Syakila sadar bahwa dirinya tidak memakai sehelai benang pun ketika membuka mata. Hanya selimut putih polos yang menutupi.Tentu saja dia terkejut dan menarik selimut itu hingga menutup sempurna tubuhnya.Dan yang membuat jantungnya bagai tersambar petir ialah saat matanya melihat Kamil di ranjang yang sama dengan dirinya dalam keadaan yang bertelanjang dada.Langit seakan runtuh menghancurkan dunianya. Syakila menangis dalam diam. Air matanya mengalir deras. Ia mencengkeram selimut lalu beranjak perlahan mencari pakaian untuk kembali ia kenakan.Kamil yang pura-pura terlelap membuka mata dan duduk."Maafkan aku, Sya. Semalam kita ..." ucapan Kamil menggantung.Syakila tak peduli. Dia terus memunguti pakaiannya lalu masuk ke dalam kamar mandi.Di sana tubuh Syakila luruh ke lantai dengan pintu sebagai sandarannya."Ya Allah ... Apa yang sudah terjadi?" Syakila menangis tersedu-sedu di kamar mandi."Mas Devan. Bukankah seharusnya aku ...."Syakila kembali menjerit meluapkan segala amara
Langit pun seakan ikut menangis. Gerimis rintik-rintik mengiringi lunglai langkah kaki Syakila menapak pada bumi yang terasa begitu berat untuk dia jalani.Baru saja dia merasa kebahagiaan mulai menemui titik terang dalam hidupnya, tetapi semua itu hanya semu semata. Dalam sekejap dirinya harus kembali merasakan kepedihan yang teramat dalam.Andai bunuh diri tidak berdosa, mungkin sudah sejak dulu dia menabrakkan diri pada mobil atau bahkan kereta api yang tengah melaju dengan kencang.Air langit semakin deras mengguyur jagat. Tertatih Syakila menerobos derasnya hujan bersamaan dengan air matanya yang juga meluncur deras dari kelopak indahnya.Langkahnya semakin berat. Tanpa arah dia telah berjalan jauh. Rasa lelahnya membuat dia tersungkur di tengah jalan. Bahunya terguncang hebat. Dia menangis tersedu-sedu di sana. Bahkan ia tidak peduli andai ada mobil yang menelindas sekujur tubuhnya hingga remuk saat ini. Mungkin hal itu akan jauh lebih baik ketimbang ia harus menanggung kepediha
"Ibu ...!" Devan terpekik memanggil ibunya yang mendadak limbung."Syakila ... Devan. Bagaimana keadaannya? Dia tidak punya siapa-siapa, cari dia!" lirih Bu Sukoco."Iya, Bu. Devan sedang berusaha, Ibu tenanglah. Syakila wanita yang mandiri dia pasti bisa jaga diri." Devan menenangkan."Semoga saja, Nak.""Tentang resepsi itu, apakah ibu tidak --?""Ibu tidak akan malu jika pernikahan itu ditunda. Yang Ibu khawatirkan hanya Syakila yang kini sendirian di luar sana." Bu Sukoco mulai terisak."Devan janji akan segera menemukannya. Ibu tidak perlu khawatir." Duda anak satu itu berusaha terlihat tegar di hadapan sang ibu, padahal hatinya tak kalah rapuh dari ibunya. Bu Sukoco nampak mengangguk dalam dekapan sang putra sulung.****Di sisi lain, Yumna, Jasmine, Bu Sundari serta Della, tengah berpesta pora merayakan kehancuran Syakila.Mereka merasa segala upayanya untuk memisahkan Devan dan gadis itu berhasil. Tinggal satu langkah lagi maka Yumna akan berhasil mendapatkan pria pujaan hati
"Kalau begitu saya permisi dulu, Bu." Ijong segera pamit, merasa keberadaannya sudah tidak diperlukan lagi. Bu Sukoco hanya mengangguk, kemudian pandangannya beralih pada dua wanita di depannya."Ada perlu apa?" tanya Bu Sukoco dingin tanpa ekspresi."Apa nggak sebaiknya bicara di dalam saja, Jeung?" Dengan tidak tahu malunya Bu Sundari meminta untuk masuk. Orang tua itu bahkan mengabaikan rasa ketidaksukaan yang ditunjukkan secara terang-terangan oleh pemilik rumah, terhadap dirinya dan anaknya.Bu Sukoco hanya menarik napas lelah. Tak ingin berdebat, ia pun mempersilahkan tamu tak diundangnya itu masuk ke dalam rumah."Katakan apa tujuan kalian datang ke sini? Saya lelah, Saya ingin beristirahat." Kembali si pemilik rumah menunjukkan ketidaknyamanannya."Santai dulu dong, Jeung. Tidak usah terlalu serius begitu," ucap Bu Sundari basa-basi.Bu Sukoco tetap bergeming. Masih dengan wajah datarnya, orang tua dari Devan hanya melirik sekilas, sambil menyandarkan punggung pada sofa mewah
Dikira gadis kampungan ternyata Sultan 35"Eum, baiklah ... Saya akan memikirkannya," ujar Bu Sukoco."Jangan terlalu lama mikirnya, Jeng. Bukankah ijab kabulnya harus diadakan nanti sore? Berarti sudah harus ada pengantin pengganti perempuannya loh." Bu Sundari semakin gencar mencalonkan anaknya."Yang mau menikah kan anak saya, bukan saya. Jadi saya tidak bisa memutuskan semuanya sendiri." "Tapi kan kamu ibunya, pasti dia nurut. Lagian, apa sih yang kurang dari anak saya? Selain dia cantik, dia itu berpendidikan dan berkelas tinggi. Jeng Sukoco pasti nggak akan nyesel punya menantu seperti anak saya ini."Dengan bangganya Bu Sundari memuji anak sulungnya sambil merangkul gadis yang sudah mesam-mesem."Sayangnya Devan tidak mencari calon istri yang hanya berpendidikan tinggi anak saya itu lebih suka pada wanita yang beretika bagus. Bukankah adab lebih tinggi daripada ilmu. Bukan begitu Jeng Sundari?"Senyum semringah di wajah Yumna perlahan memudar. Dia merasa kata-kata itu ditunjukk
Seulas senyum terukir dari bibir kedua orang laki-laki dan perempuan yang susah payah membawanya ke sini. Senyum hangat yang bisa Syakila rasakan ada ketulusan tertanam di sana.Setelah mengecek keadaan Syakila, dokter beserta perawat itu meninggalkan ruangan menyisakan dua orang suami istri bersama Syakila."Bagaimana keadaanmu, Nak. Apa sudah lebih baik?" Wanita berusia senja yang duduk di kursi tunggal dekat Syakila bertanya.Gadis yang memakai pakaian rumah sakit itu ingin bangkit untuk menghormati kedua orang yang telah berbaik hati menolongnya. Akan tetapi rasa pusing dan tidak nyaman kembali menyerang tubuh ringkih itu sehingga ia urung untuk duduk."Tidak usah dipaksakan, Nak. Istirahatlah saja, pelan-pelan, nanti kalau memang sudah membaik baru kamu duduk. Sekarang tiduran saja dulu."Penuh perhatian laki-laki yang sudah berambut putih itu menunjukkan kepeduliannya.Tidak hanya sungkan, Syakila juga merasakan kebahagiaan tersendiri di dalam hatinya, seakan dirinya kembali hadi
18 bulan kemudian ..."Parveen, istirahat dulu, Nak. Kamu sudah mengerjakan itu dari pagi. Memangnya kamu tidak capek?""Sedikit lagi Oma, tanggung bentar lagi selesai kok.""Iya, baiklah. Yang penting nanti kalau Opa datang terus cerewet sama kamu, Oma nggak turut campur loh.""Iya Omaku sayang ..."Entah sudah ke berapa kalinya Amber memperingatkan cucunya untuk segera beristirahat.Gadis yang dipanggil Parveen itu sudah sejak pagi bermain dengan kertas putih dan sebuah bolpoin di tangannya. Menyatukan garis demi garis untuk menghasilkan sebuah karya yang cantik. Karya yang harus segera didesain untuk sebuah acara fashion show satu dua Minggu mendatang."Akhirnya ... Alhamdulillah selesai." Parveen merenggangkan otot-ototnya. Menumpuk lembaran kertas yang penuh dengan coretan gaun cantik lalu meletakkannya di atas meja.Hari ini dia harus segera menyerahkan hasil gambarannya pada salah satu perusahaan fashion yang baru saja bekerja sama dengan butiknya.Mata dengan bulu lentik alami
''Mas Devan," gumam Parveen.Sepersekian detik manik matanya beradu pandang dengan pria yang saat ini tengah berjalan ke arahnya.Buru-buru Parveen mengalihkan pandanganya.'Kenapa Mas Devan bisa ada di sini?' Parveen membatin sembari membenarkan letak niqab serta hijab lebar yang hanya menyisakan sepasang mata untuk dapat dilihat.Langkah Devan semakin dekat mengiringi degub jantung Parveen yang semakin cepat.Helen mengulurkan tangannya pada gadis berpakaian serba hitam yang kini sudah berdiri menyambut."Nona Parveen?" "Ya. Apa kabar, Nona Helen?"Seketika Devan menoleh pada wanita yang sedang bersalaman dengan sekretarisnya. Hatinya bergetar mendengar suara yang begitu mirip dengan wanita terkasih yang dirindukannya.Dari pupil matanya, Parveen tahu bahwa; Pria itu kini sedang memperhatikan dirinya.Sekuat tenaga ia berusaha terlihat biasa. Menetralisir degup jantungnya yang kian tak menentu.Keringat dingin mulai terasa di sekujur tubuhnya. Beruntung dirinya memakai penutup waj