"Si-siapa Alicia?" Anya bertanya dengan suara yang bergetar. Ia mencoba menginterogasi pria itu dengan harapan dapat menemukan sedikit titik terang atas rasa ingin tahunya.
Namun, Reinhard malah menatapnya dengan dingin, pandangannya seakan menjadi tembok tak tertembus yang memisahkan mereka.
Anya bisa merasakan suhu ruangan seolah turun beberapa derajat, dan sebuah perasaan asing menyelinap di hatinya—perasaan bahwa ia telah melangkahi batas yang seharusnya tak pernah disentuh.
“Mengenai hal yang terjadi semalam, aku tidak ingin kamu menyalahkanku secara sepihak. Kamu yang mendatangiku dan meminta bantuanku, sedangkan aku hanya melakukan yang kamu inginkan.”
Alih-alih menjawab, Reinhard malah meluruskan kesalahpahaman wanita itu terhadapnya. Namun, Anya malah memberikan tatapan tajam.
“Kamu tahu kan apa pun bisa terjadi di saat seseorang berada dalam pengaruh alkohol?” Reinhard mencoba membela dirinya dan tidak menerima tuduhan yang memberatkannya atas perbuatan yang dilakukan semalam atas dasar keinginan dan hasrat masing-masing.
“Terlebih lagi dalam pengaruh afrodisiak. Benar-benar sulit untuk menghentikanmu sebelum kamu terpuaskan. Kamu harusnya bersyukur karena aku mau membantumu dengan mengikuti keinginanmu,” tukas pria itu kemudian.
Mendengar hal tersebut, Anya pun mengerutkan keningnya. “Apa maksudmu?”
Reinhard tersenyum smirk. “Seperti kuduga, ternyata kamu memang tidak sadar kalau kamu sudah dalam pengaruh obat peningkat gairah semalam.”
“A-apa?” Netra Anya terbelalak lebar.
Perlahan wajahnya tertunduk dalam. Ia kembali teringat dengan keanehan yang terjadi padanya kemarin malam. ‘Pantas saja aku tidak dapat mengendalikan diriku. Ternyata karena ….’
Bayangan lelaki paruh baya berperut buncit yang hendak menodainya semalam kembali terbayang di dalam benaknya. Manik mata Anya pun berubah horor seketika. Refleks, ia memeluk tubuhnya yang gemetar karena rasa takut dan jijik yang menyelimuti pikirannya.
Anya kembali mengangkat wajahnya, menatap lekat sosok Reinhard, pria gila yang telah mengambil kesempatannya semalam.
Walaupun ia sempat merasakan ketakutan terhadap pria ini, tetapi anehnya, semalam ia tidak merasa risi dengan perlakuannya.
Seingatnya, pria ini memang melakukannya dengan lembut, walaupun terkadang juga sangat menggila di saat gairahnya memuncak.
‘Sial! Sepertinya otakku benar-benar rusak.’ Anya memegang sisi kepalanya yang berdenyut perih, lalu kembali membatin, ‘Apa pun alasannya, hal ini tetap tidak dapat dibenarkan. Dia sama saja dengan penjahat cabul, Anya. Jangan lengah hanya karena wajah tampannya!’
Anya menarik napasnya dalam-dalam, menenangkan pikirannya yang semakin kacau. “Bagaimana kamu bisa tahu tentang hal ini di saat aku sendiri tidak tahu?”
Tatapan penuh curiga ditujukan Anya kepada Reinhard, lalu sebuah dugaan mencuat di dalam benaknya. “Apa jangan-jangan … kamu yang sudah melakukannya dan berpura-pura bekerja sama dengan biadab tua itu untuk menjebakku?”
Reinhard sangat terkejut mendengar kecurigaan wanita itu, tetapi detik berikutnya ia terkekeh pelan.
“Apa yang kamu tertawakan? Apa begitu lucu menjebak seseorang ke dalam permainan gilamu yang menjijikkan itu?” hardik Anya yang membuat tawa Reinhard terhenti.
Bibir Anya terkatup rapat ketika pria itu menatapnya dengan tajam. Sorot mata dari kilatan amber milik pria itu membuat jantung Anya berdebar cepat. Ada sesuatu dalam tatapan Reinhard yang membuat Anya merasa terperangkap, seolah-olah dia sedang dihakimi oleh mata yang lebih mengetahui segalanya.
“Analisa yang sangat konyol,” desis Reinhard dengan dingin. “Apa kamu lupa kalau kamu yang mendatangiku dan meminta bantuanku? Atas dasar alasan apa kamu menuduhku telah menjebakmu? Apa kamu memiliki bukti?”
Ketegangan pun tercipta di antara mereka. Anya merasakan napasnya tercekat, tetapi ia tidak dapat menjawab pria itu.
“Aku tidak peduli apakah kamu percaya padaku atau tidak, Anya Stein,” lanjut Reinhard yang membuat perasaan Anya semakin tertekan.
Namun, sebelum Anya sempat memberikan tanggapan, tiba-tiba saja pria itu menyodorkan ponselnya. dan memperlihatkan rekaman video di mana Anya dan Edwin sedang melakukan makan malam bersama di restoran Grand Luxury.
“Dari mana kamu bisa memiliki rekaman ini?” tanya Anya dengan bingung.
“Tidak perlu memusingkan hal itu. Lihatlah sendiri dan kamu akan mendapatkan jawaban yang kamu inginkan,” jawab Reinhard yang membuat wanita itu kembali menatap layar ponselnya.
Terlihat momen romantis yang dilakukan Edwin padanya semalam dan membuat Anya sempat merasa hal yang dilakukannya bersama suaminya itu hanyalah sekedar mimpi kosong belaka. Kening Anya mengernyit ketika netranya menangkap tindakan mencurigakan yang dilakukan Edwin.
Anya pun kembali teringat jika ia memang sempat meninggalkan kursinya untuk melakukan pembayaran di meja kasir atas permintaan suaminya tersebut.
Ternyata Edwin menuangkan sesuatu di dalam gelas minumannya di saat Anya lengah dan ketika ia kembali ke meja tersebut, tanpa menaruh curiga sedikit pun, Anya meneguk minumannya saat Edwin mengajaknya bersulang!
“Jadi … Edwin yang sudah ….”
Ponsel di tangan Anya teremas erat. Ia masih tidak dapat percaya dengan kebenaran yang diperlihatkan padanya, tetapi tidak ada lagi hal yang bisa disangkalnya.
Hanya saja Anya tidak dapat memahami kenapa bisa ada lelaki paruh baya yang tak dikenalnya masuk ke dalam kamar hotel mereka. Apakah Edwin juga yang telah merencanakannya?
Pandangan Anya kembali tertuju pada layar ponsel Reinhard. Netranya memicing tajam tatkala melihat sosok seorang wanita yang terekam jelas pada layar ponselnya.
Wanita itu─Thalia Vale berdiri di depan pintu kamar hotelnya, lalu tidak berapa lama kemudian tampak sosok pria paruh baya semalam yang ingin melecehkan Anya berbincang dengannya.
Thalia menyerahkan sebuah kartu kepada pria paruh baya itu dan dengan kartu akses tersebut, pria paruh baya itu masuk ke dalam kamar hotelnya!
“Tha-Thalia, jadi dia yang ….”
Gumaman Anya tercekat. Ia masih tidak dapat mempercayai apa yang baru saja dilihatnya.
Ternyata bukan karena Anya yang lupa mengunci pintu kamarnya ataupun kesalahan dari pihak hotel dalam memberikan kartu akses kamarnya, tetapi karena Thalia dan Edwin yang telah merencanakan semuanya untuk menjebaknya!
Anya meremas kedua tangannya di depan dadanya yang terasa perih. Ia masih tidak memahami alasan Thalia ikut bekerja sama dengan Edwin melakukan hal ini.
Selama satu tahun terakhir ini, Anya begitu percaya padanya. Sejak Thalia kembali dari pendidikannya di luar negeri, ia selalu datang ke kediaman Stein dan menjalin hubungan yang baik dengannya.
Wanita itu juga sering membelanya apabila Edwin bersikap buruk padanya. Tidak ada celah sedikit pun yang menunjukkan jika Thalia memiliki alasan untuk melakukan semua ini.
‘Sebenarnya kenapa─’
Kegelisahan Anya terhenti sejenak, Rekaman CCTV yang ditampilkan pada layar ponsel Reinhard kembali memperlihatkan sosok Edwin yang datang menghampiri Thalia setelah menyerahkan kartu akses kamar hotel tersebut.
Bola mata Anya telah berkilat tajam ketika melihat Edwin merangkul mesra pinggang Thalia dan mencumbu bibir wanita itu. Mereka pun pergi begitu saja tanpa mempedulikan hal buruk yang mungkin akan terjadi pada Anya di dalam kamar tersebut.
“Jadi … mereka berdua ….”
Seketika air mata Anya berjatuhan tanpa terkendali. Ia kembali teringat dengan ekspresi dan senyuman sinis Thalia saat melihatnya terjatuh setelah didorong oleh Edwin tadi.
Satu lagi kebodohan telah dilakukan Anya dengan mempercayai wanita itu. Rasa sakit yang menjalar di dadanya semakin kuat. Seluruh kepercayaannya telah runtuh dalam sekejap oleh kedua orang yang dianggap berharga baginya.
‘Ternyata semua hanya rencana busuk kalian agar bisa memfitnahku dan Edwin memiliki alasan untuk menceraikanku!’ pikir Anya.
Amarah dan kebencian telah berkobar di dalam dadanya. Ia bersumpah tidak akan pernah memaafkan semua perbuatan Edwin dan Thalia yang telah memfitnah, menipu dan membodohinya selama ini.
‘Aku pasti akan membuat kalian membayar semua ini!’ batin Anya dengan tekad yang membara.
“Edwin Stein, Thalia Vale ….”Hanya dengan mengucapkan nama kedua orang itu saja, amarah di dalam dada Anya terasa menggelegak. Segala rasa sakit, penghinaan, dan kekecewaan yang selama ini Anya pendam, kini berubah menjadi kemarahan yang tak terbendung.Anya merasa ia harus bertindak, bukan hanya untuk membalas dendam, tetapi juga untuk membuktikan bahwa ia tidak akan menjadi seseorang yang lemah dan mudah ditindas!‘Tapi, apa yang bisa kulakukan?’Seketika Anya menyadari ketidakberdayaannya. Walaupun ia memiliki tekad dan kebencian yang begitu besar, tetapi ia tidak memiliki dukungan yang dapat diandalkan untuk dapat menuntaskan kebenciannya terhadap Edwin dan Thalia ataupun untuk mengubah keadaannya sendiri.Satu-satunya hal yang dapat Anya lakukan hanyalah menarik kontribusinya terhadap kemajuan perusahaan Stein selama tiga tahun ini. Namun, hal itu tidak akan cukup untuk membuat Edwin dan keluarganya serta Thalia merasakan penderitaan yang dialaminya selama tiga tahun ini.Anya in
“Ini benar-benar gila …,” gumam Anya yang masih mencoba menerima kebenaran dari informasi yang didapatkannya. Melihat kekagetan wanita itu, Reinhard pun tersenyum kecil. "Sekarang kamu baru sadar kalau kamu sudah menjadi wanita yang sangat beruntung?" ucapnya dengan bangga. Tatapan Anya perlahan berubah datar. “Aku tidak merasa beruntung sekali pun, Tuan Muda Hernandez,” timpalnya seraya memutar bola matanya dengan malas. “Kamu yakin?” Netra Reinhard menyipit tajam. “Padahal banyak wanita yang ingin mendekatiku dan rela melakukan apa pun untuk bisa mendapatkan hal yang kamu dapatkan semalam, Anya Stein.” Namun, Anya malah terkekeh kecil mendengar ucapan pria itu. “Kenapa kamu sepanik itu? Apa aku sudah melukai harga dirimu sebagai seorang lelaki,” ledeknya. Reinhard berdeham canggung dan memalingkan wajahnya. “Tidak,” kilahnya, enggan menunjukkan jika ia memang sangat tersinggung dengan penilaian wanita itu. Suara tawa Anya perlahan lenyap. Ia kembali menatap Reinhard dengan waja
“Austin, aku rasa lukanya sangat serius. Jika tidak, tidak mungkin dia bisa pingsan lagi. Apa tidak sebaiknya kamu periksa lebih terperinci?” saran Reinhard kepada sahabatnya yang masih memeriksa keadaan Anya. Austin hanya meliriknya sekilas, lalu menghela napas pelan. “Baiklah. Aku akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan tidak ada cedera serius. Tapi untuk sekarang, sebaiknya kamu tidak mendesaknya lebih jauh seperti yang aku katakan sebelumnya,” jawab Austin seraya memeriksa denyut nadi wanita itu. “Aku tidak mendesaknya, Austin.” Reinhard berkata dengan nada kesal, menatap Austin dengan tajam. Ia tidak terima dituduh sebagai pelaku yang membuat wanita itu tertekan dan pingsan. Austin meletakkan stetoskop di lehernya setelah memastikan kondisi Anya stabil, kemudian melanjutkan, “Menurut pengamatanku, seharusnya lukanya tidak seserius ini. Tapi, melihat kondisinya sekarang, ada kemungkinan cedera lain yang tidak kita ketahui,” paparnya. Reinhard terdiam, men
“Nona Stein, apa kepalamu masih terasa sakit?” Pertanyaan yang dilontarkan Reinhard membuyarkan lamunan Alicia. Perasaan Alicia terasa campur aduk antara kegembiraan dan kesedihan. Gembira karena akhirnya ingatannya bisa kembali dan mengingat jati dirinya sebagai Alicia Lorenzo. Namun, kesedihan meliputi dirinya karena pertemuannya dengan Reinhard kembali membuka luka lama—penolakan dingin dari pria yang pernah mencuri hatinya dulu. Dengan sepasang netra yang berkaca-kaca dan bibir yang masih membisu, Alicia menatap Reinhard dengan pilu. Luka yang pernah diberikan pria itu kini kembali terbuka dan mengingatkan kisah pahit yang terjadi di antara mereka. ‘Memalukan sekali. Kenapa aku bisa bertemu dengannya lagi dalam keadaan seperti ini?’ batin Alicia seraya tersenyum pahit pada dirinya sendiri. “Kenapa kamu diam saja, Nona Stein?” Reinhard mulai terdengar frustrasi, jelas tidak sabar menghadapi keheningan Alicia. Bukan Alicia tidak mau menjawab, tetapi ia masih berusaha menyesuai
“Ma-maaf, Tuan Muda Hernandez. Tadi aku tidak bermaksud apa pun,” ucap Alicia dengan gugup.Sesaat tadi Alicia tidak sengaja menumpahkan amarahnya terhadap Reinhard karena masih terpengaruh oleh ingatan masa lalunya atas tindakan pria itu. Emosi yang telah lama terpendam sulit untuk ia kendalikan.Reinhard menatapnya dengan alis sedikit terangkat, masih berusaha memahami perubahan mendadak dalam sikap Alicia."Tidak apa-apa, Nona Stein," jawab Reinhard dengan nada datar, meskipun ada keheranan dalam suaranya.“Mungkin aku … hanya lelah,” cicit Alicia kemudian dengan wajah tertunduk dalam.Reinhard membisu. Ia dapat melihat kebohongan wanita itu, tetapi tidak berniat membongkarnya dan akhirnya berkata, “Baiklah. Sekarang kamu beristirahatlah, aku juga masih ada urusan lain. Sebaiknya kamu memberi tahu keluargamu mengenai masalahmu ini.”‘Keluarga?’ Alicia terdiam mendengar hal itu.Ia tidak yakin masih memiliki keluarga apabila dirinya memang telah dinyatakan meninggal. Pun, apabila du
Duar!Suara seperti ledakan itulah yang terdengar di dalam kepala Alicia saat ini. Detak jantungnya yang menggila membuatnya merasa seolah waktu berhenti sesaat. Ia tidak bisa berpikir jernih karena kening Reinhard yang menempel pada keningnya terasa begitu panas, seperti api yang membakar seluruh kesadarannya.Aroma maskulin Reinhard juga menggelitik indra penciumannya, membuat deru napas Alicia tercekat selama beberapa saat. Detik-detik yang berlalu terasa sangat lambat dan setiap detak jantungnya menggema seperti ledakan kecil yang mengguncang hatinya.Alicia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari pria itu. Pandangannya terpaku pada mata amber Reinhard yang begitu dekat, seakan ingin menelusuri seluruh isi pikirannya.‘I-ini … benar-benar berbahaya!’ pikirnya dengan panik. Seluruh tubuh Alicia terasa kaku dan ia kehilangan cara untuk berpikir jernih.Melihat ekspresi wanita itu, Reinhard menyadari tindakan yang sengaja dilakukannya ini sangat berdampak besar terhadap wanita itu. S
“Ya ampun, kamu mengenal saya?” Selina Anderson cukup terkejut mendengar pujian dari “kekasih” putranya tersebut. Binar matanya telah dipenuhi rasa ingin tahu yang besar.Namun, Alicia tersentak. Ia menyadari kecerobohannya. Diam-diam ia melirik Reinhard, tetapi pria itu bersikap sangat datar dan tidak peduli. ‘Sepertinya dia tidak ingat,’ batinnya, merasa lega.Padahal dulu Alicia pernah mengatakan kepada Reinhard jika ia sangat mengagumi ibunya dan meminta pria itu untuk mempertemukan mereka. Akan tetapi, Reinhard tidak pernah mengabulkannya.“Kebetulan saya pernah melihat wawancara Anda di televisi. Saya tidak pernah menyangka bisa bertemu langsung dengan Anda seperti ini, Chef,” sahut Alicia yang masih memandang wanita paruh baya itu dengan penuh kekaguman.Selina terkekeh pelan. “Terima kasih. Tapi, jangan memanggil saya seperti itu. Aneh rasanya ada yang memanggil saya Chef saat saya tidak berada di dapur,” sahutnya.Alicia mengangguk kecil. “Baiklah, Nyonya.”Wanita paruh baya
“Nikahi dia, Rein. Atau aku dan ayahmu tidak akan mengakuimu sebagai putra kami lagi!”Peringatan yang dilayangkan Selina membuat ketegangan di dalam ruangan terasa semakin berat. Namun, hal tersebut tidak membuat putranya merasa terancam dan malah menambah kekesalannya.Alicia, yang terjebak dalam situasi canggung tersebut, hanya bisa mengamati keduanya dalam diam. Ia merasa tidak memiliki ruang untuk menyela pembicaraan tersebut.Perhatian Alicia kembali terengut ketika mendengar ancaman penuh emosional dari Selina Anderson. “Apa kamu mau melihat Mama mati dulu baru kamu puas, Rein?” .Suara wanita paruh baya itu bergetar, menambah intensitas ketegangan di ruangan. Alicia dapat melihat keseriusan pada wajahnya. Namun, rasa kagetnya semakin bertambah ketika mendengar Reinhard menjawab, "Baiklah."Netra Alicia pun terbelalak lebar mendengar keputusan Reinhard tersebut. 'Hei! Apa kamu sudah gila, Xavier? Kenapa kamu seenaknya menyetujui permintaan itu tanpa memikirkan perasaanku?'Ingi
"Kamu pikir kamu siapa? Beraninya mengatur-ngatur saya seperti ini?" Walaupun Iris berbicara dengan nada penuh amarah, tetapi Owen tidak gentar sedikit pun. Melihat asisten Reinhard tersebut tetap menghalangi jalannya, Iris pun memanggil Reinhard yang masih berdiri memunggunginya. “Katakan sesuatu, Rein. Apa kamu biarkan dia berbicara tidak sopan seperti ini padaku?” teriak Iris, suaranya terdengar semakin meninggi. Wanita itu tidak peduli meskipun beberapa pasang mata telah tertuju padanya dan suara riuh rendah mulai menghiasi area kedatangan bandara tersebut. Beberapa pengawal Reinhard bergegas mengerubunginya, mencegah orang-orang untuk mengambil gambar dari situasi yang tidak akan menguntungkan majikan mereka. Reinhard berbalik perlahan. Mata ambernya menatap Iris dengan tajam, lalu dengan wajah dingin, ia berkata, “Apa yang dikatakan Owen adalah maksudku. Berhentilah membuat masalah. Aku tidak ada waktu untuk bermain drama denganmu.” Iris terperanjat. Meskipun ia suda
‘Rein akan pulang?’Jantung Alicia mendadak berdegup cepat. Rasa rindu yang bercampur dengan kecemasan memenuhi dadanya. Namun, ia dengan cepat menggelengkan kepala, berusaha menepis harapan yang mulai tumbuh di dalam hatinya.‘Jangan bodoh, Alicia! Satu minggu tidak pulang dan tidak memberikan kabar, kamu masih ingin percaya dengan ucapan Owen? Dia itu anjing setia Rein. Tentu saja dia memihaknya!’ Suara hati Alicia terus berteriak, memaksa dirinya untuk tidak lagi berharap pada pria itu.Meskipun tadi pagi Owen sudah mengklarifikasi skandal Reinhard dengan Iris, tetapi hati Alicia yang sudah terlanjur terluka, masih tidak semudah itu percaya. Terlebih lagi saat makan siang tadi ia sempat mendengar kembali berita Reinhard dan Iris yang kepergok keluar dari rumah sakit bersama-sama.Alicia tidak tahu hal apa yang keduanya lakukan dan kenapa Reinhard harus ke rumah sakit dengan wanita itu. Alicia bingung. Ia ingin percaya bahwa mereka tidak ada hubungan apa-apa, tapi kenyataan yang ada
Owen menundukkan kepalanya dengan penuh penyesalan. “Maafkan saya, Nyonya Muda. Tolong jangan mempersulit saya,” pintanya dengan suara rendah.Meskipun terjebak dalam pilihan yang sulit, tetapi pada akhirnya ia tetap memilih berpihak kepada tuan mudanya. Ia tidak bisa mengkhianati tuannya, apapun yang terjadi.Sementara itu, manik mata Alicia masih menatap pria itu dengan tajam. Ia menyadari bahwa Owen hanyalah seorang bawahan yang menjalankan perintah saja. Ia tahu bahwa pria itu juga berada dalam posisi yang sulit untuk menjelaskan situasi yang sebenarnya. Sebelum Alicia sempat mengatakan sesuatu, Owen telah lebih dulu menambahkan, “Tapi, saya bisa pastikan kalau tuan muda tidak akan mengkhianati kepercayaan Anda, Nyonya.”Pria itu mengangkat salah satu tangannya seolah bersumpah akan ucapannya. Meskipun ia tidak bisa melanggar perintah tuan mudanya, tetapi ia tidak akan membiarkan nama baik tuan mudanya tercoreng karena skandal tersebut. Apalagi sampai membuat nyonya mudanya meragu
Alicia masih berdiri mematung di pertengahan tangga. Bibirnya setengah terbuka, syok dengan pengalihan Jason yang begitu tiba-tiba.Alicia tahu pria itu menghindarinya agar tidak mendengar penolakannya. Meskipun merasa bersalah karena bersikap dan berbicara dingin, tetapi ia tidak memiliki pilihan lain.Pikirannya melayang kembali ke masa lalu, saat ia menerima penolakan yang begitu menusuk dari Reinhard. Tiba-tiba kedua netranya terasa panas, tetapi ia cepat mendongak, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh.Alicia mencoba menenangkan dirinya dengan menarik napas dalam-dalam. Di saat bersamaan, pernyataan rindu Jason kembali melintas di dalam benaknya. ‘Seandainya saja Rein yang mengatakannya, mungkin ….’Alicia tertawa getir. “Cinta memang tidak dapat dipaksakan,” gumamnya dengan suara yang terdengar pilu.Air mata yang berusaha ditahannya pun meleleh dengan cepat. Namun, ketika mendengar suara langkah di dekatnya, Alicia menyekanya dengan cepat.“Nyonya, Anda baik-baik saja?”Su
“Manajer Morgan, saya tahu kalau Anda memiliki banyak pertanyaan,” ucap Alicia dengan sikap yang lebih terbuka.“Syukurlah kalau kamu paham,” balas Ivona dengan senyum penuh arti. Perlahan sorot matanya berubah sendu, seolah menyiratkan kesedihan yang bercampur rasa kecewanya.“Sebenarnya kenapa─”Sebelum Ivona melanjutkan, Alicia telah menyelanya lebih dulu, “Saya janji, saya pasti akan memberikan jawaban yang Anda inginkan. Tapi, saat ini saya masih harus melakukan beberapa urusan yang belum diselesaikan. Bagaimana kalau selepas pulang kerja saja kita bicara lebih santai, Manajer Morgan?”Ivona tertegun sejenak dengan tawaran tersebut. Ia melirik Jason sekilas. Pria itu tampak menganilisis maksud dari pembicaraaan mereka. Ivona pun memahami keinginan Alicia.“Baiklah. Saya tunggu kabar baikmu …,” Ivona melirik kartu identitas Alicia, lalu melanjutkan sembari tersenyum tipis, “Anya.”Setelah pembicaraan itu, Ivona pun berlalu dari hadapan Alicia dan Jason. Kepergian Ivona membuat hati
“Venus, hm?” gumam Ivona dengan tatapan tajam dan senyuman tipis yang membingkai bibirnya.Jantung Alicia berdegup kencang saat Ivona melangkah mendekat. Matanya terbelalak, menatap Ivona dengan panik.‘Apa yang ingin kamu lakukan, Ivona Morgan?!’ teriak Alicia dengan histeris di dalam hati.Masih dengan kepanikan yang menyergapnya, Alicia berusaha keras menahan diri agar tidak menunjukkan lebih banyak emosi. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menjaga ketenangannya di hadapan wanita itu.Dengan senyuman yang menggantung di wajahnya, Ivona mengamati ekspresi Alicia dengan seksama. Ia sempat berpikir untuk menginterogasi wanita itu, tetapi melihat kegelisahannya, Ivona hanya berucap, “Lama tidak bertemu denganmu, Venus.”Alicia meneguk salivanya dengan kasar. “Sepertinya Anda salah orang, Manajer Morgan,” ucapnya, mencoba tersenyum tetapi malah terlihat kaku.Di satu sisi, Jason telah mengerutkan keningnya saat mendengar penyangkalan Alicia. Pria itu mencoba menelaah situasi yang terj
Alicia segera memutuskan kontak matanya dengan Ivona. Ia menarik napas dalam-dalam, mengalihkan fokusnya kembali pada presentasi yang sudah disiapkan.“Selamat pagi, semuanya. Saya tidak akan mengulur waktu kalian lebih lama lagi. Sebelumnya, saya harap kita dapat mengabaikan hal yang tidak relevan dengan pembahasan saya pagi ini,” ujar Alicia dengan nada yang lebih stabil, berusaha mengendalikan dirinya setelah kejutan yang diberikan oleh kehadiran Ivona.Perhatian semua orang pun tertuju kepadanya dan layar proyektor yang telah memperlihatkan slide pertama dari presentasi yang telah disiapkan.Dengan nada tenang tetapi penuh keyakinan, ia memperkenalkan "Miracle," produk terbaru yang akan dikembangkan perusahaan mereka.“Miracle adalah solusi revolusioner yang saya rancang dengan tujuan tidak hanya memberikan hasil instan, tetapi juga memastikan kesehatan kulit jangka panjang. Produk ini menggabungkan teknologi bahan aktif eksklusif yang sebelumnya belum pernah digunakan di industri,
“Direktur Hernandez akan sangat berterima kasih atas kepedulian Anda terhadap karyawan beliau. Tapi, saya rasa beliau akan lebih senang jika Anda dapat lebih fokus dengan pembahasan hari ini, Direktur Hughes,” imbuh Owen dengan sopan, tetapi ucapannya jelas adalah peringatan tegas untuk pria itu.Walaupun saat ini Reinhard tidak berada di dalam ruangan, sebagai tangan kanannya, Owen tidak akan membiarkan seekor lalat pun mengganggu nyonya mudanya. Apalagi niat Jason terlihat dengan jelas.“Benar, Direktur Hughes. Keterlambatan Nona Hernandez sudah menyita waktu saya. Jangan membiarkan waktu saya tersita lebih banyak lagi.” Salah seorang investor mulai berkomentar.Walaupun mereka juga penasaran dengan keterkaitan antara Jason Hughes dan Reinhard Hernandez dengan wanita itu, tetapi mereka tidak ingin membuang waktu lebih lama untuk urusan pribadi yang tidak relevan dengan tujuan pertemuan pagi ini.Mendengar komentar dari investor tersebut, Jason pun menyeringai dengan acuh tak acuh. N
“Anya, kamu sakit, ya?” tanya Jason dengan nada khawatir.“Kelihatannya kamu lebih kurus sekarang. Padahal aku baru seminggu tidak melihatmu.” Pria itu memandang Alicia dengan sorot perhatian yang tulus. Sejak wanita itu masuk ke dalam ruangan itu, Jason tidak melepaskan tatapannya sedikit pun darinya.Di satu sisi, Alicia masih terkejut dengan situasi yang terjadi di hadapannya. Dari sudut matanya, ia dapat melihat wajah beberapa orang di sekitarnya yang tampak mencuri pandang, menunggu reaksinya atas ucapan Jason.Sembari mengulas senyuman kecil, Alicia melepaskan mantel yang diberikan Jason dari pundaknya. “Terima kasih atas perhatian Anda, Direktur Hughes,” jawabnya dengan lembut seraya mengembalikan mantel di tangannya kepada pria itu. “Minggu lalu saya memang sempat terserang flu. Tapi, sekarang sudah membaik.”Jason menerima mantel itu sambil meliriknya sebentar. Wajahnya menunjukkan sedikit kekecewaan. “Kamu tidak seharusnya memaksakan diri seperti ini, Anya,” katanya pelan.A