengenai Ken Stewart, semalam Reinhard mendatangi markas besar Dark Wolf dan menemui salah satu rekan dekat Hans Miller yang diyakini Reinhard juga terlibat dalam tugas tersebut.Dengan menggunakan sedikit kekerasan dan pemaksaan, Reinhard berhasil mendapatkan informasi persembunyian Ken Stewart yang sebelumnya ditemukan oleh bawahan ayahnya tersebut.Owen segera mencari rekaman CCTV di sekitar kediaman Ken untuk mengidentifikasi sosok yang dimaksud oleh Hans.Sementara, Owen memeriksa rekaman CCTV yang didapatkannya, Reinhard melacak alur keuangan Nicholas dengan meretas sistem perbankan yang terhubung dengan Nexus.Saat melakukan pelacakan tersebut, Reinhard merasa sangat mengantuk dan memutuskan untuk berbaring sejenak. Akan tetapi, ia m