Masih dengan senyum yang mengembang, Devan melakukan sarapan terlebih dahulu sebelum berangkat ke kantor. "Apa ada hal yang kau tutupi dari Ibu, Dev?" tanya Bu Sukoco saat menemani putranya di meja makan. "Tidak ada. Kenapa memangnya?" sahut Devan sembari menyuapkan roti ke dalam mulutnya."Sepertinya senyummu agak murah hari ini. Hem?" Bu Sukoco mengangkat sebelah alisnya sembari melirik pada sang putra."Oh, itu. Ya, sepertinya aku jadi agak tua kalau sering cemberut. Sedikit terapi senyum mungkin akan mengembalikan ketampananku, ha ha ha." Devan berkelakar.Melihatnya, wanita yang melahirkan Devan tersebut pun ikut bahagia. Walaupun entah karena efek apa Sang putra akhirnya menjadi murah senyum. "Ibu senang melihatmu seperti ini. Sudah lama Ibu tidak melihatmu tersenyum.""Begitu ya?""Iya. Semenjak ...."Ucapan Bu Sukoco menggantung. Orang tua itu baru menyadari kalau apa yang akan dia katakan bisa saja melukai hati putranya. "Semenjak Syakila menghilang, maksud Ibu?""Lupakan
Sempat mematung, seketika wanita bercadar itu segera bisa menguasai diri."Sepertinya Anda salah menyebut nama, Pak Devan? Atau, sebenarnya jadwal pertemuan pagi ini bukan dengan saya?" ucapnya. Dengan santainya dia menjatuhkan diri pada kursi single di depan meja kerja CEO itu."Hmmm. Sepertinya begitu. Maaf, saya hanya menebak singkatan 'S' yang ada pada nama depan Anda, Nona Parveen," sahut Devan.Dua pasang mata itu kini saling beradu pandang. Seolah menaut, keduanya tak bisa berpaling. Pandangan mereka sama-sama terpaku di sana.Kerja jantung Parveen seakan tak normal. Degubannya begitu kencang. Andai jaraknya dengan Devan hanya beberapa sentimeter saja, mungkin lelaki itu akan mendengar suara denyut itu dengan jelas.'Ya Allah, ada apa dengan jantungku,' batin Parveen mulai gelisah."Ehm!"Dia mendehem terlebih dahulu untuk menormalkan kembali jantungnya."Bukan. S itu cuma nama dari orang yang kebetulan menyukai design saya. Beberapa ada yang mengusulkan brand fashion dengan ta
"Jasmin Rahmania. Rupanya dia yang melamar jadi modelnya. Hmmm sepertinya akan menyenangkan kalau dia aku terima," gumam Parveen terus memandang gambar seorang wanita di tangannya, setelah sebelumnya membaca biodata di berkas itu."Nita," panggilnya pada sang asisten."Ya. Bagaimana?" sahut Nita yang masih stay di ruangan Parveen."Terima dia untuk jadi model cadangan kita," perintahnya. Isi kepala gadis berusia 25 tahun itu sudah dipenuhi tak-tik untuk memberikan kejutan pada wanita masa lalu yang pernah menyakiti hatinya."Cadangan?""Iya. Model utamanya tetap kita cari.""Siap, Bos.""Oiya, jangan katakan padanya kalau dia hanya model cadangan. Bilang saja dia diterima. Besok pagi suruh dia datang lagi untuk menandatangani kontrak. Isi kontraknya akan aku buatkan yang baru khusus untuk wanita cantik ini," ujar Parveen dengan seringai tipis di balik penutup wajahnya."Baiklah. Anda bos-nya sekarang."Keduanya saling lirik kemudian tertawa bersama.***Sepeninggal Nita, Parveen kembal
Taksi yang ditumpangi Parveen telah sampai pada sebuah restoran jepang di mana dr Ryan sudah menunggu.Saat memasuki tempat makan berciri khas negeri matahari terbit itu, matanya mengedar mencari sosok pria berkulit putih dengan kacamata yang sering kali menempel di hidung mancungnya.Dr Ryan melambai ketika melihat sosok wanita berhijab yang begitu ia kenal, walau hanya sepasang mata saja yang terlihat.Parveen mengayunkan langkah mendekat."Wow. Sudah banyak makanan ternyata. Apa kau yang memesankan untukku?" ucap Parveen saat melihat begitu banyak hidangan yang tersedia di meja Ryan.Setelahnya ia menjatuhkan bokong pada kursi bersebrangan dengan Ryan.Sebelum menjawab, pria yang cukup dekat dengan Parveen tersebut terkekeh kecil, "Aku hanya tidak ingin menunggu terlalu lama. Aku tahu kamu butuh energi yang banyak untuk bercerita banyak hal ketika bertemu denganku, bukan begitu?""Ya, kamu benar," ucap Parveen sambil melepaskan cadarnya dan bersiap menyantap makanan enak yang tersed
"Parveen ... Are you oke?" Ryan nampak heran melihat perubahan wajah perempuan cantik di depannya.Wajah yang semula cerita seketika tergelincir sendu setelah melihat ponsel yang sebelumnya ada satu notifikasi. "Hei ...." Ryan melambai tepat di depan wajah Parveen, membuat gadis yang masih menatap kosong ponselnya seketika terkesiap."Ah, iya, Yan. Sorry, aku melamun.""Ada yang mengganggu pikiranmu?" Ryan kembali bertanya penuh perhatian."Eummm ... Ini." Parveen memperlihatkan pesan berisi gambar dirinya yang baru saja ia lihat. "Dia sepertinya mengikutiku. Dia di sini, Yan. A-aku takut. Aku belum siap," imbuhnya dengan suara mulai bergetar. Wajahnya menunduk dalam, dengan tangan yang kesulitan memasang kembali niqab-nya."Tenanglah. Tidak akan terjadi apa-apa. Ada aku di sini." Ryan ingin membantu Parveen memasang niqab-nya dengan benar, tetapi dia tidak mau dituding sebagai pencari kesempatan dalam kesempitan. Bagaimana pun, mereka bukan muhrim.Setelah penutupan wajahnya terpasan
Bu Sukoco memperhatikan setiap kalimat dalam chat itu. Nomornya bukan nomor sang putra, tetapi lokasi itu memang benar tempat yang tadinya akan digunakan untuk resepsi.'Apa lagi rencana kamu, Dev?' Bu Sukoco hanya berbicara dalam hati.Mulutnya terkunci tak ingin mengomentari ucapan dua wanita di depannya."Ayok, Ma. Kita ke sana sekarang. Aku perlu dirias dulu. Nanti Tante juga pasti nyusul. Iya, kan, Tan?" Yumna sudah tidak sabar.Bu Sukoco hanya mengangguk samar."Ya sudah, ayok. Kami duluan ya, Jeung."Mereka pun dengan semangatnya meninggalkan rumah Bu Sukoco dan bergegas menuju hotel yang telah di tunjuk oleh orang suruhan Devan.Dalam perjalanannya, mereka begitu gembira dan tidak sabar untuk segera sampai. Sampai-sampai si supir taksinya disuruh untuk mengebut.Namun, alangkah terkejutnya mereka ketika sampai di lobby hotel. Banyak orang yang lalu lalang di sana.Bukan untuk menghadiri acara atau pun sibuk menyiapkan acara, melainkan mereka justru membongkar semua dekorasi ya
Ingin kulupakan, tapi Allah menaruhnya sangat indah di dalam hatiku. Pasti ada satu alasan kenapa dia berada di dalam hatiku hingga saat ini.*Parveen duduk termenung di dalam kamarnya setelah meminum obat yang rutin ia konsumsi tiap harinya. Pikirannya melalang buana jauh ke masa lalu yang penuh perjuangan dalam menjalani hidup. Tak lama setelah mengantar dirinya, dan memastikan obatnya berhasil masuk melewati tenggorokan Parveen, Ryan pamit untuk kembali bekerja. Pria itu sedikit mengkhawatirkan wanita yang cukup spesial dalam hatinya, tetapi ia juga tidak punya alasan untuk meninggalkan pasiennya di rumah sakit. Mereka lebih membutuhkan dirinya. Biarlah wanita itu istirahat sejenak baru ia akan menyempatkan waktu untuk kembali berkunjung.Tok!Tok!Tok!Opa Bamantara yang baru pulang langsung mengecek keadaan Parveen. Lelaki yang masih gagah di usia lebih dari setengah abad itu ingin segera memastikan cucu satu-satunya baik-baik saja."Apa Opa mengganggu mu, Sayang?" ucapnya."T
Dering panggilan pada gadget Parveen memecah keheningan diantara ketiganya.Sebuah nomor yang diberi nama Helen terpampang jelas di layar, membuat sang empunya mengernyit heran."Ada apa? Tumben sekali telepon malam-malam." Parveen bergumam."Kenapa, Nak?" tanya Amber."Ini, Nona Helen tumben menelpon malam-malam begini," jawab Parveen."Helen?""Sekretaris Devan.""Oooh, mungkin ada hal penting.""Mungkin. Aku angkat dulu, ya.""Iya, angkatlah. Jangan lupa di loud speaker biar kami juga bisa mendengarkan," perintah Bamantara.Setelah menggeser gambar berlogo gagang telepon warna hijau, Parveen melakukan apa yang disuruh Opa-nya tersebut."Selamat malam, Nona Parveen. Maaf mengganggu istirahat Anda," sapa Helen."Malam, Nona Helen. Tak apa, saya tidak sedang sibuk apapun, kok. Ada yang bisa dibantu, Nona?" sahut Parveen."Tidak ada, hanya ingin tahu saja perkembangan design Anda, apakah sudah mulai pembuatan? Pak Devan ingin mengetahui sejauh mana pengerjaannya.""Benarkah? Bahkan bel
Kamil menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, memutarnya dengan mata yang menatap lurus ke depan seperti seekor ular yang siap menyemburkan bisanya. Tanpa ekspresi, dia mendekati Syakila yang masih memejamkan mata lalu membopongnya seperti karung beras, membawanya ke dalam mobil.Beberapa minggu lalu, ketika ia berhasil meracuni polisi yang berjaga kemudian kabur dari lapas, Kamil mendatangi salah satu anak buahnya yang tak tertangkap dan meminta mobil untuk dikendarai. Dibantu oleh anak buahnya itulah akhirnya Kamil berhasil menyelinap ke vila yang disewa Devan, menyamar sebagai penjaga keamanan di sana setelah berhasil membuat penjaga aslinya harus cuti.Dalam hatinya, Kamil bertekad untuk dapat bersatu dengan Syakila, apapun caranya. Jika dia tak bisa memiliki, maka orang lainpun tak ada yang boleh memiliki. Jika tak bisa bersatu di dunia, di alam lain pun Kamil tak keberatan. Dan kini, laki-laki yang jiwanya terganggu itu telah bersiap untuk melakukan sesuatu.****"Pasti ada
"Syakila ..." Telinga tajam Devan dapat mendengar suara gelas yang jatuh. Gegas pria bergaya rambut Taper Fade itu naik ke atas kolam dan berjalan ke dapur, tanpa peduli cipratan air yang berjatuhan di lantai."Sayang, kamu gak pa-pa?" teriaknya terus berjalan.Sunyi. Tak ada jawaban apapun. Langkahnya semakin cepat dan pasti. Namun, ketika sampai dapur, tak ada siapapun di sana. Hanya pecahan gelas yang berserakan di lantai.Devan panik. Seketika ia mengitari sekitaran sambil terus memanggil istri tercintanya."Syakila ...""Sayang, kamu di mana?"Terus mencari ke setiap ruangan di vila, tetapi hasilnya nihil. "Sayang, bercandanya gak lucu loh. Kamu di mana ?" Devan masih berfikir positif. Mungkin istrinya ingin bermain-main dengannya."Sayang, ayolah. Keluar dong. Aku dah kedinginan nih, mau ganti baju. Temenin yuk." Devan terus berbicara sendiri sambil terus mencari.Hampir seluruh ruangan ia datangi, dan hasilnya tetap kosong. Panik, Devan mulai sangat panik. Apa yang terjadi de
"Kenapa seperti ada yang mengikuti ya?" gumamnya, lalu menoleh ke belakang. Tetapi tak ada siapapun di sana. Jalanan sepi."Mas, ayok!" teriak Syakila yang sudah lebih dulu berjalan."Eh, iya, Sayang." Devan terkesiap kemudian menyusul, ikut mengantri bersama sang istri.Beberapa orang yang juga membeli bubur mengajak mereka ngobrol. Ada yang sama-sama pendatang, ada juga yang asli penduduk setempat. Syakila dan Devan menyukai keramahan penduduk di sekitar villa yang mereka sewa."Ini buburnya, Neng," ucap si penjual bubur pada Syakila, setelah beberapa waktu mengantri."Iya, Mang. Terima kasih." Syakila menerima kantong kresek berisi bubur, sementara Devan yang membayarnya."Mari, Ibu-ibu, kami duluan," pamitnya pada ibu-ibu yang masih mengantri."Mari, Neng, A, selamat liburan ya, semoga sukses," sahut seseibu dengan lantang."Sukses apa nih, Bu?" Devan sengaja menanggapi, karena tertarik dengan misteri di balik kata 'sukses' itu."Ya sukses jadi belendung atuh, hamil teh. Apalagi c
"Sayang ... Ahh...."Untuk yang kedua kalinya Devan mencapai puncak kenikmatan bersama Syakila di villa. Sepasang suami istri itu benar-benar menikmati bulan madu kedua ini. Hampir tak terlewatkan oleh mereka aktivitas saling mencintai, dan memadu kasih begitu mereka sampai di tempat penginapan itu. Apalagi Devan memilih villa yang lumayan jauh dari keramaian. menurutnya agar aktivitas mereka lebih privasi. Tentu hal itu semakin membuat mereka semakin intens.Dua manusia berlawanan jenis itu masih tersengal dengan napas memburu di balik selimut putih yang menutupi tubuhnya. "Kau benar-benar hebat, Sayang. Terima kasih." Devan memberikan pujian pada sang istri karena berhasil mengimbangi permainannya yang brutal.Lelaki itu betul-betul merindukan momen ini. Bagaimana tidak? Kemarin-kemarin dia terpaksa harus puasa menjamah tubuh indah Syakila. Banyak kejadian tak terduga yang mereka alami."Sama-sama, Mas. Kamu juga hebat. Masih gagah seperti yang dulu," sahut Syakila dengan suara ber
"Bu, Opa, dan Oma, weekend besok aku sama Syakila ada rencana liburan ke villa. Eum, kalau boleh kita mau nitip Aira, gak lama kok, cuma dua hari." Dengan sedikit malu Devan meminta izin saat mereka sedang bersantai di depan televisi.Aira sendiri sudah lebih dulu terlelap ditemani mommy-nya di kamar. Jadi anak itu tidak protes ketika daddy-nya akan pergi berdua saja dengan sang mommy."Tentu saja boleh, Nak. Kalian memang perlu liburan setelah semua yang kalian alami," ucap Sukoco."Ibumu benar, Dev. Pergilah, buat hari-hari kalian menyenangkan." Bamantara menimpali."Sola Aira, kami siap menjaganya. Dia anak yang baik, pasti akan mengerti." Amber juga mengeluarkan pendapatnya."Terima kasih, semuanya. Aku akan beri tahu kabar ini pada Syakila." Devan terlihat bahagia. Bulan madu kedua ini pasti akan menyenangkan."Ah, bagaimana kalau kita ajak Aira menengok rumah kita, Sayang. Supaya dia tidak sedih kalau daddy dan mommy-nya pergi berlibur," usul Amber pada suaminya."Ide yang bagus
Devan memandang layar ponselnya dengan alis berkerut. "Panggilan tak terjawab?" gumamnya sambil membuka notifikasi. "Jo? Kok banyak banget panggilannya?" Ia menghela napas panjang, merasa bersalah telah melupakan handphonenya sejak sore tadi.Devan benar-benar tenggelam dalam waktu berkualitas bersama Syakila, sang istri. Mereka berdua memanfaatkan momen langka tanpa gangguan. Rasanya nyaman bisa menikmati hari hanya berdua, tanpa memikirkan urusan luar. Andai saja Aira, putri kecil mereka, tidak mengetuk pintu kamar untuk mengingatkan waktu sholat Maghrib, mungkin mereka masih saja berlama-lama berbincang di kamar.Kini, setelah sholat berjamaah bersama keluarga, Devan baru menyadari betapa banyak panggilan dari Jo. Ia mencoba menelepon balik, tetapi panggilannya tak dijawab."Kenapa, Mas?" suara lembut Syakila menyadarkannya. Wanita itu mendekat, membawa segelas teh hangat, lalu duduk di sampingnya di atas karpet ruang keluarga.Devan menunjukkan layar ponselnya. "Jo telepon berkali
Teriakan di luar membuat semua orang terhenti. Jo, Alex, dan anak buahnya langsung berlari mengejar, meninggalkan Devan, Syakila, dan Bamantara yang masih terkejut di dalam ruangan.“Bagaimana dia bisa kabur?!” Devan menggeram.“Mas, biarkan mereka yang urus,” ujar Syakila dengan suara gemetar, memegang lengannya.Devan menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Namun, di matanya, api kemarahan terhadap Kamil belum padam.Di luar gedung, Kamil dengan kondisi babak belur berlari sekuat tenaga. Tali yang mengikat tangannya rupanya berhasil ia lepas dengan pisau kecil yang tersembunyi di sepatunya. Para pengejarnya masih mengejar dari belakang, namun Kamil menemukan sebuah celah di pagar dan melarikan diri ke jalan raya yang cukup gelap.Dia mengira dirinya aman, sampai sirine polisi tiba-tiba terdengar semakin mendekat. Sebuah mobil patroli berhenti tepat di hadapannya, membuatnya panik.“Angkat tanganmu!” teriak salah satu petugas sambil mengarahkan senjatanya.Namun, Kamil tid
Pintu yang tiba-tiba terbuka itu mengagetkan semua orang di dalam ruangan. Kamil langsung berbalik, matanya menyipit marah. "Siapa di sana?!" teriaknya dengan nada tinggi penuh ancaman. Setelah menoleh dengan harapan yang hampir padam, sosok Devan berdiri tegap di ambang pintu dengan wajah yang penuh luka, tetapi matanya menyala dengan amarah yang tak terbendung. Di belakangnya Alex dan Jo berdiri, masing-masing memegang senjata seadanya."Permainanmu sudah selesai, bajingan!"ujar Devan dengan nada dingin namun tegas. Kamil tertawa sinis. "Oh, jadi kalian yang datang ke sini? Lucu sekali. Apa kalian juga ingin menyaksikan pernikahanku dengan Syakila?""Diam kau, Brengsek! Itu tidak akan pernah terjadi!" Devan berteriak dengan amarah yang kian menyala."Oh, ya? Apa hakmu melarang kami menikah? Kau bukan siapa-siapanya Syakila sekarang.""Dia istriku, brengsek!" Untuk kesekian kalinya Devan berteriak penuh emosi."Itu dulu, sebelum kamu menceraikannya. Tapi sekarang ....?Devan tak la
Devan mengepalkan tangannya erat-erat, pandangannya terpaku pada gedung tua di depan mata. Cahaya remang dari lampu jalan membuat tempat itu terlihat lebih mengerikan, seolah menyimpan ribuan rahasia gelap. Di sampingnya Jo dan Alex berdiri dengan wajah tegang. "Kita harus cepat," bisik Devan, menggenggam erat linggis di tangannya. Alex mengangguk. "Aku sudah periksa, penjaga hanya ada dua orang di dalam.""Aku tidak peduli berapa banyak penjaga di sana," balas Jo seraya menggenggam obeng besar di tangannya. "Kita lakukan ini bersama. Jangan pikiran Kamil, fokus selamatkan Opa." Alex menepuk pundak Devan dari belakang.Devan mengangguk. Ia tahu Kamil bukan hanya seorang pengancam biasa. Gangguan jiwanya yang dipenuhi obsesi berlebihan terhadap istrinya, telah membuatnya menjadi sosok yang berbahaya. Mereka harus bergerak cepat sebelum Kamil melakukan sesuatu yang lebih buruk. "Ayok!"Dengan langkah pelan mereka mendekati pintu besi gudang. Alex menyelinap lebih dulu, memastikan si