Di sisi lain, dengan tekad dan keyakinan, Syakila mulai memulai streaming.
Menjajakan beberapa baju yang ia bawa. Merapalkan doa-doa dalam hati, berharap usahanya membuahkan hasil. Nyatanya, realita tak sesuai ekspektasi.Apa yang sempat Syakila khawatirkan terjadi. Baju-baju dagangan Bu Sukoco yang di live tak banyak yang terjual.Awalnya Syakila berpikir positif. Mungkin karena dirinya masih pemula, sehingga butuh proses dan waktu untuk membuahkan hasil memuaskan.Namun, hal demikian berlarut pada live-live berikutnya. Malahan, semenjak Syakila menjual baju di dalam live-nya, jumlah penonton dan sawerannya semakin berkurang tiap harinya.Itupun banyak yang mengeluhkan dongeng yang Syakila ceritakan tak semenarik dulu."Sekarang jadi gak asik.""Jadi malas nonton.""Jangan sambil dagang dong, kayak dulu. Biar dongengnya lebih fokus dan menarik."Dan masih banyak lagi komen-komen yang membuat Syakila down.Mawar yang biasa bertaburan pun ikut meredup. Tersisa beberapa orang saja dan Bu Sukoco yang masih memberikan saweran pada Syakila. Itupun tidak setiap malam, sebab sang cucu tak lagi suka melihat live Syakila.Hal itu tentu diketahui Bu Sukoco, tetapi Syakila terus berkelit ketika bosnya itu membicarakan tentang penonton yang semakin berkurang."Namanya juga manusia, Bu. Pasti ya, ada bosannya kalau terus-terusan mendengar dongeng. Apalagi dongeng saya kan dongeng asal-asalan saja," ujar Syakila."Ibu jadi gak enak sama kamu, Sya. Jangan-jangan karena kamu sambil jualan, makanya penonton kamu jadi pada kabur," sahut bu Sukoco tak enak."Enggak, kok, Bu. Pasti bukan karena itu. Malah saya senang kok live sambil dagang. Lumayan, jadi dapat bonus. He he he." Syakila memang selalu pintar dalam menjaga perasaan orang lain, tanpa memikirkan dirinya sendiri."Kamu bisa aja, Sya. Ya udah, biar kamu bisa fokus ke konten kamu yang utama, kamu gak usah sambil dagang lagi. Lagian, baju-baju Ibu di pasar juga lumayan laris. Ya, kan?""Eh, jangan, Bu. Syakila gak papa kok sambil dagang. Kan yang nonton juga masih ada, Bu. Bukan yang ilang semua. Pas awal-awal saya live malah gak ada yang nonton. tapi lama kelamaan ada, trus jadi banyak. Ibu tenang aja, nanti penggemar Syakila bakal pada balik lagi, kok." Syakila tertawa di ujung kalimatnya.Gadis berusia 23 tahun itu memang sangat pandai menyembunyikan kegundahannya. Ia selalu sukses berakting baik-baik saja di depan umum."Beneran gak apa-apa, Sya?" Bu Sukoco pun sebenarnya tak enak. Mau keukeuh melarang Syakila dagang di online, takut anak itu masih minat. Tapi membiarkan berlanjut pun sebenarnya tak tega."Beneran, Bu. Udah, gak papa. Nanti Syakila tetap bawa sampelnya ya, Bu.""Ya udah kalau begitu. Semoga berhasil ya.""Siap, Bu Bos!" Syakila memeragakan seolah-olah tentara yang sedang memberi hormat pada atasannya. Hal itu membuat Bu Sukoco tertawa.***"Live-nya basi! Kenapa sih selalu muncul di berandaku?"Seseakun dengan nama 'Yumnakece' memberikan komentar pedas saat Syakila live.Syakila tak menggubris. Ia masih asik mendongeng dan berceloteh."Empet banget denger suara loe! Tahu, gak!""Mana selalu pake filter. Muka loe borokan ya? Makanya loe tutupin terus!"Komentar pedas dari orang yang sama terus beruntun menjelekkan Syakila.Bukan ingin mencari ribut, Syakila hanya merasa risih, sehingga mau tak mau ia harus menanggapi komentar tersebut."Kakak kalau gak suka boleh skip, Kak. Gak papa kok," ucap Syakila.Kemudian Syakila melanjutkan dongengnya. Bercerita ke kanan dan ke kiri. Tanpa mempedulikan lagi komentar-komentar pedas lainnya."Alhamdulillah ... Akhirnya selesai juga," ucap Syakila seraya merenggangkan otot-ototnya setelah live berakhir.Gadis itu merasa lega tidak terpancing emosi oleh netizen yang mulai mengusik dirinya. Baginya, selama masih ada yang meminati kontennya, ia akan terus berkicau di platform yang telah memperbarui hari-harinya.Kantuk mulai menyerang.Drrt!Mata Syakila sudah mulai meredup, tiba-tiba ponsel miliknya terus bergetar, menandakan beberapa pesan masuk.Getar pertama masih Syakila abaikan. Namun, getar kedua mulai membuatnya terusik. Hingga getar ketiga yang artinya ada 3 pesan masuk, berhasil membuat Syakila mengecek siapa yang sudah mengganggu jam istirahatnya."Siapa, sih!" gumam Syakila jengkel sembari membuka kunci pada ponselnya.Terlihat nomor tanpa nama tertera di layar.Dari pada penasaran, Syakila membuka dan membaca pesan itu satu persatu.[Iya ... Kamu pasti lelah, jangan menyerah, jangan lari, kamu harus semangat dan hadapi! Semoga Allah memudahkan.][Jangan pernah berhenti berharap, jika doamu belum terwujud.][Sabar dan tunggu. Sesuatu yang indah akan segera Tuhan berikan untukmu.]Ujung bibir Syakila terangkat ke atas, menciptakan lengkungan manis di bibir ranum alaminya.Tiga pesan yang dikirim nomor tanpa nama itu sedikit mengobati gundah di hatinya. Siapapun dia, Syakila harus mengucapkan terima kasih.[Terima kasih.] Balas Syakila.Akhirnya gadis itu bisa tidur dengan nyenyak.Hanya saja, keesokan harinya, Syakila bangun kesiangan.Jam sembilan pagi dia baru sampai di pasar.Itu pun ia terpaksa harus meninggalkan sarapannya.Sampai di depan kios, Syakila masih harus menghadapi masalah. Kunci kiosnya lupa menaruhnya. Padahal, seingat dia sudah memasukkannya ke dalam tas."Duh, kok gak ada, sih." Syakila terus mencari di setiap sudut tas dan kantong celananya.Saat sedang sibuk mencari, tiba-tiba ada yang bertanya pada Syakila."Cari apa, Mba?""Cari kunci kios, Mas. Ini kok gak ada ya, dalam tas saya," jawab Syakila sekenanya tanpa menoleh pada si penanya.Dirinya masih sibuk menggeledah tas jinjing miliknya."Jam segini kios belum buka! Niat kerja apa tidak!" sentak orang yang tadi bertanya.Syakila terlonjak kaget kala menyadari Devan, anak dari Bu Sukoco itu sudah ada di depannya.Tas jinjingnya bahkan sampai terlempar ke atas, hingga isi di dalamnya berhamburan ke sembarang arah, dan mengenai pria yang berteriak tadi."Ma-maaf. Maaf Mas, Devan. Saya tidak sengaja," ucap Syakila semakin tak enak.Apesnya, jidat mulus pria yang terkenal pendiam itu terkena timpukan bedak miliknya, yang tadi tidak sengaja berhamburan.Rupanya, seorang dengan nama lengkap Devan Abhar sudah sejak tadi memperhatikan Syakila.Hening. Untuk sesaat suasana mendadak sunyi.Devan bergeming. Tangannya masih sibuk mengelus jidat yang terasa sedikit cenut-cenut."Mas Devan gak papa?" Syakila memberanikan bertanya, karena sedari tadi orang di depannya masih mengelus kepalanya. Gadis itu ingin menolong, tetapi sungkan. Sebab, anak pertama dari bu Sukoco itu selalu jutek dengannya.Mendapat pertanyaan demikian, lelaki itu justru memberi tatapan tajam pada Syakila.Membuat nyali gadis itu semakin menciut.Wajah Syakila menunduk dalam setelah sempat melirik sekilas manik pria itu. Jantungnya berdebar menahan takut.'Masalah apalagi ini. Ya Allah ... Tolong hamba.'"Dalam hidup ada dua pilihan. Mau menyerah, atau bertahan? Jika bertahan membuatmu sakit, maka menyerahlah. Tetapi, bila menyerah ternyata juga sulit, maka tinggalkan keduanya. Kamu tidak perlu menjadi lilin untuk bisa bermanfaat bagi kehidupan. Cukup menjadi air putih. Sederhana, tetapi besar manfaatnya untuk kehidupan."Syakila mendongak. Matanya mengerjap tak mengerti dengan apa yang di katakan Devan. Mata dengan hiasan bulu lentik alami itu memandang wajah Devan, membuat lelaki itu gemas. 'Kenapa tingkahnya lucu begitu?' batin Devan, saat sesekali mencuri pandang pada Syakila."Maksudnya apa, Mas?" tanya Syakila polos.Pria berambut belah pinggir ala-ala korea itu hanya menghela napas. "Lupakan! Memang susah ngomong sama anak kecil."Syakila mencebik. Selalu begitu setiap dirinya berbicara dengan Devan. Lelaki tampan yang berusia beberapa tahun di atasnya itu selalu menganggap ia anak kecil yang tak mengerti apapun."Ayok! Buruan!" pekik Devan."Ke mana?" Syakila pun ikut memekik
“Enggak! Gak kenal aku. Kakak kan tahu, aku gak suka sama platform itu," jawab Kamil berbohong.Pasti akan panjang ceritanya kalau Kamil menyebutkan siapa pemilik akun itu. Bukan bermaksud melindungi, tetapi dua tahun menjalin hubungan membuat Kamil merasa tak tega pada Syakila jika terus terusan diserang oleh kakak dan adiknya. Apalagi, selama dua tahun itu, Syakila selalu memperhatikan dan memperlakukan dirinya dengan baik."Eh, dia masih gak menyerah kak. Bebal juga nih orang. Serang lagi yuk, Kak!" ajak Jasmin yang masih memperhatikan Syakila."Mana?" sahut Yumna.Lalu Jasmin menunjukkan ponsel miliknya pada kakaknya itu."Iya. Dasar muka tembok!" caci Yumna."Udah deh, dari pada ngurusin orang yang gak kenal, mendingan kalian istirahat. Besok kamu harus sekolah loh, Jas." Kamil berusaha mencegah dua saudaranya yang akan kembali menyerang Syakila."Ah, Kak Kamil gak seru!" Jasmin beranjak seraya menghentakkan kakinya kesal."Tahu tuh, Kamil. Ganggu aja!" Yumna pun ikut sewot, dan
Sekitar 45 menit, mobil yang dikendarai Devan berbelok pada sebuah pusat perbelanjaan. Syakila yang sedari awal naik hanya memandang ke luar jendela dibuat bingung, kenapa dirinya di bawa ke tempat seperti ini? Tetapi, gadis yang sejak tadi diam itu tak memiliki sedikit nyali, walau sekedar bertanya pada lelaki berwajah datar di sampingnya.Tanpa terdengar satu katapun, Devan keluar dari mobil yang telah terparkir apik di basement, meninggalkan gadis yang ia bawa begitu saja."Kok aku ditinggal, sih?" cibir Syakila. Ia sedikit takut dengan tempat sepi seperti ini.Selain karena tidak terbiasa datang ke tempat seperti ini, gadis itu memang penakut dengan tempat-tempat yang terlihat seperti lorong ataupun bawah tanah."Ya Tuhan ... Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?" Gadis itu terus bermonolog sendiri.Ia masih berdiam diri di dalam mobil mewah milik anak dari juragannya.Syakila terlonjak, ketika sebuah ketukan keras terdengar dari balik kaca mobil di mana ia berada.Ketakutan
Pukul 14.15 wib, mobil yang ditumpangi Bu Sukoco dan Syakila tiba di rumah mewah Bu Sukoco.Bangunan tinggi menjulang dengan hiasan taman itu, mempercantik halaman di sana, membuat Syakila terpesona."Ayo, masuk! Aira pasti senang lihat kamu," ajak Bu Sukoco.Sambil terus melangkah, Syakila mencoba memberanikan diri untuk bertanya pada bos wanitanya itu. "Memangnya Aira kenal sama saya, Bu?""Kenal, dong. 'Kan, dia itu penggemar berat kamu di toktok. Tiap malam loh, Aira menantikan dongeng kamu sebelum tidur," ujar Bu Sukoco semringah."Ibu cerita kalau itu saya?" tanya Syakila memastikan."Enggak. Ibu cuma janji bakal membawa tukang dongeng kesayangannya ke sini. Sebagai nenek yang baik, Ibu harus menepati janji, dong," sahut Bu Sukoco sembari melebarkan senyuman."Owh, begitu."Tepat ketika Syakila dan Bu Sukoco akan berbelok ke ruang tengah yang terhubung langsung pada pintu menuju kolam renang, sebuah mobil terdengar memasuki halaman rumah itu.Bu Sukoco menghentikan langkahnya,
"Memangnya, siapa wanita itu, Jeung?" tanya Bu Sundari membuang penasaran.Bu Sukoco hanya mencebik. Bahunya terangkat acuh sembari melenggang meninggalkan ibu dan anak yang hanya bisa menahan kesal."Gimana dong, Ma? Gak mau tahu! Pokoknya Devan harus jadi milikku!" Yumna merengek. Kakinya dientak-entakkan ke lantai seperti anak kecil kehilangan mainannya."Udah, kamu tenang saja! Selama belum ada janur kuning melengkung, apa pun bisa kita lakukan." Bu Sundari mencoba menenangkan."Tapi kalau Devan tetep keukeuh sama wanita itu gimana, Ma?" Lagi-lagi Yumna merengek."Makanya kamu tenang, dong ...! Kalau kamu kayak gitu, gimana Devan bisa tertarik. Tunjukkan kalau kamu lebih baik dari wanita tadi.""Caranya?""Ya kamu jangan seperti anak kecil begitu. Kita ini wanita berkelas. Keluarga kita terpandang. Angkat dagumu, dan kita singkirkan wanita itu pelan-pelan," bisik Bu Sundari dengan seringai tipis penuh makna.Seolah mengerti, Yumna pun melakukan hal yang sama. "Sekarang kita masu
"Lepasin! Aira gak mau sama Tante!" Teriakan gadis cilik itu berhasil menyadarkan Yumna dari lamunan. Tangan yang semula bersiap membopong anak itu kembali ditarik.'Untunglah itu cuma bayanganku saja. Entah apa jadinya kalau sampai aku mendorong wanita itu ke kolam. Bisa-bisa Devan semakin menjauh dariku,' batin Yumna.Wanita berkulit putih itu menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan bayangan mengerikan yang sempat terlintas di pikirannya."Kamu kenapa?" tanya Devan bingung melihat tingkah wanita di sampingnya."Eh. Enggak! Gak papa, kok.""Dasar aneh!" sambung Devan."Huffhh ...." Kakak dari Kamil itu menghembuskan napas lega. Setidaknya ia berhasil menahan diri untuk tidak terlihat jahat di depan pria incarannya."Eum, kamu gak mau kenalin aku sama calon istri kamu, Mas?" tanya Yumna. Wanita itu mencoba mengorek informasi tentang perempuan yang masih menggendong Aira.Seketika bola mata Syakila melebar. "Untuk apa?" sahut Devan."Ya gak kenapa-kenapa, sih. Cuma, masa iya aku
"Kalian kenapa?" tanya Kamil melihat wajah dua wanita yang baru pulang itu ditekuk."Kepala Mama pusing." Bu Sundari menimpali ucapan sang putra seraya mengurut pelipisnya, duduk bersandar pada sofa ruang tamu mereka.Beberapa menit lalu mereka akhirnya pulang membawa kobaran api yang masih mengebul di hati."Ada apa, sih? Mama sakit?" Kamil masih tak mengerti. Pasalnya tadi pagi mereka begitu antusias akan menghadiri pesta ulang tahun anak dari lelaki incaran kakaknya."Ambilkan Mama air putih, Nak," perintah sang mama.Dengan cekatan, pemuda yang menggunakan baju santai itu mengambil gelas beserta air putih untuk mamanya."Ini, Ma.""Terima kasih, Nak."Kemudian Kamil mendekati sang Kakak yang juga tengah duduk pada kursi dengan keadaan tak kalah kusut."Kak. Ada apa, sih?!" bisik Kamil kembali bertanya untuk membuang penasaran."Tahulah!" sahut Yumna."Bukannya kalian habis menghadiri pesta ulang tahun anak lelaki pujaanmu? Harusnya kalian seneng dong. Ini malah kusut begitu.""Se
"Aku berangkat dulu!"Tak berniat menanggapi perkataan ibunya, Devan memilih untuk berangkat ke kantor. Tak peduli sarapannya masih utuh di piring. Maupun anaknya yang mungkin saja tengah bersedih saat ini.Hatinya terlalu sakit jika ada yang menyebutkan nama Syakila. Adegan pelukan itu kembali terlihat bagai film yang terus diputar berulang-ulang dalam benaknya.Andai ia tak mempunyai rasa lebih pada gadis itu, mungkin rasa perih tak lagi ia rasakan.***Di ruang keluarga, Yumna dan Bu Sundari tengah menyusun rencana."Yumna yakin rencana kita akan berhasil, Ma.""Kamu benar. Tak apalah menumbalkan Kamil sementara waktu.""Mama tenang saja. Gak akan lama kok. Setelah wanita itu berhasil kita singkirkan, Kamil segera kita jauhkan darinya. Lagian, Yumna juga gak rela, Ma, kalau Kamil kepincut lagi sama cewek kampung itu!""Ya sudah. Nanti kalau Kamil sudah pulang, Mama yang akan ngomong. Tugasmu mengumpulkan bukti sebanyak mungkin. Oke!""Siap, Ma. Tenang saja."Lalu keduanya tertawa p