Seperti kesetanan, Dela meneruskan aksinya.Kalau dibiarkan, semua dagangan Bu Sukoco pasti menjadi korban kekesalan wanita itu.Syakila segera bertindak. Tak peduli dengan wajah dan bagian hijab serta bajunya yang basah, dia mencekal pergelangan tangan Dela."Aku bilang stop!" seru Syakila menekan, lalu menghempaskan tangan Dela dengan kasar."Owh, berani kamu ya!" Dela pun tak mau kalah. Dia menyeret Syakila ke kerumunan orang di pasar yang sejak tadi hanya jadi penonton."Denger semuanya! Dia." Dela menunjuk muka Syakila. "Wanita sok alim yang bersembunyi dibalik jilbabnya ternyata adalah seorang perebut tunangan orang! Wanita rendahan, murahan, yang rela merayu pria tak peduli orang itu sudah punya pasangan atau belum yang penting ambisinya terpenuhi. Cih!"Dengan lantangnya wanita yang memakai dress pendek itu berteriak."Lepas! Jangan fitnah, kamu!" Syakila menyangkalnya sembari melepas paksa cengkeraman Dela.Kasak kusuk mulai terdengar.Dela mengibaskan rambutnya. Menyilangka
"Apa yang telah terjadi, Sya? Kata pedagang sebelah, tadi ada perempuan marah-marah di sini. Apa benar begitu? Ini, kenapa hijab dan bajumu basah? Apa dia menyakitimu?" Bu Sukoco langsung mencecar Syakila, saat baru saja datang setelah menyelesaikan urusannya.Orang tua itu nampak mengkhawatirkan karyawannya yang kini sedang duduk, setelah baru saja selesai membereskan barang dagangan yang berantakan. Kedua tangannya memegang pundak gadis itu, memindai seluruh wajah dan bagian lainnya, memastikan tidak ada luka lecet sedikitpun di sana.Seperti biasa, sebelum menjawab pertanyaan bernada cemas dari Bu Sukoco, Syakila tersenyum menenangkan. "Tidak terjadi apa-apa kok, Bu. Cuma salah paham saja.""Salah paham apa? Sampai harus menyirammu segala." Bu Sukoco nampak geram.Wanita yang mempekerjakan Syakila itu sebenarnya sudah diceritakan tentang bagaimana Dela mencemooh dan menghina Syakila di depan umum, yang ternyata masih seputaran Kamil sebagai biang keroknya."Biasalah, Bu. Ada yang c
Cukup lama Syakila terpaku memandang cincin di tangan Devan yang masih berlutut. Hingga akhirnya gadis itu tersentak, saat sebuah tepukan lembut mendarat di pundaknya.Syakila menoleh. Terlihat Bu Sukoco memandang penuh harap di sana."Jawablah dari hatimu, Nak," ucap Bu Sukoco lembut.Syakila kembali memandang cincin itu. Lalu beralih pada sang empunya yang masih setia menunggu jawaban darinya.'Ya Tuhan ... Apakah ini nyata? Aku tidak sedang bermimpi bukan?' batinnya tak percaya."Syakila ... Will you marry me?" Devan kembali bertanya membuat Syakila semakin tak karuan.Gadis itu belum mempunyai rasa apa-apa terhadap lelaki tampan di depannya itu. Namun, jika harus terang-terangan menolak rasanya tidak enak. Apalagi, tidak ada alasan untuk dirinya menolak pesona pengusaha sukses yang gagah dan tampan selain karena belum adanya rasa cinta.Tapi, bukankah cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu? Saat pikiran Syakila sedang berkecamuk, mendadak suasana menjadi ramai. Riuh tepuk ta
Di dalam kamarnya, Kamil tengah memandang foto Syakila yang masih tersimpan rapi di galeri ponselnya. Dengan pose memiringkan kepala dan tersenyum, Syakila sungguh terlihat manis dan cantik.Apalagi hijab yang gadis itu kenakan semakin membuatnya mempesona.Bukan ia tak mendengar gedoran serta teriakan mama dan kakaknya, ia hanya ingin menyendiri saat ini."Syakila, kenapa semudah itu kamu melupakanku? Apakah luka di hatimu begitu dalam? Maafkan aku, Sya. Aku menyesal telah mengkhianatimu. Ternyata, sesakit ini mendengar kau akan bersanding dengan laki-laki lain," gumam Kamil seraya memandang foto Syakila."Kenapa aku harus terlambat menyadari bahwa kamulah cintaku. Kamulah yang mengerti aku. Kamulah yang terbaik untukku, Sya. Kenapa kamu tega?""Aaarrggg!!!"Kamil berteriak kencang di dalam kamarnya.Mama serta kakaknya yang masih berada di depan pintu tentu semakin panik mendengar teriakannya. Gedoran mereka semakin kencang. "Kamil. Hei. Kamu kenapa?" teriak Yumna."Ini Mama, Nak. B
"Gimana? Kamu setuju 'kan dengan rencana Kakak?" tanya Yumna.Sang mama yang sejak tadi diam menyaksikan pun dibuat penasaran oleh kedua anaknya itu. Agaknya Ini rencana besar. Dia harus tau, rencana apa yang diusulkan Yumna."Rencana apa sih, Yum? Kasih tahu Mama juga, dong," desaknya.Yumna pada akhirnya memberi tahu rencana itu pada mamanya. Siapa tahu mamanya bisa meyakinkan adiknya untuk menyetujui ide brilian menurut dirinya."Gitu, Ma. Bagus kan ide Yumna?" ucap Yumna setelah selesai berbisik pada sang mama.Wanita yang paling tua di antara mereka tak serta merta mengiyakan hal itu. Resikonya dianggap terlalu besar. Benar kata putranya barusan. Masa depan dan karir Kamil jadi taruhannya."Tapi itu terlalu beresiko, Yum," ujar sang mama."Makanya Kamil harus hati-hati melakukan itu. Kita juga harus membantu dia agar namanya tidak tercoreng, Ma.""Lagian, bukan ini rencana yang kita susun kemarin bersama Dela, Yum. Kalau sampai dia tahu kalau kita bersekongkol dengan Kamil untuk
"Enggak, bukan karena itu---""Becanda, Sayang. Tegang amat mukanya?" Bu Sukoco berkelakar.Ibu dari Devan itu merasa puas telah berhasil mengerjai calon menantunya.Sementara Syakila menarik napas lega. "Syukurlah ... Saya kira Ibu tersinggung dengan ucapan saya.""Enggak 'lah. Ibu bukan tipe mertua yang kayak di sinetron-sinetron itu kok." Diiringi kekehan sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan."Ibu ini, bikin saya jantungan saja.""Maaf ya, Nak. Nanti kita lanjutkan di rumah saja, ya. Sekarang kita mampir ke minimarket duku. Ada yang mau Ibu beli.""Iya, Bu."Taksi online yang ditumpangi mereka pun berhenti sejenak. "Kamu mau ikut Ibu atau tunggu di sini, Sya?" tanya Bu Sukoco ketika mau keluar dari mobil."Ikut, Bu. Siapa tahu Ibu butuh bantuan.""Ya sudah, yuk kita keluar."Mereka pun bersama-sama belanja membeli beberapa cemilan untuk dimakan di rumah nanti.***Di sebuah ruangan kerja, Devan tengah berkutat dengan layar monitor dan setumpuk berkas yang harus ia periksa.
Dikira Gadis Kampungan Ternyata Sultan 23"Halo ... Calon istri," bisik Devan tepat di telinga Syakila.Gadis itu sedang berada di kursi teras sendirian.Syakila yang tengah menunduk, terlonjak. "Mas Devan!""Hmmmm, apa kau merindukanku?""Hah?" Mata Syakila mengerjap heran. "Ap-apa? Maksudku, kapan Mas pulang? Kok saya gak dengar," imbuhnya kikuk."Sejak kamu fokus sama benda itu." Devan menunjuk ponsel Syakila dengan dagunya."Oh ... Eh, berarti sudah lama dong.""Begitulah. Lumayan puas mandangin kamu."Seketika Syakila tersipu."Eum, saya masuk dulu, Mas." Syakila pun beranjak dengan perasaan gugup masuk ke dalam, disusul kemudian oleh Devan di belakangnya.Tanpa menunggu komando, Devan pun berjalan mensejajari gadis yang beberapa waktu lalu ia sematkan cincin di jari manisnya."Daddy ..." Aira berlari gembira menyambut ayahnya.Devan merentangkan kedua tangannya bersiap menangkap tubuh mungil putrinya."Hai, Sayang. Bagaimana harimu?" sapa Devan sesaat setelah mencium gemas pipi
"Beres," ucap Devan. Lalu mengulurkan tangan bermaksud mengembalikan ponsel Syakila padanya. "Nih."Gadis itu pun menyambut, tetapi saat tangannya akan menempel pada ponsel itu, mendadak ponselnya berdering kencang, membuat Devan urung mengembalikan.Ada nama 'Mas Kamil' di layar ponselnya."Mau apalagi dia?" gerutu Devan.Syakila tampak memicingkan matanya ketika mendapati calon suaminya itu menekan tombol reject. Kemudian tangan itu bergerak lincah pada keyboard seperti menulis sesuatu.Sedetik kemudian dering itu kembali terdengar."Kenapa, Mas? Siapa yang menelepon?" tanya Syakila."Nih, Amuba telpon lagi!" jawab Devan sedikit ketus sambil memberikan ponsel Syakila padanya."Amuba?" Syakila mengulang kata sebagai pertanyaan seraya membaca tag si pemanggil di layar.Memang ada nama Amuba yang sedang melakukan panggilan pada ponselnya. Seingatnya, dia tidak pernah memberi nama seperti itu pada nomor siapapun."Kamu boleh mengangkatnya, tapi harus di loudspeaker," perintah Devan."Mem