"Lepasin! Aira gak mau sama Tante!" Teriakan gadis cilik itu berhasil menyadarkan Yumna dari lamunan. Tangan yang semula bersiap membopong anak itu kembali ditarik.'Untunglah itu cuma bayanganku saja. Entah apa jadinya kalau sampai aku mendorong wanita itu ke kolam. Bisa-bisa Devan semakin menjauh dariku,' batin Yumna.Wanita berkulit putih itu menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan bayangan mengerikan yang sempat terlintas di pikirannya."Kamu kenapa?" tanya Devan bingung melihat tingkah wanita di sampingnya."Eh. Enggak! Gak papa, kok.""Dasar aneh!" sambung Devan."Huffhh ...." Kakak dari Kamil itu menghembuskan napas lega. Setidaknya ia berhasil menahan diri untuk tidak terlihat jahat di depan pria incarannya."Eum, kamu gak mau kenalin aku sama calon istri kamu, Mas?" tanya Yumna. Wanita itu mencoba mengorek informasi tentang perempuan yang masih menggendong Aira.Seketika bola mata Syakila melebar. "Untuk apa?" sahut Devan."Ya gak kenapa-kenapa, sih. Cuma, masa iya aku
"Kalian kenapa?" tanya Kamil melihat wajah dua wanita yang baru pulang itu ditekuk."Kepala Mama pusing." Bu Sundari menimpali ucapan sang putra seraya mengurut pelipisnya, duduk bersandar pada sofa ruang tamu mereka.Beberapa menit lalu mereka akhirnya pulang membawa kobaran api yang masih mengebul di hati."Ada apa, sih? Mama sakit?" Kamil masih tak mengerti. Pasalnya tadi pagi mereka begitu antusias akan menghadiri pesta ulang tahun anak dari lelaki incaran kakaknya."Ambilkan Mama air putih, Nak," perintah sang mama.Dengan cekatan, pemuda yang menggunakan baju santai itu mengambil gelas beserta air putih untuk mamanya."Ini, Ma.""Terima kasih, Nak."Kemudian Kamil mendekati sang Kakak yang juga tengah duduk pada kursi dengan keadaan tak kalah kusut."Kak. Ada apa, sih?!" bisik Kamil kembali bertanya untuk membuang penasaran."Tahulah!" sahut Yumna."Bukannya kalian habis menghadiri pesta ulang tahun anak lelaki pujaanmu? Harusnya kalian seneng dong. Ini malah kusut begitu.""Se
"Aku berangkat dulu!"Tak berniat menanggapi perkataan ibunya, Devan memilih untuk berangkat ke kantor. Tak peduli sarapannya masih utuh di piring. Maupun anaknya yang mungkin saja tengah bersedih saat ini.Hatinya terlalu sakit jika ada yang menyebutkan nama Syakila. Adegan pelukan itu kembali terlihat bagai film yang terus diputar berulang-ulang dalam benaknya.Andai ia tak mempunyai rasa lebih pada gadis itu, mungkin rasa perih tak lagi ia rasakan.***Di ruang keluarga, Yumna dan Bu Sundari tengah menyusun rencana."Yumna yakin rencana kita akan berhasil, Ma.""Kamu benar. Tak apalah menumbalkan Kamil sementara waktu.""Mama tenang saja. Gak akan lama kok. Setelah wanita itu berhasil kita singkirkan, Kamil segera kita jauhkan darinya. Lagian, Yumna juga gak rela, Ma, kalau Kamil kepincut lagi sama cewek kampung itu!""Ya sudah. Nanti kalau Kamil sudah pulang, Mama yang akan ngomong. Tugasmu mengumpulkan bukti sebanyak mungkin. Oke!""Siap, Ma. Tenang saja."Lalu keduanya tertawa p
"Gak papa, Bu. Saya mengerti," ucap Syakila seraya membalas pelukan Bu Sukoco, menyembunyikan kepiluan atas ucapan menohok putranya.Perlahan pelukan mereka merenggang. "Kalau begitu, Ibu duluan, ya. Istirahatlah setelah ini," ujar Bu Sukoco yang diangguki oleh Syakila.Kemudian orang tua itu berbalik dan meninggalkan gadis berparas cantik dan kalem tersebut di warung dengan perasaan pilu.***Malam menjelang. Syakila baru saja menyelesaikan live-nya lebih cepat dari biasanya.Konsentrasi wanita yang sudah memakai piyama itu terbelah. Entah apa yang ia pikirkan. Yang jelas hatinya terasa hampa. Apalagi jumlah penonton dan sawerannya semakin menurun tiap malamnya.Malam semakin larut. Namun, rasa kantuknya belum juga hadir, membuat Syakila tak juga terlelap meski berulang kali mencoba untuk menyatukan kelopak matanya.Kejenuhan mulai menghinggapi. Gadis itu kembali menghidupkan ponsel untuk sekedar membuang waktu.Membuka aplikasi chat berwarna hijau, ia bermaksud menghapus pesan-pes
"Jangan---Bu."Terlambat. Bu Sukoca sudah terlebih dahulu memegang handphone miliknya."Aduh, Ibu gak bisa baca, Sya. Lupa pakai kaca mata." Bu Sukoco tertawa sambil memandang layar handphone di tangannya.Mendengar itu, Syakila menghembuskan napas lega."Lagian, itu bukan dari seseorang yang mau nawarin endorse, Bu. Cuma orang gak penting," ujarnya."Kan siapa tahu aja, Sya. Ibu pengen lihat kamu sukses dan maju." "Aamiin, Bu. Do'akan saja, ya.""Apa Ibu promosikan akun kamu sama temen-temen arisan ibu aja ya, Sya? Temen-temen Ibu ada yang punya usaha tas, kosmetik, sendal, sepatu. Yang usaha berlian juga ada. Gimana?"Syakila nampak tersenyum simpul. Ia sama sekali tidak tertarik dengan penawaran itu."Eeeh, malah senyum doang. Kamu setuju 'kan?" Ibu dari Devan itu kembali bertanya, sebab reaksi lawan bicaranya terkesan biasa saja.Padahal orang tua itu berharap Syakila akan antusias seperti dirinya."Gak usah, Bu. Saya tidak begitu tertarik. Lagian, saya cuma iseng aja main toktok
Dikira Gadis Kampungan Ternyata Sultan 15.TerorSyakila terpaksa menyetujui permintaan Kamil untuk berbicara empat mata. Wanita itu berpikir untuk menyelesaikan semuanya sekarang. Lagi pula, Kamil pasti akan kembali datang kalau ia tak menanggapinya."Aku minta maaf, Sya. Sungguh. Aku terpaksa menyetujui pertunangan itu karena mama mengancam akan bunuh diri. Aku tak ada pilihan lain saat itu. Kamu mau maafin aku 'kan?" ucap Kamil mengiba.Lelaki itu ingin kembali merajut asmara dengan wanita yang telah ia sakiti.Syakila bergeming. Jika dulu, ia akan langsung tersenyum manis ketika Kamil meminta maaf. Namun, kali ini berbeda.Rasa yang pernah gadis itu miliki untuk pria di depannya itu telah terhempas, bersamaan dengan belati tajam yang lelaki itu cabut setelah menghujam hatinya begitu dalam."Sya ...." Kamil memanggilnya lembut. Tangan pria itu terulur hendak memegang jemari Syakila.Tak sampai menempel sempurna, Syakila dengan cepat menarik tangannya.Gadis itu lalu tersenyum memper
"Siapa sih dia? Bagaimana bisa foto-foto ini ... Ya Allah, cobaan apalagi ini ..." gumam Syakila.Tak menunggu waktu lama, gadis itu segera menyentuh gambar gagang telepon di pojok atas nomor tersebut.Berdering, tapi tak ada jawaban. [Apa maksud Anda mengirim gambar-gambar tidak jelas itu dan mengatakan hal yang tidak-tidak tentang saya? Anda siapa?] Send.Syakila memutuskan untuk membalas pesan itu. Meskipun ia tidak yakin akan mendapat jawaban yang tepat.Satu menit, dua menit, hingga satu jam lebih pesannya masih tak ada tanggapan, padahal centangnya sudah berubah biru.Tak ingin ambil pusing, akhirnya gadis itu memilih untuk mengabaikannya. Toh banyak pasang mata yang menyaksikan kejadian yang sebenarnya kemarin.Demi bisa mengalihkan pikiran yang semrawut, Syakila melangsungkan live di platform kesayangannya.Namun, kali ini bukan dongeng yang sebagai bahannya. Berbekal ketrampilan menggambar yang dimilikinya, ia mencoba hal yang berbeda."Hai, guys ... Coba tebak, aku mau bik
DIKIRA Gadis kampungan ternyata sultan 16"Kenapa Ibu tertawa?" Devan bertanya dengan nada tak mengerti."Saran Ibu, sebaiknya kalian segera menikah saja," usul Bu Sukoco sesaat setelah tawanya mereda."Enggak mau!""Boleh."Lagi-lagi Devan dan Syakila bersuara secara serempak. Meskipun ucapan dan maksud mereka tidaklah sama.Bu Sukoco menanggapi kata yang meluncur dari anaknya terlebih dahulu. "Kamu serius mau nikah sama Syakila?" tanyanya.Dengan santai lelaki itu menjawab, "Dengan syarat, dia harus bersikap baik padaku.""Tidak. Saya belum mau menikah dengan siapapun. Masih banyak hal yang ingin saya capai. Lagian, kita tidak ada hubungan apapun, Bu." Dengan tegas Syakila menyanggah ucapan Devan maupun Bu Sukoco."Tidak masalah, saya akan menunggu.""Maksud Mas Devan?""Katakan, pada siapa ibu saya harus melamarmu?" tegas Devan tanpa beban."Kamu serius, Nak?" Bu Sukoco nampak tak percaya.Pasalnya, bukan itu tujuan awal mereka mendatangi Syakila.Adalah keinginan Aira, gadis cili
Bamantara segera memanggil dokter. Sementara Sukoco, Amber dan Devan berdiri di sisi ranjang persalinan Syakila."Silakan menunggu di luar. Kami akan segera melakukan tindakan. Cukup suaminya saja yang berada di sini," ucap dokter sesaat setelah ia memeriksa pembukaan Syakila yang sudah genap."Baik, Dok." Mereka semua keluar, menyisakan Devan yang gemetar menemani Syakila.Dibantu beberapa perawat, dokter perempuan spesialis kandungan mengarahkan Syakila untuk mengatur napas.Suara erangan Syakila terus menggema di ruang bersalin. Devan tidak melepaskan genggaman tangannya, matanya memerah, dan hatinya penuh doa yang tak putus. Keringat deras membasahi dahi Syakila, tetapi semangatnya tak tergoyahkan."Sayang, kamu kuat. Sebentar lagi selesai," bisik Devan, suaranya bergetar menahan rasa cemas yang menyelubungi hatinya.Dokter memberi isyarat kepada Syakila untuk kembali mendorong dengan tenaga terakhir. "Ayo, Bu, sekali lagi! Tarik napas dalam dan dorong sekuat tenaga!"Dengan satu
Mendengar teriakkan Renata, seketika membuat Devan dan ibunya panik. Sementara dokter segera mengambil tindakan dengan memberikan obat penenang. Terpaksa hal itu harus dilakukan kembali karena keadaan Renata yang belum bisa stabil mengontrol dirinya.Perlahan tapi pasti, teriakan Renata melemah dan akhirnya dia terbaring dengan mata terpejam di tempat tidur."Kira-kira, apa Renata bisa sembuh, Dok?" tanya Sukoco setelah mereka berada di luar ruangan."Semua kemungkinan tetap ada, Bu. Kita hanya bisa berusaha, selebihnya Tuhan yang akan menentukan," sahut dokter."Lakukan yang terbaik untuk Renata, Dok. Saya serahkan pada tim dokter di sini sembari membantu dengan doa," timpal Devan."Tentu, kami akan melakukan yang terbaik untuk pasien.""Terima kasih. Kalau begitu, kami pamit dulu, Dok. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk menghubungi saya.""Baik, Pak Devan. Terima kasih kembali."Kemudian mereka berpisah di lorong yang berbeda tujuan. Devan dan Sukoco berjalan pulang, sementara
Suasana mendadak sunyi seakan menunggu jawaban Devan. Entah karena memang ingin mengetahui kabar Renata, atau karena bingung dengan reaksi Devan yang berubah mimik ketika ibunya bertanya, semua yang duduk lesehan di ruang tengah menatapnya.Menghembuskan napas panjang, Devan pun akhirnya menjawab setelah beberapa saat terdiam, "Renata sekarang berada di rumah sakit, Bu. Keadaannya tidak baik-baik saja.""Innalillahi ... Apa dia sakit di penjara?" Dengan keterkejutan yang tak dapat disembunyikan, Sukoco kembali bertanya."Devan juga kurang tahu, Bu. Rencananya besok Devan akan menjenguk untuk melihat keadaannya. Semoga dia baik-baik saja.""Kasihan sekali dia. Lalu, apakah Rosa tahu kalau Renata sakit?""Sepertinya belum, karena Tante Rosa sudah lama pindah dan Devan tidak tahu tempat tinggalnya yang baru."Sukoco mendesah pelan. Rasa iba seketika menghinggapi mengingat Renata pernah tinggal bersamanya. Meskipun akhir-akhir ini sikap gadis itu melewati batas, tetapi Sukoco tahu bahwa s
"Maafkan aku, Veen. Aku gak tega menyembunyikan dari mereka, terlebih kamu harus melewatinya hanya bersama Mas Devan. Ya, meskipun aku tahu, kalian pasti bisa melewati semuanya," terang Nita menyela ucapan Syakila.Sahabatnya itu benar-benar tak tega saat menjenguknya beberapa waktu lalu di rumah sakit, sehingga keceplosan bilang pada Bamantara saat bertemu di butik. Nita pikir, dengan adanya do'a dari keluarganya, mungkin bisa mengurangi rasa sakit Syakila."Jangan salahkan Nita, Nak. Kita yang memaksanya untuk bicara," timpal Bamantara, memandang cucu angkatnya dengan sendu. Rasanya tak tega melihat wanita itu diuji terus menerus sejak dulu. Walaupun cuma cucu angkat, tapi Bamantara benar-benar menyayanginya."Lagian, kenapa kamu menyembunyikannya dari kami, hem?" tanya Amber sembari mengusap kepala Syakila.Istri dari Devan itu hanya menunduk. "Kila hanya tidak ingin terus menerus menambah beban pikiran kalian," lirihnya."Apa yang kamu katakan, Sayang. Kamu ini bukan beban, tapi k
Devan meletakkan ponselnya di meja dengan tangan bergetar. Napasnya terasa berat, dan pikirannya dipenuhi kekhawatiran yang membingungkan. Wajahnya pucat, membuat Syakila semakin cemas.“Mas, apa yang mereka katakan?” tanyanya dengan nada panik.Devan menghela napas panjang sebelum menjawab. “Polisi bilang... Renata dalam kondisi buruk di penjara. Dia sering membuat keributan, dan itu membuat dia harus ditempatkan di ruang isolasi dan kemungkinan akan dipindahkan ke tahanan rumah sakit kejiwaan. Mereka minta aku datang.”“Astaghfirullah. Kenapa bisa begitu, Mas?" ucap Syakila tak kalah terkejut."Mas juga gak tahu, Sayang. Mas akan telepon Pak Herman saja untuk mengurusnya."Syakila tertegun sejenak. Ia tak tega melihat suaminya dilanda banyak masalah dan tanggung jawab. Andai bisa, ia ingin sekali membantu, tetapi kondisinya yang lemah mungkin hanya akan memperburuk keadaan. Untuk itu Syakila ingin mengurangi beban pikiran suaminya dengan pulang dan istirahat di Jakarta saja supaya l
Renata duduk di sudut ruangan. Tubuhnya yang dulu anggun kini hanya menyisakan bayang-bayang kesengsaraan dengan rambutnya yang kusut."Mas Devan... tolong aku," lirihnya, hampir tak terdengar. Namun, suara itu terus diulang-ulang, seolah menjadi satu-satunya pegangan di tengah kegelapan.Para narapidana lain di sel besar itu menatapnya dengan berbagai ekspresi. Ada yang iba, tapi lebih banyak yang mencemooh. Salah satu dari mereka, wanita bertubuh kekar dengan tato di lehernya, mendekat sambil menyeringai."Kau pikir orang yang kau sebut namanya itu akan menyelamatkanmu? Hah! Kau ini cuma boneka yang sudah dibuang. Lihat dirimu sekarang!" Wanita itu meludahi tanah, matanya memandang Renata dengan jijik.Renata memejamkan matanya, mencoba mengabaikan ejekan itu. Tapi pikirannya tak bisa berhenti memutar ulang ingatan tentang Devan. Pria itu—satu-satunya yang dia anggap mampu menyelamatkannya dari tempat ini."Mas Devan pasti akan datang," gumam Renata. Suaranya nyaris tak terdengar, t
Meski sudah berbulan-bulan tak sadarkan diri, kakak kandung almarhum Kamil itu masih sangat mengenali pria gagah di hadapannya. Pria yang dulu begitu didambanya, tetapi pada akhirnya dia harus merelakan ia berjodoh dengan yang lain meskipun awalnya penuh ketidakrelaan."Syukurlah akhirnya kamu sadar, Yum. Bagaimana perasaanmu sekarang? Apa yang kamu keluhkan?" Devan memberondong Yumna dengan pertanyaan setelah dokter selesai memeriksanya.Tak menjawab, Yumna menyunggingkan senyum tipis. Dokter kemudian menjelaskan bahwa kondisi Yumna sudah lebih baik, hanya saja ada beberapa hal yang ingin dokter sampaikan pada Devan tetapi tanpa sepengetahuan Yumna. Melalui sebuah kode, dokter itu menyuruh Devan untuk ikut dengannya ke ruangan."Kamu istirahatlah, aku keluar dulu," ucap Devan. Yumna mengangguk lemah.***"Maaf sebelumnya, apakah Anda suami dari pasien?" tanya dokter ketika mereka sudah berada di ruangan konsultasi."Bukan, Dok. Saya temannya. Atas permintaan almarhum adiknya, saya ya
Di lorong rumah sakit, Devan duduk termenung di salah satu bangku, menggenggam secangkir kopi yang sudah dingin. Pikirannya berkelana, memikirkan dua wanita yang kini menjadi tanggung jawabnya—Sundari dan Yumna. Pesan terakhir Kamil masih terngiang jelas dalam ingatannya."Tolong jaga mamaku yang sedang struk, juga Kak Yumna yang masih koma."Suara langkah kaki membuat Devan menoleh. Perawat yang tadi menangani Sundari datang menghampirinya."Pak Devan, saya sudah memeriksa keadaan Bu Sundari. Sejauh ini stabil, tapi... sepertinya beliau sangat berharap Pak Kamil datang," ujar perawat itu hati-hati.Devan mengangguk lemah. "Saya mengerti. Saya akan mencari waktu yang tepat untuk bicara dengannya."Perawat itu ragu sejenak sebelum melanjutkan. "Saya yakin Pak Kamil ingin yang terbaik untuk keluarganya. Tapi beban ini tentu tidak mudah bagi Anda. Jika butuh bantuan, kami di sini siap mendukung."Devan tersenyum tipis, merasa sedikit terhibur oleh perhatian perawat itu. "Terima kasih. Sa
Beberapa saat kemudian, perawat yang tadi berjanji kembali memasuki ruangan. Wajahnya tampak sedikit tegang, tapi dia mencoba tersenyum agar tidak menambah kecemasan pasiennya."Ibu, saya sudah coba hubungi Pak Kamil," katanya lembut.Sundari, yang terbaring di tempat tidur, berusaha menggerakkan bibirnya untuk bertanya. Namun, hanya gumaman lemah yang keluar. Perawat itu segera mendekat, menggenggam tangan Sundari dengan hati-hati."Pak Kamil sedang sibuk, Bu. Tapi beliau titip pesan bahwa beliau sangat sayang sama Ibu dan akan segera datang jika urusannya selesai," lanjutnya dengan suara penuh kebohongan yang terdengar begitu tulus.Mata Sundari sedikit berkaca-kaca. Meskipun tidak bisa berkata-kata, ia mencoba menunjukkan rasa terima kasih dengan menggenggam lemah tangan perawat tersebut."Tenang saja, Bu. Saya akan pastikan Ibu tetap sehat supaya bisa bertemu beliau nanti," ucap perawat itu sambil menyeka sudut matanya yang mulai basah.Namun di dalam hatinya, perawat itu merasa s