Pukul 14.15 wib, mobil yang ditumpangi Bu Sukoco dan Syakila tiba di rumah mewah Bu Sukoco.
Bangunan tinggi menjulang dengan hiasan taman itu, mempercantik halaman di sana, membuat Syakila terpesona."Ayo, masuk! Aira pasti senang lihat kamu," ajak Bu Sukoco.Sambil terus melangkah, Syakila mencoba memberanikan diri untuk bertanya pada bos wanitanya itu."Memangnya Aira kenal sama saya, Bu?""Kenal, dong. 'Kan, dia itu penggemar berat kamu di toktok. Tiap malam loh, Aira menantikan dongeng kamu sebelum tidur," ujar Bu Sukoco semringah."Ibu cerita kalau itu saya?" tanya Syakila memastikan."Enggak. Ibu cuma janji bakal membawa tukang dongeng kesayangannya ke sini. Sebagai nenek yang baik, Ibu harus menepati janji, dong," sahut Bu Sukoco sembari melebarkan senyuman."Owh, begitu."Tepat ketika Syakila dan Bu Sukoco akan berbelok ke ruang tengah yang terhubung langsung pada pintu menuju kolam renang, sebuah mobil terdengar memasuki halaman rumah itu.Bu Sukoco menghentikan langkahnya, diikuti Syakila yang juga berhenti."Itu pasti Devan. Kita tunggu sebentar, ya," ujar Bu Sukoco.Benar saja, lelaki dengan pakaian kerja lengkap dengan jasnya terlihat melewati pintu masuk.Seketika saja lelaki itu memelankan langkahnya saat pupil matatajam itu menangkap bayangan gadis cantik yang sedang berdiri bersama sang ibu seperti menyambut kedatangannya.Sempat tak mengenali Syakila, beberapa detik kemudian lelaki itu tersadar bahwa wanita yang bersama ibunya pasti adalah gadis yang bekerja di kiosnya.Mata pria itu masih tak berkedip memandang wajah cantik Syakila. Hatinya betul-betul mengagumi paras gadis yang selama ini dianggapnya sebagai anak kecil.'Kenapa dia bisa secantik dan seanggun ini sekarang?'Perlahan tapi pasti, langkah Devan semakin dekat. Sorot matanya tak mampu berpaling dari Syakila, membuat gadis itu salah tingkah.'Kenapa Mas Devan lihat aku kayak begitu, ya? Jangan-jangan penampilanku norak walau hanya untuk menghadiri acara ulang tahun anak kecil,' batin Syakila.Ia celingak-celinguk untuk membuang grogi, dan berusaha terlihat tenang."Matanya, loh! Kedip!" tegur Bu Sukoco pada Devan, sembari menepuk pelan pundak pria itu.Devan terlonjak. Wajahnya pun bersemu menahan malu.Belum sempat Devan mengucap kalimat untuk menimpali ibunya, sebuah suara terdengar mengucapkan salam.Sontak ketiganya menoleh dan melihat siapa yang datang.Mata Syakila melebar sempurna. Irama jantungnya berkali lipat lebih kencang, ketika melihat wanita seumuran Bu Sukoco yang datang bertamu.Itu adalah Bu Sundari---mamanya Kamil, orang tua dari mantannya yang sudah menaburkan garam di luka tusuk pada hatinya, akibat ulah putranya beberapa bulan silam.Sungguh, Syakila belum siap bertemu keluarga itu kembali seperti ini.Dirinya belum bisa membuktikan apa pun. Ia belum mampu berdiri di kakinya sendiri sebagai wanita hebat yang tak bisa lagi direndahkan oleh siapa pun.Bu Sundari semakin mendekat. Syakila memejamkan mata sejenak untuk menetralisir perasaan dan mempersiapkan diri untuk menghadapi kenyataan."Halo, Jeung Sukoco, apa kabar?" sapa Bu Sundari sembari mengulurkan tangan."Eh, Jeung Sundari. Alhamdulillah kabar saya baik. Sangat baik malah," sahut Bu Sukoco sambil menyambut uluran tangan teman arisannya itu."Syukurlah kalau begitu. Owh iya, mana cucunya, Jeung? Saya sudah siapkan kado spesial, loh. Mewah, dan pastinya mahal."Bu Sundari membanggakan diri. Tangan yang menenteng sebuah paper bag diangkat ke atas."Aduh, jadi ngerepotin ... padahal gak perlu repot-repot begitu, Jeung. Sudah datang saja saya sudah senang," sahut Bu Sukoco."Gak papa, kok. Kalau cuma kado mah, saya gak repot. Itung-itung sedekah sama anak yatim. Apalagi anak saya sekarang sudah punya pangkat di kantor. Kecil itu, mah."Terdengar biasa saja kalimat penuh kesombongan yang diucapkan Bu Sundari bagi Syakila, tetapi tidak dengan lelaki di samping Bu Sukoco. Wajah itu terlihat datar dan dingin. Rahangnya mengeras seperti menahan marah.Bagaimana tidak. Anak yang dibilang yatim itu adalah putri dari CEO perusahaan besar. Lalu dengan entengnya perempuan yang tidak dikenalnya itu mengatakan akan bersedekah padanya.Bu Sukoco melirik sekilas pada Devan."Eh, Ini pasti Nak Devan, ya?" tanya Bu Sundari dengan binar bahagia.Tangan perempuan paruh baya itu kembali terulur. Ingin menyalami Devan.Laki-laki itu bergeming. Wajahnya tetap datar tanpa ekspresi. Kedua tangannya masih setia berada di saku celananya.Merasa tak enak, Bu Sukoco menyenggol lengan putranya sebagai isyarat untuk menyambut uluran tangan tamunya itu.Devan pun akhirnya mengeluarkan satu tangannya, berniat menempelkan sekilas ujung jarinya pada tangan Bu Sundari.Namun, siapa sangka justru Bu Sundari menggenggam erat tangan Devan, membuat lelaki itu membelalakkan mata.Syakila yang tadinya tegang, seketika menahan tawa melihat wajah Devan yang terkejut."Ya ampun ... kamu tampan sekali. Pantas saja, Yumna kagum banget sama kamu," celetuk Bu Sundari.Tangannya masih erat memegang telapak tangan lelaki berkulit putih itu.Dengan sekali hentakan, tangan yang dikuasai Bu Sundari berhasil terlepas."Jaga sikap Anda, Bu!" sentak Devan.Pria berumur 32 tahun itu memang tidak suka basa basi. Ia cenderung datar dan apa adanya.Orang tua dari Kamil itu sempat mengaduh ketika tiba-tiba tangannya terhempas ke udara. Andai itu bukan Devan, lelaki kaya yang digadang-gadang untuk berjodoh dengan Yumna, pasti sudah sedari tadi ia memaki."Saya cuma senang saja bertemu dengan kamu. Owh iya, tunggu sebentar." Bu Sundari melongok seperti mencari sesuatu.Begitu pun Bu Sukoco dan Syakila yang mengikuti arah kepala Bu Sundari menatap. Tetapi tidak dengan Devan, ia masih berada di mode es yang beku."Cari siapa, Jeung?" tanya Bu Sukoco penasaran."Anak saya, Jeung. Tadi katanya dia mau datang juga ke acara ini," jawab Bu Sundari yang sukses membuat Syakila semakin tak keruan.Belum hilang rasa cemas berhadapan dengan ibu dari mantannya, kini ia juga harus bertemu dengan mantan calon kakak iparnya sekaligus.Keringat dingin sebesar biji jagung perlahan keluar dari pelipis dan hidung mancung Syakila."Nah, itu dia!" ujar Bu Sundari antusias yang dari tadi tidak memperhatikan Syakila.Ia terlihat menyambut girang kedatangan anak pertamanya itu."Maaf, Ma. Tadi jalannya macet. Acaranya belum selesai, 'kan?" tanya Yumna, setelah berada di dekat mamanya."Belum. Ayo, salim dulu sama Tante Sukoco dan Nak Devan," titah Bu Sundari.Tergesa, wanita seumuran Devan itu menyodorkan tangan pada sang pria, Bu Sukoco, dan juga Syakila.Cukup lama Yumna memperhatikan wajah Syakila. Wajah yang seperti tidak asing di matanya. Namun, ia segera membuang jauh-jauh dugaannya itu. 'Mana mungkin wanita kampungan itu berada di sini.'Terbesit perasaan khawatir kalau Yumna dapat mengenali dirinya. Tetapi, Syakila harus bernapas lega, sebab baik Bu Sundari maupun Yumna tak mengenalinya kali ini."Apa kabar, Mas?" Yumna menyapa Devan."Baik!" jawab Devan datar.Kemudian dengan tidak tahu malunya, kakak dari Kamil itu berdiri begitu dekat di samping Devan."Jeung, gimana kalau kita jodohkan mereka berdua? Sama-sama single dan sangat serasi bukan?" Tiba-tiba Bu Sundari berceletuk."Maaf, saya sudah punya calon istri!" tegas Devan menyela.Kemudian ia berjalan menuju Syakila.Tangan lelaki itu terulur meraih telapak tangan Syakila dan membawa gadis itu masuk meninggalkan tiga orang wanita yang sama-sama melongo tak percaya."Hah?!""Memangnya, siapa wanita itu, Jeung?" tanya Bu Sundari membuang penasaran.Bu Sukoco hanya mencebik. Bahunya terangkat acuh sembari melenggang meninggalkan ibu dan anak yang hanya bisa menahan kesal."Gimana dong, Ma? Gak mau tahu! Pokoknya Devan harus jadi milikku!" Yumna merengek. Kakinya dientak-entakkan ke lantai seperti anak kecil kehilangan mainannya."Udah, kamu tenang saja! Selama belum ada janur kuning melengkung, apa pun bisa kita lakukan." Bu Sundari mencoba menenangkan."Tapi kalau Devan tetep keukeuh sama wanita itu gimana, Ma?" Lagi-lagi Yumna merengek."Makanya kamu tenang, dong ...! Kalau kamu kayak gitu, gimana Devan bisa tertarik. Tunjukkan kalau kamu lebih baik dari wanita tadi.""Caranya?""Ya kamu jangan seperti anak kecil begitu. Kita ini wanita berkelas. Keluarga kita terpandang. Angkat dagumu, dan kita singkirkan wanita itu pelan-pelan," bisik Bu Sundari dengan seringai tipis penuh makna.Seolah mengerti, Yumna pun melakukan hal yang sama. "Sekarang kita masu
"Lepasin! Aira gak mau sama Tante!" Teriakan gadis cilik itu berhasil menyadarkan Yumna dari lamunan. Tangan yang semula bersiap membopong anak itu kembali ditarik.'Untunglah itu cuma bayanganku saja. Entah apa jadinya kalau sampai aku mendorong wanita itu ke kolam. Bisa-bisa Devan semakin menjauh dariku,' batin Yumna.Wanita berkulit putih itu menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan bayangan mengerikan yang sempat terlintas di pikirannya."Kamu kenapa?" tanya Devan bingung melihat tingkah wanita di sampingnya."Eh. Enggak! Gak papa, kok.""Dasar aneh!" sambung Devan."Huffhh ...." Kakak dari Kamil itu menghembuskan napas lega. Setidaknya ia berhasil menahan diri untuk tidak terlihat jahat di depan pria incarannya."Eum, kamu gak mau kenalin aku sama calon istri kamu, Mas?" tanya Yumna. Wanita itu mencoba mengorek informasi tentang perempuan yang masih menggendong Aira.Seketika bola mata Syakila melebar. "Untuk apa?" sahut Devan."Ya gak kenapa-kenapa, sih. Cuma, masa iya aku
"Kalian kenapa?" tanya Kamil melihat wajah dua wanita yang baru pulang itu ditekuk."Kepala Mama pusing." Bu Sundari menimpali ucapan sang putra seraya mengurut pelipisnya, duduk bersandar pada sofa ruang tamu mereka.Beberapa menit lalu mereka akhirnya pulang membawa kobaran api yang masih mengebul di hati."Ada apa, sih? Mama sakit?" Kamil masih tak mengerti. Pasalnya tadi pagi mereka begitu antusias akan menghadiri pesta ulang tahun anak dari lelaki incaran kakaknya."Ambilkan Mama air putih, Nak," perintah sang mama.Dengan cekatan, pemuda yang menggunakan baju santai itu mengambil gelas beserta air putih untuk mamanya."Ini, Ma.""Terima kasih, Nak."Kemudian Kamil mendekati sang Kakak yang juga tengah duduk pada kursi dengan keadaan tak kalah kusut."Kak. Ada apa, sih?!" bisik Kamil kembali bertanya untuk membuang penasaran."Tahulah!" sahut Yumna."Bukannya kalian habis menghadiri pesta ulang tahun anak lelaki pujaanmu? Harusnya kalian seneng dong. Ini malah kusut begitu.""Se
"Aku berangkat dulu!"Tak berniat menanggapi perkataan ibunya, Devan memilih untuk berangkat ke kantor. Tak peduli sarapannya masih utuh di piring. Maupun anaknya yang mungkin saja tengah bersedih saat ini.Hatinya terlalu sakit jika ada yang menyebutkan nama Syakila. Adegan pelukan itu kembali terlihat bagai film yang terus diputar berulang-ulang dalam benaknya.Andai ia tak mempunyai rasa lebih pada gadis itu, mungkin rasa perih tak lagi ia rasakan.***Di ruang keluarga, Yumna dan Bu Sundari tengah menyusun rencana."Yumna yakin rencana kita akan berhasil, Ma.""Kamu benar. Tak apalah menumbalkan Kamil sementara waktu.""Mama tenang saja. Gak akan lama kok. Setelah wanita itu berhasil kita singkirkan, Kamil segera kita jauhkan darinya. Lagian, Yumna juga gak rela, Ma, kalau Kamil kepincut lagi sama cewek kampung itu!""Ya sudah. Nanti kalau Kamil sudah pulang, Mama yang akan ngomong. Tugasmu mengumpulkan bukti sebanyak mungkin. Oke!""Siap, Ma. Tenang saja."Lalu keduanya tertawa p
"Gak papa, Bu. Saya mengerti," ucap Syakila seraya membalas pelukan Bu Sukoco, menyembunyikan kepiluan atas ucapan menohok putranya.Perlahan pelukan mereka merenggang. "Kalau begitu, Ibu duluan, ya. Istirahatlah setelah ini," ujar Bu Sukoco yang diangguki oleh Syakila.Kemudian orang tua itu berbalik dan meninggalkan gadis berparas cantik dan kalem tersebut di warung dengan perasaan pilu.***Malam menjelang. Syakila baru saja menyelesaikan live-nya lebih cepat dari biasanya.Konsentrasi wanita yang sudah memakai piyama itu terbelah. Entah apa yang ia pikirkan. Yang jelas hatinya terasa hampa. Apalagi jumlah penonton dan sawerannya semakin menurun tiap malamnya.Malam semakin larut. Namun, rasa kantuknya belum juga hadir, membuat Syakila tak juga terlelap meski berulang kali mencoba untuk menyatukan kelopak matanya.Kejenuhan mulai menghinggapi. Gadis itu kembali menghidupkan ponsel untuk sekedar membuang waktu.Membuka aplikasi chat berwarna hijau, ia bermaksud menghapus pesan-pes
"Jangan---Bu."Terlambat. Bu Sukoca sudah terlebih dahulu memegang handphone miliknya."Aduh, Ibu gak bisa baca, Sya. Lupa pakai kaca mata." Bu Sukoco tertawa sambil memandang layar handphone di tangannya.Mendengar itu, Syakila menghembuskan napas lega."Lagian, itu bukan dari seseorang yang mau nawarin endorse, Bu. Cuma orang gak penting," ujarnya."Kan siapa tahu aja, Sya. Ibu pengen lihat kamu sukses dan maju." "Aamiin, Bu. Do'akan saja, ya.""Apa Ibu promosikan akun kamu sama temen-temen arisan ibu aja ya, Sya? Temen-temen Ibu ada yang punya usaha tas, kosmetik, sendal, sepatu. Yang usaha berlian juga ada. Gimana?"Syakila nampak tersenyum simpul. Ia sama sekali tidak tertarik dengan penawaran itu."Eeeh, malah senyum doang. Kamu setuju 'kan?" Ibu dari Devan itu kembali bertanya, sebab reaksi lawan bicaranya terkesan biasa saja.Padahal orang tua itu berharap Syakila akan antusias seperti dirinya."Gak usah, Bu. Saya tidak begitu tertarik. Lagian, saya cuma iseng aja main toktok
Dikira Gadis Kampungan Ternyata Sultan 15.TerorSyakila terpaksa menyetujui permintaan Kamil untuk berbicara empat mata. Wanita itu berpikir untuk menyelesaikan semuanya sekarang. Lagi pula, Kamil pasti akan kembali datang kalau ia tak menanggapinya."Aku minta maaf, Sya. Sungguh. Aku terpaksa menyetujui pertunangan itu karena mama mengancam akan bunuh diri. Aku tak ada pilihan lain saat itu. Kamu mau maafin aku 'kan?" ucap Kamil mengiba.Lelaki itu ingin kembali merajut asmara dengan wanita yang telah ia sakiti.Syakila bergeming. Jika dulu, ia akan langsung tersenyum manis ketika Kamil meminta maaf. Namun, kali ini berbeda.Rasa yang pernah gadis itu miliki untuk pria di depannya itu telah terhempas, bersamaan dengan belati tajam yang lelaki itu cabut setelah menghujam hatinya begitu dalam."Sya ...." Kamil memanggilnya lembut. Tangan pria itu terulur hendak memegang jemari Syakila.Tak sampai menempel sempurna, Syakila dengan cepat menarik tangannya.Gadis itu lalu tersenyum memper
"Siapa sih dia? Bagaimana bisa foto-foto ini ... Ya Allah, cobaan apalagi ini ..." gumam Syakila.Tak menunggu waktu lama, gadis itu segera menyentuh gambar gagang telepon di pojok atas nomor tersebut.Berdering, tapi tak ada jawaban. [Apa maksud Anda mengirim gambar-gambar tidak jelas itu dan mengatakan hal yang tidak-tidak tentang saya? Anda siapa?] Send.Syakila memutuskan untuk membalas pesan itu. Meskipun ia tidak yakin akan mendapat jawaban yang tepat.Satu menit, dua menit, hingga satu jam lebih pesannya masih tak ada tanggapan, padahal centangnya sudah berubah biru.Tak ingin ambil pusing, akhirnya gadis itu memilih untuk mengabaikannya. Toh banyak pasang mata yang menyaksikan kejadian yang sebenarnya kemarin.Demi bisa mengalihkan pikiran yang semrawut, Syakila melangsungkan live di platform kesayangannya.Namun, kali ini bukan dongeng yang sebagai bahannya. Berbekal ketrampilan menggambar yang dimilikinya, ia mencoba hal yang berbeda."Hai, guys ... Coba tebak, aku mau bik