''Mas Devan," gumam Parveen.Sepersekian detik manik matanya beradu pandang dengan pria yang saat ini tengah berjalan ke arahnya.Buru-buru Parveen mengalihkan pandanganya.'Kenapa Mas Devan bisa ada di sini?' Parveen membatin sembari membenarkan letak niqab serta hijab lebar yang hanya menyisakan sepasang mata untuk dapat dilihat.Langkah Devan semakin dekat mengiringi degub jantung Parveen yang semakin cepat.Helen mengulurkan tangannya pada gadis berpakaian serba hitam yang kini sudah berdiri menyambut."Nona Parveen?" "Ya. Apa kabar, Nona Helen?"Seketika Devan menoleh pada wanita yang sedang bersalaman dengan sekretarisnya. Hatinya bergetar mendengar suara yang begitu mirip dengan wanita terkasih yang dirindukannya.Dari pupil matanya, Parveen tahu bahwa; Pria itu kini sedang memperhatikan dirinya.Sekuat tenaga ia berusaha terlihat biasa. Menetralisir degup jantungnya yang kian tak menentu.Keringat dingin mulai terasa di sekujur tubuhnya. Beruntung dirinya memakai penutup waj
Masih dengan senyum yang mengembang, Devan melakukan sarapan terlebih dahulu sebelum berangkat ke kantor. "Apa ada hal yang kau tutupi dari Ibu, Dev?" tanya Bu Sukoco saat menemani putranya di meja makan. "Tidak ada. Kenapa memangnya?" sahut Devan sembari menyuapkan roti ke dalam mulutnya."Sepertinya senyummu agak murah hari ini. Hem?" Bu Sukoco mengangkat sebelah alisnya sembari melirik pada sang putra."Oh, itu. Ya, sepertinya aku jadi agak tua kalau sering cemberut. Sedikit terapi senyum mungkin akan mengembalikan ketampananku, ha ha ha." Devan berkelakar.Melihatnya, wanita yang melahirkan Devan tersebut pun ikut bahagia. Walaupun entah karena efek apa Sang putra akhirnya menjadi murah senyum. "Ibu senang melihatmu seperti ini. Sudah lama Ibu tidak melihatmu tersenyum.""Begitu ya?""Iya. Semenjak ...."Ucapan Bu Sukoco menggantung. Orang tua itu baru menyadari kalau apa yang akan dia katakan bisa saja melukai hati putranya. "Semenjak Syakila menghilang, maksud Ibu?""Lupakan
Sempat mematung, seketika wanita bercadar itu segera bisa menguasai diri."Sepertinya Anda salah menyebut nama, Pak Devan? Atau, sebenarnya jadwal pertemuan pagi ini bukan dengan saya?" ucapnya. Dengan santainya dia menjatuhkan diri pada kursi single di depan meja kerja CEO itu."Hmmm. Sepertinya begitu. Maaf, saya hanya menebak singkatan 'S' yang ada pada nama depan Anda, Nona Parveen," sahut Devan.Dua pasang mata itu kini saling beradu pandang. Seolah menaut, keduanya tak bisa berpaling. Pandangan mereka sama-sama terpaku di sana.Kerja jantung Parveen seakan tak normal. Degubannya begitu kencang. Andai jaraknya dengan Devan hanya beberapa sentimeter saja, mungkin lelaki itu akan mendengar suara denyut itu dengan jelas.'Ya Allah, ada apa dengan jantungku,' batin Parveen mulai gelisah."Ehm!"Dia mendehem terlebih dahulu untuk menormalkan kembali jantungnya."Bukan. S itu cuma nama dari orang yang kebetulan menyukai design saya. Beberapa ada yang mengusulkan brand fashion dengan ta
"Jasmin Rahmania. Rupanya dia yang melamar jadi modelnya. Hmmm sepertinya akan menyenangkan kalau dia aku terima," gumam Parveen terus memandang gambar seorang wanita di tangannya, setelah sebelumnya membaca biodata di berkas itu."Nita," panggilnya pada sang asisten."Ya. Bagaimana?" sahut Nita yang masih stay di ruangan Parveen."Terima dia untuk jadi model cadangan kita," perintahnya. Isi kepala gadis berusia 25 tahun itu sudah dipenuhi tak-tik untuk memberikan kejutan pada wanita masa lalu yang pernah menyakiti hatinya."Cadangan?""Iya. Model utamanya tetap kita cari.""Siap, Bos.""Oiya, jangan katakan padanya kalau dia hanya model cadangan. Bilang saja dia diterima. Besok pagi suruh dia datang lagi untuk menandatangani kontrak. Isi kontraknya akan aku buatkan yang baru khusus untuk wanita cantik ini," ujar Parveen dengan seringai tipis di balik penutup wajahnya."Baiklah. Anda bos-nya sekarang."Keduanya saling lirik kemudian tertawa bersama.***Sepeninggal Nita, Parveen kembal
Taksi yang ditumpangi Parveen telah sampai pada sebuah restoran jepang di mana dr Ryan sudah menunggu.Saat memasuki tempat makan berciri khas negeri matahari terbit itu, matanya mengedar mencari sosok pria berkulit putih dengan kacamata yang sering kali menempel di hidung mancungnya.Dr Ryan melambai ketika melihat sosok wanita berhijab yang begitu ia kenal, walau hanya sepasang mata saja yang terlihat.Parveen mengayunkan langkah mendekat."Wow. Sudah banyak makanan ternyata. Apa kau yang memesankan untukku?" ucap Parveen saat melihat begitu banyak hidangan yang tersedia di meja Ryan.Setelahnya ia menjatuhkan bokong pada kursi bersebrangan dengan Ryan.Sebelum menjawab, pria yang cukup dekat dengan Parveen tersebut terkekeh kecil, "Aku hanya tidak ingin menunggu terlalu lama. Aku tahu kamu butuh energi yang banyak untuk bercerita banyak hal ketika bertemu denganku, bukan begitu?""Ya, kamu benar," ucap Parveen sambil melepaskan cadarnya dan bersiap menyantap makanan enak yang tersed
"Parveen ... Are you oke?" Ryan nampak heran melihat perubahan wajah perempuan cantik di depannya.Wajah yang semula cerita seketika tergelincir sendu setelah melihat ponsel yang sebelumnya ada satu notifikasi. "Hei ...." Ryan melambai tepat di depan wajah Parveen, membuat gadis yang masih menatap kosong ponselnya seketika terkesiap."Ah, iya, Yan. Sorry, aku melamun.""Ada yang mengganggu pikiranmu?" Ryan kembali bertanya penuh perhatian."Eummm ... Ini." Parveen memperlihatkan pesan berisi gambar dirinya yang baru saja ia lihat. "Dia sepertinya mengikutiku. Dia di sini, Yan. A-aku takut. Aku belum siap," imbuhnya dengan suara mulai bergetar. Wajahnya menunduk dalam, dengan tangan yang kesulitan memasang kembali niqab-nya."Tenanglah. Tidak akan terjadi apa-apa. Ada aku di sini." Ryan ingin membantu Parveen memasang niqab-nya dengan benar, tetapi dia tidak mau dituding sebagai pencari kesempatan dalam kesempitan. Bagaimana pun, mereka bukan muhrim.Setelah penutupan wajahnya terpasan
Bu Sukoco memperhatikan setiap kalimat dalam chat itu. Nomornya bukan nomor sang putra, tetapi lokasi itu memang benar tempat yang tadinya akan digunakan untuk resepsi.'Apa lagi rencana kamu, Dev?' Bu Sukoco hanya berbicara dalam hati.Mulutnya terkunci tak ingin mengomentari ucapan dua wanita di depannya."Ayok, Ma. Kita ke sana sekarang. Aku perlu dirias dulu. Nanti Tante juga pasti nyusul. Iya, kan, Tan?" Yumna sudah tidak sabar.Bu Sukoco hanya mengangguk samar."Ya sudah, ayok. Kami duluan ya, Jeung."Mereka pun dengan semangatnya meninggalkan rumah Bu Sukoco dan bergegas menuju hotel yang telah di tunjuk oleh orang suruhan Devan.Dalam perjalanannya, mereka begitu gembira dan tidak sabar untuk segera sampai. Sampai-sampai si supir taksinya disuruh untuk mengebut.Namun, alangkah terkejutnya mereka ketika sampai di lobby hotel. Banyak orang yang lalu lalang di sana.Bukan untuk menghadiri acara atau pun sibuk menyiapkan acara, melainkan mereka justru membongkar semua dekorasi ya
Ingin kulupakan, tapi Allah menaruhnya sangat indah di dalam hatiku. Pasti ada satu alasan kenapa dia berada di dalam hatiku hingga saat ini.*Parveen duduk termenung di dalam kamarnya setelah meminum obat yang rutin ia konsumsi tiap harinya. Pikirannya melalang buana jauh ke masa lalu yang penuh perjuangan dalam menjalani hidup. Tak lama setelah mengantar dirinya, dan memastikan obatnya berhasil masuk melewati tenggorokan Parveen, Ryan pamit untuk kembali bekerja. Pria itu sedikit mengkhawatirkan wanita yang cukup spesial dalam hatinya, tetapi ia juga tidak punya alasan untuk meninggalkan pasiennya di rumah sakit. Mereka lebih membutuhkan dirinya. Biarlah wanita itu istirahat sejenak baru ia akan menyempatkan waktu untuk kembali berkunjung.Tok!Tok!Tok!Opa Bamantara yang baru pulang langsung mengecek keadaan Parveen. Lelaki yang masih gagah di usia lebih dari setengah abad itu ingin segera memastikan cucu satu-satunya baik-baik saja."Apa Opa mengganggu mu, Sayang?" ucapnya."T