“Ah, Sayang – terus, lebih cepat ....”
Andri terdiam di ambang pintu kamar Agra, tunangannya. Tangannya sedikit gemetar sambil memegang gagang pintu, sementara telinganya masih bisa mendengar jelas suara rintihan dan desahan dari dalam kamar. Dengan perlahan, ia mulai membuka pintu kamarnya sedikit, membuat celah agar ia bisa melihat apa yang terjadi disana. Namun, seketika jantungnya pun seolah berhenti saat melihat pemandangan itu Disana, ia melihat Agra tengah memadu kasih dengan seseorang. Dan yang lebih menyesakkannya lagi, perempuan itu adalah Arsy, adiknya sendiri. “Ah, Sayang, aku hampir ....” Andri sudah tak kuasa mendengar kalimat yang menjijikan itu kembali. Ia pun berusaha menguatkan hatinya, hingga akhirnya .... Brak! Pintu kamar pun terbuka cukup lebar, membuat kedua insan yang sedang memadu kasih itu langsung terkesiap kaget dan menoleh ke arah pintu. “Mbak.” “Sayang.” Ucap kedua orang itu secara serempak. Agra segera melepaskan tubuhnya dari tubuh Arsy, lalu mengambil sebuah selimut untuk menutupi tubuh Arsy, sementara dirinya segera menyambar celana pendek yang berada tak jauh dari sana. “Kalian --,” ucap Andri geram, tangannya nampak mengepal kuat berusaha menahan gejolak amarah di dadanya. “Sayang, aku bisa jelasin, ini nggak seperti yang kamu pikirkan,” ucap Agra berusaha mendekat ke arah Andri setelah memakai celana pendeknya. Andri menggeleng pelan, dan berkata, “gak seperti yang aku pikirkan, Mas? Kamu pikir aku buta, gak bisa lihat kelakuan kalian?” Pandangan Andri pun kini beralih pada sang adik yang begitu ketakutan sambil mencengkram selimut. “Kamu ... dasar wanita murahan!” seru Andri sambil menunjuk wajah Arsy. “Sayang, aku mohon denger penjelasan aku dulu,” ucap Agra melembut. Wajahnya sedikit memelas, ia pun berusaha meraih lengan Andri namun berhasil ditepisnya. Andri tak sudi tangannya dipegang oleh tangan yang telah menjamah wanita lain. “Jangan sentuh aku! Pernikahan kita batal, Mas!” seru Andri dengan tegas sambil terisak. Air matanya perlahan mulai turun membasahi wajahnya. Hatinya sakit dan juga kecewa melihat apa yang barusan terjadi itu. Ia pun lalu menghapus air matanya kasar dan bersiap untuk pergi. Agra menggelengkan kepalanya pelan, wajah putihnya langsung memucat pasi, mungkin agar membuat Andri kembali iba. “Kamu jangan sembarang bicara, Andri. Aku hanya khilaf, Sayang,” ucap Agra kembali. “Khilaf?” tanya Andri sarkas. “Ayo lah, Sayang. Pernikahan kita gak mungkin bisa dibatalkan. Apa kamu lupa kalau persiapan pernikahan kita sudah hampir rampung semua? Jadi, apapun yang terjadi, pernikahan kita akan tetap berlangsung,” jawab Agra. “Nggak, Mas. Pokoknya aku mau pernikahan kita batal,” ucap Andri kekeuh degan apa keputusannya. “Jangan egois, Andri. Pikirkan perasaan Kakek dan juga Ayahmu kalau pernikahan kita batal,” ucap Agra pelan. Andri memejamkan matanya sebentar. Terbayang sudah bagaimana hancurnya perasaan sang kakek dan ayahnya jika tau bahwa pernikahan mereka batal. Tapi, jujur ia tak ingin melanjutkan pernikahan ini kembali. “Maaf, Mas, aku yakin mereka akan paham tentang perasaanku setelah ini,” ucap Andri tegas. Andri menatap wajah tampan Agra. Wajah yang selalu ia puja dan ia harapkan selama ini, namun kini wajah itu malah terlihat begitu menjijikan. Wajah tampan itu pun kini berubah menjadi merah bak kepiting rebus saat mendengar ucapan Andri barusan. “Andriyani Devandra, apa kamu tak memikirkan perasaan semua orang jika pernikahan ini batal? Ini gak cuma tentang Ayah dan Kakek tapi dengan yang lainnya. Kamu gak lupa kan dengan banyaknya biaya yang udah aku dan keluargaku keluarkan untuk pernikahan ini?” tanya Agra kembali. “Mas, tak sadarkah kamu? Harusnya kamu yang sadar diri, gimana sama perasaan semua orang kalau kamu melakukan hal menjijikan sama jalang itu!” tegas Andri lantang. Dadanya nampak kembang kempis seolah menahan gejolak amarah yang ada. Tubuhnya sedikit gemetar dan tak ada lagi air mata yang turun. Perasaannya pun nampak kacau dan sulit dideskripsikan. “Andriyani! Tutup mulutmu. Aku udah bilang kan, aku ini khilaf, dan jangan pernah ngatain Arsy itu jalang. Dia kekasih baru, Mas!” sentak Agra tak terima. “Ooh kekasih baru tah? Lalu, sebutan apa yang pantas buat perempuan yang rela menyerahkan tubuhnya kepada laki-laki lain sebelum menikah? Apalagi, laki-laki itu, adalah calon kakak iparnya sendiri? Ani-ani kah? Atau cabe-cabean?” tanya Andri seolah meledek. “Sudah cukup! Ini hanya salah paham, Ndri. Mas rasa gak perlu dibesar-besarkan,” ucap Agra kali ini dengan lebih lembut. “Terserah,” ketus Andri. Andri menghela napasnya kasar. Ingin rasanya kembali mendebat namun ia rasa percuma. Lebih baik ia segera pergi saja dari sini dan mengadukan semuanya pada kakek dan ayahnya. **** Plak! “Memalukan!” Sebuah tamparan meluncur di wajah tampan Agra, kali ini Om Nathan yang melakukannya. Ya, setelah pulang dari kediaman Agra, Andri pun memutuskan untuk mengadukan semuanya pada Ayah dan juga Kakeknya. Dan di sini, di rumah keluarga besar Wiguna, mereka pun kembali dikumpulkan untuk membahas hal ini. Suasana di ruang tamu ini pun mendadak tegang dan juga canggung. Andri pun mengerti, mengapa Om Nathan melakukannya. Semua orang tua pun pasti akan melakukan hal yang sama saat mengetahui anaknya melakukan hal tak senonoh sehari menjelang pernikahannya. “Kenapa Papa pukul Agra, hah?!” sentak Arga tak terima. “Kamu pantas mendapatkannya Agra! Kamu bener-bener anak gak tau diri! Bikin malu keluarga aja bisanya!” bentak Om Nathan dingin. “Papa bilang aku gak tau diri? Harusnya Papa bersyukur, kalau aku gak jadi nikah sama dia!” sentak Agra kembali. Wajahnya nampak memerah, dadanya kembang kempis seolah menahan amarah yang ada. “Bersyukur? Apa maksudmu dengan bersyukur? Di sini, kamu yang salah dengan tidur sama adik ipar kamu, tapi kenapa kamu malah bilang bersyukur, hah? Gak ada otak kamu!” sentak Om Nathan sedikit terperangah. Agra nampak menyunggingkan sedikit senyumnya seolah meledek. “Pa, asal Papa tau, Andri itu, nggak cuma udik dan kampungan, tapi dia juga mandul, Pa. Mandul! Bayangkan, Pa, Papa nikahin aku ke perempuan macem dia, terus berharap kita punya anak, itu cuma mimpi, Pa, mimpi!” sentak Agra kembali. Deg! “Ma—mandul?”"Apa maksud kamu bilang aku mandul, Mas?" tanya Andri dengan raut wajah yang sedikit syok."Benar. Apa maksudmu, Nak? Kalian saja belum menikah, tapi kamu sudah bisa bilang kalau dia mandul?" tanya Om Nathan seolah tak percaya."Aku punya buktinya, kok. Tunggu sebentar, akan aku ambilkan," ucap Agra angkuh.Agra beranjak dari duduknya dan segera berlalu ke salah satu ruangan yang berada tak jauh dari sana."Nak, apa yang Agra bilang itu benar?" tanya Ayah Revan penasaran.Andri menggeleng pelan lalu mengambil lengan sang ayah dan membelainya dengan lembut."Andri gak tau, Yah. Andri aja bingung kenapa Mas Agra bisa bilang begitu sama Andri," jawab Andri lirih.Ayah Revan pun menggenggam erat lengan sang anak dan tersenyum, seolah memberikan sedikit kekuatan agar sang anak mampu menghadapi ujian ini.Tak lama, Agra pun kembali, membawa dua buah amplop panjang berwarna coklat lalu menaruhnya diatas meja sana."Kalau Papa dan Kakek gak percaya, kalian bisa lihat sendiri disini," ucap Agr
"A-Arkan? Kakek yang bener aja! Masa mau nikahin Andri ke dia sih?" tanya Agra seolah tak terima."Kenapa? Apa ada masalah dengannya? Kakek rasa itu pilihan yang tepat, karena hanya Arkan lah satu-satunya cucu kakek yang belum menikah," ucap Kakek Gala memberitahu."Tapi, Arkan itu bukan cucu kandung Kakek. Dia itu hanya sampah yang kakek pungut dan di jadikan cucu, untuk apa menganggap dia sebagai cucu, hah?! Apalagi, dia bocah idiot yang pasti nyusahin!" sentak Agra kesal."Tutup mulutmu, Agra! Kalau saja bukan karena kelakuanmu, sudah pasti Arkan tak akan menjadi yatim piatu dan berkebutuhan khusus seperti sekarang," ucap Om Nathan menambahkan."Tapi, Pa--," Om Nathan langsung melambaikan tangannya seolah tak ingin dibantah.Agra menggelengkan kepalanya pelan. Wajahnya nampak kecewa berat dengan keputusan yang diberikan oleh sang kakek.Ia pun segera beranjak dari duduknya, dan langsung menghampiri Andri disana. Ia memegang lembut lengan Andri dan membelainya."Ndri, aku mohon, men
Andri terdiam untuk beberapa saat, ia seperti mengenali suara itu tapi entah dimana. Otaknya pun seakan buntu, hingga tak tau apa yang akan ia lakukan. "Kenapa diem disitu? Masuk aja, anggep aja kamar sendiri," ucap lelaki itu lagi tanpa menoleh sedikit pun pada Andri. Andri pun menghembuskan napasnya panjang, dan berusaha mencari sesuatu agar ada alasan untuk dia mendekat. Beruntung, sebuah mobilan berada tepat didekat pintu. Andri pun segera mengambil mobil itu dan menghampiri lelakinya. "Ini punyamu?" tanya Andri ramah, seraya menaruh mobilan itu dekat dengannya. "Terimakasih," jawab lelaki itu singkat. Andri hanya mengangguk dan setelah itu suasana pun kembali hening. Ia bingung harus bilang apa dan bagaimana, apalagi lelaki itu sepertinya sama sekali tak tergubris oleh kehadirannya. "Gimana soal persiapan pernikahannya? Apa kamu suka? Atau, ada yang mau diganti?" tanya lelaki itu bertubi-tubi. Andri tak langsung menjawab, ia masih diam dan menunduk, namun tangannya ikut m
Tubuh Andri terhuyung membentur dinding dekat lemari kaca. Napasnya sedikit tercekat, ingin berteriak namun tak bisa karena mulutnya dibekap kuat.Andri membelalakkan matanya tak percaya saat mengetahui siapa yang menarik tadi."Jangan teriak, ini aku, Ndri," ucap Agra dengan wajah tanpa dosa."Gimana gak kaget. Kamu tiba-tiba narik aku gitu aja. Mau apa lagi kamu, Mas?" tanya Andri sedikit ketus.Kedua matanya nampak beradu dengan pandangan Agra yang tajam, hingga akhirnya ia memilih untuk membuang wajahnya ke samping."Apa kamu benar-benar mau menikah dengan Arkan, Ndri?" tanya Agra dengan sedikit memelas."Apa urusanmu?" tanya Andri ketus."Ndri, pikirkan baik-baik, Arkan itu hanya anak idiot, dia juga gak kerja. Aku yakin, kamu pasti gak akan pernah bahagia sama dia," bujuk Agra kembali."Terus, apa dengan aku nikah sama kamu, aku akan bahagia?" tanya Andri sedikit ragu.Agra mengangguk mantap, kedua tangannya kini menyentuh dinding dan berada disisi kanan kiri Andri, sehingga mem
Arkan melangkah dengan tegap menghampiri Andri, wajahnya penuh keyakinan. Tanpa ragu, ia mengulurkan tangannya, yang langsung disambut Andri dengan senyum hangat dan penuh kebahagiaan."Cantik," bisik Arkan lembut, matanya menatap Andri dengan penuh kasih membuatnya menjadi salah tingkah."Sudah siap?" tanyanya lagi sambil mengalungkan lengan Andri kedalam tangannya, seolah memberi dukungan yang tenang namun kuat.Andri hanya mengangguk, senyumnya pun tak pudar dari wajahnya."Mas," lirih Andri pelan sesaat sebelum keduanya kembali melangkah.Arkan segera mengalihkan pandangannya kepada Andri, seolah bertanya mengapa?"Terimakasih," bisik Andri lirih.Hanya itu yang bisa Andri ucapkan untuk saat ini kepada lelakinya. Setelah itu, keduanya pun segera melangkah menuju meja tempat ijab kabul akan dilangsungkan yang berada tak jauh dari atas pelaminan.Di sepanjang perjalanan menuju meja ijab kabul, bisik-bisik dari para tamu mulai terdengar, mengiringi langkah keduanya. Sayup-sayup, Andr
Kakek Gala melangkah pelan mendekati pak penghulu disana.Dengan setengah berbisik, ia pun menceritakan alasan kenapa nama mempelai prianya berganti. Tentu saja, apa yang diceritakannya itu tidak sepenuhnya benar. Ia hanya mengatakan bahwa ada sesuatu hal yang menimpa calon suami sebelumnya.Pak penghulu nampak mengangguk paham dengan apa yang terjadi. Ia pun nampak menghembuskan napasnya dengan sedikit berat."Baik, saya mengerti. Tapi, saya mohon maaf, buku nikah kalian untuk sementara saya tahan dulu, sampai berkas milik saudara Arkan masuk ke kantor kami, bagaimana?" tanya Pak Penghulu dengan berat."Apa gak bisa buku nikah itu dikasih dahulu, Pak?" tanya Ayah Revan mencoba meloby pak penghulu.Pak penghulu menggeleng pelan lalu mengeluarkan secarik kertas di dalam tasnya."Untuk sementara kita pakai surat ini dahulu sebagai tanda kalau pernikahan kalian memang sudah sah dan tercatat ya," ucap Pak Penghulu kembali.Arkan dan Andri saling pandang, saling merasakan kelegaan sekaligu
Arkan hanya tersenyum lalu mengajak Andri untuk segera duduk di kursi pelaminan.Andri hanya menurut meskipun pandangannya tak pernah lepas pada apa yang ada disebelah pelaminan itu."Itu hotweels asli buat kamu, Dek. Itu salah satu koleksi aku, dan aku hadiahkan untuk istri aku nantinya," bisik Arkan pelan.Mata Andri nampak membola, siapa sebenernya lelaki disebelahnya itu? Banyak orang yang mengatakan bahwa ia hanya pria idiot yang kelakuannya seperti anak kecil. Namun, yang ia temui hari ini, sungguhlah berbeda.Semua tamu pun memandang takjub pada apa yang dihadiahkan oleh Arkan kepada istrinya.Bagaimana tidak, yang Arkan hadiahkan adalah sebuah supercar type Audy 8R V10, harga dipasaran Indonesia saja masih sekitar 5 miliar keatas. Kalaupun itu mobil second harganya pun masih bernilai fantastis sekitar 2 miliar rupiah.Andri masih tak percaya dengan apa yang ia dapatkan kini. Kasak-kusuk para tamu undangan terlihat jelas dari atas pelaminan.Andri meremas gaun pengantinnya deng
Waktu pun terus berlalu, hingga tak terasa jam pun sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB, waktunya acara hampir selesai.Satu persatu para tamu undangan pun berpamitan lalu memberikan pelukan hangat dan ucapan selamat untuk terakhir kalinya kepada Arkan dan juga Andri. Hingga akhirnya hanya menyisakan keluarga inti saja.Lampu-lampu hias mulai dipadamkan pertanda bahwa acara sudah selesai. Andri melangkah perlahan menuju ruang ganti bersama sang Bunda, begitupun dengan Arkan yang sudah lebih dahulu melangkah bersama Kakek Gala.Saat tiba diruang ganti, sudah ada Arsy dengan tatapan tajam seolah tak suka."Aku heran, sebenernya siapa Mas Arkan. Kok bisa dia ngasih hadiah Audy 8R buat Mbak," ucapnya dengan ketus.Andri menggidikkan bahunya tanda tak tahu dan meminta bantuan sang bunda untuk melepaskan resleting yang sulit ia jangkau di belakang punggungnya."Andai tau Mas Arkan sekaya itu, mending aku kemarin godain dia," gerutu Arsy kembali."Hush! Buat apa kamu godain dia, belum tentu Ark
Arkan mengalihkan pandangannya ke arah langit-langit. Ia memijat pelan pelipisnya, mencoba mencerna setiap kata-kata yang ada. Ia bukanlah orang bodoh meskipun sedikit idiot terkadang. Namun, kata-kata Agra tadi jelas bukan hanya sekedar nasihat. Namun, ada juga sebuah peringatan di dalamnya."Kau terlalu naif, Arkan. Kau terlalu polos dan mudah percaya," kata-kata itu kembali Agra ucapkan, membuat Arkan benar-benar tertekan karenanya.Namun, Arkan tahu jelas, kedua orang itu hanya memperingatkannya, namun juga menasihatinya. Menjadi pion atau pemain, itulah yang Arkan pertanyakan sekarang.Agra mengetuk jari jarinya di meja kerja Arkan, membuat suasana di sana semakin canggung dan juga tegang.Namun, sebelum Arkan bisa menjawab, sebuah suara berat kembali terdengar dari arah pintu"Ikut saja dulu permainannya."Mereka bertiga langsung menoleh dengan cepat. Kakek Gala berdiri di sana, lalu segera melangkah dengan tegas dan juga perlahan. Meskipun jalannya sudah menggunakan tongkat, n
Arkan mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, menahan gemuruh di dadanya. Ia menatap Oom Nathan dengan tajam, mencoba membaca maksud tersembunyi di balik kata-kata yabg terlontar dari mulut lelaki itu "Apa maksud Oom?" tanya Arkan tak paham, bahkan suaranya terdengar lebih berat dari biasanya.Oom Nathan melangkah lebih dekat, lalu segera menarik kursi yang berada di depan Arkan. Ia mengamati wajah keponakannya itu, seolah ingin menilai seberapa jauh ia akan tenggelam dalam kekacauan ini."Arkan, bukankah kau telah lama bersahabat dengan Kevin?" tanyanya datar, namun penuh penekanan. "Coba kau pikirkan, apa mungkin Kevin bisa melakukan semuanya sendiri? Maksud Oom, Oom tak yakin jika dia cukup berani untuk melakukan ini semua. Pasti ada sosok lain dibelakangnya," jawabnya menganalisa.Arkan mengerutkan kening, mencoba mengingat semua memori tentang Kevin."Tapi, bukan kah seseorang bisa berubah? Maksud Arkan, jika ia terbakar dendam, maka ia akan berubah menjadi jahat? Bukankah banya
["Arkan, bagaimana?"] tanya Kevin kembali dari seberang telpon sana.Arkan mendengus pelan, menatap layar laptop dengan tatapan kosong."Kau bawel sekali, Kevin! Bukan kah kau memberikanku waktu 3x24 jam untuk berpikir? Ini baru 1x24 jam!" gerutu Arkan kesal.Tawa Kevin terdengar begitu jelas dari sana.["Kau masih sama seperti dulu, Arkan. Selalu polos dan mudah percaya. Ah, sayang sekali Andri harus menikah dengan pria idiot macam kau,",] ucapnya kembali.Gigi Arkan nampak gemertluk mendengar hinaan itu kembali. Ia menghela napas panjang dan dengan berat hati akhirnya ia memberikan keputusan."Hanya PT Dirgantara, kan?" tanya Arkan memastikan.["Ya, karena perusahaan itu yang paling besar di antara perusahaanmu. Meskipun anak cabang, tapi perusahaan itu paling banyak memiliki saham dan juga keuntungan, benarkan?"] tanya Kevin penuh percaya diri."Sepertinya kau tahu banyak tentang perusahaan ku yah? Oke, baiklah, aku akan menyerahkannya. Tapi, aku mohon beri aku waktu," jawab Arkan
Setelah menuntaskan hasratnya, Andri kembali tertidur. Mungkin ia sedikit kelelahan karena permainan mereka kali ini terasa lebih panas dan juga bergairah.Sepertinya, benar kata orang, apapun masalah yang terjadi dalam rumah tangga, ranjang adalah tempat mereka kembali menemukan suatu kedamaian.Melihat sang istri yang nampak begitu terlelap, Arkan pun ikut tertidur sebentar. Siapa tau, setelah beristirahat pikirannya bisa lebih fress dan juga lebih tenang.Namun, tidur Arkan tidak lah lama, hanya sekitar tiga puluh menit saja, karena ponselnya terus berdering menandakan panggilan.Arkan terpaksa bangun untuk mengambil ponselnya. Di layar sana, nama 'Sinta' tertera dengan jelas.Arkan segera mengangkat telponnya dan tak lama Sinta nampak marah-marah dari sebrang sana.["Bapak tuh kenapa sih? Kenapa harus nggak masuk? Bapak nggak tahu apa kalau ada banyak laporan yang perlu di tandatangani dan di cek?"] omel Sinta panjang lebar."Ck! Saya jadi heran, sebenernya disini yang bosnya kamu
"Kamu serius dengan apa yang kamu ucapkan itu, Dek?" tanya Arkan masih belum percaya sepenuhnya kepada sang istri.Andri tersenyum lembut, ia tahu, tak mudah bagi Arkan untuk kehilangan semuanya. Ia pernah kehilangan kedua orangtuanya, kehilangan sedikit ingatan dan juga mentalnya, dan kali ini ia kembali di hadapkan dengan sesuatu yang mungkin sedikit sulit ia terima, dan Andri paham akan semua itu.Andri kembali membelai lengan sang suami, dan tersenyum lembut. Ia mengecup pelan pipi Arkan sebentar lalu kembali masuk ke dalam pelikan lelakinya."Mas, jangan pernah merasa sendiri lagi sekarang. Kamu punya aku sekarang, Mas," lirih Andri pelan seraya keluar dari pelukan suaminya."Aku memang hanya orang baru yang kebetulan datang di dalam hidupmu. Tapi aku, aku nggak akan membiarkanmu menghadapi semuanya sendiri kembali, Mas. Aku akan selalu ada di sampingmu dalam suka maupun duka mu," ujar Andri kembali.Arkan menarik napas dalam, lalu mencium pucuk kepala istrinya. "Terimakasih suda
Sekan terdiam dan terpaku mendengar jawaban yang terlontar dari mulut istrinya itu. Andri melangkah lebih dahulu ke gazebo halaman belakang, lalu menepuk pinggiran yang masih kosong.Arkan mengerti apa yang dimaksud istrinya. Ia pun segera melangkah dan duduk bersama wanitanya itu."Apa yang sebenernya terjadi, Mas? Dari semalam kamu selalu bertanya seperti itu? Apa yang kamu sembunyikan sebenernya, Mas?" tanya Andri bertubi-tubi.Arkan menunduk sebentar, memainkan jari jemarinya, seolah menguatkan hatinya dahulu sebelum akhirnya ia bercerita kepada sang istri.Andri menunggunya dengan sabar, membelai lembut lengan sang suami seolah memberinya sedikit ketenangan.Arkan mengangkat wajahnya, menatap wajah wanita didepannya yang terlihat begitu kuat dan juga tegar."Aku ... Kevin kemarin ngancem aku, Dek," ucap Arkan pada akhirnya."Kevin? Apa ancaman Kevin ke kamu, Mas?" tanya Andri penasaran.Arkan pun lalu menceritakan tentang telpon Kevin kemarin di kantor. Tentang ancamannya dan jug
"Mas, gua mau nanya sesuatu sama lu. Tapi, janji ya jangan diketawain," ucap Arkan tiba-tiba memecah keheningan diantara mereka berdua.Agra mengernyitkan dahinya sebentar, lalu mengangguk mantap. "Ada apa?" tanyanya datar."Gimana kalau misalnya lu di suruh milih antara dua hal sesuatu yang sulit?" tanya Arkan kembali."Apa dulu sesuatunya itu?" tanya Agra balik, suaranya terdengar santai dan juga datar.Arkan kembali menatap langit malam yang begitu terang. Ia menghembuskan napasnya pelan sebelum akhirnya ia kembali berbicara."Kalau misalnya lu disuruh milih antara wanita yang lu cintai sama perusahan yang udah dibangun susah payah sama ortu lu, lu bakal milih mana?" tanya Arkan ambigu.Agra memiringkan kepalanya untuk melihat raut wajah Arkan. Wajahnya terlihat menyimpan suatu beban yang begitu berat sepertinya."Siapa saingan gua yang mau ngerebut Andri dari lu? Emang ada? Wah, nggak bisa dibiarin ini. Harusnya, saingan lu dalam merebut Andri cuma gua aja," ujar Agra sambil terke
"Nggak apa-apa kok, Dek. Mas cuma mau nanya doang," ucap Arkan sambil tersenyum masam.Andri menghembuskan napas panjang, lalu mengecup pelan pipi sang suami."Yakin cuma nanya doang? Nggak ada yang lain?" tanya Andri mulai curiga.Arkan kembali menggelengkan kepalanya pelan. Namun sepertinya Andri mulai cukup peka terhadap apa yang terjadi dengan suaminya.Dengan lembut ia mulai mengambil lengan Arkan dan membelainya dengan mesra."Apapun yang terjadi, aku akan mencintaimu, Mas. Aku akan selalu bersama denganmu dalam suka dan duka. Aku tak masalah hidup susah ataupun jatuh miskin," ucap Andri pelan."Mas, asal kamu tahu, aku sudah terbiasa hidup susah. Jadi, kamu nggak perlu khawatirkan aku. Justru, aku yang harus khawatirin kamu, sanggup atau nggak? Asal kamu tau, Mas, bahkan dulu sehari cuma makan sekali saja aku pernah merasakannya. Kamu tenang saja, Mas, jika hanya harta dunia, kita bisa cari bersama-sama. Kita akan kerja sama-sama untuk kembali mengembalikan keadaan," ucapnya pe
Arkan masih terdiam di mejanya. Kepalanya ia tangkupkan ke atas meja, seolah ia tiduran disana. Kepalanya sedikit pening sekarang. Keputusan apa yang harus ia ambil kini, semuanya terasa begitu berat.Dalam lamunannya, tiba-tiba belaian lembut hinggap di punggungnya. Arkan mengangkat wajahnya, mencoba tersenyum tenang, meskipun sorot matanya masih menyimpan badai.Nampak Andri disana dengan wajah teduhnya."Mas, ada apa? Siapa yang telpon?" tanya Andri lembut, suaranya pelan dan penuh kekhawatiran."Nggak ada apa-apa, Dek. Hanya telpon iseng yang mencoba menguji kesabaranku," ucap Arkan dengan tenang.Andri mengernyitkan dahinya. Tentu saja ia tak percaya begitu saja. Tak mungkin ada apa-apa, wajah Arkan tidak bisa bohong jika ia memendam suatu masalah yang besar.Andri menghela napas pelan, lalu kembali membelai lembut pundak sang suami, "Kalau Mas sudah siap cerita, cerita aja, ya. Adek akan selalu siap untuk denger semua keluh kesah Mas," ucap Andri sambil tersenyum.Arkan mengangg