Tubuh Andri terhuyung membentur dinding dekat lemari kaca. Napasnya sedikit tercekat, ingin berteriak namun tak bisa karena mulutnya dibekap kuat.
Andri membelalakkan matanya tak percaya saat mengetahui siapa yang menarik tadi. "Jangan teriak, ini aku, Ndri," ucap Agra dengan wajah tanpa dosa. "Gimana gak kaget. Kamu tiba-tiba narik aku gitu aja. Mau apa lagi kamu, Mas?" tanya Andri sedikit ketus. Kedua matanya nampak beradu dengan pandangan Agra yang tajam, hingga akhirnya ia memilih untuk membuang wajahnya ke samping. "Apa kamu benar-benar mau menikah dengan Arkan, Ndri?" tanya Agra dengan sedikit memelas. "Apa urusanmu?" tanya Andri ketus. "Ndri, pikirkan baik-baik, Arkan itu hanya anak idiot, dia juga gak kerja. Aku yakin, kamu pasti gak akan pernah bahagia sama dia," bujuk Agra kembali. "Terus, apa dengan aku nikah sama kamu, aku akan bahagia?" tanya Andri sedikit ragu. Agra mengangguk mantap, kedua tangannya kini menyentuh dinding dan berada disisi kanan kiri Andri, sehingga membuat Andri seperti terpenjara oleh tubuhnya. "Andri, ayolah, jika kau memang mau melanjutkan pernikahan ini, setidaknya jangan mau sama Arkan. Lebih baik, kita lanjutkan saja rencana kita. Ayo, Ndri, kita temui Kakek Gala dan bilang bahwa kamu akan tetap menikah denganku, bukan dengan si idiot itu," rayu Agra kembali sambil membelai lembut wajah Andri. "Maaf, Mas, aku gak bisa," putus Andri seraya mendorong tubuh Agra sedikit menjauh dari tubuhnya. Sontak, apa yang dilakukan Andri, mampu menyulut emosi yang Agra tahan dari tadi. Ia pun kembali membenturkan tubuh Andri ke dinding, bahkan kini tangannya berada tepat di leher Andri. "Kamu menyebalkan sekali, Ndri. Sudah mandul, banyak gaya pula," ucap Agra kesal. Cengkraman di leher Andri perlahan mulai mengerat, membuatnya hampir kesulitan napas. 'Oh Tuhan, apa hidupku akan berakhir? Arkan, tolong aku,' batin Andri sambil memejamkan matanya. "Mas Agra, apa yang kamu lakukan?" Suara bariton yang menggema mampu membuat keduanya menoleh seketika. Agra pun segera melepaskan cengkeramannya dan sedikit menjauh dari tubuh Andri. Andri yang saat itu masih ketakutan pun segera berlari dan bersembunyi dibelakang tubuh Arkan. Ia menggenggam erat kaos belakang Arkan seolah meminta perlindungan. "Jangan pernah sentuh wanitaku lagi, Mas!" ucap Arkan memperingatkan. "Jangan senang dulu, Kan. Kelak, aku akan ambil lagi Andri dari kamu," ucap Agra seraya pergi dari hadapan mereka berdua. Arkan pun segera menarik tubuh Andri untuk masuk ke dalam kamarnya dan menyuruhnya untuk duduk di sofa. "Terimakasih. Aku gak tau lagi gimana nasibku kalau kamu gak keluar. Mungkin aku udah ...," Kata-kata Andri langsung terpotong karena Arkan telah melambaikan tangannya. "Terus, apa sekarang kamu masih mau menikah sama Agra?" tanya Arkan kembali memastikan dan mendapat gelengan dari Andri. "Nggak! Aku gak mau nikah sama dia, aku takut nanti dia malah nyakitin aku, baik secara verbal ataupun fisik," jawab Andri mantap. Andri menyenderkan tubuhnya pada sandaran sofa, lalu menetralkan degup jantungnya agar ia tak lagi ketakutan karenanya. "Ndri, apa kamu datang gak bawa surat?" tanya Arkan yang langsung membuat Andri salah tingkah. "Em, soal surat itu --," Andri memainkan jari jemarinya. Karena kelakuan Agra tadi, kata-kata yang telah ia susun pun mendadak hilang entah kemana. "Ndri, apa kamu gak jadi bikin surat perjanjiannya?" tanya Arkan kembali dan mendapat anggukan dari Andri. "Ayah bilang, pernikahan bukan untuk main-main, dan sebaiknya gak perlu kita buat surat perjanjian seperti itu," jawab Andri ragu. "Apa kamu bilang sama Ayah soal semuanya? Astaga Andri, ternyata kamu lebih idiot daripada saya," ucap Arkan sarkas. "Aku gak idiot, Mas! Ayah itu cinta pertama aku. Sekalipun aku coba menyembunyikan darinya, ia pasti akan selalu menemukan celah. Jadi, ya mau gak mau cerita apa adanya," ucap Andri sedikit kesal. Arkan menghembuskan napasnya kasar dan mengangguk. "Lalu, apa yang Ayah bilang? Apa dia gak masalah nitipin kamu di orang idiot sepertiku?" tanya Arkan. "Ayah bilang, hati gak ada yang tau. Siapa tau, suatu saat kita akan saling cinta," ucap Andri lemah dan langsung membuang wajahnya kesamping. "Cinta?" *** Andri memainkan jari jemarinya, hatinya sedikit resah, beberapa kali ia nampak menghembuskan napasnya kasar, mencoba untuk menetralkan perasaannya yang berkecamuk di dadanya. Telapak tangannya sudah banjir keringat dingin, sehingga harus beberapa kali ia lap dengan tisu. "Nervous ya, Mbak?" tanya salah satu penata rias yang tadi menghias telapak tangannya dengan hena. "Hu'um, Mbak. Aku malu dan gugup," ucap Andri lirih. "Rileks dulu yuk, Mbak," ucap penata rias satunya yang saat ini tengah mendadani wajahnya. Andri pun dituntun untuk melakukan tarik napas hembuskan secara perlahan selama beberapa kali. Hal itu, guna untuk meminimalisir rasa nervous yang masih ada. "Gimana? Sudah lebih baik?" tanya penata rias kembali dan mendapat anggukan dari Andri. Wajahnya pun kembali di dandani, tak hanya wajah, namun juga rambutnya. Andri memilih untuk memejamkan matanya saja, agar tak terlalu nervous dan mengganggu pekerjaan para perias itu. Setelah beberapa saat, tepukan lembut di pundaknya pun langsung menyadarkannya. "Mbak, udah selesai semua," ucap penata rias itu. Andri melihat pantulan dirinya di cermin lalu tersenyum. "Apa itu aku, Bu?" tanya Andri dan mendapat anggukan darinya. "Mbak Andri suka?" tanya penata rias kembali. "Suka banget, Bu. Masya Allah, cantik banget, kek bukan aku," ucap Andri memuji sang penata rias. Tak lama, Bunda Seira dan Arsy pun datang ke kamar Andri untuk memberitahu bahwa acara akad sudah hampir dimulai. "Cantik sih. Tapi sayang, nikahnya sama pria idiot, udah gitu gak keurus pula hihi," bisik Arsy di telinga Andri. Arsy sedikit terkekeh saat mengucapkan itu, membuat darah dikepala Andri seketika mulai mendidih. "Kek kamu pernah liat Mas Arkan aja, Ar. Awas kalau kamu jatuh hati sama dia juga," ucap Andri sambil menyunggingkan sedikit senyumnya. "Jatuh hati sama cowok brewokan? Astaga gak banget, iuh. Aku udah liat Mas Arkan kemaren, dan tampangnya haha," kekeh Arsy seraya pergi meninggalkan sang bunda berdua saja. "Nyebelin banget sih! Awas aja kamu," gerutu Andri sambil mengepalkan jari jemarinya. "Udah, gak usah didengerin. Ayo, bunda antar ke dekat pelaminan," ucap Bunda Seira dan mendapat anggukan dari Andri. "Ayah dimana, Bun?" tanya Andri penasaran karena dari pagi ia tak melihat wajah cinta pertamanya itu. "Ayahmu sudah ada disana bersama penghulu. Begitupun dengan kembaranmu yang sudah siap menjadi saksi pernikahan kalian," jawab Bunda santai. "Aku pikir, Pak RT yang akan jadi saksinya, Bun," ucap Andri sambil melangkah perlahan. "Awalnya begitu, tapi tiba - tiba Andre maksa minta jadi saksi. Jadi ya sudah," ucap Bunda dan mendapat senyuman dari Andri. Andri benar-benar merasa tenang saat ini, sekalipun ia yakin calon suaminya tidak setampan Agra, tapi ada dua orang lelaki yang dicintainya saat itu, yang akan ada bersamanya. Andri berdiri diatas karpet merah yang menjuntai panjang dari atas pelaminan hingga pintu masuk gedung. Dengan digandeng Sang Bunda disisi kirinya, perlahan Andri pun mulai melangkah. Semua mata pun tertuju pada dirinya, membuat dirinya sedikit kikuk. Ia yakin, setelah ini, pasti akan ada banyak gunjingan lagi tentangnya. Tak hanya, tentang mengapa pengantin prianya berganti, namun juga tentang penampilan Arkan yang sedikit urakan. Andri berhenti tepat di persimpangan tengah aula. Bunda pun segera memberikan buket bunga kepadanya. Tak hanya itu, panitia acara pun meminta Andri untuk menatap lurus ke depan, tepatnya ke arah berlawanan. Dari sisi sana, nampak seseorang dengan langkah yang tegap dan gagah berjalan menghampirinya. Seketika, tubuh Andri nampak menegang. Matanya membulat sempurna seperti hampir keluar. Kemana perginya rambut gondrong dan brewok itu? Kenapa yang berdiri dihadapannya saat ini sangat berbeda? Tanpa ia sadari, sebuah senyuman pun melengkung sempurna di bibir indahnya.Arkan melangkah dengan tegap menghampiri Andri, wajahnya penuh keyakinan. Tanpa ragu, ia mengulurkan tangannya, yang langsung disambut Andri dengan senyum hangat dan penuh kebahagiaan."Cantik," bisik Arkan lembut, matanya menatap Andri dengan penuh kasih membuatnya menjadi salah tingkah."Sudah siap?" tanyanya lagi sambil mengalungkan lengan Andri kedalam tangannya, seolah memberi dukungan yang tenang namun kuat.Andri hanya mengangguk, senyumnya pun tak pudar dari wajahnya."Mas," lirih Andri pelan sesaat sebelum keduanya kembali melangkah.Arkan segera mengalihkan pandangannya kepada Andri, seolah bertanya mengapa?"Terimakasih," bisik Andri lirih.Hanya itu yang bisa Andri ucapkan untuk saat ini kepada lelakinya. Setelah itu, keduanya pun segera melangkah menuju meja tempat ijab kabul akan dilangsungkan yang berada tak jauh dari atas pelaminan.Di sepanjang perjalanan menuju meja ijab kabul, bisik-bisik dari para tamu mulai terdengar, mengiringi langkah keduanya. Sayup-sayup, Andr
Kakek Gala melangkah pelan mendekati pak penghulu disana.Dengan setengah berbisik, ia pun menceritakan alasan kenapa nama mempelai prianya berganti. Tentu saja, apa yang diceritakannya itu tidak sepenuhnya benar. Ia hanya mengatakan bahwa ada sesuatu hal yang menimpa calon suami sebelumnya.Pak penghulu nampak mengangguk paham dengan apa yang terjadi. Ia pun nampak menghembuskan napasnya dengan sedikit berat."Baik, saya mengerti. Tapi, saya mohon maaf, buku nikah kalian untuk sementara saya tahan dulu, sampai berkas milik saudara Arkan masuk ke kantor kami, bagaimana?" tanya Pak Penghulu dengan berat."Apa gak bisa buku nikah itu dikasih dahulu, Pak?" tanya Ayah Revan mencoba meloby pak penghulu.Pak penghulu menggeleng pelan lalu mengeluarkan secarik kertas di dalam tasnya."Untuk sementara kita pakai surat ini dahulu sebagai tanda kalau pernikahan kalian memang sudah sah dan tercatat ya," ucap Pak Penghulu kembali.Arkan dan Andri saling pandang, saling merasakan kelegaan sekaligu
Arkan hanya tersenyum lalu mengajak Andri untuk segera duduk di kursi pelaminan.Andri hanya menurut meskipun pandangannya tak pernah lepas pada apa yang ada disebelah pelaminan itu."Itu hotweels asli buat kamu, Dek. Itu salah satu koleksi aku, dan aku hadiahkan untuk istri aku nantinya," bisik Arkan pelan.Mata Andri nampak membola, siapa sebenernya lelaki disebelahnya itu? Banyak orang yang mengatakan bahwa ia hanya pria idiot yang kelakuannya seperti anak kecil. Namun, yang ia temui hari ini, sungguhlah berbeda.Semua tamu pun memandang takjub pada apa yang dihadiahkan oleh Arkan kepada istrinya.Bagaimana tidak, yang Arkan hadiahkan adalah sebuah supercar type Audy 8R V10, harga dipasaran Indonesia saja masih sekitar 5 miliar keatas. Kalaupun itu mobil second harganya pun masih bernilai fantastis sekitar 2 miliar rupiah.Andri masih tak percaya dengan apa yang ia dapatkan kini. Kasak-kusuk para tamu undangan terlihat jelas dari atas pelaminan.Andri meremas gaun pengantinnya deng
Waktu pun terus berlalu, hingga tak terasa jam pun sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB, waktunya acara hampir selesai.Satu persatu para tamu undangan pun berpamitan lalu memberikan pelukan hangat dan ucapan selamat untuk terakhir kalinya kepada Arkan dan juga Andri. Hingga akhirnya hanya menyisakan keluarga inti saja.Lampu-lampu hias mulai dipadamkan pertanda bahwa acara sudah selesai. Andri melangkah perlahan menuju ruang ganti bersama sang Bunda, begitupun dengan Arkan yang sudah lebih dahulu melangkah bersama Kakek Gala.Saat tiba diruang ganti, sudah ada Arsy dengan tatapan tajam seolah tak suka."Aku heran, sebenernya siapa Mas Arkan. Kok bisa dia ngasih hadiah Audy 8R buat Mbak," ucapnya dengan ketus.Andri menggidikkan bahunya tanda tak tahu dan meminta bantuan sang bunda untuk melepaskan resleting yang sulit ia jangkau di belakang punggungnya."Andai tau Mas Arkan sekaya itu, mending aku kemarin godain dia," gerutu Arsy kembali."Hush! Buat apa kamu godain dia, belum tentu Ark
Di dalam kamar, Andri terlihat memegangi dadanya yang terasa berdebar kencang. Sejak tadi, jantungnya terus berdetak lebih cepat dari biasanya, apalagi saat melihat kamar Arkan yang nampak romantis dan penuh oleh keintiman ini.'Apa mungkin sekarang saatnya aku menyerahkan apa yang telah aku jaga selama ini?' gumam Andri lirih.Setelah menenangkan hatinya, ia pun melangkah menuju nakas. Disana, sudah ada sebuah tote bag pemberian dari Natasya--istri Andre-- yang tadi sempat menelponnya.Andri mengambil tote bag itu dan matanya langsung membola saat melihat apa yang ada di dalamnya. Ia pun segera mengambilnya lalu mengibaskannya sebentar dan memperhatikannya dengan seksama.'Baju model apa ini? Kenapa tipis dan menerawang sekali?' tanya Andri di dalam hatinya.Tak lama, ponselnya pun berdering tanda ada pesan masuk. Andri pun bergegas segera mengambil ponsel itu dan membaca pesannya yang ternyata dari Natasya.[Mbak, jangan lupa bajunya di pake ya] pesan Natasya.Tangan Andri pun berge
Di dalam kamar, Andri diam terpaku melihat respon yang Arkan tunjukkan tadi. Ia pun menundukkan kepalanya lalu segera mengambil ponselnya yang terletak di atas nakas.Ia lalu menghubungi adik iparnya itu seraya menutupi tubuhnya dengan selimut yang berada di atas kasur.["Kenapa lagi, Mbak?"] tanya Natasya dari sebrang telpon sana."Tadi aku udah coba pake baju yang kamu kasih. Tapi, Mas Arkan malah pergi dan langsung nutup pintu kamar. Apa aku terlalu jelek atau ...?" Andri tak meneruskan ucapannya.Rasanya, kata-kata itu tercekak di dalam tenggorokannya dan sulit untuk keluar.["Kok bisa? Coba kita VC, aku mau lihat,"] ucap Natasya dengan tak percaya."VC? Aku malu, Sya. Masih pake baju ini soalnya," ucap Andri ragu.["Gak apa-apa, Mbak. Mumpung disini juga gak ada Mas Andre, soalnya aneh aja. Pas aku pake baju itu, Mas Andre langsung napsu liat aku, masa iya Mas Arkan enggak sih? Pasti ada yang salah ini,"] ucap Natasya.Andri pun menghembuskan napasnya pelan, lalu mengganti mode t
Arkan menghembuskan napasnya perlahan, lalu ia pun mengetuk pintu kamarnya.Tok! Tok! Tok!"Dek, kok pintunya di kunci?" tanya Arkan lirih dari luar kamar.Arkan merasa jantungnya berdebar cukup kencang, perasaannya entah mengapa mengatakan bahwa ada sesuatu yang tak beres.Ia pun akhirnya menyadari sesuatu, karena rasa gelisah yang begitu mendera, ia pun mengetuk pintu lebih keras.Sementara di dalam kamar, Andri yang saat itu pura-pura untuk tidur pun tersentak dalam kebingungan.'Kenapa Mas Arkan ngetuk pintu dan manggilin aku? Kalau Mas Arkan diluar, terus yang ada dikamar siapa?" batin Andri lirih.Andri mencoba mengabaikan perasaan tidak enaknya dan membuka matanya secara perlahan. Ia menggeliat sebentar, dan pura-pura mengucek matanya agar terlihat baru bangun tidur.Agra yang menyadari bahwa Andri telah bangun karena ketukan pintu dikamar pun berusaha berpikir cepat bagaimana agar Andri tetap tunduk padanya.Rajang pun kembali bergerak, namun kali ini, seperti ada sesuatu yang
Agra bangkit, menyeka darah yang keluar dari sudut bibirnya dan tertawa pelan."Haha, bocah idiot sepertimu mana bisa melindungi dia? Melindungi diri sendiri saja sepertinya tak akan mampu," ledek Agra.Arkan berdiri tegak, otaknya berpikir cepat, apa iya begitu? Tapi melihat darah yang keluar dari sudut bibir Agra, nalurinya seakan mengatakan bahwa itu tidak benar.“Tak peduli aku bisa melindungi diriku sendiri atau tidak. Yang pasti, jika kau menyentuh apa yang telah menjadi milikku, aku tak akan tinggal diam!" sentak Arkan."Aku pernah kehilangan orangtuaku dan juga kewarasanku karena kelakuan kamu. Dan saat ini, aku tak akan lagi mentolerir kelakuanmu, Mas!" ucap Arkan kembali.Tanpa membuang waktu, mereka kembali terlibat dalam pertarungan sengit. Suara pukulan dan desahan napas berat memenuhi ruangan.Andri berdiri ketakutan di depan pintu kamarnya. Namun, pandangannya tertuju pada Arkan yang tak menyerah, meskipun Agra men
Arsy terdiam sambil menatap layar monitor yang menampilkan bagian dalam perutnya."Selamat ya, Bu Arsy. Ibu benar-benar hamil. Ini sudah terlihat kantung janinnya dan usia janin diperkirakan sudah masuk minggu ke 7," ujar sang dokter dengan ramah.Tak lama, layar monitor pun berubah menampilkan detak jantung."Nah, ini detak jantungnya si dedek, kedengaran kan, Bu?" tanya dokter sambil tersenyum.Arsy hanya mengangguk pelan, matanya masih terpaku pada layar monitor itu yang menampilkan garis tak beraturan itu.Setelah proses pemeriksaan USG selesai, Arsy pun kini sudah boleh kembali duduk di kursinya."Apa ada yang ingin ditanyakan, Bu Arsy?" tanya sang dokter kembali sebelum mengakhiri sesi konsultasi mereka berdua."Sepertinya tidak ada, Dok, terimakasih banyak ya," jawab Arsy lirih."Baik, kalau begitu, ini resep obat dan vitamin untuk ibu. Jangan lupa diminum, dan jangan sampai stress ya, Bu. Usia kehamilan trisemester awal sangat rentan stress. Jika mual, dan tak bisa makan, maka
Arkan merasa gamang, saat harus mengambil keputusan saat ini.Sebenernya, ia tidak terlalu suka disini, meskipun memang suasananya sejuk dan dekat dengan kantor, baik kantornya maupun kantor Kakek Gala, tapi disini banyak anak-anak yang mungkin bisa berisik dan mengganggu mereka, apalagi jika Arkan membawa lemari kacanya yang berisi mainan koleksinya. Berbagai pikiran buruk pun langsung berkecamuk disana.Tapi, begitu melihat Andri yang begitu antusias, ia pun sedikit bingung harus bagaimana.Arkan menghembuskan napasnya kasar, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Oom Wisnu."Ya udah, Oom, karena Andri suka sama rumahnya, jadi aku ambil rumah ini aja, ya. Oom bisa urus surat-suratnya, kan? Aku gak mau jika suatu saat ada permasalahan antara aku dan Yudha, terus ungkit-ungkit rumah ini," ujar Arkan kemudian.""Kamu yakin, Kan, ambil rumah ini? Kalau soal surat-surat gampang nanti Oom urus. Tapi, kalau gak salah harga rumah ini lebih rendah dibanding rumahmu, itu gimana? Berarti Oom ha
Saking asyiknya mereka bercengkrama, hingga tanpa sadar mereka pun sudah tiba di daerah tempat tinggal Oom Wisnu."Oom, ini kavling-nya yang mana ya? Arkan lupa," ujar Arkan sambil tersenyum samar.Oom Wisnu tertawa pelan, ternyata, keponakannya itu sudah lupa jalan kerumahnya."Masih di depan, Kan. Nanti perempatan belok kiri, gak jauh dari situ," ujar Oom Wisnu memberi petunjuk.Arkan hanya manggut-manggut sambil memelankan laju mobilnya. Kawasan ini sedikit sempit, hanya cukup untuk dua mobil saja, mana di beberapa ruas jalan nampak mobil terparkir sembarangan juga."Ck, kalau gak mampu beli garasi, setidaknya mbok gak usah beli mobil kek. Emang, ini jalanan mbahmu yang bisa di jadiin parkiran," gerutu Arkan sedikit sebal.Oom Wisnu tak menanggapi gerutuan itu, hanya tertawa sambil menggelengkan kepalanya pelan. Memang benar, kesadaran disini masih sedikit tipis, jika malam tiba, maka sisi jalan sebelah kiri akan berisi banyak mobil, membuat jalanan yang sempit semakin sempit saja.
Sekitar pukul 10.00 WIB, Andri dan Arkan telah bersiap untuk pergi ke rumah Oom Wisnu, tinggal menunggu kapan Oom Wisnu akan berangkat saja."Mas, ini gak masalah kalau misalnya kita langsung pergi? Aku gak enak sama Tante Adel, soalnya di rumah gak ngapa-ngapain. Dari tadi subuh, aku langsung masuk kamar, terus baru keluar tadi jam 9an," ucap Andri tak enak hati.Arkan menggeleng pelan lalu membelai lembut rambut sang istri, "nggak apa, Dek. Namanya juga tamu, pasti dia maklumin kalau misalnya kamu nggak ngapa-ngapain," ujarnya berusaha menenangkan gemuruh di hati Andri.Andri mendengus pelan, perasaannya masih tetap sama, ia tak enak karena dia tidak melakukan apapun di rumah itu.Tak ingin berdebat dengan Arkan, ia pun memilih untuk keluar dari kamar itu duluan, meninggalkan Arkan yang masih sibuk untuk berkemas.Begitu keluar kamar, suasana disana nampak sepi, hanya terdengar suara televisi yang menampilkan animasi si botak dari negri sebrang saja.Andri celingukan mencari siapa y
Andri dan Naima berteriak sambil mundur dua langkah. Dan saat keduanya berbalik dan hendak lari, tiba-tiba tangan Andri terasa ada yang mencengkram dengan kuat."Aaa, Naima tolong!" ujar Andri panik dan tak lama ...Bugh!"Berisik banget sih, Dek! Kamu ngapain sih?!" seru seseorang yang tak lain adalah Arkan sambil memukul kepala Andri menggunakan sejadah kecil."Ma -- Mas Arkan?" tanya Andri, suaranya sedikit bergetar, seolah tak percaya dengan apa yang didengarnya.Andri dan Naima perlahan berbalik, memastikan suara itu benar-benar milik Arkan atau bukan.Dan benar, Arkan berdiri dengan alis terangkat dan ekspresi bingung campur kesal. Sementara di belakangnya, nampak Oom Wisnu yang berdiri sambil menahan tawa. Wajah pria paruh baya itu tampak terkekeh geli melihat situasi yang entah kenapa terlihat sedikit lucu baginya."Mas Arkan dari mana?" tanya Naima kali ini dan mendapat anggukan dari Andri.Kedua wanita itu masih sedikit syok sambil berpegangan tangan seolah masih takut denga
Andri menggelengkan kepalanya pelan, lalu menatap lurus ke depan.Sekelebat bayangan masa lalu kembali berputar, bagai proyektor yang mereply film itu.Andri menghembuskan napasnya lalu menggeleng pelan."Kita tidur aja, yuk. Udah malem," ajak Andri mengalihkan pembicaraannya.Naima menggeleng pelan, bibirnya nampak mengerucut karena Andri tak jadi cerita."Mbak mah, ih, bikin aku kepo aja," gerutu Naima kembali.Andri hanya terkekeh pelan lalu mengacak rambut sang adik dan memilih untuk merebahkan dirinya saja."Mbakk," rajuk Naima sambil menggoyangkan lengan Andri Namun, Andri tetap menggeleng, dan memilih untuk memejamkan matanya saja.Melihat itu, Naima kembali cemberut, rasanya ia belum ngantuk, tapi mau bagaimana lagi, Andri dan juga Tante Adel sudah terlelap lebih dahulu.***Keesokan paginya, Andri terpaksa bangun karena guncangan yang cukup keras di tubuhnya."Andri, bangun, Ndri," ujar Tante Adel dengan nada panik.Dengan kepala yang sedikit terasa berdenyut, akhirnya Andri
Yudha kembali menghisap rokoknya dan menawarkan kepada Arkan di sana."Mas nggak ngerokok, Yud. Lah, tadi kamu kenapa pindah ngerokoknya?" tanya Arkan penasaran."Tadi ada Mama di sini. Kasian dede bayi kalau misalnya ada asep rokok," jawab Yudha.Arkan hanya mengangguk lalu kembali memanggang beberapa potong daging di atas sana. Suara bara yang terkena lelehan minyak kembali terdengar membuat malam itu kembali hangat.Keheningan pun akhirnya pecah karena getaran ponsel Yudha yang sedikit mengganggu. Yudha melihat siapa yang menelponnya dan langsung berdecak kesal.Tak ingin terlalu lama bergetar,ia pun segera mengangkat panggilan telpon itu."Jangan hubungin aku sekarang. Naima nginep di rumah," bisik Yudha setengah berbisik.[ ... ]"Gak usah ngadi-ngadi deh!" gerutu Yudha seraya menutup telponnya dan melemparnya ke sembarang arah.Yudha menghisap rokoknya kuat-kuat berusaha meredakan amarah yang sepertinya bergejolak di dadanya."Punya cewek lagi, Yud?" tanya Arkan sedikit penasar
"Tante, boleh ya?" rajuk Naima lagi, kali ini suaranya terdengar lebih memelas dari sebelumnya.Tante Adel menghela napas panjang. Wajahnya memancarkan keraguan, sementara matanya diam-diam melirik ke arah Oom Wisnu, seolah meminta jawaban tanpa harus mengucapkan sepatah kata pun.Oom Wisnu balas menatapnya, memahami kegelisahan yang tersirat. Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Akhirnya, Oom Wisnu mengangguk perlahan, memberi tanda persetujuan."Kasih aja, Ma, udah malem juga.Tapi, harus kamu yang ijin sama orang tuanya Naima jangan Yudha," ujar Oom Wisnu pada akhirnya.Tante Adel tersenyum tipis, meski rasa ragu belum sepenuhnya hilang."Ya udah, karena udah dapet ijin dari Papanya Yuda, kamu boleh nginep disini. Tapi ... inget, kamu tidur sama Tante di kamar utama, dan gak boleh ada di kamar Yudha, paham?" tanyanya Tante Adel akhirnya.Mendengar ucapan itu, raut wajah Naima yang tadi sempat sayu pun kembali berbinar."Makasih, Tante. Tante emang pengertian banget," jawab Naim
Malam mulai menyapa, Andri dan Arkan tampak betah berada di rumah itu. Rumah yang penuh kenangan baginya, sehingga membuat mereka seolah kembali ke masa lalu, mengingat momen-momen sederhana yang pernah ia lalui.Sekitar pukul 20.00 WIB, saat sedang asyik bercengkrama di ruang keluarga sambil menonton Tv, Yudha dan kekasihnya pulang entah dari mana dan membawa banyak tentengan."Yuhuuu, Tante, Oom, ayok kita barbaque-an," ujar Naima--Kekasih Yudha saat keduanya tiba."Eh, ada Mas Arkan dan Mbak Andri juga tah? Udah lama disini, Mas, Mbak?" tanya Yudha ramah seraya menyalami mereka berempat."Lumayan, dari tadi sore. Cie, adek gua sekarang udah gede, udah ngerti pacaran nih yee," goda Arkan kepada sang adik.Yudha hanya tertawa pelan mendengar ledekan itu, sementara Naima nampak salah tingkah dibuatnya."Ah iya, tadi kamu bilang apa? Barbeque-an? Ayo, gas, dimana?" tanya Arkan mengalihkan pembicaraannya dengan nada yang penuh semangat."Iya, Mas. Mama tadi WeA katanya pingin barbeque-