"Enggak, bukan karena itu---""Becanda, Sayang. Tegang amat mukanya?" Bu Sukoco berkelakar.Ibu dari Devan itu merasa puas telah berhasil mengerjai calon menantunya.Sementara Syakila menarik napas lega. "Syukurlah ... Saya kira Ibu tersinggung dengan ucapan saya.""Enggak 'lah. Ibu bukan tipe mertua yang kayak di sinetron-sinetron itu kok." Diiringi kekehan sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan."Ibu ini, bikin saya jantungan saja.""Maaf ya, Nak. Nanti kita lanjutkan di rumah saja, ya. Sekarang kita mampir ke minimarket duku. Ada yang mau Ibu beli.""Iya, Bu."Taksi online yang ditumpangi mereka pun berhenti sejenak. "Kamu mau ikut Ibu atau tunggu di sini, Sya?" tanya Bu Sukoco ketika mau keluar dari mobil."Ikut, Bu. Siapa tahu Ibu butuh bantuan.""Ya sudah, yuk kita keluar."Mereka pun bersama-sama belanja membeli beberapa cemilan untuk dimakan di rumah nanti.***Di sebuah ruangan kerja, Devan tengah berkutat dengan layar monitor dan setumpuk berkas yang harus ia periksa.
Dikira Gadis Kampungan Ternyata Sultan 23"Halo ... Calon istri," bisik Devan tepat di telinga Syakila.Gadis itu sedang berada di kursi teras sendirian.Syakila yang tengah menunduk, terlonjak. "Mas Devan!""Hmmmm, apa kau merindukanku?""Hah?" Mata Syakila mengerjap heran. "Ap-apa? Maksudku, kapan Mas pulang? Kok saya gak dengar," imbuhnya kikuk."Sejak kamu fokus sama benda itu." Devan menunjuk ponsel Syakila dengan dagunya."Oh ... Eh, berarti sudah lama dong.""Begitulah. Lumayan puas mandangin kamu."Seketika Syakila tersipu."Eum, saya masuk dulu, Mas." Syakila pun beranjak dengan perasaan gugup masuk ke dalam, disusul kemudian oleh Devan di belakangnya.Tanpa menunggu komando, Devan pun berjalan mensejajari gadis yang beberapa waktu lalu ia sematkan cincin di jari manisnya."Daddy ..." Aira berlari gembira menyambut ayahnya.Devan merentangkan kedua tangannya bersiap menangkap tubuh mungil putrinya."Hai, Sayang. Bagaimana harimu?" sapa Devan sesaat setelah mencium gemas pipi
"Beres," ucap Devan. Lalu mengulurkan tangan bermaksud mengembalikan ponsel Syakila padanya. "Nih."Gadis itu pun menyambut, tetapi saat tangannya akan menempel pada ponsel itu, mendadak ponselnya berdering kencang, membuat Devan urung mengembalikan.Ada nama 'Mas Kamil' di layar ponselnya."Mau apalagi dia?" gerutu Devan.Syakila tampak memicingkan matanya ketika mendapati calon suaminya itu menekan tombol reject. Kemudian tangan itu bergerak lincah pada keyboard seperti menulis sesuatu.Sedetik kemudian dering itu kembali terdengar."Kenapa, Mas? Siapa yang menelepon?" tanya Syakila."Nih, Amuba telpon lagi!" jawab Devan sedikit ketus sambil memberikan ponsel Syakila padanya."Amuba?" Syakila mengulang kata sebagai pertanyaan seraya membaca tag si pemanggil di layar.Memang ada nama Amuba yang sedang melakukan panggilan pada ponselnya. Seingatnya, dia tidak pernah memberi nama seperti itu pada nomor siapapun."Kamu boleh mengangkatnya, tapi harus di loudspeaker," perintah Devan."Mem
"Syakila! Kalau kamu masih ingin tinggal di sini, masuk sekarang!" perintah si ibu kost."I-iya, baik, Bu."Saat akan melangkah, Devan mencekal pergelangan tangan Syakila, membuat gadis itu urung meneruskan langkah, dan menoleh pada lelaki itu."Kemasi barang-barangmu. Kita tinggalkan tempat ini," seru Devan dengan sorot mata tajam mengarah pada ibu kost."Tapi, Mas---""Cepat atau tinggalkan saja semua barangmu. Aku akan membelikan semuanya dengan yang baru.""Jangan!" Buru-buru Syakila berseru. "Iya, tunggu sebentar," pintanya, kemudian melangkah cepat masuk untuk mengemasi barang sesuai perintah Devan. Dia tahu Devan tidak main-main dengan ucapannya.Sepeninggal Syakila, ibu kost yang memang tidak menyukainya pun tertawa mengejek."Bagus kalau kau bersedia menampung dia. Gadis miskin yang selalu telat bayar kost padahal katanya kerja, tapi pelit," ejeknya.Tangan Devan terkepal kuat diiringi mata yang juga terpejam menahan amarah."Gayanya sok-sokan mau membelikan barang-barang bar
"kenapa ke hotel?" Syakila memberanikan diri untuk bertanya."Hanya tempat itu yang paling gampang ditemukan untuk tempat tinggal kamu malam ini. Besok, kita baru cari rumah untuk kita," terang Devan."Rumah kita?" ulang syakila."Hmmm. Untuk tempat tinggal kita setelah menikah. Kamu mau yang tipe bagaimana terserah.""Eum ... Memangnya Mas Devan sudah yakin mau menikahiku?" lirih syakila.Rasanya seperti mimpi seorang CEO perusahaan ternama sudi menikahi gadis kampung yang tidak berpendidikan tinggi seperti dirinya."Kau meragukanku?" Mata devan memicing."Tidak. Bukan, bukan begitu maksudku. Aku hanya ..." Syakila menjeda ucapannya. "Takut," lanjutnya lirih."Aku bukan tipe yang suka main-main. Jika bersedia, aku bahkan bisa menikahimu malam ini juga.""Mas Devan... " Sungguh, syakila ingin menangis mendengar penuturan Devan yang terdengar tulus padanya.Devan menepikan mobilnya untuk berbicara lebih intens."Syakila, dengarkan aku," ucap Devan sembari memegang pundak gadis yang dud
"Sejak ... Sejak satu bulan lalu. Ya, sekitar satu bula lalu aku alergi sama alpukat." Meski sempat bingung, tak ayal Syakila menemukan alasan yang tepat.Terkesan aneh bagi Kamil, tetapi pria itu memaksa untuk terlihat percaya.Di dalam mobilnya, Devan tersenyum tipis sambil geleng kepala mendengar alasan syakila. "Dasar nakal," gumamnya yang dapat didengar oleh Syakila.Gadis yang kini duduk di depan Kamil sedikit mencebik."Ya sudah, aku pesankan minuman yang lain saja, ya. Kamu mau pesan apa?" Kamil kembali menawari Syakila minum.Pria itu tak kehabisan akal untuk membuat wanita di depannya jatuh ke dalam pelukannya."Gak usah, Mas. Terima kasih. Aku gak bisa lama-lama. Bisa langsung ke topik yang mau dibicarakan saja?" tolak syakila.Pemuda yang sudah bertunangan itu nampak kecewa. Ternyata semua tak semudah yang ia bayangkan."Apa di hatimu sudah tidak tersisa lagi rasa untukku, Sya?" tanya kamil terdengar frustasi.Dahi Syakila berkerut. "Rasa apa? Untuk apa aku menyimpan peras
"Kenapa, hem?"Syakila tak menjawab. Diletakkannya sumpit yang masih ia pegang di atas makanan yang tersisa sedikit. Tenggorokan wanita itu mendadak tercekat. Semua makanan yang semula terasa enak berubah hambar.Sementara Devan, dia masih asik menyantap hidangan di depannya. Pria itu menunduk sembari terus memasukkan makanan ke dalam mulutnya.Beberapa detik kemudian pria itu mendongak. Menatap syakila yang juga tengah menatapnya.Dengan genit dan tanpa rasa bersalah, pria yang memiliki jambang halus di dagunya itu mengedipkan sebelah matanya menggoda syakila."Apa kau takut kehilanganku? Oh tidak, tidak. Kau lebih takut tidak jadi menikah denganku 'kan?" canda Devan.Syakila bergeming. Bukan itu yang wanita itu takutkan, tetapi dia takut kembali dipermainkan. Tanpa berkata apapun lagi, Syakila beranjak hendak meninggalkan Devan."Aku memang tidak ingin bertunangan denganmu, tetapi aku ingin langsung menikah denganmu, Syakila Maharani!" seru Devan ketika langkah Syakila sudah terayun
"Kita harus melakukan sesuatu, Mil. Kita tidak bisa diam saja begini. Atau kamu sudah rela melepaskan Syakila pada Mas Devan?" ujar Yumna.Kamil yang baru saja pulang kerja langsung di berondong perkataan yang membuat hatinya sedih.Melihat wanita yang dicintainya akan menjadi milik orang lain, siapa yang tidak sakit hati? Andai dulu dia tidak pernah menyakitinya, pasti hari ini dia yang akan bahagia bersanding dengan wanita cantik, lugu nan manis itu.Nasi sudah menjadi bubur, tidak ada yang bisa diperbuat terkecuali menikmatinya.Sebelum menyahuti kakaknya, Kamil menghela napas. "Apalagi, Kak? Tidak ada lagi yang bisa aku lakukan. Semua sudah terlambat. Tinggal menghitung jam mereka akan sah menjadi suami istri."Kamil nampak pasrah."Kok kamu jadi nyerah gitu sih. Sebelum janur kuning melengkung, apapun bisa terjadi. Jangankan untuk sekedar akan, yang sudah menikah saja banyak yang pisah kok," sungut Yumna berapi-api."Terserah Kakaklah, aku capek mau istirahat," pungkas Kamil. Lal