Taksi yang ditumpangi Parveen telah sampai pada sebuah restoran jepang di mana dr Ryan sudah menunggu.Saat memasuki tempat makan berciri khas negeri matahari terbit itu, matanya mengedar mencari sosok pria berkulit putih dengan kacamata yang sering kali menempel di hidung mancungnya.Dr Ryan melambai ketika melihat sosok wanita berhijab yang begitu ia kenal, walau hanya sepasang mata saja yang terlihat.Parveen mengayunkan langkah mendekat."Wow. Sudah banyak makanan ternyata. Apa kau yang memesankan untukku?" ucap Parveen saat melihat begitu banyak hidangan yang tersedia di meja Ryan.Setelahnya ia menjatuhkan bokong pada kursi bersebrangan dengan Ryan.Sebelum menjawab, pria yang cukup dekat dengan Parveen tersebut terkekeh kecil, "Aku hanya tidak ingin menunggu terlalu lama. Aku tahu kamu butuh energi yang banyak untuk bercerita banyak hal ketika bertemu denganku, bukan begitu?""Ya, kamu benar," ucap Parveen sambil melepaskan cadarnya dan bersiap menyantap makanan enak yang tersed
"Parveen ... Are you oke?" Ryan nampak heran melihat perubahan wajah perempuan cantik di depannya.Wajah yang semula cerita seketika tergelincir sendu setelah melihat ponsel yang sebelumnya ada satu notifikasi. "Hei ...." Ryan melambai tepat di depan wajah Parveen, membuat gadis yang masih menatap kosong ponselnya seketika terkesiap."Ah, iya, Yan. Sorry, aku melamun.""Ada yang mengganggu pikiranmu?" Ryan kembali bertanya penuh perhatian."Eummm ... Ini." Parveen memperlihatkan pesan berisi gambar dirinya yang baru saja ia lihat. "Dia sepertinya mengikutiku. Dia di sini, Yan. A-aku takut. Aku belum siap," imbuhnya dengan suara mulai bergetar. Wajahnya menunduk dalam, dengan tangan yang kesulitan memasang kembali niqab-nya."Tenanglah. Tidak akan terjadi apa-apa. Ada aku di sini." Ryan ingin membantu Parveen memasang niqab-nya dengan benar, tetapi dia tidak mau dituding sebagai pencari kesempatan dalam kesempitan. Bagaimana pun, mereka bukan muhrim.Setelah penutupan wajahnya terpasan
Bu Sukoco memperhatikan setiap kalimat dalam chat itu. Nomornya bukan nomor sang putra, tetapi lokasi itu memang benar tempat yang tadinya akan digunakan untuk resepsi.'Apa lagi rencana kamu, Dev?' Bu Sukoco hanya berbicara dalam hati.Mulutnya terkunci tak ingin mengomentari ucapan dua wanita di depannya."Ayok, Ma. Kita ke sana sekarang. Aku perlu dirias dulu. Nanti Tante juga pasti nyusul. Iya, kan, Tan?" Yumna sudah tidak sabar.Bu Sukoco hanya mengangguk samar."Ya sudah, ayok. Kami duluan ya, Jeung."Mereka pun dengan semangatnya meninggalkan rumah Bu Sukoco dan bergegas menuju hotel yang telah di tunjuk oleh orang suruhan Devan.Dalam perjalanannya, mereka begitu gembira dan tidak sabar untuk segera sampai. Sampai-sampai si supir taksinya disuruh untuk mengebut.Namun, alangkah terkejutnya mereka ketika sampai di lobby hotel. Banyak orang yang lalu lalang di sana.Bukan untuk menghadiri acara atau pun sibuk menyiapkan acara, melainkan mereka justru membongkar semua dekorasi ya
Ingin kulupakan, tapi Allah menaruhnya sangat indah di dalam hatiku. Pasti ada satu alasan kenapa dia berada di dalam hatiku hingga saat ini.*Parveen duduk termenung di dalam kamarnya setelah meminum obat yang rutin ia konsumsi tiap harinya. Pikirannya melalang buana jauh ke masa lalu yang penuh perjuangan dalam menjalani hidup. Tak lama setelah mengantar dirinya, dan memastikan obatnya berhasil masuk melewati tenggorokan Parveen, Ryan pamit untuk kembali bekerja. Pria itu sedikit mengkhawatirkan wanita yang cukup spesial dalam hatinya, tetapi ia juga tidak punya alasan untuk meninggalkan pasiennya di rumah sakit. Mereka lebih membutuhkan dirinya. Biarlah wanita itu istirahat sejenak baru ia akan menyempatkan waktu untuk kembali berkunjung.Tok!Tok!Tok!Opa Bamantara yang baru pulang langsung mengecek keadaan Parveen. Lelaki yang masih gagah di usia lebih dari setengah abad itu ingin segera memastikan cucu satu-satunya baik-baik saja."Apa Opa mengganggu mu, Sayang?" ucapnya."T
Dering panggilan pada gadget Parveen memecah keheningan diantara ketiganya.Sebuah nomor yang diberi nama Helen terpampang jelas di layar, membuat sang empunya mengernyit heran."Ada apa? Tumben sekali telepon malam-malam." Parveen bergumam."Kenapa, Nak?" tanya Amber."Ini, Nona Helen tumben menelpon malam-malam begini," jawab Parveen."Helen?""Sekretaris Devan.""Oooh, mungkin ada hal penting.""Mungkin. Aku angkat dulu, ya.""Iya, angkatlah. Jangan lupa di loud speaker biar kami juga bisa mendengarkan," perintah Bamantara.Setelah menggeser gambar berlogo gagang telepon warna hijau, Parveen melakukan apa yang disuruh Opa-nya tersebut."Selamat malam, Nona Parveen. Maaf mengganggu istirahat Anda," sapa Helen."Malam, Nona Helen. Tak apa, saya tidak sedang sibuk apapun, kok. Ada yang bisa dibantu, Nona?" sahut Parveen."Tidak ada, hanya ingin tahu saja perkembangan design Anda, apakah sudah mulai pembuatan? Pak Devan ingin mengetahui sejauh mana pengerjaannya.""Benarkah? Bahkan bel
Keesokan harinya ...Jasmin sudah bersiap dengan penampilannya yang cetar membahana. semalam dia mendapatkan kabar dari pihak butik untuk mendatangi butik pagi itu, guna menandatangani kontrak.Menggunakan dress satin sepaha, Jasmin terlihat cantik. Apalagi perpaduan mini dress berwarna merah yang begitu kontras dengan warna kulit tubuhnya yang berwarna kuning langsat. Sayangnya, semua itu terkalahkan oleh syal bulu warna biru terang yang melilit di lehernya. Ditambah high heels merah terang yang mencolok setiap mata yang memandang.Dengan jalan berlenggak lenggok Jasmin menenteng tas nya keluar dari kamar."Selamat pagi semuanya. Maaf, pagi ini aku tidak bisa ikut sarapan. Aku sudah ditunggu di butik," sapa Jasmin ketika melihat mama dan kakaknya di meja makan.Yumna menelisik penampilan adiknya. "Cantik banget kamu. Udah kayak model profesional," pujinya."Iya dong, Kak. Aku kan calon model sukses," sahut Jasmin membanggakan diri."Pemilik butiknya laki-laki atau perempuan? Kalau lak
"Apa! Asisten?" pekik Jasmine tak percaya. Bola matanya melebar seperti hendak keluar."Betul. Kita sudah sepakat sebelumnya. Anda sudah tandatangan kontrak bukan?" Nita tetap dengan santai menanggapi."Gak! Gak mau! Saya datang ke sini bukan untuk jadi asisten. Saya ingin jadi model, Mba!" seru Jasmin kehilangan kesabaran."Terserah. Anda sudah tandatangan secara sadar. Jika Anda tidak percaya, silakan baca baik-baik surat kontrak ini."Nita gegas mencari kertas yang telah dibubuhi tanda tangan Jasmin."Ini. Bacalah!"Jasmin buru-buru menyambar kertas putih yang sudah memang sudah dirinya beri tanda tangan. Dia membaca poin demi poin di dalamnya.Ternyata di kertas itu begitu jelas tertulis bahwa; Dia hanya menjadi model cadangan saja, sekaligus merangkap asisten model jika tidak ada pekerjaan."Bagaimana mungkin?" gumam Jasmin terkejut. Bayangan dirinya menjadi bintang yang dihujani banyak jepretan kamera pupus sudah. Apalagi dikontrak itu juga tertulis selama tiga tahun ia harus be
"Apa maksudmu dengan rumah dan mobil? Bukankah rumah itu jelas-jelas atas namamu dan kamu yang membelinya?" tanya Sundari."I-itu, anu, Ma. Maksudku----" "Anu apa? Pasti ada yang kamu sembunyikan dari Mama, iya kan? Katakan sejujurnya, Kamil!" Cecar Sundari mendesak."Oke! Akan aku ceritakan semuanya." Kamil akhirnya menyerah. Dia akan ceritakan semua kebodohannya sendiri yang selama ini dia simpan."Cepetan!" Yumna ikut mendesak."Jadi, rumah itu sudah dibayar lunas oleh ayahnya Della beberapa bulan lalu. Begitu pun mobilnya," terang Kamil."Bagus dong, berarti sekarang kamu sudah tidak punya cicilan lagi," ucap Yumna."Iya, Kak. Tapi semua sudah berbalik nama menjadi atas nama Della," imbuh Kamil yang membuat saudara serta mamanya begitu kaget."Hah! Bagaimana ceritanya? Kamu ditipu?" Meski syok, Sundari masih bertanya."Kerjaanku sempat kacau setelah kejadian malam penggerebekan itu. Alhasil banyak kerugian yang aku timbulkan. Demi bisa tetap bekerja di sana, aku harus membayar ga