"Kita harus melakukan sesuatu, Mil. Kita tidak bisa diam saja begini. Atau kamu sudah rela melepaskan Syakila pada Mas Devan?" ujar Yumna.Kamil yang baru saja pulang kerja langsung di berondong perkataan yang membuat hatinya sedih.Melihat wanita yang dicintainya akan menjadi milik orang lain, siapa yang tidak sakit hati? Andai dulu dia tidak pernah menyakitinya, pasti hari ini dia yang akan bahagia bersanding dengan wanita cantik, lugu nan manis itu.Nasi sudah menjadi bubur, tidak ada yang bisa diperbuat terkecuali menikmatinya.Sebelum menyahuti kakaknya, Kamil menghela napas. "Apalagi, Kak? Tidak ada lagi yang bisa aku lakukan. Semua sudah terlambat. Tinggal menghitung jam mereka akan sah menjadi suami istri."Kamil nampak pasrah."Kok kamu jadi nyerah gitu sih. Sebelum janur kuning melengkung, apapun bisa terjadi. Jangankan untuk sekedar akan, yang sudah menikah saja banyak yang pisah kok," sungut Yumna berapi-api."Terserah Kakaklah, aku capek mau istirahat," pungkas Kamil. Lal
Setelah memastikan semua aman, Yumna memanggil dua orang laki-laki yang memang disiapkan untuk rencana ini. Lalu mereka membopong Syakila ke dalam mobil dan membawa gadis tak sadarkan diri itu ke sebuah penginapan kecil yang sebelumnya sudah di booking oleh Yumna.Beberapa jam kemudian, mobil mereka sampai pada penginapan yang jaraknya agak jauh dari tempat mereka tinggal. Tujuannya tentu saja agar tidak mudah ditemukan.Dua orang suruhan Yumna kembali membawa Syakila yang masih tertidur pulas ke dalam sebuah kamar berisi satu kasur cukup besar dan meletakkannya di sana.Setelah semua beres kakak beradik yang merencanakan hal buruk pada gadis tak berdosa itu bermaksud menghubungi Kamil."Cepat kamu panggil Kamil untuk menyusul kita ke sini," perintah Yumna pada Jasmin."Iya, Kak."Meskipun kemarin Kamil menolak ajakannya, tetapi Yumna tetap saja melibatkan adik laki-lakinya untuk ikut serta dalam rencananya."Ada apa, Jasmin?" tanya Kamil saat panggilan terhubung."Habis pulang dari k
Syakila sadar bahwa dirinya tidak memakai sehelai benang pun ketika membuka mata. Hanya selimut putih polos yang menutupi.Tentu saja dia terkejut dan menarik selimut itu hingga menutup sempurna tubuhnya.Dan yang membuat jantungnya bagai tersambar petir ialah saat matanya melihat Kamil di ranjang yang sama dengan dirinya dalam keadaan yang bertelanjang dada.Langit seakan runtuh menghancurkan dunianya. Syakila menangis dalam diam. Air matanya mengalir deras. Ia mencengkeram selimut lalu beranjak perlahan mencari pakaian untuk kembali ia kenakan.Kamil yang pura-pura terlelap membuka mata dan duduk."Maafkan aku, Sya. Semalam kita ..." ucapan Kamil menggantung.Syakila tak peduli. Dia terus memunguti pakaiannya lalu masuk ke dalam kamar mandi.Di sana tubuh Syakila luruh ke lantai dengan pintu sebagai sandarannya."Ya Allah ... Apa yang sudah terjadi?" Syakila menangis tersedu-sedu di kamar mandi."Mas Devan. Bukankah seharusnya aku ...."Syakila kembali menjerit meluapkan segala amara
Langit pun seakan ikut menangis. Gerimis rintik-rintik mengiringi lunglai langkah kaki Syakila menapak pada bumi yang terasa begitu berat untuk dia jalani.Baru saja dia merasa kebahagiaan mulai menemui titik terang dalam hidupnya, tetapi semua itu hanya semu semata. Dalam sekejap dirinya harus kembali merasakan kepedihan yang teramat dalam.Andai bunuh diri tidak berdosa, mungkin sudah sejak dulu dia menabrakkan diri pada mobil atau bahkan kereta api yang tengah melaju dengan kencang.Air langit semakin deras mengguyur jagat. Tertatih Syakila menerobos derasnya hujan bersamaan dengan air matanya yang juga meluncur deras dari kelopak indahnya.Langkahnya semakin berat. Tanpa arah dia telah berjalan jauh. Rasa lelahnya membuat dia tersungkur di tengah jalan. Bahunya terguncang hebat. Dia menangis tersedu-sedu di sana. Bahkan ia tidak peduli andai ada mobil yang menelindas sekujur tubuhnya hingga remuk saat ini. Mungkin hal itu akan jauh lebih baik ketimbang ia harus menanggung kepediha
"Ibu ...!" Devan terpekik memanggil ibunya yang mendadak limbung."Syakila ... Devan. Bagaimana keadaannya? Dia tidak punya siapa-siapa, cari dia!" lirih Bu Sukoco."Iya, Bu. Devan sedang berusaha, Ibu tenanglah. Syakila wanita yang mandiri dia pasti bisa jaga diri." Devan menenangkan."Semoga saja, Nak.""Tentang resepsi itu, apakah ibu tidak --?""Ibu tidak akan malu jika pernikahan itu ditunda. Yang Ibu khawatirkan hanya Syakila yang kini sendirian di luar sana." Bu Sukoco mulai terisak."Devan janji akan segera menemukannya. Ibu tidak perlu khawatir." Duda anak satu itu berusaha terlihat tegar di hadapan sang ibu, padahal hatinya tak kalah rapuh dari ibunya. Bu Sukoco nampak mengangguk dalam dekapan sang putra sulung.****Di sisi lain, Yumna, Jasmine, Bu Sundari serta Della, tengah berpesta pora merayakan kehancuran Syakila.Mereka merasa segala upayanya untuk memisahkan Devan dan gadis itu berhasil. Tinggal satu langkah lagi maka Yumna akan berhasil mendapatkan pria pujaan hati
"Kalau begitu saya permisi dulu, Bu." Ijong segera pamit, merasa keberadaannya sudah tidak diperlukan lagi. Bu Sukoco hanya mengangguk, kemudian pandangannya beralih pada dua wanita di depannya."Ada perlu apa?" tanya Bu Sukoco dingin tanpa ekspresi."Apa nggak sebaiknya bicara di dalam saja, Jeung?" Dengan tidak tahu malunya Bu Sundari meminta untuk masuk. Orang tua itu bahkan mengabaikan rasa ketidaksukaan yang ditunjukkan secara terang-terangan oleh pemilik rumah, terhadap dirinya dan anaknya.Bu Sukoco hanya menarik napas lelah. Tak ingin berdebat, ia pun mempersilahkan tamu tak diundangnya itu masuk ke dalam rumah."Katakan apa tujuan kalian datang ke sini? Saya lelah, Saya ingin beristirahat." Kembali si pemilik rumah menunjukkan ketidaknyamanannya."Santai dulu dong, Jeung. Tidak usah terlalu serius begitu," ucap Bu Sundari basa-basi.Bu Sukoco tetap bergeming. Masih dengan wajah datarnya, orang tua dari Devan hanya melirik sekilas, sambil menyandarkan punggung pada sofa mewah
Dikira gadis kampungan ternyata Sultan 35"Eum, baiklah ... Saya akan memikirkannya," ujar Bu Sukoco."Jangan terlalu lama mikirnya, Jeng. Bukankah ijab kabulnya harus diadakan nanti sore? Berarti sudah harus ada pengantin pengganti perempuannya loh." Bu Sundari semakin gencar mencalonkan anaknya."Yang mau menikah kan anak saya, bukan saya. Jadi saya tidak bisa memutuskan semuanya sendiri." "Tapi kan kamu ibunya, pasti dia nurut. Lagian, apa sih yang kurang dari anak saya? Selain dia cantik, dia itu berpendidikan dan berkelas tinggi. Jeng Sukoco pasti nggak akan nyesel punya menantu seperti anak saya ini."Dengan bangganya Bu Sundari memuji anak sulungnya sambil merangkul gadis yang sudah mesam-mesem."Sayangnya Devan tidak mencari calon istri yang hanya berpendidikan tinggi anak saya itu lebih suka pada wanita yang beretika bagus. Bukankah adab lebih tinggi daripada ilmu. Bukan begitu Jeng Sundari?"Senyum semringah di wajah Yumna perlahan memudar. Dia merasa kata-kata itu ditunjukk
Seulas senyum terukir dari bibir kedua orang laki-laki dan perempuan yang susah payah membawanya ke sini. Senyum hangat yang bisa Syakila rasakan ada ketulusan tertanam di sana.Setelah mengecek keadaan Syakila, dokter beserta perawat itu meninggalkan ruangan menyisakan dua orang suami istri bersama Syakila."Bagaimana keadaanmu, Nak. Apa sudah lebih baik?" Wanita berusia senja yang duduk di kursi tunggal dekat Syakila bertanya.Gadis yang memakai pakaian rumah sakit itu ingin bangkit untuk menghormati kedua orang yang telah berbaik hati menolongnya. Akan tetapi rasa pusing dan tidak nyaman kembali menyerang tubuh ringkih itu sehingga ia urung untuk duduk."Tidak usah dipaksakan, Nak. Istirahatlah saja, pelan-pelan, nanti kalau memang sudah membaik baru kamu duduk. Sekarang tiduran saja dulu."Penuh perhatian laki-laki yang sudah berambut putih itu menunjukkan kepeduliannya.Tidak hanya sungkan, Syakila juga merasakan kebahagiaan tersendiri di dalam hatinya, seakan dirinya kembali hadi
Kamil menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, memutarnya dengan mata yang menatap lurus ke depan seperti seekor ular yang siap menyemburkan bisanya. Tanpa ekspresi, dia mendekati Syakila yang masih memejamkan mata lalu membopongnya seperti karung beras, membawanya ke dalam mobil.Beberapa minggu lalu, ketika ia berhasil meracuni polisi yang berjaga kemudian kabur dari lapas, Kamil mendatangi salah satu anak buahnya yang tak tertangkap dan meminta mobil untuk dikendarai. Dibantu oleh anak buahnya itulah akhirnya Kamil berhasil menyelinap ke vila yang disewa Devan, menyamar sebagai penjaga keamanan di sana setelah berhasil membuat penjaga aslinya harus cuti.Dalam hatinya, Kamil bertekad untuk dapat bersatu dengan Syakila, apapun caranya. Jika dia tak bisa memiliki, maka orang lainpun tak ada yang boleh memiliki. Jika tak bisa bersatu di dunia, di alam lain pun Kamil tak keberatan. Dan kini, laki-laki yang jiwanya terganggu itu telah bersiap untuk melakukan sesuatu.****"Pasti ada
"Syakila ..." Telinga tajam Devan dapat mendengar suara gelas yang jatuh. Gegas pria bergaya rambut Taper Fade itu naik ke atas kolam dan berjalan ke dapur, tanpa peduli cipratan air yang berjatuhan di lantai."Sayang, kamu gak pa-pa?" teriaknya terus berjalan.Sunyi. Tak ada jawaban apapun. Langkahnya semakin cepat dan pasti. Namun, ketika sampai dapur, tak ada siapapun di sana. Hanya pecahan gelas yang berserakan di lantai.Devan panik. Seketika ia mengitari sekitaran sambil terus memanggil istri tercintanya."Syakila ...""Sayang, kamu di mana?"Terus mencari ke setiap ruangan di vila, tetapi hasilnya nihil. "Sayang, bercandanya gak lucu loh. Kamu di mana ?" Devan masih berfikir positif. Mungkin istrinya ingin bermain-main dengannya."Sayang, ayolah. Keluar dong. Aku dah kedinginan nih, mau ganti baju. Temenin yuk." Devan terus berbicara sendiri sambil terus mencari.Hampir seluruh ruangan ia datangi, dan hasilnya tetap kosong. Panik, Devan mulai sangat panik. Apa yang terjadi de
"Kenapa seperti ada yang mengikuti ya?" gumamnya, lalu menoleh ke belakang. Tetapi tak ada siapapun di sana. Jalanan sepi."Mas, ayok!" teriak Syakila yang sudah lebih dulu berjalan."Eh, iya, Sayang." Devan terkesiap kemudian menyusul, ikut mengantri bersama sang istri.Beberapa orang yang juga membeli bubur mengajak mereka ngobrol. Ada yang sama-sama pendatang, ada juga yang asli penduduk setempat. Syakila dan Devan menyukai keramahan penduduk di sekitar villa yang mereka sewa."Ini buburnya, Neng," ucap si penjual bubur pada Syakila, setelah beberapa waktu mengantri."Iya, Mang. Terima kasih." Syakila menerima kantong kresek berisi bubur, sementara Devan yang membayarnya."Mari, Ibu-ibu, kami duluan," pamitnya pada ibu-ibu yang masih mengantri."Mari, Neng, A, selamat liburan ya, semoga sukses," sahut seseibu dengan lantang."Sukses apa nih, Bu?" Devan sengaja menanggapi, karena tertarik dengan misteri di balik kata 'sukses' itu."Ya sukses jadi belendung atuh, hamil teh. Apalagi c
"Sayang ... Ahh...."Untuk yang kedua kalinya Devan mencapai puncak kenikmatan bersama Syakila di villa. Sepasang suami istri itu benar-benar menikmati bulan madu kedua ini. Hampir tak terlewatkan oleh mereka aktivitas saling mencintai, dan memadu kasih begitu mereka sampai di tempat penginapan itu. Apalagi Devan memilih villa yang lumayan jauh dari keramaian. menurutnya agar aktivitas mereka lebih privasi. Tentu hal itu semakin membuat mereka semakin intens.Dua manusia berlawanan jenis itu masih tersengal dengan napas memburu di balik selimut putih yang menutupi tubuhnya. "Kau benar-benar hebat, Sayang. Terima kasih." Devan memberikan pujian pada sang istri karena berhasil mengimbangi permainannya yang brutal.Lelaki itu betul-betul merindukan momen ini. Bagaimana tidak? Kemarin-kemarin dia terpaksa harus puasa menjamah tubuh indah Syakila. Banyak kejadian tak terduga yang mereka alami."Sama-sama, Mas. Kamu juga hebat. Masih gagah seperti yang dulu," sahut Syakila dengan suara ber
"Bu, Opa, dan Oma, weekend besok aku sama Syakila ada rencana liburan ke villa. Eum, kalau boleh kita mau nitip Aira, gak lama kok, cuma dua hari." Dengan sedikit malu Devan meminta izin saat mereka sedang bersantai di depan televisi.Aira sendiri sudah lebih dulu terlelap ditemani mommy-nya di kamar. Jadi anak itu tidak protes ketika daddy-nya akan pergi berdua saja dengan sang mommy."Tentu saja boleh, Nak. Kalian memang perlu liburan setelah semua yang kalian alami," ucap Sukoco."Ibumu benar, Dev. Pergilah, buat hari-hari kalian menyenangkan." Bamantara menimpali."Sola Aira, kami siap menjaganya. Dia anak yang baik, pasti akan mengerti." Amber juga mengeluarkan pendapatnya."Terima kasih, semuanya. Aku akan beri tahu kabar ini pada Syakila." Devan terlihat bahagia. Bulan madu kedua ini pasti akan menyenangkan."Ah, bagaimana kalau kita ajak Aira menengok rumah kita, Sayang. Supaya dia tidak sedih kalau daddy dan mommy-nya pergi berlibur," usul Amber pada suaminya."Ide yang bagus
Devan memandang layar ponselnya dengan alis berkerut. "Panggilan tak terjawab?" gumamnya sambil membuka notifikasi. "Jo? Kok banyak banget panggilannya?" Ia menghela napas panjang, merasa bersalah telah melupakan handphonenya sejak sore tadi.Devan benar-benar tenggelam dalam waktu berkualitas bersama Syakila, sang istri. Mereka berdua memanfaatkan momen langka tanpa gangguan. Rasanya nyaman bisa menikmati hari hanya berdua, tanpa memikirkan urusan luar. Andai saja Aira, putri kecil mereka, tidak mengetuk pintu kamar untuk mengingatkan waktu sholat Maghrib, mungkin mereka masih saja berlama-lama berbincang di kamar.Kini, setelah sholat berjamaah bersama keluarga, Devan baru menyadari betapa banyak panggilan dari Jo. Ia mencoba menelepon balik, tetapi panggilannya tak dijawab."Kenapa, Mas?" suara lembut Syakila menyadarkannya. Wanita itu mendekat, membawa segelas teh hangat, lalu duduk di sampingnya di atas karpet ruang keluarga.Devan menunjukkan layar ponselnya. "Jo telepon berkali
Teriakan di luar membuat semua orang terhenti. Jo, Alex, dan anak buahnya langsung berlari mengejar, meninggalkan Devan, Syakila, dan Bamantara yang masih terkejut di dalam ruangan.“Bagaimana dia bisa kabur?!” Devan menggeram.“Mas, biarkan mereka yang urus,” ujar Syakila dengan suara gemetar, memegang lengannya.Devan menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Namun, di matanya, api kemarahan terhadap Kamil belum padam.Di luar gedung, Kamil dengan kondisi babak belur berlari sekuat tenaga. Tali yang mengikat tangannya rupanya berhasil ia lepas dengan pisau kecil yang tersembunyi di sepatunya. Para pengejarnya masih mengejar dari belakang, namun Kamil menemukan sebuah celah di pagar dan melarikan diri ke jalan raya yang cukup gelap.Dia mengira dirinya aman, sampai sirine polisi tiba-tiba terdengar semakin mendekat. Sebuah mobil patroli berhenti tepat di hadapannya, membuatnya panik.“Angkat tanganmu!” teriak salah satu petugas sambil mengarahkan senjatanya.Namun, Kamil tid
Pintu yang tiba-tiba terbuka itu mengagetkan semua orang di dalam ruangan. Kamil langsung berbalik, matanya menyipit marah. "Siapa di sana?!" teriaknya dengan nada tinggi penuh ancaman. Setelah menoleh dengan harapan yang hampir padam, sosok Devan berdiri tegap di ambang pintu dengan wajah yang penuh luka, tetapi matanya menyala dengan amarah yang tak terbendung. Di belakangnya Alex dan Jo berdiri, masing-masing memegang senjata seadanya."Permainanmu sudah selesai, bajingan!"ujar Devan dengan nada dingin namun tegas. Kamil tertawa sinis. "Oh, jadi kalian yang datang ke sini? Lucu sekali. Apa kalian juga ingin menyaksikan pernikahanku dengan Syakila?""Diam kau, Brengsek! Itu tidak akan pernah terjadi!" Devan berteriak dengan amarah yang kian menyala."Oh, ya? Apa hakmu melarang kami menikah? Kau bukan siapa-siapanya Syakila sekarang.""Dia istriku, brengsek!" Untuk kesekian kalinya Devan berteriak penuh emosi."Itu dulu, sebelum kamu menceraikannya. Tapi sekarang ....?Devan tak la
Devan mengepalkan tangannya erat-erat, pandangannya terpaku pada gedung tua di depan mata. Cahaya remang dari lampu jalan membuat tempat itu terlihat lebih mengerikan, seolah menyimpan ribuan rahasia gelap. Di sampingnya Jo dan Alex berdiri dengan wajah tegang. "Kita harus cepat," bisik Devan, menggenggam erat linggis di tangannya. Alex mengangguk. "Aku sudah periksa, penjaga hanya ada dua orang di dalam.""Aku tidak peduli berapa banyak penjaga di sana," balas Jo seraya menggenggam obeng besar di tangannya. "Kita lakukan ini bersama. Jangan pikiran Kamil, fokus selamatkan Opa." Alex menepuk pundak Devan dari belakang.Devan mengangguk. Ia tahu Kamil bukan hanya seorang pengancam biasa. Gangguan jiwanya yang dipenuhi obsesi berlebihan terhadap istrinya, telah membuatnya menjadi sosok yang berbahaya. Mereka harus bergerak cepat sebelum Kamil melakukan sesuatu yang lebih buruk. "Ayok!"Dengan langkah pelan mereka mendekati pintu besi gudang. Alex menyelinap lebih dulu, memastikan si