Sekitar 45 menit, mobil yang dikendarai Devan berbelok pada sebuah pusat perbelanjaan.
Syakila yang sedari awal naik hanya memandang ke luar jendela dibuat bingung, kenapa dirinya di bawa ke tempat seperti ini? Tetapi, gadis yang sejak tadi diam itu tak memiliki sedikit nyali, walau sekedar bertanya pada lelaki berwajah datar di sampingnya.Tanpa terdengar satu katapun, Devan keluar dari mobil yang telah terparkir apik di basement, meninggalkan gadis yang ia bawa begitu saja."Kok aku ditinggal, sih?" cibir Syakila. Ia sedikit takut dengan tempat sepi seperti ini.Selain karena tidak terbiasa datang ke tempat seperti ini, gadis itu memang penakut dengan tempat-tempat yang terlihat seperti lorong ataupun bawah tanah."Ya Tuhan ... Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?" Gadis itu terus bermonolog sendiri.Ia masih berdiam diri di dalam mobil mewah milik anak dari juragannya.Syakila terlonjak, ketika sebuah ketukan keras terdengar dari balik kaca mobil di mana ia berada.Ketakutan gadis itu mengendur, saat tahu bahwa yang mengetuk adalah lelaki yang membawanya ke sini. Ia kemudian bergegas keluar, dan mendekat pada pria itu. Sungguh, Syakila tak ingin lagi ditinggal sendirian."Kamu kenapa?" tanya Devan sedikit heran melihat wajah Syakila yang sudah memucat.Syakila menggeleng. Mencoba menutupi ketakutannya dengan mengedipkan matanya berulang kali. Napas pendek memburunya juga sekuat mungkin ia atur agar terdengar normal."Kamu takut?" Devan kembali bertanya."Enggak, kok!" elak Syakila."Ya sudah, ayok." Devan berjalan lebih dulu, diikuti Syakila di belakangnya.Dug!Tanpa sengaja tiba-tiba Syakila menabrak punggung kokoh pria di depannya. Gadis itu berjalan menunduk, sehingga tak melihat ketika pria itu berhenti. Reflek, gadis itu mengelus kepalanya yang sedikit terasa nyeri akibat membentur punggung berotot tersebut."Kalau jalan lihat-lihat. Jangan meleng!" sungut Devan. Ia kemudian bergeser lalu menyuruh Syakila berjalan di depan."Habis, Mas berhenti gak bilang-bilang dulu.""Sana Kamu jalan di depan!""Tapi saya gak tahu arah, Mas." Syakila kembali menunduk diam.Devan benar-benar dibuat tidak sabar dengan tingkah gadis cantik yang kini memakai jilbab maroon itu. Dari pada berdebat, akhirnya lelaki itu menggandeng tangan Syakila untuk berjalan beriringan dengannya.'Kenapa tangannya dingin dan sedikit bergetar? Apa dia benar-benar ketakutan?' batin Devan merasakan telapak tangan Syakila yang masih dingin.'Aduh, kok digandeng, sih? Kan jadi ketahuan kalau aku sebenarnya takut.' Syakila pun ikut membatin.Mereka kemudian masuk ke dalam lift menuju lantai tiga, di mana Bu Sukoco sudah menunggu.Syakila nampak kaget saat tiba di tempat makan yang berada di lantai tiga itu. Ia melihat Bu Sukoco sudah lebih dulu berada di tempat itu. Padahal, dia merasa dirinya dan Devan-lah yang sampai lebih dulu di tempat ini."Jangan heran. Selain becak, si Asep juga punya usaha taksi online. Makanya Ibu cepat sampai sini," terang Bu Sukoco seperti tahu isi hati Syakila."Tapi 'kan–?""Sudah. Ayok makan siang dulu."Bu Sukoco ingin meraih tangan Syakila, tetapi ia mengurungkan niatnya, sebab tangan itu masih berada di genggaman tangan putranya.Bu Sukoco pun pura-pura tak melihat.Wanita paruh baya itu lantas berjalan mendahului dua orang yang lebih muda darinya itu, menuju sebuah meja kosong untuk makan siang."Tadi aku nyetirnya pelan, dan kamu terlalu lama di basement. Makanya pas mobil Kang Asep datang kamu gak lihat." Di tengah-tengah langkah mereka, Devan mencoba menerangkan lebih detil tentang Bu Sukoco yang lebih dulu berada di tempat makan ini, sebab wajah Syakila terlihat sekali masih menyiratkan sebuah tanya.Syakila hanya mengangguk paham, sambil terus mengikuti langkah anak bos-nya dengan tangan yang saling menaut tanpa ia sadari.Setelah makan siang dan shalat Zhuhur di pusat perbelanjaan itu, Syakila diajak oleh Bu Sukoco ke sebuah salon kecantikan.Sementara Devan, lelaki itu pamit ke kantor sebentar untuk menuntaskan pekerjaannya. Lelaki itu berjanji akan segera kembali setelah pekerjaannya selesai."Mau ngapain kita ke sini, Bu?" tanya Syakila heran.Sayangnya, Bu Sukoco hanya tersenyum simpul menanggapinya."Tolong buat gadis cantik ini seanggun bidadari. Yang natural aja, tapi elegan." Bu Sukoco justru berbicara pada salah satu laki-laki kemayu yang sudah berdiri menyambut."Tenang marindang Bu Sukoco ... Aku akan buat dia makin cantik sampai-sampai Ibu sendiri tidak mengenalnya nanti," sahut si lelaki kemayu yang bernama Susi, alias Susilo, dengan logat mendayu-dayu."Bagus. Ayok segera diproses," ujar Bu Sukoco."Calon mantu, ya?" bisik Susi."Iya. Sudah, jangan banyak tanya lagi."Syakila sempat memperhatikan interaksi keduanya. 'Sepertinya tempat dan orang-orang di sini sudah akrab dengan Bu Sukoco,' batin Syakila.Lalu, gadis itu pasrah ketika wajahnya di bubuhi berbagai cream yang sebelumnya tak pernah ia pakai. Bahkan ntuk namanya saja, Syakila tidak tahu.Beberapa menit dipoles, kini Syakila sudah siap dengan riasan cantik di wajahnya, membuat gadis itu semakin cantik nan elegan."Bagaimana hasilnya? Oke, pakai banget, kan?" ucap si lelaki gemulai membanggakan hasil karya jari jemari lentiknya.Beberapa detik Bu Sukoco benar-benar pangling dengan wajah polos Syakila yang sudah menjelma menjadi cantik mempesona bak bidadari.Sungguh, hanya butuh sedikit polesan saja, wanita itu sudah dapat mengalahkan kecantikan artis-artis yang sering nongol di TV."Sempurna!" puji Bu Sukoco seraya menggerakkan jarinya membentuk lingkaran.Syakila sendiri pangling dengan penampakan dirinya ketika di cermin. Ia ingin memungkiri bahwa itu bukan dirinya, tetapi faktanya wajah dalam cermin itu adalah pantulan dari dirinya yang sudah disulap oleh Susi."Sekarang tinggal bajunya. Susi ... Keluarkan koleksi baju muslim modern terbaik kamu yang paling cocok untuk Syakila," titah Bu Sukoco, dan segera dilaksanakan oleh Susi dan beberapa asistennya."Apa tidak berlebihan, Bu? Memangnya, saya mau diajak kemana?" tanya Syakila."Mau ke acara ulang tahun cucu Ibu," jawab Bu Sukoco.Kening Syakila mengernyit. "Terus, kenapa malah saya yang didandani, kenapa bukan Ibu?""Iya, nanti Ibu juga di-make up, kok."Syakila akhirnya diam menurut. Termasuk ketika pada akhirnya harus berganti pakaian dengan baju yang Susi pilihkan untuknya."Calon mantunya cantik, pasti mau ada acara lamaran ya?" bisik Susi lagi pada Bu Sukoco.Deg!Kali ini telinga Syakila dapat mendengarnya dengan jelas. Hatinya bertanya-tanya tentang lamaran yang diucapkan lelaki kemayu itu. 'Siapa yang lamaran?'Gadis itu menggeleng cepat, untuk menghilangkan bayangan menyakitkan saat mantan kekasihnya mempermalukan dirinya di acara pertunangan mantannya dahulu.Sepertinya, Syakila trauma dengan acara-acara pesta seperti itu ... Mampukah dia menghadapinya suatu saat nanti?Pukul 14.15 wib, mobil yang ditumpangi Bu Sukoco dan Syakila tiba di rumah mewah Bu Sukoco.Bangunan tinggi menjulang dengan hiasan taman itu, mempercantik halaman di sana, membuat Syakila terpesona."Ayo, masuk! Aira pasti senang lihat kamu," ajak Bu Sukoco.Sambil terus melangkah, Syakila mencoba memberanikan diri untuk bertanya pada bos wanitanya itu. "Memangnya Aira kenal sama saya, Bu?""Kenal, dong. 'Kan, dia itu penggemar berat kamu di toktok. Tiap malam loh, Aira menantikan dongeng kamu sebelum tidur," ujar Bu Sukoco semringah."Ibu cerita kalau itu saya?" tanya Syakila memastikan."Enggak. Ibu cuma janji bakal membawa tukang dongeng kesayangannya ke sini. Sebagai nenek yang baik, Ibu harus menepati janji, dong," sahut Bu Sukoco sembari melebarkan senyuman."Owh, begitu."Tepat ketika Syakila dan Bu Sukoco akan berbelok ke ruang tengah yang terhubung langsung pada pintu menuju kolam renang, sebuah mobil terdengar memasuki halaman rumah itu.Bu Sukoco menghentikan langkahnya,
"Memangnya, siapa wanita itu, Jeung?" tanya Bu Sundari membuang penasaran.Bu Sukoco hanya mencebik. Bahunya terangkat acuh sembari melenggang meninggalkan ibu dan anak yang hanya bisa menahan kesal."Gimana dong, Ma? Gak mau tahu! Pokoknya Devan harus jadi milikku!" Yumna merengek. Kakinya dientak-entakkan ke lantai seperti anak kecil kehilangan mainannya."Udah, kamu tenang saja! Selama belum ada janur kuning melengkung, apa pun bisa kita lakukan." Bu Sundari mencoba menenangkan."Tapi kalau Devan tetep keukeuh sama wanita itu gimana, Ma?" Lagi-lagi Yumna merengek."Makanya kamu tenang, dong ...! Kalau kamu kayak gitu, gimana Devan bisa tertarik. Tunjukkan kalau kamu lebih baik dari wanita tadi.""Caranya?""Ya kamu jangan seperti anak kecil begitu. Kita ini wanita berkelas. Keluarga kita terpandang. Angkat dagumu, dan kita singkirkan wanita itu pelan-pelan," bisik Bu Sundari dengan seringai tipis penuh makna.Seolah mengerti, Yumna pun melakukan hal yang sama. "Sekarang kita masu
"Lepasin! Aira gak mau sama Tante!" Teriakan gadis cilik itu berhasil menyadarkan Yumna dari lamunan. Tangan yang semula bersiap membopong anak itu kembali ditarik.'Untunglah itu cuma bayanganku saja. Entah apa jadinya kalau sampai aku mendorong wanita itu ke kolam. Bisa-bisa Devan semakin menjauh dariku,' batin Yumna.Wanita berkulit putih itu menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan bayangan mengerikan yang sempat terlintas di pikirannya."Kamu kenapa?" tanya Devan bingung melihat tingkah wanita di sampingnya."Eh. Enggak! Gak papa, kok.""Dasar aneh!" sambung Devan."Huffhh ...." Kakak dari Kamil itu menghembuskan napas lega. Setidaknya ia berhasil menahan diri untuk tidak terlihat jahat di depan pria incarannya."Eum, kamu gak mau kenalin aku sama calon istri kamu, Mas?" tanya Yumna. Wanita itu mencoba mengorek informasi tentang perempuan yang masih menggendong Aira.Seketika bola mata Syakila melebar. "Untuk apa?" sahut Devan."Ya gak kenapa-kenapa, sih. Cuma, masa iya aku
"Kalian kenapa?" tanya Kamil melihat wajah dua wanita yang baru pulang itu ditekuk."Kepala Mama pusing." Bu Sundari menimpali ucapan sang putra seraya mengurut pelipisnya, duduk bersandar pada sofa ruang tamu mereka.Beberapa menit lalu mereka akhirnya pulang membawa kobaran api yang masih mengebul di hati."Ada apa, sih? Mama sakit?" Kamil masih tak mengerti. Pasalnya tadi pagi mereka begitu antusias akan menghadiri pesta ulang tahun anak dari lelaki incaran kakaknya."Ambilkan Mama air putih, Nak," perintah sang mama.Dengan cekatan, pemuda yang menggunakan baju santai itu mengambil gelas beserta air putih untuk mamanya."Ini, Ma.""Terima kasih, Nak."Kemudian Kamil mendekati sang Kakak yang juga tengah duduk pada kursi dengan keadaan tak kalah kusut."Kak. Ada apa, sih?!" bisik Kamil kembali bertanya untuk membuang penasaran."Tahulah!" sahut Yumna."Bukannya kalian habis menghadiri pesta ulang tahun anak lelaki pujaanmu? Harusnya kalian seneng dong. Ini malah kusut begitu.""Se
"Aku berangkat dulu!"Tak berniat menanggapi perkataan ibunya, Devan memilih untuk berangkat ke kantor. Tak peduli sarapannya masih utuh di piring. Maupun anaknya yang mungkin saja tengah bersedih saat ini.Hatinya terlalu sakit jika ada yang menyebutkan nama Syakila. Adegan pelukan itu kembali terlihat bagai film yang terus diputar berulang-ulang dalam benaknya.Andai ia tak mempunyai rasa lebih pada gadis itu, mungkin rasa perih tak lagi ia rasakan.***Di ruang keluarga, Yumna dan Bu Sundari tengah menyusun rencana."Yumna yakin rencana kita akan berhasil, Ma.""Kamu benar. Tak apalah menumbalkan Kamil sementara waktu.""Mama tenang saja. Gak akan lama kok. Setelah wanita itu berhasil kita singkirkan, Kamil segera kita jauhkan darinya. Lagian, Yumna juga gak rela, Ma, kalau Kamil kepincut lagi sama cewek kampung itu!""Ya sudah. Nanti kalau Kamil sudah pulang, Mama yang akan ngomong. Tugasmu mengumpulkan bukti sebanyak mungkin. Oke!""Siap, Ma. Tenang saja."Lalu keduanya tertawa p
"Gak papa, Bu. Saya mengerti," ucap Syakila seraya membalas pelukan Bu Sukoco, menyembunyikan kepiluan atas ucapan menohok putranya.Perlahan pelukan mereka merenggang. "Kalau begitu, Ibu duluan, ya. Istirahatlah setelah ini," ujar Bu Sukoco yang diangguki oleh Syakila.Kemudian orang tua itu berbalik dan meninggalkan gadis berparas cantik dan kalem tersebut di warung dengan perasaan pilu.***Malam menjelang. Syakila baru saja menyelesaikan live-nya lebih cepat dari biasanya.Konsentrasi wanita yang sudah memakai piyama itu terbelah. Entah apa yang ia pikirkan. Yang jelas hatinya terasa hampa. Apalagi jumlah penonton dan sawerannya semakin menurun tiap malamnya.Malam semakin larut. Namun, rasa kantuknya belum juga hadir, membuat Syakila tak juga terlelap meski berulang kali mencoba untuk menyatukan kelopak matanya.Kejenuhan mulai menghinggapi. Gadis itu kembali menghidupkan ponsel untuk sekedar membuang waktu.Membuka aplikasi chat berwarna hijau, ia bermaksud menghapus pesan-pes
"Jangan---Bu."Terlambat. Bu Sukoca sudah terlebih dahulu memegang handphone miliknya."Aduh, Ibu gak bisa baca, Sya. Lupa pakai kaca mata." Bu Sukoco tertawa sambil memandang layar handphone di tangannya.Mendengar itu, Syakila menghembuskan napas lega."Lagian, itu bukan dari seseorang yang mau nawarin endorse, Bu. Cuma orang gak penting," ujarnya."Kan siapa tahu aja, Sya. Ibu pengen lihat kamu sukses dan maju." "Aamiin, Bu. Do'akan saja, ya.""Apa Ibu promosikan akun kamu sama temen-temen arisan ibu aja ya, Sya? Temen-temen Ibu ada yang punya usaha tas, kosmetik, sendal, sepatu. Yang usaha berlian juga ada. Gimana?"Syakila nampak tersenyum simpul. Ia sama sekali tidak tertarik dengan penawaran itu."Eeeh, malah senyum doang. Kamu setuju 'kan?" Ibu dari Devan itu kembali bertanya, sebab reaksi lawan bicaranya terkesan biasa saja.Padahal orang tua itu berharap Syakila akan antusias seperti dirinya."Gak usah, Bu. Saya tidak begitu tertarik. Lagian, saya cuma iseng aja main toktok
Dikira Gadis Kampungan Ternyata Sultan 15.TerorSyakila terpaksa menyetujui permintaan Kamil untuk berbicara empat mata. Wanita itu berpikir untuk menyelesaikan semuanya sekarang. Lagi pula, Kamil pasti akan kembali datang kalau ia tak menanggapinya."Aku minta maaf, Sya. Sungguh. Aku terpaksa menyetujui pertunangan itu karena mama mengancam akan bunuh diri. Aku tak ada pilihan lain saat itu. Kamu mau maafin aku 'kan?" ucap Kamil mengiba.Lelaki itu ingin kembali merajut asmara dengan wanita yang telah ia sakiti.Syakila bergeming. Jika dulu, ia akan langsung tersenyum manis ketika Kamil meminta maaf. Namun, kali ini berbeda.Rasa yang pernah gadis itu miliki untuk pria di depannya itu telah terhempas, bersamaan dengan belati tajam yang lelaki itu cabut setelah menghujam hatinya begitu dalam."Sya ...." Kamil memanggilnya lembut. Tangan pria itu terulur hendak memegang jemari Syakila.Tak sampai menempel sempurna, Syakila dengan cepat menarik tangannya.Gadis itu lalu tersenyum memper
Bamantara segera memanggil dokter. Sementara Sukoco, Amber dan Devan berdiri di sisi ranjang persalinan Syakila."Silakan menunggu di luar. Kami akan segera melakukan tindakan. Cukup suaminya saja yang berada di sini," ucap dokter sesaat setelah ia memeriksa pembukaan Syakila yang sudah genap."Baik, Dok." Mereka semua keluar, menyisakan Devan yang gemetar menemani Syakila.Dibantu beberapa perawat, dokter perempuan spesialis kandungan mengarahkan Syakila untuk mengatur napas.Suara erangan Syakila terus menggema di ruang bersalin. Devan tidak melepaskan genggaman tangannya, matanya memerah, dan hatinya penuh doa yang tak putus. Keringat deras membasahi dahi Syakila, tetapi semangatnya tak tergoyahkan."Sayang, kamu kuat. Sebentar lagi selesai," bisik Devan, suaranya bergetar menahan rasa cemas yang menyelubungi hatinya.Dokter memberi isyarat kepada Syakila untuk kembali mendorong dengan tenaga terakhir. "Ayo, Bu, sekali lagi! Tarik napas dalam dan dorong sekuat tenaga!"Dengan satu
Mendengar teriakkan Renata, seketika membuat Devan dan ibunya panik. Sementara dokter segera mengambil tindakan dengan memberikan obat penenang. Terpaksa hal itu harus dilakukan kembali karena keadaan Renata yang belum bisa stabil mengontrol dirinya.Perlahan tapi pasti, teriakan Renata melemah dan akhirnya dia terbaring dengan mata terpejam di tempat tidur."Kira-kira, apa Renata bisa sembuh, Dok?" tanya Sukoco setelah mereka berada di luar ruangan."Semua kemungkinan tetap ada, Bu. Kita hanya bisa berusaha, selebihnya Tuhan yang akan menentukan," sahut dokter."Lakukan yang terbaik untuk Renata, Dok. Saya serahkan pada tim dokter di sini sembari membantu dengan doa," timpal Devan."Tentu, kami akan melakukan yang terbaik untuk pasien.""Terima kasih. Kalau begitu, kami pamit dulu, Dok. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk menghubungi saya.""Baik, Pak Devan. Terima kasih kembali."Kemudian mereka berpisah di lorong yang berbeda tujuan. Devan dan Sukoco berjalan pulang, sementara
Suasana mendadak sunyi seakan menunggu jawaban Devan. Entah karena memang ingin mengetahui kabar Renata, atau karena bingung dengan reaksi Devan yang berubah mimik ketika ibunya bertanya, semua yang duduk lesehan di ruang tengah menatapnya.Menghembuskan napas panjang, Devan pun akhirnya menjawab setelah beberapa saat terdiam, "Renata sekarang berada di rumah sakit, Bu. Keadaannya tidak baik-baik saja.""Innalillahi ... Apa dia sakit di penjara?" Dengan keterkejutan yang tak dapat disembunyikan, Sukoco kembali bertanya."Devan juga kurang tahu, Bu. Rencananya besok Devan akan menjenguk untuk melihat keadaannya. Semoga dia baik-baik saja.""Kasihan sekali dia. Lalu, apakah Rosa tahu kalau Renata sakit?""Sepertinya belum, karena Tante Rosa sudah lama pindah dan Devan tidak tahu tempat tinggalnya yang baru."Sukoco mendesah pelan. Rasa iba seketika menghinggapi mengingat Renata pernah tinggal bersamanya. Meskipun akhir-akhir ini sikap gadis itu melewati batas, tetapi Sukoco tahu bahwa s
"Maafkan aku, Veen. Aku gak tega menyembunyikan dari mereka, terlebih kamu harus melewatinya hanya bersama Mas Devan. Ya, meskipun aku tahu, kalian pasti bisa melewati semuanya," terang Nita menyela ucapan Syakila.Sahabatnya itu benar-benar tak tega saat menjenguknya beberapa waktu lalu di rumah sakit, sehingga keceplosan bilang pada Bamantara saat bertemu di butik. Nita pikir, dengan adanya do'a dari keluarganya, mungkin bisa mengurangi rasa sakit Syakila."Jangan salahkan Nita, Nak. Kita yang memaksanya untuk bicara," timpal Bamantara, memandang cucu angkatnya dengan sendu. Rasanya tak tega melihat wanita itu diuji terus menerus sejak dulu. Walaupun cuma cucu angkat, tapi Bamantara benar-benar menyayanginya."Lagian, kenapa kamu menyembunyikannya dari kami, hem?" tanya Amber sembari mengusap kepala Syakila.Istri dari Devan itu hanya menunduk. "Kila hanya tidak ingin terus menerus menambah beban pikiran kalian," lirihnya."Apa yang kamu katakan, Sayang. Kamu ini bukan beban, tapi k
Devan meletakkan ponselnya di meja dengan tangan bergetar. Napasnya terasa berat, dan pikirannya dipenuhi kekhawatiran yang membingungkan. Wajahnya pucat, membuat Syakila semakin cemas.“Mas, apa yang mereka katakan?” tanyanya dengan nada panik.Devan menghela napas panjang sebelum menjawab. “Polisi bilang... Renata dalam kondisi buruk di penjara. Dia sering membuat keributan, dan itu membuat dia harus ditempatkan di ruang isolasi dan kemungkinan akan dipindahkan ke tahanan rumah sakit kejiwaan. Mereka minta aku datang.”“Astaghfirullah. Kenapa bisa begitu, Mas?" ucap Syakila tak kalah terkejut."Mas juga gak tahu, Sayang. Mas akan telepon Pak Herman saja untuk mengurusnya."Syakila tertegun sejenak. Ia tak tega melihat suaminya dilanda banyak masalah dan tanggung jawab. Andai bisa, ia ingin sekali membantu, tetapi kondisinya yang lemah mungkin hanya akan memperburuk keadaan. Untuk itu Syakila ingin mengurangi beban pikiran suaminya dengan pulang dan istirahat di Jakarta saja supaya l
Renata duduk di sudut ruangan. Tubuhnya yang dulu anggun kini hanya menyisakan bayang-bayang kesengsaraan dengan rambutnya yang kusut."Mas Devan... tolong aku," lirihnya, hampir tak terdengar. Namun, suara itu terus diulang-ulang, seolah menjadi satu-satunya pegangan di tengah kegelapan.Para narapidana lain di sel besar itu menatapnya dengan berbagai ekspresi. Ada yang iba, tapi lebih banyak yang mencemooh. Salah satu dari mereka, wanita bertubuh kekar dengan tato di lehernya, mendekat sambil menyeringai."Kau pikir orang yang kau sebut namanya itu akan menyelamatkanmu? Hah! Kau ini cuma boneka yang sudah dibuang. Lihat dirimu sekarang!" Wanita itu meludahi tanah, matanya memandang Renata dengan jijik.Renata memejamkan matanya, mencoba mengabaikan ejekan itu. Tapi pikirannya tak bisa berhenti memutar ulang ingatan tentang Devan. Pria itu—satu-satunya yang dia anggap mampu menyelamatkannya dari tempat ini."Mas Devan pasti akan datang," gumam Renata. Suaranya nyaris tak terdengar, t
Meski sudah berbulan-bulan tak sadarkan diri, kakak kandung almarhum Kamil itu masih sangat mengenali pria gagah di hadapannya. Pria yang dulu begitu didambanya, tetapi pada akhirnya dia harus merelakan ia berjodoh dengan yang lain meskipun awalnya penuh ketidakrelaan."Syukurlah akhirnya kamu sadar, Yum. Bagaimana perasaanmu sekarang? Apa yang kamu keluhkan?" Devan memberondong Yumna dengan pertanyaan setelah dokter selesai memeriksanya.Tak menjawab, Yumna menyunggingkan senyum tipis. Dokter kemudian menjelaskan bahwa kondisi Yumna sudah lebih baik, hanya saja ada beberapa hal yang ingin dokter sampaikan pada Devan tetapi tanpa sepengetahuan Yumna. Melalui sebuah kode, dokter itu menyuruh Devan untuk ikut dengannya ke ruangan."Kamu istirahatlah, aku keluar dulu," ucap Devan. Yumna mengangguk lemah.***"Maaf sebelumnya, apakah Anda suami dari pasien?" tanya dokter ketika mereka sudah berada di ruangan konsultasi."Bukan, Dok. Saya temannya. Atas permintaan almarhum adiknya, saya ya
Di lorong rumah sakit, Devan duduk termenung di salah satu bangku, menggenggam secangkir kopi yang sudah dingin. Pikirannya berkelana, memikirkan dua wanita yang kini menjadi tanggung jawabnya—Sundari dan Yumna. Pesan terakhir Kamil masih terngiang jelas dalam ingatannya."Tolong jaga mamaku yang sedang struk, juga Kak Yumna yang masih koma."Suara langkah kaki membuat Devan menoleh. Perawat yang tadi menangani Sundari datang menghampirinya."Pak Devan, saya sudah memeriksa keadaan Bu Sundari. Sejauh ini stabil, tapi... sepertinya beliau sangat berharap Pak Kamil datang," ujar perawat itu hati-hati.Devan mengangguk lemah. "Saya mengerti. Saya akan mencari waktu yang tepat untuk bicara dengannya."Perawat itu ragu sejenak sebelum melanjutkan. "Saya yakin Pak Kamil ingin yang terbaik untuk keluarganya. Tapi beban ini tentu tidak mudah bagi Anda. Jika butuh bantuan, kami di sini siap mendukung."Devan tersenyum tipis, merasa sedikit terhibur oleh perhatian perawat itu. "Terima kasih. Sa
Beberapa saat kemudian, perawat yang tadi berjanji kembali memasuki ruangan. Wajahnya tampak sedikit tegang, tapi dia mencoba tersenyum agar tidak menambah kecemasan pasiennya."Ibu, saya sudah coba hubungi Pak Kamil," katanya lembut.Sundari, yang terbaring di tempat tidur, berusaha menggerakkan bibirnya untuk bertanya. Namun, hanya gumaman lemah yang keluar. Perawat itu segera mendekat, menggenggam tangan Sundari dengan hati-hati."Pak Kamil sedang sibuk, Bu. Tapi beliau titip pesan bahwa beliau sangat sayang sama Ibu dan akan segera datang jika urusannya selesai," lanjutnya dengan suara penuh kebohongan yang terdengar begitu tulus.Mata Sundari sedikit berkaca-kaca. Meskipun tidak bisa berkata-kata, ia mencoba menunjukkan rasa terima kasih dengan menggenggam lemah tangan perawat tersebut."Tenang saja, Bu. Saya akan pastikan Ibu tetap sehat supaya bisa bertemu beliau nanti," ucap perawat itu sambil menyeka sudut matanya yang mulai basah.Namun di dalam hatinya, perawat itu merasa s