Cukup lama Syakila terpaku memandang cincin di tangan Devan yang masih berlutut. Hingga akhirnya gadis itu tersentak, saat sebuah tepukan lembut mendarat di pundaknya.Syakila menoleh. Terlihat Bu Sukoco memandang penuh harap di sana."Jawablah dari hatimu, Nak," ucap Bu Sukoco lembut.Syakila kembali memandang cincin itu. Lalu beralih pada sang empunya yang masih setia menunggu jawaban darinya.'Ya Tuhan ... Apakah ini nyata? Aku tidak sedang bermimpi bukan?' batinnya tak percaya."Syakila ... Will you marry me?" Devan kembali bertanya membuat Syakila semakin tak karuan.Gadis itu belum mempunyai rasa apa-apa terhadap lelaki tampan di depannya itu. Namun, jika harus terang-terangan menolak rasanya tidak enak. Apalagi, tidak ada alasan untuk dirinya menolak pesona pengusaha sukses yang gagah dan tampan selain karena belum adanya rasa cinta.Tapi, bukankah cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu? Saat pikiran Syakila sedang berkecamuk, mendadak suasana menjadi ramai. Riuh tepuk ta
Di dalam kamarnya, Kamil tengah memandang foto Syakila yang masih tersimpan rapi di galeri ponselnya. Dengan pose memiringkan kepala dan tersenyum, Syakila sungguh terlihat manis dan cantik.Apalagi hijab yang gadis itu kenakan semakin membuatnya mempesona.Bukan ia tak mendengar gedoran serta teriakan mama dan kakaknya, ia hanya ingin menyendiri saat ini."Syakila, kenapa semudah itu kamu melupakanku? Apakah luka di hatimu begitu dalam? Maafkan aku, Sya. Aku menyesal telah mengkhianatimu. Ternyata, sesakit ini mendengar kau akan bersanding dengan laki-laki lain," gumam Kamil seraya memandang foto Syakila."Kenapa aku harus terlambat menyadari bahwa kamulah cintaku. Kamulah yang mengerti aku. Kamulah yang terbaik untukku, Sya. Kenapa kamu tega?""Aaarrggg!!!"Kamil berteriak kencang di dalam kamarnya.Mama serta kakaknya yang masih berada di depan pintu tentu semakin panik mendengar teriakannya. Gedoran mereka semakin kencang. "Kamil. Hei. Kamu kenapa?" teriak Yumna."Ini Mama, Nak. B
"Gimana? Kamu setuju 'kan dengan rencana Kakak?" tanya Yumna.Sang mama yang sejak tadi diam menyaksikan pun dibuat penasaran oleh kedua anaknya itu. Agaknya Ini rencana besar. Dia harus tau, rencana apa yang diusulkan Yumna."Rencana apa sih, Yum? Kasih tahu Mama juga, dong," desaknya.Yumna pada akhirnya memberi tahu rencana itu pada mamanya. Siapa tahu mamanya bisa meyakinkan adiknya untuk menyetujui ide brilian menurut dirinya."Gitu, Ma. Bagus kan ide Yumna?" ucap Yumna setelah selesai berbisik pada sang mama.Wanita yang paling tua di antara mereka tak serta merta mengiyakan hal itu. Resikonya dianggap terlalu besar. Benar kata putranya barusan. Masa depan dan karir Kamil jadi taruhannya."Tapi itu terlalu beresiko, Yum," ujar sang mama."Makanya Kamil harus hati-hati melakukan itu. Kita juga harus membantu dia agar namanya tidak tercoreng, Ma.""Lagian, bukan ini rencana yang kita susun kemarin bersama Dela, Yum. Kalau sampai dia tahu kalau kita bersekongkol dengan Kamil untuk
"Enggak, bukan karena itu---""Becanda, Sayang. Tegang amat mukanya?" Bu Sukoco berkelakar.Ibu dari Devan itu merasa puas telah berhasil mengerjai calon menantunya.Sementara Syakila menarik napas lega. "Syukurlah ... Saya kira Ibu tersinggung dengan ucapan saya.""Enggak 'lah. Ibu bukan tipe mertua yang kayak di sinetron-sinetron itu kok." Diiringi kekehan sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan."Ibu ini, bikin saya jantungan saja.""Maaf ya, Nak. Nanti kita lanjutkan di rumah saja, ya. Sekarang kita mampir ke minimarket duku. Ada yang mau Ibu beli.""Iya, Bu."Taksi online yang ditumpangi mereka pun berhenti sejenak. "Kamu mau ikut Ibu atau tunggu di sini, Sya?" tanya Bu Sukoco ketika mau keluar dari mobil."Ikut, Bu. Siapa tahu Ibu butuh bantuan.""Ya sudah, yuk kita keluar."Mereka pun bersama-sama belanja membeli beberapa cemilan untuk dimakan di rumah nanti.***Di sebuah ruangan kerja, Devan tengah berkutat dengan layar monitor dan setumpuk berkas yang harus ia periksa.
Dikira Gadis Kampungan Ternyata Sultan 23"Halo ... Calon istri," bisik Devan tepat di telinga Syakila.Gadis itu sedang berada di kursi teras sendirian.Syakila yang tengah menunduk, terlonjak. "Mas Devan!""Hmmmm, apa kau merindukanku?""Hah?" Mata Syakila mengerjap heran. "Ap-apa? Maksudku, kapan Mas pulang? Kok saya gak dengar," imbuhnya kikuk."Sejak kamu fokus sama benda itu." Devan menunjuk ponsel Syakila dengan dagunya."Oh ... Eh, berarti sudah lama dong.""Begitulah. Lumayan puas mandangin kamu."Seketika Syakila tersipu."Eum, saya masuk dulu, Mas." Syakila pun beranjak dengan perasaan gugup masuk ke dalam, disusul kemudian oleh Devan di belakangnya.Tanpa menunggu komando, Devan pun berjalan mensejajari gadis yang beberapa waktu lalu ia sematkan cincin di jari manisnya."Daddy ..." Aira berlari gembira menyambut ayahnya.Devan merentangkan kedua tangannya bersiap menangkap tubuh mungil putrinya."Hai, Sayang. Bagaimana harimu?" sapa Devan sesaat setelah mencium gemas pipi
"Beres," ucap Devan. Lalu mengulurkan tangan bermaksud mengembalikan ponsel Syakila padanya. "Nih."Gadis itu pun menyambut, tetapi saat tangannya akan menempel pada ponsel itu, mendadak ponselnya berdering kencang, membuat Devan urung mengembalikan.Ada nama 'Mas Kamil' di layar ponselnya."Mau apalagi dia?" gerutu Devan.Syakila tampak memicingkan matanya ketika mendapati calon suaminya itu menekan tombol reject. Kemudian tangan itu bergerak lincah pada keyboard seperti menulis sesuatu.Sedetik kemudian dering itu kembali terdengar."Kenapa, Mas? Siapa yang menelepon?" tanya Syakila."Nih, Amuba telpon lagi!" jawab Devan sedikit ketus sambil memberikan ponsel Syakila padanya."Amuba?" Syakila mengulang kata sebagai pertanyaan seraya membaca tag si pemanggil di layar.Memang ada nama Amuba yang sedang melakukan panggilan pada ponselnya. Seingatnya, dia tidak pernah memberi nama seperti itu pada nomor siapapun."Kamu boleh mengangkatnya, tapi harus di loudspeaker," perintah Devan."Mem
"Syakila! Kalau kamu masih ingin tinggal di sini, masuk sekarang!" perintah si ibu kost."I-iya, baik, Bu."Saat akan melangkah, Devan mencekal pergelangan tangan Syakila, membuat gadis itu urung meneruskan langkah, dan menoleh pada lelaki itu."Kemasi barang-barangmu. Kita tinggalkan tempat ini," seru Devan dengan sorot mata tajam mengarah pada ibu kost."Tapi, Mas---""Cepat atau tinggalkan saja semua barangmu. Aku akan membelikan semuanya dengan yang baru.""Jangan!" Buru-buru Syakila berseru. "Iya, tunggu sebentar," pintanya, kemudian melangkah cepat masuk untuk mengemasi barang sesuai perintah Devan. Dia tahu Devan tidak main-main dengan ucapannya.Sepeninggal Syakila, ibu kost yang memang tidak menyukainya pun tertawa mengejek."Bagus kalau kau bersedia menampung dia. Gadis miskin yang selalu telat bayar kost padahal katanya kerja, tapi pelit," ejeknya.Tangan Devan terkepal kuat diiringi mata yang juga terpejam menahan amarah."Gayanya sok-sokan mau membelikan barang-barang bar
"kenapa ke hotel?" Syakila memberanikan diri untuk bertanya."Hanya tempat itu yang paling gampang ditemukan untuk tempat tinggal kamu malam ini. Besok, kita baru cari rumah untuk kita," terang Devan."Rumah kita?" ulang syakila."Hmmm. Untuk tempat tinggal kita setelah menikah. Kamu mau yang tipe bagaimana terserah.""Eum ... Memangnya Mas Devan sudah yakin mau menikahiku?" lirih syakila.Rasanya seperti mimpi seorang CEO perusahaan ternama sudi menikahi gadis kampung yang tidak berpendidikan tinggi seperti dirinya."Kau meragukanku?" Mata devan memicing."Tidak. Bukan, bukan begitu maksudku. Aku hanya ..." Syakila menjeda ucapannya. "Takut," lanjutnya lirih."Aku bukan tipe yang suka main-main. Jika bersedia, aku bahkan bisa menikahimu malam ini juga.""Mas Devan... " Sungguh, syakila ingin menangis mendengar penuturan Devan yang terdengar tulus padanya.Devan menepikan mobilnya untuk berbicara lebih intens."Syakila, dengarkan aku," ucap Devan sembari memegang pundak gadis yang dud
Kamil menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, memutarnya dengan mata yang menatap lurus ke depan seperti seekor ular yang siap menyemburkan bisanya. Tanpa ekspresi, dia mendekati Syakila yang masih memejamkan mata lalu membopongnya seperti karung beras, membawanya ke dalam mobil.Beberapa minggu lalu, ketika ia berhasil meracuni polisi yang berjaga kemudian kabur dari lapas, Kamil mendatangi salah satu anak buahnya yang tak tertangkap dan meminta mobil untuk dikendarai. Dibantu oleh anak buahnya itulah akhirnya Kamil berhasil menyelinap ke vila yang disewa Devan, menyamar sebagai penjaga keamanan di sana setelah berhasil membuat penjaga aslinya harus cuti.Dalam hatinya, Kamil bertekad untuk dapat bersatu dengan Syakila, apapun caranya. Jika dia tak bisa memiliki, maka orang lainpun tak ada yang boleh memiliki. Jika tak bisa bersatu di dunia, di alam lain pun Kamil tak keberatan. Dan kini, laki-laki yang jiwanya terganggu itu telah bersiap untuk melakukan sesuatu.****"Pasti ada
"Syakila ..." Telinga tajam Devan dapat mendengar suara gelas yang jatuh. Gegas pria bergaya rambut Taper Fade itu naik ke atas kolam dan berjalan ke dapur, tanpa peduli cipratan air yang berjatuhan di lantai."Sayang, kamu gak pa-pa?" teriaknya terus berjalan.Sunyi. Tak ada jawaban apapun. Langkahnya semakin cepat dan pasti. Namun, ketika sampai dapur, tak ada siapapun di sana. Hanya pecahan gelas yang berserakan di lantai.Devan panik. Seketika ia mengitari sekitaran sambil terus memanggil istri tercintanya."Syakila ...""Sayang, kamu di mana?"Terus mencari ke setiap ruangan di vila, tetapi hasilnya nihil. "Sayang, bercandanya gak lucu loh. Kamu di mana ?" Devan masih berfikir positif. Mungkin istrinya ingin bermain-main dengannya."Sayang, ayolah. Keluar dong. Aku dah kedinginan nih, mau ganti baju. Temenin yuk." Devan terus berbicara sendiri sambil terus mencari.Hampir seluruh ruangan ia datangi, dan hasilnya tetap kosong. Panik, Devan mulai sangat panik. Apa yang terjadi de
"Kenapa seperti ada yang mengikuti ya?" gumamnya, lalu menoleh ke belakang. Tetapi tak ada siapapun di sana. Jalanan sepi."Mas, ayok!" teriak Syakila yang sudah lebih dulu berjalan."Eh, iya, Sayang." Devan terkesiap kemudian menyusul, ikut mengantri bersama sang istri.Beberapa orang yang juga membeli bubur mengajak mereka ngobrol. Ada yang sama-sama pendatang, ada juga yang asli penduduk setempat. Syakila dan Devan menyukai keramahan penduduk di sekitar villa yang mereka sewa."Ini buburnya, Neng," ucap si penjual bubur pada Syakila, setelah beberapa waktu mengantri."Iya, Mang. Terima kasih." Syakila menerima kantong kresek berisi bubur, sementara Devan yang membayarnya."Mari, Ibu-ibu, kami duluan," pamitnya pada ibu-ibu yang masih mengantri."Mari, Neng, A, selamat liburan ya, semoga sukses," sahut seseibu dengan lantang."Sukses apa nih, Bu?" Devan sengaja menanggapi, karena tertarik dengan misteri di balik kata 'sukses' itu."Ya sukses jadi belendung atuh, hamil teh. Apalagi c
"Sayang ... Ahh...."Untuk yang kedua kalinya Devan mencapai puncak kenikmatan bersama Syakila di villa. Sepasang suami istri itu benar-benar menikmati bulan madu kedua ini. Hampir tak terlewatkan oleh mereka aktivitas saling mencintai, dan memadu kasih begitu mereka sampai di tempat penginapan itu. Apalagi Devan memilih villa yang lumayan jauh dari keramaian. menurutnya agar aktivitas mereka lebih privasi. Tentu hal itu semakin membuat mereka semakin intens.Dua manusia berlawanan jenis itu masih tersengal dengan napas memburu di balik selimut putih yang menutupi tubuhnya. "Kau benar-benar hebat, Sayang. Terima kasih." Devan memberikan pujian pada sang istri karena berhasil mengimbangi permainannya yang brutal.Lelaki itu betul-betul merindukan momen ini. Bagaimana tidak? Kemarin-kemarin dia terpaksa harus puasa menjamah tubuh indah Syakila. Banyak kejadian tak terduga yang mereka alami."Sama-sama, Mas. Kamu juga hebat. Masih gagah seperti yang dulu," sahut Syakila dengan suara ber
"Bu, Opa, dan Oma, weekend besok aku sama Syakila ada rencana liburan ke villa. Eum, kalau boleh kita mau nitip Aira, gak lama kok, cuma dua hari." Dengan sedikit malu Devan meminta izin saat mereka sedang bersantai di depan televisi.Aira sendiri sudah lebih dulu terlelap ditemani mommy-nya di kamar. Jadi anak itu tidak protes ketika daddy-nya akan pergi berdua saja dengan sang mommy."Tentu saja boleh, Nak. Kalian memang perlu liburan setelah semua yang kalian alami," ucap Sukoco."Ibumu benar, Dev. Pergilah, buat hari-hari kalian menyenangkan." Bamantara menimpali."Sola Aira, kami siap menjaganya. Dia anak yang baik, pasti akan mengerti." Amber juga mengeluarkan pendapatnya."Terima kasih, semuanya. Aku akan beri tahu kabar ini pada Syakila." Devan terlihat bahagia. Bulan madu kedua ini pasti akan menyenangkan."Ah, bagaimana kalau kita ajak Aira menengok rumah kita, Sayang. Supaya dia tidak sedih kalau daddy dan mommy-nya pergi berlibur," usul Amber pada suaminya."Ide yang bagus
Devan memandang layar ponselnya dengan alis berkerut. "Panggilan tak terjawab?" gumamnya sambil membuka notifikasi. "Jo? Kok banyak banget panggilannya?" Ia menghela napas panjang, merasa bersalah telah melupakan handphonenya sejak sore tadi.Devan benar-benar tenggelam dalam waktu berkualitas bersama Syakila, sang istri. Mereka berdua memanfaatkan momen langka tanpa gangguan. Rasanya nyaman bisa menikmati hari hanya berdua, tanpa memikirkan urusan luar. Andai saja Aira, putri kecil mereka, tidak mengetuk pintu kamar untuk mengingatkan waktu sholat Maghrib, mungkin mereka masih saja berlama-lama berbincang di kamar.Kini, setelah sholat berjamaah bersama keluarga, Devan baru menyadari betapa banyak panggilan dari Jo. Ia mencoba menelepon balik, tetapi panggilannya tak dijawab."Kenapa, Mas?" suara lembut Syakila menyadarkannya. Wanita itu mendekat, membawa segelas teh hangat, lalu duduk di sampingnya di atas karpet ruang keluarga.Devan menunjukkan layar ponselnya. "Jo telepon berkali
Teriakan di luar membuat semua orang terhenti. Jo, Alex, dan anak buahnya langsung berlari mengejar, meninggalkan Devan, Syakila, dan Bamantara yang masih terkejut di dalam ruangan.“Bagaimana dia bisa kabur?!” Devan menggeram.“Mas, biarkan mereka yang urus,” ujar Syakila dengan suara gemetar, memegang lengannya.Devan menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Namun, di matanya, api kemarahan terhadap Kamil belum padam.Di luar gedung, Kamil dengan kondisi babak belur berlari sekuat tenaga. Tali yang mengikat tangannya rupanya berhasil ia lepas dengan pisau kecil yang tersembunyi di sepatunya. Para pengejarnya masih mengejar dari belakang, namun Kamil menemukan sebuah celah di pagar dan melarikan diri ke jalan raya yang cukup gelap.Dia mengira dirinya aman, sampai sirine polisi tiba-tiba terdengar semakin mendekat. Sebuah mobil patroli berhenti tepat di hadapannya, membuatnya panik.“Angkat tanganmu!” teriak salah satu petugas sambil mengarahkan senjatanya.Namun, Kamil tid
Pintu yang tiba-tiba terbuka itu mengagetkan semua orang di dalam ruangan. Kamil langsung berbalik, matanya menyipit marah. "Siapa di sana?!" teriaknya dengan nada tinggi penuh ancaman. Setelah menoleh dengan harapan yang hampir padam, sosok Devan berdiri tegap di ambang pintu dengan wajah yang penuh luka, tetapi matanya menyala dengan amarah yang tak terbendung. Di belakangnya Alex dan Jo berdiri, masing-masing memegang senjata seadanya."Permainanmu sudah selesai, bajingan!"ujar Devan dengan nada dingin namun tegas. Kamil tertawa sinis. "Oh, jadi kalian yang datang ke sini? Lucu sekali. Apa kalian juga ingin menyaksikan pernikahanku dengan Syakila?""Diam kau, Brengsek! Itu tidak akan pernah terjadi!" Devan berteriak dengan amarah yang kian menyala."Oh, ya? Apa hakmu melarang kami menikah? Kau bukan siapa-siapanya Syakila sekarang.""Dia istriku, brengsek!" Untuk kesekian kalinya Devan berteriak penuh emosi."Itu dulu, sebelum kamu menceraikannya. Tapi sekarang ....?Devan tak la
Devan mengepalkan tangannya erat-erat, pandangannya terpaku pada gedung tua di depan mata. Cahaya remang dari lampu jalan membuat tempat itu terlihat lebih mengerikan, seolah menyimpan ribuan rahasia gelap. Di sampingnya Jo dan Alex berdiri dengan wajah tegang. "Kita harus cepat," bisik Devan, menggenggam erat linggis di tangannya. Alex mengangguk. "Aku sudah periksa, penjaga hanya ada dua orang di dalam.""Aku tidak peduli berapa banyak penjaga di sana," balas Jo seraya menggenggam obeng besar di tangannya. "Kita lakukan ini bersama. Jangan pikiran Kamil, fokus selamatkan Opa." Alex menepuk pundak Devan dari belakang.Devan mengangguk. Ia tahu Kamil bukan hanya seorang pengancam biasa. Gangguan jiwanya yang dipenuhi obsesi berlebihan terhadap istrinya, telah membuatnya menjadi sosok yang berbahaya. Mereka harus bergerak cepat sebelum Kamil melakukan sesuatu yang lebih buruk. "Ayok!"Dengan langkah pelan mereka mendekati pintu besi gudang. Alex menyelinap lebih dulu, memastikan si