‘Apa benar Alicia adalah namaku?’
Anya masih bertanya-tanya di dalam hatinya atas ingatan aneh yang menyusup di dalam kepalanya secara tiba-tiba. Walaupun hanya sekilas dan wajah orang di dalam ingatannya tadi tidak jelas, tetapi Anya sangat yakin jika panggilan itu ditujukan padanya. Air mata di pelupuknya tiba-tiba jatuh tanpa terasa. Anehnya, hatinya terasa sedikit perih dan rasa rindu di dalam dadanya terasa meluap-luap. Meskipun kepalanya masih terasa sakit akibat benturan tadi dan darah masih menetes dari pelipisnya, Anya mencoba untuk berdiri sendiri. Ia pun melangkah pergi dengan sisa harga dirinya yang terakhir. Namun, langkah Anya sempat terhenti ketika salah seorang pelayan melemparkan satu koper di hadapannya. “Pergi saja tetap merepotkanku! Dasar jalang!” maki pelayan itu─dia diminta oleh Edwin untuk mengemas barang milik Anya tadi. Kedua kepalan tangan Anya mengetat. Ia hanya melayangkan tatapan tajamnya kepada pelayan itu dan melirik barang bawaannya yang tercerai berai di lantai karena koper lusuhnya terbuka. Hanya ada beberapa pakaian kusam di dalam koper tersebut. Padahal Anya masih memiliki beberapa pakaian yang layak dipakai yang dibelinya dengan uang jerih payahnya sendiri. Tanpa bertanya pun, Anya tahu jika pelayan itulah yang mengambil barangnya untuk keuntungannya sendiri. Anya tidak mengajukan protesnya. Ia tidak ingin memperdebatkan hal itu karena ia sudah terlalu lelah untuk melakukannya. Dengan diiringi tatapan penuh cemooh, Anya pun meninggalkan rumah itu tanpa membawa koper itu. Thalia berdiri di atas balkon kamar Edwin, memandang sosok Anya yang berjalan tertatih-tatih keluar dari kediaman Stein. "Akhirnya aku bisa menendangnya keluar," pikir wanita itu. "Tapi ... kudengar semalam dia kabur dari pria tua itu. Jadi sebenarnya dia tidur dengan siapa?" *** Sementara itu di Presidential Suite Room 117. “Shit! Apa ada pencuri yang sudah menyusup ke kamar ini?” Reinhard Xavier Hernandez baru saja terbangun setelah terik matahari telah mencapai puncak gedung hotel tempatnya bermalam saat ini. “Benar-benar malam yang liar,” gumam Reinhard ketika melihat kekacauan di dalam kamarnya. Ia memegang pundak kokohnya di mana tertinggal cakaran kuku wanita itu yang menandakan betapa bergairahnya wanita itu dalam permainan intim mereka semalam. Reinhard memejamkan netranya sejenak. Ia masih mencoba menelusuri ingatannya untuk mengingat kembali wajah wanita yang ditidurinya semalam. Ia ingin tahu siapa wanita yang sudah begitu nekat merayunya dan naik ke atas ranjangnya! “Siapa yang sudah mengirimkan wanita itu?” gumam Reinhard dengan wajah yang terlihat dingin. Netra ambernya dipenuhi kecurigaan. Ia mengira ada seseorang yang sengaja menggunakan tipu muslihat untuk mendapatkan kelemahannya. Namun, semua keraguannya tersingkirkan ketika satu per satu ingatan momen intim yang dilaluinya bersama wanita itu kembali mengalir di dalam kepalanya. Malam penuh gairah itu memicu kembali gelora panas yang membuncah di dalam dadanya. “Wanita itu ….” Reinhard meringis sembari memijit pelipisnya yang berdenyut hebat. Mata amber bak elang pemangsa itu mendadak terbuka dan memicing tajam tatkala wajah wanita itu terpatri di dalam ingatannya. Wajah wanita itu, meskipun samar, tampak menyisakan perasaan tak menentu dan kerinduan yang mendalam di hatinya. Mata biru yang melengkung indah seperti bulan sabit, senyuman yang menawan dan juga erangan manis yang bergulir ketika wanita itu berada di bawah kungkungannya tengah membanjiri ingatan Reinhard. ”Tidak … ini tidak mungkin ….” Reinhard bergegas bangkit. Ia meraih handuk untuk menutupi tubuh bagian bawahnya, lalu dengan cepat menyusuri setiap ruang di dalam kamar tersebut. Namun, ia tidak menemukan jejak wanita itu. “Sial! Ke mana dia?” gumam Reinhard dengan frustasi. Ia pun memungut jasnya yang tergeletak di lantai ruang tamu dan merogoh ponselnya. Jemarinya begerak cepat dan menekan nomor kontak asistennya. “Owen, berikan aku salinan rekaman CCTV di depan kamarku dan lacak informasi wanita yang masuk ke kamarku semalam! Aku ingin mengetahui keberadaannya sekarang!” titah Reinhard ketika panggilannya terhubung. Tanpa menunggu tanggapan dari asistennya, Reinhard langsung mematikan telepon tersebut secara sepihak. Ia pun bergegas membersihkan tubuhnya, lalu pergi memastikan jika semua hal yang baru saja terlintas di dalam ingatannya bukanlah sekedar halusinasi ataupun mimpinya! *** Rintik hujan membasahi lahan sebuah pemakaman yang cukup mewah. Tampak sosok Anya berdiri di depan sebuah makam yang terawat dengan baik. Batu nisan itu bertuliskan “James Stein”, nama kepala keluarga Stein terdahulu, sosok yang paling dihormati dan dipercayai oleh Anya. “Tuan Stein, kamu pernah bilang kalau aku adalah penyelamat keluargamu, memintaku untuk terus membantu Edwin dan perusahaan,” bisik wanita itu dengan suara serak. Air mata Anya mengalir tanpa henti saat ia mengingat kebaikan hati James Stein yang selalu memperlakukannya dengan penuh kasih sayang. Saat James masih hidup, kehidupan Anya jauh lebih baik daripada saat ini. Bahkan Edwin dan keluarga Stein lainnya akan berhati-hati dalam bersikap dan berbicara dengannya. Namun, semuanya berubah ketika James meninggal dunia. Edwin berubah menjadi orang yang sangat berbeda dari saat awal pernikahan mereka hingga tadi Anya menyadari jika ternyata ia bukanlah siapa-siapa bagi mereka selain gelandangan yang menyedihkan. Seulas senyuman getir terulas di bibir Anya. “Apa benar yang telah dikatakan Edwin tadi? Apa benar kalau Anda …,” suaranya tercekat oleh air matanya selama beberapa detik sebelum akhirnya bergumam kembali, “apa benar Anda telah membohongiku, Tuan Stein?” Kecelakaan tiga tahun lalu sempat membuat Anya koma selama dua bulan penuh, tetapi ketika ia sadar ia memang tidak mengingat apa pun dan semua ingatannya saat itu adalah pengakuan yang diberikan oleh James Stein dan putranya! Setelah dipikirkan kembali, Anya merasa ia memang bodoh seperti yang diucapkan Edwin tadi. Bisa-bisanya ia percaya begitu saja dengan ucapan mereka. Bahkan, selama tiga tahun ini, ia telah memberikan kontribusi besar di belakang layar atas kejayaan perusahaan Stein dan tidak ada yang mengetahui hal itu selain James sendiri. Semua ia lakukan karena ayah mertuanya yang memintanya dengan dalih membantu reputasi Edwin nanti, tetapi sekarang … apa yang didapatkannya? Selama hampir satu jam lamanya, Anya berdiri meratapi makam tersebut dengan wajah tanpa ekspresi. Darah dari pelipisnya telah bercampur dengan tetesan air hujan, tetapi rasa sakit tersebut tidak sebanding dengan perih yang menusuk di dalam hatinya. Wajah Anya perlahan tertunduk. Kepalanya terasa semakin pusing. Ia mencoba mencari pegangan, tetapi tangannya yang gemetar hanya menangkap udara kosong. Tubuhnya pun limbung dan akhirnya terjatuh di depan makam tersebut. Hujan masih terus turun membasahi tubuh lemah wanita malang itu. Di tengah keheningan yang didominasi suara hujan tersebut, Anya mendengar suara langkah kaki berat di dekatnya. Suara langkah itu terhenti di depan tubuh Anya. ‘Siapa?’ batin Anya, berusaha membuka matanya yang terasa berat. Pandangannya samar-samar menangkap bayangan seorang pria yang berdiri di hadapannya. Pria itu tampak tinggi dan berwibawa meskipun sebagian wajahnya tersembunyi di balik payung hitam yang dibawanya. Detik berikutnya, Anya telah kehilangan kesadaran sepenuhnya. Pria berpenampilan elegan itu berjongkok di samping tubuh Anya. Satu tangannya mencengkeram pelan dagu wanita itu agar ia bisa melihat wajahnya dengan lebih jelas. Sorot mata ambernya telah diselimuti kebingungan. "Bagaimana bisa ada dua orang yang begitu mirip seperti ini?”“Bagaimana mungkin ada kebetulan seperti ini ….” Gumaman pria berwajah tampan nan tegas itu terdengar semakin pelan. Rahang kokohnya terkatup rapat hingga gigi-giginya bergemeratak. Ia berusaha menguasai rasa kaget yang masih memenuhi pikirannya. Ingatan akan malam panas yang dihabiskannya bersama wanita yang terbujur di hadapannya saat ini kembali berputar di dalam kepalanya. Seperti yang diduganya, semua yang dilakukannya semalam bersama wanita itu benar-benar bukanlah mimpi! “Bos, hujan sudah turun semakin deras. Apa tidak sebaiknya kita kembali ke mobil?” Lamunan pria itu beralih sejenak. Sorot mata tajam bak serigala miliknya tertuju pada asisten kepercayaannya yang berdiri di belakangnya sejak tadi. Tanpa mengucapkan sepatah kata, pria itu menyerahkan payung di tangannya kepada bawahannya tersebut. Ia pun mengangkat tubuh Anya di kedua belah tangannya, lalu membawanya menuju mobil yang tidak terparkir jauh dari pemakaman. *** “Bagaimana keadaan lukanya?” Seorang dokter mu
“Kamu tidak mengenalku, Anya Stein?”Netra Anya terbelalak. “A-Anda … laki-laki yang semalam ….”Anya menggigit bibirnya dengan kuat. Degup jantungnya mendadak berpacu cepat ketika mengingat kegilaannya semalam, tetapi ia mengusir ingatan memalukan itu dari dalam kepalanya dan kembali menatap pria asing itu dengan gugup.“Dari mana Anda tahu nama saya, Tuan?” selidik Anya.Tanpa menjawab pertanyaannya, Reinhard mengeluarkan kartu tanda pengenal dari saku jasnya dan menyerahkannya kepada wanita itu.“Kenapa Anda bisa memegang kartu identitas saya?” tanya Anya, semakin bingung.“Aku membutuhkannya untuk mengisi data pasien,” jawab Reinhard dengan acuh tak acuh.Anya pun tertegun menatap kartu identitasnya. Ia baru menyadari jika ruangannya yang ditempatinya saat ini adalah kamar rumah sakit.“Anda … memasukkan saya ke kamar VIP?” tanya Anya dengan syok.“Apa ada masalah?” Kening Reinhard mengerut.Namun, Anya tidak menjawab. Ia bergegas bangkit dari ranjangnya, tetapi gerakannya tertahan
"Si-siapa Alicia?" Anya bertanya dengan suara yang bergetar. Ia mencoba menginterogasi pria itu dengan harapan dapat menemukan sedikit titik terang atas rasa ingin tahunya.Namun, Reinhard malah menatapnya dengan dingin, pandangannya seakan menjadi tembok tak tertembus yang memisahkan mereka. Anya bisa merasakan suhu ruangan seolah turun beberapa derajat, dan sebuah perasaan asing menyelinap di hatinya—perasaan bahwa ia telah melangkahi batas yang seharusnya tak pernah disentuh.“Mengenai hal yang terjadi semalam, aku tidak ingin kamu menyalahkanku secara sepihak. Kamu yang mendatangiku dan meminta bantuanku, sedangkan aku hanya melakukan yang kamu inginkan.”Alih-alih menjawab, Reinhard malah meluruskan kesalahpahaman wanita itu terhadapnya. Namun, Anya malah memberikan tatapan tajam.“Kamu tahu kan apa pun bisa terjadi di saat seseorang berada dalam pengaruh alkohol?” Reinhard mencoba membela dirinya dan tidak menerima tuduhan yang memberatkannya atas perbuatan yang dilakukan semala
“Edwin Stein, Thalia Vale ….”Hanya dengan mengucapkan nama kedua orang itu saja, amarah di dalam dada Anya terasa menggelegak. Segala rasa sakit, penghinaan, dan kekecewaan yang selama ini Anya pendam, kini berubah menjadi kemarahan yang tak terbendung.Anya merasa ia harus bertindak, bukan hanya untuk membalas dendam, tetapi juga untuk membuktikan bahwa ia tidak akan menjadi seseorang yang lemah dan mudah ditindas!‘Tapi, apa yang bisa kulakukan?’Seketika Anya menyadari ketidakberdayaannya. Walaupun ia memiliki tekad dan kebencian yang begitu besar, tetapi ia tidak memiliki dukungan yang dapat diandalkan untuk dapat menuntaskan kebenciannya terhadap Edwin dan Thalia ataupun untuk mengubah keadaannya sendiri.Satu-satunya hal yang dapat Anya lakukan hanyalah menarik kontribusinya terhadap kemajuan perusahaan Stein selama tiga tahun ini. Namun, hal itu tidak akan cukup untuk membuat Edwin dan keluarganya serta Thalia merasakan penderitaan yang dialaminya selama tiga tahun ini.Anya in
“Ini benar-benar gila …,” gumam Anya yang masih mencoba menerima kebenaran dari informasi yang didapatkannya. Melihat kekagetan wanita itu, Reinhard pun tersenyum kecil. "Sekarang kamu baru sadar kalau kamu sudah menjadi wanita yang sangat beruntung?" ucapnya dengan bangga. Tatapan Anya perlahan berubah datar. “Aku tidak merasa beruntung sekali pun, Tuan Muda Hernandez,” timpalnya seraya memutar bola matanya dengan malas. “Kamu yakin?” Netra Reinhard menyipit tajam. “Padahal banyak wanita yang ingin mendekatiku dan rela melakukan apa pun untuk bisa mendapatkan hal yang kamu dapatkan semalam, Anya Stein.” Namun, Anya malah terkekeh kecil mendengar ucapan pria itu. “Kenapa kamu sepanik itu? Apa aku sudah melukai harga dirimu sebagai seorang lelaki,” ledeknya. Reinhard berdeham canggung dan memalingkan wajahnya. “Tidak,” kilahnya, enggan menunjukkan jika ia memang sangat tersinggung dengan penilaian wanita itu. Suara tawa Anya perlahan lenyap. Ia kembali menatap Reinhard dengan waja
“Austin, aku rasa lukanya sangat serius. Jika tidak, tidak mungkin dia bisa pingsan lagi. Apa tidak sebaiknya kamu periksa lebih terperinci?” saran Reinhard kepada sahabatnya yang masih memeriksa keadaan Anya. Austin hanya meliriknya sekilas, lalu menghela napas pelan. “Baiklah. Aku akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan tidak ada cedera serius. Tapi untuk sekarang, sebaiknya kamu tidak mendesaknya lebih jauh seperti yang aku katakan sebelumnya,” jawab Austin seraya memeriksa denyut nadi wanita itu. “Aku tidak mendesaknya, Austin.” Reinhard berkata dengan nada kesal, menatap Austin dengan tajam. Ia tidak terima dituduh sebagai pelaku yang membuat wanita itu tertekan dan pingsan. Austin meletakkan stetoskop di lehernya setelah memastikan kondisi Anya stabil, kemudian melanjutkan, “Menurut pengamatanku, seharusnya lukanya tidak seserius ini. Tapi, melihat kondisinya sekarang, ada kemungkinan cedera lain yang tidak kita ketahui,” paparnya. Reinhard terdiam, men
“Nona Stein, apa kepalamu masih terasa sakit?” Pertanyaan yang dilontarkan Reinhard membuyarkan lamunan Alicia. Perasaan Alicia terasa campur aduk antara kegembiraan dan kesedihan. Gembira karena akhirnya ingatannya bisa kembali dan mengingat jati dirinya sebagai Alicia Lorenzo. Namun, kesedihan meliputi dirinya karena pertemuannya dengan Reinhard kembali membuka luka lama—penolakan dingin dari pria yang pernah mencuri hatinya dulu. Dengan sepasang netra yang berkaca-kaca dan bibir yang masih membisu, Alicia menatap Reinhard dengan pilu. Luka yang pernah diberikan pria itu kini kembali terbuka dan mengingatkan kisah pahit yang terjadi di antara mereka. ‘Memalukan sekali. Kenapa aku bisa bertemu dengannya lagi dalam keadaan seperti ini?’ batin Alicia seraya tersenyum pahit pada dirinya sendiri. “Kenapa kamu diam saja, Nona Stein?” Reinhard mulai terdengar frustrasi, jelas tidak sabar menghadapi keheningan Alicia. Bukan Alicia tidak mau menjawab, tetapi ia masih berusaha menyesuai
“Ma-maaf, Tuan Muda Hernandez. Tadi aku tidak bermaksud apa pun,” ucap Alicia dengan gugup.Sesaat tadi Alicia tidak sengaja menumpahkan amarahnya terhadap Reinhard karena masih terpengaruh oleh ingatan masa lalunya atas tindakan pria itu. Emosi yang telah lama terpendam sulit untuk ia kendalikan.Reinhard menatapnya dengan alis sedikit terangkat, masih berusaha memahami perubahan mendadak dalam sikap Alicia."Tidak apa-apa, Nona Stein," jawab Reinhard dengan nada datar, meskipun ada keheranan dalam suaranya.“Mungkin aku … hanya lelah,” cicit Alicia kemudian dengan wajah tertunduk dalam.Reinhard membisu. Ia dapat melihat kebohongan wanita itu, tetapi tidak berniat membongkarnya dan akhirnya berkata, “Baiklah. Sekarang kamu beristirahatlah, aku juga masih ada urusan lain. Sebaiknya kamu memberi tahu keluargamu mengenai masalahmu ini.”‘Keluarga?’ Alicia terdiam mendengar hal itu.Ia tidak yakin masih memiliki keluarga apabila dirinya memang telah dinyatakan meninggal. Pun, apabila du
Alicia memandang kakaknya dan Reinhard secara bergantian, lalu suara tawa Regis yang terdengar sinis mengalihkan kembali fokus Alicia padanya.“Dia memberitahuku? Kalau dia memberitahuku, apa aku masih harus mencari masalah dengannya sekarang?” cetus Regis dengan suara yang terdengar dingin.Reinhard memang tidak memberitahu Regis mengenai keberadaan Alicia. Meskipun beberapa waktu lalu Regis menghubunginya dan memberitahu kedatangannya ke kota tersebut, Reinhard juga tidak mengatakan apa pun terkait Alicia kepadanyaNamun, mereka telah sepakat untuk bertemu malam ini. Reinhard bermaksud untuk menceritakan tentang Alicia kepada Regis saat mereka bertemu nanti dengan mempertemukan mereka secara langsung.Hanya saja, secara tidak terduga, Regis tiba-tiba saja muncul di tengah acara tadi dan hal itu tentunya cukup mengejutkan Reinhard.Namun, Reinhard sangat bersyukur Regis dapat menyesuaikan skenario mereka saat menjatuhkan keluarga Stein, padahal mereka tidak pernah berdiskusi apa pun
“Mau ke mana? Urusan kita belum selesai, Alicia,” ucap Regis seraya menyeringai dingin. Sorot matanya terlihat tajam, membuat jantung Alicia berdegup semakin cepat karena merasa terintimidasi.“Me-memangnya ada urusan apa, Kak?” Alicia mengalihkan pandangannya dengan gugup.Netra Regis menyipit tajam. “Kamu mau berpura-pura bodoh, huh?”“Aku … aku tidak mengerti apa yang kamu katakan. Sekarang aku sangat lelah dan mau pulang,” sahut Alicia, berusaha menghindari pembicaraan dengan kakaknya.Meskipun sebelumnya Regis telah menerimanya kembali sebagai adik, tetapi Alicia tahu bahwa ada banyak hal yang harus dijelaskannya kepada kakaknya tersebut. Tatapan tajam Regis saat ini seakan menuntut penebusan dosa darinya.Alicia teringat kembali kejadian tiga tahun lalu di mana Regis sudah memperingatkannya untuk tidak lagi melakukan hal bodoh dengan menemui Reinhard.Regis merasa malu dengan perbuatan Alicia yang terus mengejar pria itu, meski sudah ditolak berkali-kali. Karena itu, Regis memblo
Bisik-bisik tamu undangan perlahan memudar ketika satu per satu dari mereka memutuskan untuk meninggalkan acara yang telah berubah menjadi mimpi buruk. Beberapa melirik Miranda dengan simpati, tetapi tidak ada yang ingin mengulurkan tangan mereka untuk membantunya.Namun, langkah para tamu terhenti di depan pintu keluar aula saat melihat para pengawal Lorenzo dan Hernandez memblokir jalan mereka.“Apa yang kalian lakukan? Kenapa menghalangi jalan kami?” protes salah seorang tamu.Salah seorang pengawal Lorenzo pun menjawab, “Kami hanya ingin memeriksa ponsel Anda semua. Setelah itu kalian sudah boleh pergi.”Kegelisahan mulai menyelimuti para tamu undangan. Beberapa dari mereka saling berbisik, mencoba mempertimbangkan apakah harus menuruti permintaan tersebut.Namun, ada salah seorang tamu yang kembali mengajukan protesnya. “Apa maksudnya ponsel kami diperiksa? Ini melanggar privasi!”Meski menghadapi pen
Mendengar pengakuan Thalia terkait janin di dalam rahimnya tersebut, Miranda sangat syok. Wanita paruh baya itu menatap putranya dengan tak percaya. “Ini … ini tidak benar, kan, Ed?”Alih-alih menjawab, Edwin malah memalingkan wajahnya.“Kenapa kamu melakukannya, Ed?” Miranda mendesak putranya lebih lanjut. Namun, pria itu masih tertunduk dan tidak mengucapkan sepatah kata pun.Pandangan Miranda pun tertuju kepada Thalia. Ia meraih kedua tangan wanita itu dan bertanya dengan wajah yang masih terlihat syok, “Thalia, kamu … kamu pasti berbohong, kan? Kamu sengaja mengatakan ini hanya untuk menyudutkan Edwin, bukan? Tolong katakan kalau ini tidak benar!”Miranda memohon dengan suara bergetar, seolah masih berharap menemukan celah untuk menyelamatkan nama baik putranya.Selama ini Miranda selalu memperlakukan Thalia dengan baik karena mengira wanita itu mengandung penerus keluarga Stein. Namun, ia tidak
Miranda terperangah. Ia pun bergegas menghampiri John dan memohon, “Tu-tuan Vale, Anda tidak boleh menggugurkannya. Dia … dia adalah penerus keluarga Stein.” John mendengus sinis. “Saya tidak mau punya keturunan dari darah daging seperti kalian!” cetusnya. Pandangan John beralih kepada cucunya yang tengah berdiri seperti mayat hidup. Wajahnya terlihat sangat kacau dengan air mata bercucuran di wajahnya.Kebenaran yang diterimanya mengenai Edwin sudah memberikan pukulan yang sangat besar bagi Thalia. Melihat kondisi cucunya tersebut, John hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan ekspresi kecewa yang dalam.“Kamu telah mempermalukan keluarga kita dengan laki-laki pilihanmu ini, Thalia,” ucap John seraya mendengus kasar.Thalia tersenyum pahit. Ia tidak berusaha membela diri. Saat ini tatapannya terlihat kosong seolah semua harapan hidupnya sudah lenyap tak berbekas. Selama ini Thalia mengira Edwin benar-benar mencintainya sepenuh hati hingga ia sangat membenci Alicia yang diangga
“Keputusan yang sangat bagus, Tuan Vale.” Suara Alicia membuat perhatian John tertuju padanya.Pria tua itu menatapnya dengan bingung. Sebelum John bertanya lebih jauh, Alicia pun berkata, “Kebetulan saya masih ada kejutan lain yang harus Anda dan semuanya nikmati.”Mendengar hal tersebut, Edwin semakin panik dan berkata dengan murka, “Apa lagi yang kamu inginkan? Apa kamu belum puas menjebakku, Anya?!”Alicia hanya mendengus sinis, sama sekali tidak mengindahkan ucapan mantan suaminya tersebut. Ia memerintahkan Owen untuk menampilkan tayangan video berikutnya di mana terlihat cuplikan adegan panas yang sudah disensor sebelumnya.Dalam tayangan itu hanya memperlihatkan wajah Edwin dengan wanita bayarannya. Namun, orang-orang dapat melihat dengan jelas ekspresi Edwin yang sangat menikmati momen intimnya dengan wanita itu."Ya ampun, menjijikkan sekali.""Jadi dia juga sering jajan di luar? Benar-benar gila!"Berbagai umpatan dari orang-orang pun terdengar memenuhi aula. Air muka John V
Alicia memberikan isyarat kepada Owen, yang dengan segera menyampaikan perintah melalui earpiece di telinganya. Seketika lampu-lampu di aula meredup, dan layar besar di ujung ruangan menyala, menampilkan sebuah video. Suasana menjadi hening. Semua mata tertuju pada layar. Wajah Edwin memucat seketika ketika ia melihat tayangan yang mulai diputar. Itu adalah rekaman suara dan video yang jelas memperlihatkan aksi Edwin yang sedang bercengkerama dengan seorang petinggi suatu instansi khusus perizinan produk. Selama seminggu terakhir ini produk Shiny terus mendapatkan laporan keluhan dari para konsumen dan terus menjadi bahan pemberitaan di media. Karena itu Mirage diminta untuk bekerja sama dalam melakukan pemeriksaan terhadap produk tersebut. Namun, Edwin menggunakan cara pintas untuk mempercepat pemulihan nama baik perusahaannya agar produk dapat dipasarkan kembali. Dalam rekaman tersebut terdengar jelas bagaimana Edwin memohon untuk diloloskan dengan mengimingi imbalan yang sangat
Keringat dingin mengucur deras di pelipis Edwin saat tatapan penuh amarah dan kebencian Regis tertuju padanya.Dengan wajah menahan rasa malu, Edwin pun mencoba untuk menciptakan kesempatan untuk dirinya dan memohon dengan suara terbata-bata, “Tu-tuan Muda Lorenzo, saya akui kalau saya bersalah. Saya benar-benar minta maaf. Kalau waktu itu saya tahu dia adalah adik Anda, saat itu juga saya pasti akan mengembalikannya kepada Anda.”Namun, bukannya menunjukkan rasa iba, Regis malah menyeringai sinis. “Mengembalikan?” gumamnya dengan wajah yang seketika berubah dingin dan penuh kekejaman.Edwin menelan ludah, tubuhnya gemetar. “Saya ... Saya benar-benar menyesal. Tolong beri saya kesempatan untuk menebus kesalahan ini, Tuan Muda Lorenzo ....”Regis melangkah mendekat. Kepalan tangannya yang telah tergenggam erat pun akhirnya melayang dengan cepat, menghantam wajah Edwin dengan keras. Suara teriakan kaget dari para tamu wanita yang menyaksikan adegan tersebut pun terdengar memenuhi aula.
Melihat ekspresi orang-orang yang sedang menunggu jawaban darinya, Regis pun tertawa kecil. Suara tawanya terdengar dalam dan penuh percaya diri, membuat suasana semakin tegang.“Kamu benar. Dia memang dinyatakan meninggal dalam kecelakaan pesawat, tapi …,” Regis sengaja menggantungkan ucapannya. Tatapannya mengedar ke sekeliling ruangan, lalu berhenti pada sosok Alicia.Dari jaraknya saat ini, Regis bisa melihat sepasang mata biru Alicia yang berkaca-kaca. Sorot mata yang dipenuhi emosi yang bercampur aduk itu membuat Regis merasakan bahwa adiknya itu memiliki cerita pahit yang dipenuhi dengan rasa sakit yang berusaha disimpannya rapat-rapat.Seulas senyuman tipis Regis layangkan kepadanya, lalu ia melanjutkan, “Tapi, dia adalah gadis keras kepala yang sangat beruntung. Bahkan malaikat maut saja berteman baik dengannya.”Ucapan Regis yang diselimuti guyonan ringan itu berhasil membuat Alicia tersenyum, tetapi air mata wanit