“Ah, Sayang – terus, lebih cepat ....”
Andri terdiam di ambang pintu kamar Agra, tunangannya. Tangannya sedikit gemetar sambil memegang gagang pintu, sementara telinganya masih bisa mendengar jelas suara rintihan dan desahan dari dalam kamar. Dengan perlahan, ia mulai membuka pintu kamarnya sedikit, membuat celah agar ia bisa melihat apa yang terjadi disana. Namun, seketika jantungnya pun seolah berhenti saat melihat pemandangan itu Disana, ia melihat Agra tengah memadu kasih dengan seseorang. Dan yang lebih menyesakkannya lagi, perempuan itu adalah Arsy, adiknya sendiri. “Ah, Sayang, aku hampir ....” Andri sudah tak kuasa mendengar kalimat yang menjijikan itu kembali. Ia pun berusaha menguatkan hatinya, hingga akhirnya .... Brak! Pintu kamar pun terbuka cukup lebar, membuat kedua insan yang sedang memadu kasih itu langsung terkesiap kaget dan menoleh ke arah pintu. “Mbak.” “Sayang.” Ucap kedua orang itu secara serempak. Agra segera melepaskan tubuhnya dari tubuh Arsy, lalu mengambil sebuah selimut untuk menutupi tubuh Arsy, sementara dirinya segera menyambar celana pendek yang berada tak jauh dari sana. “Kalian --,” ucap Andri geram, tangannya nampak mengepal kuat berusaha menahan gejolak amarah di dadanya. “Sayang, aku bisa jelasin, ini nggak seperti yang kamu pikirkan,” ucap Agra berusaha mendekat ke arah Andri setelah memakai celana pendeknya. Andri menggeleng pelan, dan berkata, “gak seperti yang aku pikirkan, Mas? Kamu pikir aku buta, gak bisa lihat kelakuan kalian?” Pandangan Andri pun kini beralih pada sang adik yang begitu ketakutan sambil mencengkram selimut. “Kamu ... dasar wanita murahan!” seru Andri sambil menunjuk wajah Arsy. “Sayang, aku mohon denger penjelasan aku dulu,” ucap Agra melembut. Wajahnya sedikit memelas, ia pun berusaha meraih lengan Andri namun berhasil ditepisnya. Andri tak sudi tangannya dipegang oleh tangan yang telah menjamah wanita lain. “Jangan sentuh aku! Pernikahan kita batal, Mas!” seru Andri dengan tegas sambil terisak. Air matanya perlahan mulai turun membasahi wajahnya. Hatinya sakit dan juga kecewa melihat apa yang barusan terjadi itu. Ia pun lalu menghapus air matanya kasar dan bersiap untuk pergi. Agra menggelengkan kepalanya pelan, wajah putihnya langsung memucat pasi, mungkin agar membuat Andri kembali iba. “Kamu jangan sembarang bicara, Andri. Aku hanya khilaf, Sayang,” ucap Agra kembali. “Khilaf?” tanya Andri sarkas. “Ayo lah, Sayang. Pernikahan kita gak mungkin bisa dibatalkan. Apa kamu lupa kalau persiapan pernikahan kita sudah hampir rampung semua? Jadi, apapun yang terjadi, pernikahan kita akan tetap berlangsung,” jawab Agra. “Nggak, Mas. Pokoknya aku mau pernikahan kita batal,” ucap Andri kekeuh degan apa keputusannya. “Jangan egois, Andri. Pikirkan perasaan Kakek dan juga Ayahmu kalau pernikahan kita batal,” ucap Agra pelan. Andri memejamkan matanya sebentar. Terbayang sudah bagaimana hancurnya perasaan sang kakek dan ayahnya jika tau bahwa pernikahan mereka batal. Tapi, jujur ia tak ingin melanjutkan pernikahan ini kembali. “Maaf, Mas, aku yakin mereka akan paham tentang perasaanku setelah ini,” ucap Andri tegas. Andri menatap wajah tampan Agra. Wajah yang selalu ia puja dan ia harapkan selama ini, namun kini wajah itu malah terlihat begitu menjijikan. Wajah tampan itu pun kini berubah menjadi merah bak kepiting rebus saat mendengar ucapan Andri barusan. “Andriyani Devandra, apa kamu tak memikirkan perasaan semua orang jika pernikahan ini batal? Ini gak cuma tentang Ayah dan Kakek tapi dengan yang lainnya. Kamu gak lupa kan dengan banyaknya biaya yang udah aku dan keluargaku keluarkan untuk pernikahan ini?” tanya Agra kembali. “Mas, tak sadarkah kamu? Harusnya kamu yang sadar diri, gimana sama perasaan semua orang kalau kamu melakukan hal menjijikan sama jalang itu!” tegas Andri lantang. Dadanya nampak kembang kempis seolah menahan gejolak amarah yang ada. Tubuhnya sedikit gemetar dan tak ada lagi air mata yang turun. Perasaannya pun nampak kacau dan sulit dideskripsikan. “Andriyani! Tutup mulutmu. Aku udah bilang kan, aku ini khilaf, dan jangan pernah ngatain Arsy itu jalang. Dia kekasih baru, Mas!” sentak Agra tak terima. “Ooh kekasih baru tah? Lalu, sebutan apa yang pantas buat perempuan yang rela menyerahkan tubuhnya kepada laki-laki lain sebelum menikah? Apalagi, laki-laki itu, adalah calon kakak iparnya sendiri? Ani-ani kah? Atau cabe-cabean?” tanya Andri seolah meledek. “Sudah cukup! Ini hanya salah paham, Ndri. Mas rasa gak perlu dibesar-besarkan,” ucap Agra kali ini dengan lebih lembut. “Terserah,” ketus Andri. Andri menghela napasnya kasar. Ingin rasanya kembali mendebat namun ia rasa percuma. Lebih baik ia segera pergi saja dari sini dan mengadukan semuanya pada kakek dan ayahnya. **** Plak! “Memalukan!” Sebuah tamparan meluncur di wajah tampan Agra, kali ini Om Nathan yang melakukannya. Ya, setelah pulang dari kediaman Agra, Andri pun memutuskan untuk mengadukan semuanya pada Ayah dan juga Kakeknya. Dan di sini, di rumah keluarga besar Wiguna, mereka pun kembali dikumpulkan untuk membahas hal ini. Suasana di ruang tamu ini pun mendadak tegang dan juga canggung. Andri pun mengerti, mengapa Om Nathan melakukannya. Semua orang tua pun pasti akan melakukan hal yang sama saat mengetahui anaknya melakukan hal tak senonoh sehari menjelang pernikahannya. “Kenapa Papa pukul Agra, hah?!” sentak Arga tak terima. “Kamu pantas mendapatkannya Agra! Kamu bener-bener anak gak tau diri! Bikin malu keluarga aja bisanya!” bentak Om Nathan dingin. “Papa bilang aku gak tau diri? Harusnya Papa bersyukur, kalau aku gak jadi nikah sama dia!” sentak Agra kembali. Wajahnya nampak memerah, dadanya kembang kempis seolah menahan amarah yang ada. “Bersyukur? Apa maksudmu dengan bersyukur? Di sini, kamu yang salah dengan tidur sama adik ipar kamu, tapi kenapa kamu malah bilang bersyukur, hah? Gak ada otak kamu!” sentak Om Nathan sedikit terperangah. Agra nampak menyunggingkan sedikit senyumnya seolah meledek. “Pa, asal Papa tau, Andri itu, nggak cuma udik dan kampungan, tapi dia juga mandul, Pa. Mandul! Bayangkan, Pa, Papa nikahin aku ke perempuan macem dia, terus berharap kita punya anak, itu cuma mimpi, Pa, mimpi!” sentak Agra kembali. Deg! “Ma—mandul?”"Apa maksud kamu bilang aku mandul, Mas?" tanya Andri dengan raut wajah yang sedikit syok."Benar. Apa maksudmu, Nak? Kalian saja belum menikah, tapi kamu sudah bisa bilang kalau dia mandul?" tanya Om Nathan seolah tak percaya."Aku punya buktinya, kok. Tunggu sebentar, akan aku ambilkan," ucap Agra angkuh.Agra beranjak dari duduknya dan segera berlalu ke salah satu ruangan yang berada tak jauh dari sana."Nak, apa yang Agra bilang itu benar?" tanya Ayah Revan penasaran.Andri menggeleng pelan lalu mengambil lengan sang ayah dan membelainya dengan lembut."Andri gak tau, Yah. Andri aja bingung kenapa Mas Agra bisa bilang begitu sama Andri," jawab Andri lirih.Ayah Revan pun menggenggam erat lengan sang anak dan tersenyum, seolah memberikan sedikit kekuatan agar sang anak mampu menghadapi ujian ini.Tak lama, Agra pun kembali, membawa dua buah amplop panjang berwarna coklat lalu menaruhnya diatas meja sana."Kalau Papa dan Kakek gak percaya, kalian bisa lihat sendiri disini," ucap Agr
"A-Arkan? Kakek yang bener aja! Masa mau nikahin Andri ke dia sih?" tanya Agra seolah tak terima."Kenapa? Apa ada masalah dengannya? Kakek rasa itu pilihan yang tepat, karena hanya Arkan lah satu-satunya cucu kakek yang belum menikah," ucap Kakek Gala memberitahu."Tapi, Arkan itu bukan cucu kandung Kakek. Dia itu hanya sampah yang kakek pungut dan di jadikan cucu, untuk apa menganggap dia sebagai cucu, hah?! Apalagi, dia bocah idiot yang pasti nyusahin!" sentak Agra kesal."Tutup mulutmu, Agra! Kalau saja bukan karena kelakuanmu, sudah pasti Arkan tak akan menjadi yatim piatu dan berkebutuhan khusus seperti sekarang," ucap Om Nathan menambahkan."Tapi, Pa--," Om Nathan langsung melambaikan tangannya seolah tak ingin dibantah.Agra menggelengkan kepalanya pelan. Wajahnya nampak kecewa berat dengan keputusan yang diberikan oleh sang kakek.Ia pun segera beranjak dari duduknya, dan langsung menghampiri Andri disana. Ia memegang lembut lengan Andri dan membelainya."Ndri, aku mohon, men
Andri terdiam untuk beberapa saat, ia seperti mengenali suara itu tapi entah dimana. Otaknya pun seakan buntu, hingga tak tau apa yang akan ia lakukan. "Kenapa diem disitu? Masuk aja, anggep aja kamar sendiri," ucap lelaki itu lagi tanpa menoleh sedikit pun pada Andri. Andri pun menghembuskan napasnya panjang, dan berusaha mencari sesuatu agar ada alasan untuk dia mendekat. Beruntung, sebuah mobilan berada tepat didekat pintu. Andri pun segera mengambil mobil itu dan menghampiri lelakinya. "Ini punyamu?" tanya Andri ramah, seraya menaruh mobilan itu dekat dengannya. "Terimakasih," jawab lelaki itu singkat. Andri hanya mengangguk dan setelah itu suasana pun kembali hening. Ia bingung harus bilang apa dan bagaimana, apalagi lelaki itu sepertinya sama sekali tak tergubris oleh kehadirannya. "Gimana soal persiapan pernikahannya? Apa kamu suka? Atau, ada yang mau diganti?" tanya lelaki itu bertubi-tubi. Andri tak langsung menjawab, ia masih diam dan menunduk, namun tangannya ikut m
Tubuh Andri terhuyung membentur dinding dekat lemari kaca. Napasnya sedikit tercekat, ingin berteriak namun tak bisa karena mulutnya dibekap kuat.Andri membelalakkan matanya tak percaya saat mengetahui siapa yang menarik tadi."Jangan teriak, ini aku, Ndri," ucap Agra dengan wajah tanpa dosa."Gimana gak kaget. Kamu tiba-tiba narik aku gitu aja. Mau apa lagi kamu, Mas?" tanya Andri sedikit ketus.Kedua matanya nampak beradu dengan pandangan Agra yang tajam, hingga akhirnya ia memilih untuk membuang wajahnya ke samping."Apa kamu benar-benar mau menikah dengan Arkan, Ndri?" tanya Agra dengan sedikit memelas."Apa urusanmu?" tanya Andri ketus."Ndri, pikirkan baik-baik, Arkan itu hanya anak idiot, dia juga gak kerja. Aku yakin, kamu pasti gak akan pernah bahagia sama dia," bujuk Agra kembali."Terus, apa dengan aku nikah sama kamu, aku akan bahagia?" tanya Andri sedikit ragu.Agra mengangguk mantap, kedua tangannya kini menyentuh dinding dan berada disisi kanan kiri Andri, sehingga mem
Arkan melangkah dengan tegap menghampiri Andri, wajahnya penuh keyakinan. Tanpa ragu, ia mengulurkan tangannya, yang langsung disambut Andri dengan senyum hangat dan penuh kebahagiaan."Cantik," bisik Arkan lembut, matanya menatap Andri dengan penuh kasih membuatnya menjadi salah tingkah."Sudah siap?" tanyanya lagi sambil mengalungkan lengan Andri kedalam tangannya, seolah memberi dukungan yang tenang namun kuat.Andri hanya mengangguk, senyumnya pun tak pudar dari wajahnya."Mas," lirih Andri pelan sesaat sebelum keduanya kembali melangkah.Arkan segera mengalihkan pandangannya kepada Andri, seolah bertanya mengapa?"Terimakasih," bisik Andri lirih.Hanya itu yang bisa Andri ucapkan untuk saat ini kepada lelakinya. Setelah itu, keduanya pun segera melangkah menuju meja tempat ijab kabul akan dilangsungkan yang berada tak jauh dari atas pelaminan.Di sepanjang perjalanan menuju meja ijab kabul, bisik-bisik dari para tamu mulai terdengar, mengiringi langkah keduanya. Sayup-sayup, Andr
Kakek Gala melangkah pelan mendekati pak penghulu disana.Dengan setengah berbisik, ia pun menceritakan alasan kenapa nama mempelai prianya berganti. Tentu saja, apa yang diceritakannya itu tidak sepenuhnya benar. Ia hanya mengatakan bahwa ada sesuatu hal yang menimpa calon suami sebelumnya.Pak penghulu nampak mengangguk paham dengan apa yang terjadi. Ia pun nampak menghembuskan napasnya dengan sedikit berat."Baik, saya mengerti. Tapi, saya mohon maaf, buku nikah kalian untuk sementara saya tahan dulu, sampai berkas milik saudara Arkan masuk ke kantor kami, bagaimana?" tanya Pak Penghulu dengan berat."Apa gak bisa buku nikah itu dikasih dahulu, Pak?" tanya Ayah Revan mencoba meloby pak penghulu.Pak penghulu menggeleng pelan lalu mengeluarkan secarik kertas di dalam tasnya."Untuk sementara kita pakai surat ini dahulu sebagai tanda kalau pernikahan kalian memang sudah sah dan tercatat ya," ucap Pak Penghulu kembali.Arkan dan Andri saling pandang, saling merasakan kelegaan sekaligu
Arkan hanya tersenyum lalu mengajak Andri untuk segera duduk di kursi pelaminan.Andri hanya menurut meskipun pandangannya tak pernah lepas pada apa yang ada disebelah pelaminan itu."Itu hotweels asli buat kamu, Dek. Itu salah satu koleksi aku, dan aku hadiahkan untuk istri aku nantinya," bisik Arkan pelan.Mata Andri nampak membola, siapa sebenernya lelaki disebelahnya itu? Banyak orang yang mengatakan bahwa ia hanya pria idiot yang kelakuannya seperti anak kecil. Namun, yang ia temui hari ini, sungguhlah berbeda.Semua tamu pun memandang takjub pada apa yang dihadiahkan oleh Arkan kepada istrinya.Bagaimana tidak, yang Arkan hadiahkan adalah sebuah supercar type Audy 8R V10, harga dipasaran Indonesia saja masih sekitar 5 miliar keatas. Kalaupun itu mobil second harganya pun masih bernilai fantastis sekitar 2 miliar rupiah.Andri masih tak percaya dengan apa yang ia dapatkan kini. Kasak-kusuk para tamu undangan terlihat jelas dari atas pelaminan.Andri meremas gaun pengantinnya deng
Waktu pun terus berlalu, hingga tak terasa jam pun sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB, waktunya acara hampir selesai.Satu persatu para tamu undangan pun berpamitan lalu memberikan pelukan hangat dan ucapan selamat untuk terakhir kalinya kepada Arkan dan juga Andri. Hingga akhirnya hanya menyisakan keluarga inti saja.Lampu-lampu hias mulai dipadamkan pertanda bahwa acara sudah selesai. Andri melangkah perlahan menuju ruang ganti bersama sang Bunda, begitupun dengan Arkan yang sudah lebih dahulu melangkah bersama Kakek Gala.Saat tiba diruang ganti, sudah ada Arsy dengan tatapan tajam seolah tak suka."Aku heran, sebenernya siapa Mas Arkan. Kok bisa dia ngasih hadiah Audy 8R buat Mbak," ucapnya dengan ketus.Andri menggidikkan bahunya tanda tak tahu dan meminta bantuan sang bunda untuk melepaskan resleting yang sulit ia jangkau di belakang punggungnya."Andai tau Mas Arkan sekaya itu, mending aku kemarin godain dia," gerutu Arsy kembali."Hush! Buat apa kamu godain dia, belum tentu Ark
Arsy terdiam sambil menatap layar monitor yang menampilkan bagian dalam perutnya."Selamat ya, Bu Arsy. Ibu benar-benar hamil. Ini sudah terlihat kantung janinnya dan usia janin diperkirakan sudah masuk minggu ke 7," ujar sang dokter dengan ramah.Tak lama, layar monitor pun berubah menampilkan detak jantung."Nah, ini detak jantungnya si dedek, kedengaran kan, Bu?" tanya dokter sambil tersenyum.Arsy hanya mengangguk pelan, matanya masih terpaku pada layar monitor itu yang menampilkan garis tak beraturan itu.Setelah proses pemeriksaan USG selesai, Arsy pun kini sudah boleh kembali duduk di kursinya."Apa ada yang ingin ditanyakan, Bu Arsy?" tanya sang dokter kembali sebelum mengakhiri sesi konsultasi mereka berdua."Sepertinya tidak ada, Dok, terimakasih banyak ya," jawab Arsy lirih."Baik, kalau begitu, ini resep obat dan vitamin untuk ibu. Jangan lupa diminum, dan jangan sampai stress ya, Bu. Usia kehamilan trisemester awal sangat rentan stress. Jika mual, dan tak bisa makan, maka
Arkan merasa gamang, saat harus mengambil keputusan saat ini.Sebenernya, ia tidak terlalu suka disini, meskipun memang suasananya sejuk dan dekat dengan kantor, baik kantornya maupun kantor Kakek Gala, tapi disini banyak anak-anak yang mungkin bisa berisik dan mengganggu mereka, apalagi jika Arkan membawa lemari kacanya yang berisi mainan koleksinya. Berbagai pikiran buruk pun langsung berkecamuk disana.Tapi, begitu melihat Andri yang begitu antusias, ia pun sedikit bingung harus bagaimana.Arkan menghembuskan napasnya kasar, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Oom Wisnu."Ya udah, Oom, karena Andri suka sama rumahnya, jadi aku ambil rumah ini aja, ya. Oom bisa urus surat-suratnya, kan? Aku gak mau jika suatu saat ada permasalahan antara aku dan Yudha, terus ungkit-ungkit rumah ini," ujar Arkan kemudian.""Kamu yakin, Kan, ambil rumah ini? Kalau soal surat-surat gampang nanti Oom urus. Tapi, kalau gak salah harga rumah ini lebih rendah dibanding rumahmu, itu gimana? Berarti Oom ha
Saking asyiknya mereka bercengkrama, hingga tanpa sadar mereka pun sudah tiba di daerah tempat tinggal Oom Wisnu."Oom, ini kavling-nya yang mana ya? Arkan lupa," ujar Arkan sambil tersenyum samar.Oom Wisnu tertawa pelan, ternyata, keponakannya itu sudah lupa jalan kerumahnya."Masih di depan, Kan. Nanti perempatan belok kiri, gak jauh dari situ," ujar Oom Wisnu memberi petunjuk.Arkan hanya manggut-manggut sambil memelankan laju mobilnya. Kawasan ini sedikit sempit, hanya cukup untuk dua mobil saja, mana di beberapa ruas jalan nampak mobil terparkir sembarangan juga."Ck, kalau gak mampu beli garasi, setidaknya mbok gak usah beli mobil kek. Emang, ini jalanan mbahmu yang bisa di jadiin parkiran," gerutu Arkan sedikit sebal.Oom Wisnu tak menanggapi gerutuan itu, hanya tertawa sambil menggelengkan kepalanya pelan. Memang benar, kesadaran disini masih sedikit tipis, jika malam tiba, maka sisi jalan sebelah kiri akan berisi banyak mobil, membuat jalanan yang sempit semakin sempit saja.
Sekitar pukul 10.00 WIB, Andri dan Arkan telah bersiap untuk pergi ke rumah Oom Wisnu, tinggal menunggu kapan Oom Wisnu akan berangkat saja."Mas, ini gak masalah kalau misalnya kita langsung pergi? Aku gak enak sama Tante Adel, soalnya di rumah gak ngapa-ngapain. Dari tadi subuh, aku langsung masuk kamar, terus baru keluar tadi jam 9an," ucap Andri tak enak hati.Arkan menggeleng pelan lalu membelai lembut rambut sang istri, "nggak apa, Dek. Namanya juga tamu, pasti dia maklumin kalau misalnya kamu nggak ngapa-ngapain," ujarnya berusaha menenangkan gemuruh di hati Andri.Andri mendengus pelan, perasaannya masih tetap sama, ia tak enak karena dia tidak melakukan apapun di rumah itu.Tak ingin berdebat dengan Arkan, ia pun memilih untuk keluar dari kamar itu duluan, meninggalkan Arkan yang masih sibuk untuk berkemas.Begitu keluar kamar, suasana disana nampak sepi, hanya terdengar suara televisi yang menampilkan animasi si botak dari negri sebrang saja.Andri celingukan mencari siapa y
Andri dan Naima berteriak sambil mundur dua langkah. Dan saat keduanya berbalik dan hendak lari, tiba-tiba tangan Andri terasa ada yang mencengkram dengan kuat."Aaa, Naima tolong!" ujar Andri panik dan tak lama ...Bugh!"Berisik banget sih, Dek! Kamu ngapain sih?!" seru seseorang yang tak lain adalah Arkan sambil memukul kepala Andri menggunakan sejadah kecil."Ma -- Mas Arkan?" tanya Andri, suaranya sedikit bergetar, seolah tak percaya dengan apa yang didengarnya.Andri dan Naima perlahan berbalik, memastikan suara itu benar-benar milik Arkan atau bukan.Dan benar, Arkan berdiri dengan alis terangkat dan ekspresi bingung campur kesal. Sementara di belakangnya, nampak Oom Wisnu yang berdiri sambil menahan tawa. Wajah pria paruh baya itu tampak terkekeh geli melihat situasi yang entah kenapa terlihat sedikit lucu baginya."Mas Arkan dari mana?" tanya Naima kali ini dan mendapat anggukan dari Andri.Kedua wanita itu masih sedikit syok sambil berpegangan tangan seolah masih takut denga
Andri menggelengkan kepalanya pelan, lalu menatap lurus ke depan.Sekelebat bayangan masa lalu kembali berputar, bagai proyektor yang mereply film itu.Andri menghembuskan napasnya lalu menggeleng pelan."Kita tidur aja, yuk. Udah malem," ajak Andri mengalihkan pembicaraannya.Naima menggeleng pelan, bibirnya nampak mengerucut karena Andri tak jadi cerita."Mbak mah, ih, bikin aku kepo aja," gerutu Naima kembali.Andri hanya terkekeh pelan lalu mengacak rambut sang adik dan memilih untuk merebahkan dirinya saja."Mbakk," rajuk Naima sambil menggoyangkan lengan Andri Namun, Andri tetap menggeleng, dan memilih untuk memejamkan matanya saja.Melihat itu, Naima kembali cemberut, rasanya ia belum ngantuk, tapi mau bagaimana lagi, Andri dan juga Tante Adel sudah terlelap lebih dahulu.***Keesokan paginya, Andri terpaksa bangun karena guncangan yang cukup keras di tubuhnya."Andri, bangun, Ndri," ujar Tante Adel dengan nada panik.Dengan kepala yang sedikit terasa berdenyut, akhirnya Andri
Yudha kembali menghisap rokoknya dan menawarkan kepada Arkan di sana."Mas nggak ngerokok, Yud. Lah, tadi kamu kenapa pindah ngerokoknya?" tanya Arkan penasaran."Tadi ada Mama di sini. Kasian dede bayi kalau misalnya ada asep rokok," jawab Yudha.Arkan hanya mengangguk lalu kembali memanggang beberapa potong daging di atas sana. Suara bara yang terkena lelehan minyak kembali terdengar membuat malam itu kembali hangat.Keheningan pun akhirnya pecah karena getaran ponsel Yudha yang sedikit mengganggu. Yudha melihat siapa yang menelponnya dan langsung berdecak kesal.Tak ingin terlalu lama bergetar,ia pun segera mengangkat panggilan telpon itu."Jangan hubungin aku sekarang. Naima nginep di rumah," bisik Yudha setengah berbisik.[ ... ]"Gak usah ngadi-ngadi deh!" gerutu Yudha seraya menutup telponnya dan melemparnya ke sembarang arah.Yudha menghisap rokoknya kuat-kuat berusaha meredakan amarah yang sepertinya bergejolak di dadanya."Punya cewek lagi, Yud?" tanya Arkan sedikit penasar
"Tante, boleh ya?" rajuk Naima lagi, kali ini suaranya terdengar lebih memelas dari sebelumnya.Tante Adel menghela napas panjang. Wajahnya memancarkan keraguan, sementara matanya diam-diam melirik ke arah Oom Wisnu, seolah meminta jawaban tanpa harus mengucapkan sepatah kata pun.Oom Wisnu balas menatapnya, memahami kegelisahan yang tersirat. Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Akhirnya, Oom Wisnu mengangguk perlahan, memberi tanda persetujuan."Kasih aja, Ma, udah malem juga.Tapi, harus kamu yang ijin sama orang tuanya Naima jangan Yudha," ujar Oom Wisnu pada akhirnya.Tante Adel tersenyum tipis, meski rasa ragu belum sepenuhnya hilang."Ya udah, karena udah dapet ijin dari Papanya Yuda, kamu boleh nginep disini. Tapi ... inget, kamu tidur sama Tante di kamar utama, dan gak boleh ada di kamar Yudha, paham?" tanyanya Tante Adel akhirnya.Mendengar ucapan itu, raut wajah Naima yang tadi sempat sayu pun kembali berbinar."Makasih, Tante. Tante emang pengertian banget," jawab Naim
Malam mulai menyapa, Andri dan Arkan tampak betah berada di rumah itu. Rumah yang penuh kenangan baginya, sehingga membuat mereka seolah kembali ke masa lalu, mengingat momen-momen sederhana yang pernah ia lalui.Sekitar pukul 20.00 WIB, saat sedang asyik bercengkrama di ruang keluarga sambil menonton Tv, Yudha dan kekasihnya pulang entah dari mana dan membawa banyak tentengan."Yuhuuu, Tante, Oom, ayok kita barbaque-an," ujar Naima--Kekasih Yudha saat keduanya tiba."Eh, ada Mas Arkan dan Mbak Andri juga tah? Udah lama disini, Mas, Mbak?" tanya Yudha ramah seraya menyalami mereka berempat."Lumayan, dari tadi sore. Cie, adek gua sekarang udah gede, udah ngerti pacaran nih yee," goda Arkan kepada sang adik.Yudha hanya tertawa pelan mendengar ledekan itu, sementara Naima nampak salah tingkah dibuatnya."Ah iya, tadi kamu bilang apa? Barbeque-an? Ayo, gas, dimana?" tanya Arkan mengalihkan pembicaraannya dengan nada yang penuh semangat."Iya, Mas. Mama tadi WeA katanya pingin barbeque-