Dikira gadis kampungan ternyata Sultan 35"Eum, baiklah ... Saya akan memikirkannya," ujar Bu Sukoco."Jangan terlalu lama mikirnya, Jeng. Bukankah ijab kabulnya harus diadakan nanti sore? Berarti sudah harus ada pengantin pengganti perempuannya loh." Bu Sundari semakin gencar mencalonkan anaknya."Yang mau menikah kan anak saya, bukan saya. Jadi saya tidak bisa memutuskan semuanya sendiri." "Tapi kan kamu ibunya, pasti dia nurut. Lagian, apa sih yang kurang dari anak saya? Selain dia cantik, dia itu berpendidikan dan berkelas tinggi. Jeng Sukoco pasti nggak akan nyesel punya menantu seperti anak saya ini."Dengan bangganya Bu Sundari memuji anak sulungnya sambil merangkul gadis yang sudah mesam-mesem."Sayangnya Devan tidak mencari calon istri yang hanya berpendidikan tinggi anak saya itu lebih suka pada wanita yang beretika bagus. Bukankah adab lebih tinggi daripada ilmu. Bukan begitu Jeng Sundari?"Senyum semringah di wajah Yumna perlahan memudar. Dia merasa kata-kata itu ditunjukk
Seulas senyum terukir dari bibir kedua orang laki-laki dan perempuan yang susah payah membawanya ke sini. Senyum hangat yang bisa Syakila rasakan ada ketulusan tertanam di sana.Setelah mengecek keadaan Syakila, dokter beserta perawat itu meninggalkan ruangan menyisakan dua orang suami istri bersama Syakila."Bagaimana keadaanmu, Nak. Apa sudah lebih baik?" Wanita berusia senja yang duduk di kursi tunggal dekat Syakila bertanya.Gadis yang memakai pakaian rumah sakit itu ingin bangkit untuk menghormati kedua orang yang telah berbaik hati menolongnya. Akan tetapi rasa pusing dan tidak nyaman kembali menyerang tubuh ringkih itu sehingga ia urung untuk duduk."Tidak usah dipaksakan, Nak. Istirahatlah saja, pelan-pelan, nanti kalau memang sudah membaik baru kamu duduk. Sekarang tiduran saja dulu."Penuh perhatian laki-laki yang sudah berambut putih itu menunjukkan kepeduliannya.Tidak hanya sungkan, Syakila juga merasakan kebahagiaan tersendiri di dalam hatinya, seakan dirinya kembali hadi
18 bulan kemudian ..."Parveen, istirahat dulu, Nak. Kamu sudah mengerjakan itu dari pagi. Memangnya kamu tidak capek?""Sedikit lagi Oma, tanggung bentar lagi selesai kok.""Iya, baiklah. Yang penting nanti kalau Opa datang terus cerewet sama kamu, Oma nggak turut campur loh.""Iya Omaku sayang ..."Entah sudah ke berapa kalinya Amber memperingatkan cucunya untuk segera beristirahat.Gadis yang dipanggil Parveen itu sudah sejak pagi bermain dengan kertas putih dan sebuah bolpoin di tangannya. Menyatukan garis demi garis untuk menghasilkan sebuah karya yang cantik. Karya yang harus segera didesain untuk sebuah acara fashion show satu dua Minggu mendatang."Akhirnya ... Alhamdulillah selesai." Parveen merenggangkan otot-ototnya. Menumpuk lembaran kertas yang penuh dengan coretan gaun cantik lalu meletakkannya di atas meja.Hari ini dia harus segera menyerahkan hasil gambarannya pada salah satu perusahaan fashion yang baru saja bekerja sama dengan butiknya.Mata dengan bulu lentik alami
''Mas Devan," gumam Parveen.Sepersekian detik manik matanya beradu pandang dengan pria yang saat ini tengah berjalan ke arahnya.Buru-buru Parveen mengalihkan pandanganya.'Kenapa Mas Devan bisa ada di sini?' Parveen membatin sembari membenarkan letak niqab serta hijab lebar yang hanya menyisakan sepasang mata untuk dapat dilihat.Langkah Devan semakin dekat mengiringi degub jantung Parveen yang semakin cepat.Helen mengulurkan tangannya pada gadis berpakaian serba hitam yang kini sudah berdiri menyambut."Nona Parveen?" "Ya. Apa kabar, Nona Helen?"Seketika Devan menoleh pada wanita yang sedang bersalaman dengan sekretarisnya. Hatinya bergetar mendengar suara yang begitu mirip dengan wanita terkasih yang dirindukannya.Dari pupil matanya, Parveen tahu bahwa; Pria itu kini sedang memperhatikan dirinya.Sekuat tenaga ia berusaha terlihat biasa. Menetralisir degup jantungnya yang kian tak menentu.Keringat dingin mulai terasa di sekujur tubuhnya. Beruntung dirinya memakai penutup waj
Masih dengan senyum yang mengembang, Devan melakukan sarapan terlebih dahulu sebelum berangkat ke kantor. "Apa ada hal yang kau tutupi dari Ibu, Dev?" tanya Bu Sukoco saat menemani putranya di meja makan. "Tidak ada. Kenapa memangnya?" sahut Devan sembari menyuapkan roti ke dalam mulutnya."Sepertinya senyummu agak murah hari ini. Hem?" Bu Sukoco mengangkat sebelah alisnya sembari melirik pada sang putra."Oh, itu. Ya, sepertinya aku jadi agak tua kalau sering cemberut. Sedikit terapi senyum mungkin akan mengembalikan ketampananku, ha ha ha." Devan berkelakar.Melihatnya, wanita yang melahirkan Devan tersebut pun ikut bahagia. Walaupun entah karena efek apa Sang putra akhirnya menjadi murah senyum. "Ibu senang melihatmu seperti ini. Sudah lama Ibu tidak melihatmu tersenyum.""Begitu ya?""Iya. Semenjak ...."Ucapan Bu Sukoco menggantung. Orang tua itu baru menyadari kalau apa yang akan dia katakan bisa saja melukai hati putranya. "Semenjak Syakila menghilang, maksud Ibu?""Lupakan
Sempat mematung, seketika wanita bercadar itu segera bisa menguasai diri."Sepertinya Anda salah menyebut nama, Pak Devan? Atau, sebenarnya jadwal pertemuan pagi ini bukan dengan saya?" ucapnya. Dengan santainya dia menjatuhkan diri pada kursi single di depan meja kerja CEO itu."Hmmm. Sepertinya begitu. Maaf, saya hanya menebak singkatan 'S' yang ada pada nama depan Anda, Nona Parveen," sahut Devan.Dua pasang mata itu kini saling beradu pandang. Seolah menaut, keduanya tak bisa berpaling. Pandangan mereka sama-sama terpaku di sana.Kerja jantung Parveen seakan tak normal. Degubannya begitu kencang. Andai jaraknya dengan Devan hanya beberapa sentimeter saja, mungkin lelaki itu akan mendengar suara denyut itu dengan jelas.'Ya Allah, ada apa dengan jantungku,' batin Parveen mulai gelisah."Ehm!"Dia mendehem terlebih dahulu untuk menormalkan kembali jantungnya."Bukan. S itu cuma nama dari orang yang kebetulan menyukai design saya. Beberapa ada yang mengusulkan brand fashion dengan ta
"Jasmin Rahmania. Rupanya dia yang melamar jadi modelnya. Hmmm sepertinya akan menyenangkan kalau dia aku terima," gumam Parveen terus memandang gambar seorang wanita di tangannya, setelah sebelumnya membaca biodata di berkas itu."Nita," panggilnya pada sang asisten."Ya. Bagaimana?" sahut Nita yang masih stay di ruangan Parveen."Terima dia untuk jadi model cadangan kita," perintahnya. Isi kepala gadis berusia 25 tahun itu sudah dipenuhi tak-tik untuk memberikan kejutan pada wanita masa lalu yang pernah menyakiti hatinya."Cadangan?""Iya. Model utamanya tetap kita cari.""Siap, Bos.""Oiya, jangan katakan padanya kalau dia hanya model cadangan. Bilang saja dia diterima. Besok pagi suruh dia datang lagi untuk menandatangani kontrak. Isi kontraknya akan aku buatkan yang baru khusus untuk wanita cantik ini," ujar Parveen dengan seringai tipis di balik penutup wajahnya."Baiklah. Anda bos-nya sekarang."Keduanya saling lirik kemudian tertawa bersama.***Sepeninggal Nita, Parveen kembal
Taksi yang ditumpangi Parveen telah sampai pada sebuah restoran jepang di mana dr Ryan sudah menunggu.Saat memasuki tempat makan berciri khas negeri matahari terbit itu, matanya mengedar mencari sosok pria berkulit putih dengan kacamata yang sering kali menempel di hidung mancungnya.Dr Ryan melambai ketika melihat sosok wanita berhijab yang begitu ia kenal, walau hanya sepasang mata saja yang terlihat.Parveen mengayunkan langkah mendekat."Wow. Sudah banyak makanan ternyata. Apa kau yang memesankan untukku?" ucap Parveen saat melihat begitu banyak hidangan yang tersedia di meja Ryan.Setelahnya ia menjatuhkan bokong pada kursi bersebrangan dengan Ryan.Sebelum menjawab, pria yang cukup dekat dengan Parveen tersebut terkekeh kecil, "Aku hanya tidak ingin menunggu terlalu lama. Aku tahu kamu butuh energi yang banyak untuk bercerita banyak hal ketika bertemu denganku, bukan begitu?""Ya, kamu benar," ucap Parveen sambil melepaskan cadarnya dan bersiap menyantap makanan enak yang tersed