Ucapan Syakila menggantung, terlebih kala mendapati bosnya tersenyum. "Tahu, dong. Sang Pemimpi kan, namanya? Dongengnya bagus-bagus. Ibu suka nonton sama cucu Ibu."
Seketika wajah Syakila memerah karena malu.Ternyata selama ini bos-nya diam-diam mengikuti kegiatan barunya."Hehehe, saya cuma iseng aja, Bu. Daripada gak ngapa-ngapain," terang Syakila kikuk."Udah ada endorse masuk belum?""Endorse apaan, Bu? Orang cuma live begituan siapa yang mau pake.""Ya udah. Kalau gitu, Ibu orang pertama yang akan pake jasa kamu. Mulai malam nanti, kamu live baju-baju dagangan Ibu, ya."Mata Syakila sedikit terbelalak. Bukan ia tak mau membantu bosnya itu, tetapi ia takut baju-baju yang ia pasarkan di platform itu tidak laku.Intinya ia takut gagal!"Tapi saya belum tahu caranya gimana, Bu. Kalau ada yang pesen bagaimana?"Itu hanya alasan saja. Sejauh ini Syakila sudah cukup mengerti perdagangan online. Akan tetapi, ia pura-pura gaptek, agar bosnya itu berpikir ulang."Udah, coba aja dulu. Nanti Ibu bantu. Tenang aja, Ibu kasih persenan khusus buat gadis patah hati biar gak galau melulu."Blush!Syakila benar-benar hilang muka di hadapan Bu Sukoco. Padahal ia sudah berusaha keras untuk menutupi kesedihannya saat bekerja. 'Apakah wajahku terlihat menyedihkan ya?' pikir Syakila."Siapa yang patah hati, Bu?" Syakila berkelit. Siapa tahu Bu Sukoco hanya iseng menebak."Ibu sudah tahu semuanya, Sya. Wong, Ibu hadir di acara tunangannya Kamil dan Dela, kok. Ibu kenal sama mamanya Kamil," terang Bu Sukoco, sukses membuat Syakila kembali terkejut."Kok Ibu gak bilang apa-apa sama Syakila?" tanya wanita yang gemar memakai jilbab maroon itu pada Bu Sukoco.Ia sedikit heran, sebab bosnya itu tidak pernah menyinggung apa pun tentang dirinya yang pernah dipermalukan oleh keluarga mantan kekasihnya."Buat apa? Ibu malah seneng kamu gak sampe nikah sama si Kamil itu.""Alasannya?""Dia itu mokondo. Kamu aja yang terlalu polos. Mau-maunya dikadalin sama laki-laki model begitu. Utangnya udah kamu tagih belum? Kalau ditotal udah banyak itu. Bisa buat beli HP baru."Syakila hanya menggelengkan kepalanya.Dia sedikit merutuki dirinya yang tak pernah memperhitungkan utang lelaki itu padanya.Bodohnya, dirinya menganggap kalau lelaki itu akan menggantinya kelak dengan nafkah yang akan diberikan ketika berumah tangga nanti. Nyatanya, lelaki itu justru mematahkan hatinya sebelum sampai ke pelaminan."Kalau Ibu jadi kamu, ya. Ibu akan permalukan keluarga itu dengan mengatakan utang lelaki itu di depan umum kemarin. Kalau perlu, Ibu akan menagihnya di sana. Enak aja pakai uang orang seenak udel. Kamu yang kerja, dia yang pakai." Bu Sukoco nampak bersungut-sungut saat berucap. Orang yang sudah menganggap Syakila keluarga itu ikut geram dengan tingkah keluarga Kamil yang sudah mempermainkan Syakila.Mendengar hal itu, Syakila justru terbahak."Ekspresi wajah Ibu lucu kalau lagi marah," ujar Syakila. Dia bersyukur, masih ada yang peduli dengannya. Walaupun kedua orang tuanya telah tiada beberapa tahun lalu."Eh, diajarin malah ketawa," sahut Bu Sukoco."Iya, Bu, maaf. Habisnya baru pertama kalinya saya lihat Ibu ngomel begini.""Ya sudah, lupakan itu. Sekarang saatnya kamu harus move on. Suatu saat, kamu pasti ketemu jodoh yang terbaik yang Allah kirim. Kamu harus ingat dengan kalimat 'Jodoh cerminan diri'. Kamil bukan laki-laki yang cocok untuk wanita baik seperti kamu. Percaya sama Ibu."Kalimat nasihat yang diberikan bosnya itu sukses membuat Syakila terharu.Selain ibu kandungnya, baru Bu Sukoco-lah yang perhatian dengan dirinya.Refleks Syakila menghambur memeluk Bu Sukoco dengan erat seraya berkata, "Terima kasih, Bu. Syakila sayang sama Ibu.""Sudah, jangan cengeng begitu. Sudah mulai gelap, kemasi kiosnya. Jangan lupa ambil baju-baju yang akan dibawa live nanti malam," ujar Bu Sukoco sambil mengelus punggung Syakila.Syakila mengurai pelukan, mengelap jejak embun di matanya, lalu memilih beberapa baju anak, kemudian mengemasi kios sebelum tutup karena waktu hampir Maghrib.***Sementara itu di rumah Kamil ....Pria itu tampak berteriak seraya berjalan cepat mencari mamanya."Ma ... Kamil naik jabatan, Ma!"Lelaki yang membohongi Syakila itu tengah berbahagia karena dirinya kini dijadikan karyawan tetap di perusahaan ternama setelah pengangguran bertahun-tahun lamanya."Iya, Sayang. Mama di dapur ini!" sahut Bu Sundari–mamanya Kamil.Tak lama, Kamil muncul dari ruang tengah menemui mamanya yang sedang mencuci piring, dengan binar bahagia."Kamil naik jabatan, Ma," ulang Kamil sekali lagi."Benarkah? Jabatan apa, Mil? Manager?" sahut Bu Sundari antusias.Ia meninggalkan cucian piringnya begitu saja di wastafel dan mendekati putranya yang sudah duduk di kursi meja makan."Bukan, sih, Ma. Masih di bawah manager. Tapi Kamil yakin, kalau Kamil sudah menikah dengan Dela, Kamil pasti bisa jadi manager!" ujar Kamil percaya diri. Pasalnya, tunangannya itu adalah anak dari manager di perusahaan tempat Kamil bekerja.Dari Dela-lah Kamil akhirnya diterima di perusahaan yang bergerak di bidang fashion itu."Kamu benar, Mil. Untung kamu tunangannya sama Dela, bukan sama cewek kampung itu yang sekolahnya saja pasti cuma lulusan SMP. Hiih, gak bisa Mama bayangkan kalau kamu nikah sama si kampungan, Syakila itu."Bu Sundari sampai bergidik ketika menyebut nama gadis yang telah disakitinya beberapa bulan lalu.Kamil mengangguk."Iya, Ma. Mana mungkin Kamil memilih batu kali daripada berlian. Pasti Kamil akan memilih Dela, dong. Syakila cuma Kamil manfaatkan saja, Ma. Lumayan, buat modal kencan sama Dela.""Pintar kamu. Mama bangga sama kamu!"Bukannya menasehati, orang tua dari Kamil itu justru bangga pada putranya telah berhasil mempermainkan gadis tak berdosa itu.Mereka seolah melupakan tentang hukum tabur tuai dan roda yang akan selalu berputar!Bukankah sang Pencipta mampu dengan mudahnya meninggikan derajat orang yang dikasihinya, termasuk… Syakila?Di sisi lain, dengan tekad dan keyakinan, Syakila mulai memulai streaming. Menjajakan beberapa baju yang ia bawa. Merapalkan doa-doa dalam hati, berharap usahanya membuahkan hasil. Nyatanya, realita tak sesuai ekspektasi.Apa yang sempat Syakila khawatirkan terjadi. Baju-baju dagangan Bu Sukoco yang di live tak banyak yang terjual.Awalnya Syakila berpikir positif. Mungkin karena dirinya masih pemula, sehingga butuh proses dan waktu untuk membuahkan hasil memuaskan.Namun, hal demikian berlarut pada live-live berikutnya. Malahan, semenjak Syakila menjual baju di dalam live-nya, jumlah penonton dan sawerannya semakin berkurang tiap harinya. Itupun banyak yang mengeluhkan dongeng yang Syakila ceritakan tak semenarik dulu."Sekarang jadi gak asik.""Jadi malas nonton.""Jangan sambil dagang dong, kayak dulu. Biar dongengnya lebih fokus dan menarik."Dan masih banyak lagi komen-komen yang membuat Syakila down.Mawar yang biasa bertaburan pun ikut meredup. Tersisa beberapa orang saja dan
"Dalam hidup ada dua pilihan. Mau menyerah, atau bertahan? Jika bertahan membuatmu sakit, maka menyerahlah. Tetapi, bila menyerah ternyata juga sulit, maka tinggalkan keduanya. Kamu tidak perlu menjadi lilin untuk bisa bermanfaat bagi kehidupan. Cukup menjadi air putih. Sederhana, tetapi besar manfaatnya untuk kehidupan."Syakila mendongak. Matanya mengerjap tak mengerti dengan apa yang di katakan Devan. Mata dengan hiasan bulu lentik alami itu memandang wajah Devan, membuat lelaki itu gemas. 'Kenapa tingkahnya lucu begitu?' batin Devan, saat sesekali mencuri pandang pada Syakila."Maksudnya apa, Mas?" tanya Syakila polos.Pria berambut belah pinggir ala-ala korea itu hanya menghela napas. "Lupakan! Memang susah ngomong sama anak kecil."Syakila mencebik. Selalu begitu setiap dirinya berbicara dengan Devan. Lelaki tampan yang berusia beberapa tahun di atasnya itu selalu menganggap ia anak kecil yang tak mengerti apapun."Ayok! Buruan!" pekik Devan."Ke mana?" Syakila pun ikut memekik
“Enggak! Gak kenal aku. Kakak kan tahu, aku gak suka sama platform itu," jawab Kamil berbohong.Pasti akan panjang ceritanya kalau Kamil menyebutkan siapa pemilik akun itu. Bukan bermaksud melindungi, tetapi dua tahun menjalin hubungan membuat Kamil merasa tak tega pada Syakila jika terus terusan diserang oleh kakak dan adiknya. Apalagi, selama dua tahun itu, Syakila selalu memperhatikan dan memperlakukan dirinya dengan baik."Eh, dia masih gak menyerah kak. Bebal juga nih orang. Serang lagi yuk, Kak!" ajak Jasmin yang masih memperhatikan Syakila."Mana?" sahut Yumna.Lalu Jasmin menunjukkan ponsel miliknya pada kakaknya itu."Iya. Dasar muka tembok!" caci Yumna."Udah deh, dari pada ngurusin orang yang gak kenal, mendingan kalian istirahat. Besok kamu harus sekolah loh, Jas." Kamil berusaha mencegah dua saudaranya yang akan kembali menyerang Syakila."Ah, Kak Kamil gak seru!" Jasmin beranjak seraya menghentakkan kakinya kesal."Tahu tuh, Kamil. Ganggu aja!" Yumna pun ikut sewot, dan
Sekitar 45 menit, mobil yang dikendarai Devan berbelok pada sebuah pusat perbelanjaan. Syakila yang sedari awal naik hanya memandang ke luar jendela dibuat bingung, kenapa dirinya di bawa ke tempat seperti ini? Tetapi, gadis yang sejak tadi diam itu tak memiliki sedikit nyali, walau sekedar bertanya pada lelaki berwajah datar di sampingnya.Tanpa terdengar satu katapun, Devan keluar dari mobil yang telah terparkir apik di basement, meninggalkan gadis yang ia bawa begitu saja."Kok aku ditinggal, sih?" cibir Syakila. Ia sedikit takut dengan tempat sepi seperti ini.Selain karena tidak terbiasa datang ke tempat seperti ini, gadis itu memang penakut dengan tempat-tempat yang terlihat seperti lorong ataupun bawah tanah."Ya Tuhan ... Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?" Gadis itu terus bermonolog sendiri.Ia masih berdiam diri di dalam mobil mewah milik anak dari juragannya.Syakila terlonjak, ketika sebuah ketukan keras terdengar dari balik kaca mobil di mana ia berada.Ketakutan
Pukul 14.15 wib, mobil yang ditumpangi Bu Sukoco dan Syakila tiba di rumah mewah Bu Sukoco.Bangunan tinggi menjulang dengan hiasan taman itu, mempercantik halaman di sana, membuat Syakila terpesona."Ayo, masuk! Aira pasti senang lihat kamu," ajak Bu Sukoco.Sambil terus melangkah, Syakila mencoba memberanikan diri untuk bertanya pada bos wanitanya itu. "Memangnya Aira kenal sama saya, Bu?""Kenal, dong. 'Kan, dia itu penggemar berat kamu di toktok. Tiap malam loh, Aira menantikan dongeng kamu sebelum tidur," ujar Bu Sukoco semringah."Ibu cerita kalau itu saya?" tanya Syakila memastikan."Enggak. Ibu cuma janji bakal membawa tukang dongeng kesayangannya ke sini. Sebagai nenek yang baik, Ibu harus menepati janji, dong," sahut Bu Sukoco sembari melebarkan senyuman."Owh, begitu."Tepat ketika Syakila dan Bu Sukoco akan berbelok ke ruang tengah yang terhubung langsung pada pintu menuju kolam renang, sebuah mobil terdengar memasuki halaman rumah itu.Bu Sukoco menghentikan langkahnya,
"Memangnya, siapa wanita itu, Jeung?" tanya Bu Sundari membuang penasaran.Bu Sukoco hanya mencebik. Bahunya terangkat acuh sembari melenggang meninggalkan ibu dan anak yang hanya bisa menahan kesal."Gimana dong, Ma? Gak mau tahu! Pokoknya Devan harus jadi milikku!" Yumna merengek. Kakinya dientak-entakkan ke lantai seperti anak kecil kehilangan mainannya."Udah, kamu tenang saja! Selama belum ada janur kuning melengkung, apa pun bisa kita lakukan." Bu Sundari mencoba menenangkan."Tapi kalau Devan tetep keukeuh sama wanita itu gimana, Ma?" Lagi-lagi Yumna merengek."Makanya kamu tenang, dong ...! Kalau kamu kayak gitu, gimana Devan bisa tertarik. Tunjukkan kalau kamu lebih baik dari wanita tadi.""Caranya?""Ya kamu jangan seperti anak kecil begitu. Kita ini wanita berkelas. Keluarga kita terpandang. Angkat dagumu, dan kita singkirkan wanita itu pelan-pelan," bisik Bu Sundari dengan seringai tipis penuh makna.Seolah mengerti, Yumna pun melakukan hal yang sama. "Sekarang kita masu
"Lepasin! Aira gak mau sama Tante!" Teriakan gadis cilik itu berhasil menyadarkan Yumna dari lamunan. Tangan yang semula bersiap membopong anak itu kembali ditarik.'Untunglah itu cuma bayanganku saja. Entah apa jadinya kalau sampai aku mendorong wanita itu ke kolam. Bisa-bisa Devan semakin menjauh dariku,' batin Yumna.Wanita berkulit putih itu menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan bayangan mengerikan yang sempat terlintas di pikirannya."Kamu kenapa?" tanya Devan bingung melihat tingkah wanita di sampingnya."Eh. Enggak! Gak papa, kok.""Dasar aneh!" sambung Devan."Huffhh ...." Kakak dari Kamil itu menghembuskan napas lega. Setidaknya ia berhasil menahan diri untuk tidak terlihat jahat di depan pria incarannya."Eum, kamu gak mau kenalin aku sama calon istri kamu, Mas?" tanya Yumna. Wanita itu mencoba mengorek informasi tentang perempuan yang masih menggendong Aira.Seketika bola mata Syakila melebar. "Untuk apa?" sahut Devan."Ya gak kenapa-kenapa, sih. Cuma, masa iya aku
"Kalian kenapa?" tanya Kamil melihat wajah dua wanita yang baru pulang itu ditekuk."Kepala Mama pusing." Bu Sundari menimpali ucapan sang putra seraya mengurut pelipisnya, duduk bersandar pada sofa ruang tamu mereka.Beberapa menit lalu mereka akhirnya pulang membawa kobaran api yang masih mengebul di hati."Ada apa, sih? Mama sakit?" Kamil masih tak mengerti. Pasalnya tadi pagi mereka begitu antusias akan menghadiri pesta ulang tahun anak dari lelaki incaran kakaknya."Ambilkan Mama air putih, Nak," perintah sang mama.Dengan cekatan, pemuda yang menggunakan baju santai itu mengambil gelas beserta air putih untuk mamanya."Ini, Ma.""Terima kasih, Nak."Kemudian Kamil mendekati sang Kakak yang juga tengah duduk pada kursi dengan keadaan tak kalah kusut."Kak. Ada apa, sih?!" bisik Kamil kembali bertanya untuk membuang penasaran."Tahulah!" sahut Yumna."Bukannya kalian habis menghadiri pesta ulang tahun anak lelaki pujaanmu? Harusnya kalian seneng dong. Ini malah kusut begitu.""Se