Tubuh Andri terhuyung membentur dinding dekat lemari kaca. Napasnya sedikit tercekat, ingin berteriak namun tak bisa karena mulutnya dibekap kuat.
Andri membelalakkan matanya tak percaya saat mengetahui siapa yang menarik tadi. "Jangan teriak, ini aku, Ndri," ucap Agra dengan wajah tanpa dosa. "Gimana gak kaget. Kamu tiba-tiba narik aku gitu aja. Mau apa lagi kamu, Mas?" tanya Andri sedikit ketus. Kedua matanya nampak beradu dengan pandangan Agra yang tajam, hingga akhirnya ia memilih untuk membuang wajahnya ke samping. "Apa kamu benar-benar mau menikah dengan Arkan, Ndri?" tanya Agra dengan sedikit memelas. "Apa urusanmu?" tanya Andri ketus. "Ndri, pikirkan baik-baik, Arkan itu hanya anak idiot, dia juga gak kerja. Aku yakin, kamu pasti gak akan pernah bahagia sama dia," bujuk Agra kembali. "Terus, apa dengan aku nikah sama kamu, aku akan bahagia?" tanya Andri sedikit ragu. Agra mengangguk mantap, kedua tangannya kini menyentuh dinding dan berada disisi kanan kiri Andri, sehingga membuat Andri seperti terpenjara oleh tubuhnya. "Andri, ayolah, jika kau memang mau melanjutkan pernikahan ini, setidaknya jangan mau sama Arkan. Lebih baik, kita lanjutkan saja rencana kita. Ayo, Ndri, kita temui Kakek Gala dan bilang bahwa kamu akan tetap menikah denganku, bukan dengan si idiot itu," rayu Agra kembali sambil membelai lembut wajah Andri. "Maaf, Mas, aku gak bisa," putus Andri seraya mendorong tubuh Agra sedikit menjauh dari tubuhnya. Sontak, apa yang dilakukan Andri, mampu menyulut emosi yang Agra tahan dari tadi. Ia pun kembali membenturkan tubuh Andri ke dinding, bahkan kini tangannya berada tepat di leher Andri. "Kamu menyebalkan sekali, Ndri. Sudah mandul, banyak gaya pula," ucap Agra kesal. Cengkraman di leher Andri perlahan mulai mengerat, membuatnya hampir kesulitan napas. 'Oh Tuhan, apa hidupku akan berakhir? Arkan, tolong aku,' batin Andri sambil memejamkan matanya. "Mas Agra, apa yang kamu lakukan?" Suara bariton yang menggema mampu membuat keduanya menoleh seketika. Agra pun segera melepaskan cengkeramannya dan sedikit menjauh dari tubuh Andri. Andri yang saat itu masih ketakutan pun segera berlari dan bersembunyi dibelakang tubuh Arkan. Ia menggenggam erat kaos belakang Arkan seolah meminta perlindungan. "Jangan pernah sentuh wanitaku lagi, Mas!" ucap Arkan memperingatkan. "Jangan senang dulu, Kan. Kelak, aku akan ambil lagi Andri dari kamu," ucap Agra seraya pergi dari hadapan mereka berdua. Arkan pun segera menarik tubuh Andri untuk masuk ke dalam kamarnya dan menyuruhnya untuk duduk di sofa. "Terimakasih. Aku gak tau lagi gimana nasibku kalau kamu gak keluar. Mungkin aku udah ...," Kata-kata Andri langsung terpotong karena Arkan telah melambaikan tangannya. "Terus, apa sekarang kamu masih mau menikah sama Agra?" tanya Arkan kembali memastikan dan mendapat gelengan dari Andri. "Nggak! Aku gak mau nikah sama dia, aku takut nanti dia malah nyakitin aku, baik secara verbal ataupun fisik," jawab Andri mantap. Andri menyenderkan tubuhnya pada sandaran sofa, lalu menetralkan degup jantungnya agar ia tak lagi ketakutan karenanya. "Ndri, apa kamu datang gak bawa surat?" tanya Arkan yang langsung membuat Andri salah tingkah. "Em, soal surat itu --," Andri memainkan jari jemarinya. Karena kelakuan Agra tadi, kata-kata yang telah ia susun pun mendadak hilang entah kemana. "Ndri, apa kamu gak jadi bikin surat perjanjiannya?" tanya Arkan kembali dan mendapat anggukan dari Andri. "Ayah bilang, pernikahan bukan untuk main-main, dan sebaiknya gak perlu kita buat surat perjanjian seperti itu," jawab Andri ragu. "Apa kamu bilang sama Ayah soal semuanya? Astaga Andri, ternyata kamu lebih idiot daripada saya," ucap Arkan sarkas. "Aku gak idiot, Mas! Ayah itu cinta pertama aku. Sekalipun aku coba menyembunyikan darinya, ia pasti akan selalu menemukan celah. Jadi, ya mau gak mau cerita apa adanya," ucap Andri sedikit kesal. Arkan menghembuskan napasnya kasar dan mengangguk. "Lalu, apa yang Ayah bilang? Apa dia gak masalah nitipin kamu di orang idiot sepertiku?" tanya Arkan. "Ayah bilang, hati gak ada yang tau. Siapa tau, suatu saat kita akan saling cinta," ucap Andri lemah dan langsung membuang wajahnya kesamping. "Cinta?" *** Andri memainkan jari jemarinya, hatinya sedikit resah, beberapa kali ia nampak menghembuskan napasnya kasar, mencoba untuk menetralkan perasaannya yang berkecamuk di dadanya. Telapak tangannya sudah banjir keringat dingin, sehingga harus beberapa kali ia lap dengan tisu. "Nervous ya, Mbak?" tanya salah satu penata rias yang tadi menghias telapak tangannya dengan hena. "Hu'um, Mbak. Aku malu dan gugup," ucap Andri lirih. "Rileks dulu yuk, Mbak," ucap penata rias satunya yang saat ini tengah mendadani wajahnya. Andri pun dituntun untuk melakukan tarik napas hembuskan secara perlahan selama beberapa kali. Hal itu, guna untuk meminimalisir rasa nervous yang masih ada. "Gimana? Sudah lebih baik?" tanya penata rias kembali dan mendapat anggukan dari Andri. Wajahnya pun kembali di dandani, tak hanya wajah, namun juga rambutnya. Andri memilih untuk memejamkan matanya saja, agar tak terlalu nervous dan mengganggu pekerjaan para perias itu. Setelah beberapa saat, tepukan lembut di pundaknya pun langsung menyadarkannya. "Mbak, udah selesai semua," ucap penata rias itu. Andri melihat pantulan dirinya di cermin lalu tersenyum. "Apa itu aku, Bu?" tanya Andri dan mendapat anggukan darinya. "Mbak Andri suka?" tanya penata rias kembali. "Suka banget, Bu. Masya Allah, cantik banget, kek bukan aku," ucap Andri memuji sang penata rias. Tak lama, Bunda Seira dan Arsy pun datang ke kamar Andri untuk memberitahu bahwa acara akad sudah hampir dimulai. "Cantik sih. Tapi sayang, nikahnya sama pria idiot, udah gitu gak keurus pula hihi," bisik Arsy di telinga Andri. Arsy sedikit terkekeh saat mengucapkan itu, membuat darah dikepala Andri seketika mulai mendidih. "Kek kamu pernah liat Mas Arkan aja, Ar. Awas kalau kamu jatuh hati sama dia juga," ucap Andri sambil menyunggingkan sedikit senyumnya. "Jatuh hati sama cowok brewokan? Astaga gak banget, iuh. Aku udah liat Mas Arkan kemaren, dan tampangnya haha," kekeh Arsy seraya pergi meninggalkan sang bunda berdua saja. "Nyebelin banget sih! Awas aja kamu," gerutu Andri sambil mengepalkan jari jemarinya. "Udah, gak usah didengerin. Ayo, bunda antar ke dekat pelaminan," ucap Bunda Seira dan mendapat anggukan dari Andri. "Ayah dimana, Bun?" tanya Andri penasaran karena dari pagi ia tak melihat wajah cinta pertamanya itu. "Ayahmu sudah ada disana bersama penghulu. Begitupun dengan kembaranmu yang sudah siap menjadi saksi pernikahan kalian," jawab Bunda santai. "Aku pikir, Pak RT yang akan jadi saksinya, Bun," ucap Andri sambil melangkah perlahan. "Awalnya begitu, tapi tiba - tiba Andre maksa minta jadi saksi. Jadi ya sudah," ucap Bunda dan mendapat senyuman dari Andri. Andri benar-benar merasa tenang saat ini, sekalipun ia yakin calon suaminya tidak setampan Agra, tapi ada dua orang lelaki yang dicintainya saat itu, yang akan ada bersamanya. Andri berdiri diatas karpet merah yang menjuntai panjang dari atas pelaminan hingga pintu masuk gedung. Dengan digandeng Sang Bunda disisi kirinya, perlahan Andri pun mulai melangkah. Semua mata pun tertuju pada dirinya, membuat dirinya sedikit kikuk. Ia yakin, setelah ini, pasti akan ada banyak gunjingan lagi tentangnya. Tak hanya, tentang mengapa pengantin prianya berganti, namun juga tentang penampilan Arkan yang sedikit urakan. Andri berhenti tepat di persimpangan tengah aula. Bunda pun segera memberikan buket bunga kepadanya. Tak hanya itu, panitia acara pun meminta Andri untuk menatap lurus ke depan, tepatnya ke arah berlawanan. Dari sisi sana, nampak seseorang dengan langkah yang tegap dan gagah berjalan menghampirinya. Seketika, tubuh Andri nampak menegang. Matanya membulat sempurna seperti hampir keluar. Kemana perginya rambut gondrong dan brewok itu? Kenapa yang berdiri dihadapannya saat ini sangat berbeda? Tanpa ia sadari, sebuah senyuman pun melengkung sempurna di bibir indahnya.“Ah, Sayang – terus, lebih cepat ....” Andri terdiam di ambang pintu kamar Agra, tunangannya. Tangannya sedikit gemetar sambil memegang gagang pintu, sementara telinganya masih bisa mendengar jelas suara rintihan dan desahan dari dalam kamar. Dengan perlahan, ia mulai membuka pintu kamarnya sedikit, membuat celah agar ia bisa melihat apa yang terjadi disana. Namun, seketika jantungnya pun seolah berhenti saat melihat pemandangan itu Disana, ia melihat Agra tengah memadu kasih dengan seseorang. Dan yang lebih menyesakkannya lagi, perempuan itu adalah Arsy, adiknya sendiri. “Ah, Sayang, aku hampir ....” Andri sudah tak kuasa mendengar kalimat yang menjijikan itu kembali. Ia pun berusaha menguatkan hatinya, hingga akhirnya .... Brak! Pintu kamar pun terbuka cukup lebar, membuat kedua insan yang sedang memadu kasih itu langsung terkesiap kaget dan menoleh ke arah pintu. “Mbak.” “Sayang.” Ucap kedua orang itu secara serempak. Agra segera melepaskan tubuhnya dari tubuh Arsy,
"Apa maksud kamu bilang aku mandul, Mas?" tanya Andri dengan raut wajah yang sedikit syok."Benar. Apa maksudmu, Nak? Kalian saja belum menikah, tapi kamu sudah bisa bilang kalau dia mandul?" tanya Om Nathan seolah tak percaya."Aku punya buktinya, kok. Tunggu sebentar, akan aku ambilkan," ucap Agra angkuh.Agra beranjak dari duduknya dan segera berlalu ke salah satu ruangan yang berada tak jauh dari sana."Nak, apa yang Agra bilang itu benar?" tanya Ayah Revan penasaran.Andri menggeleng pelan lalu mengambil lengan sang ayah dan membelainya dengan lembut."Andri gak tau, Yah. Andri aja bingung kenapa Mas Agra bisa bilang begitu sama Andri," jawab Andri lirih.Ayah Revan pun menggenggam erat lengan sang anak dan tersenyum, seolah memberikan sedikit kekuatan agar sang anak mampu menghadapi ujian ini.Tak lama, Agra pun kembali, membawa dua buah amplop panjang berwarna coklat lalu menaruhnya diatas meja sana."Kalau Papa dan Kakek gak percaya, kalian bisa lihat sendiri disini," ucap Agr
"A-Arkan? Kakek yang bener aja! Masa mau nikahin Andri ke dia sih?" tanya Agra seolah tak terima."Kenapa? Apa ada masalah dengannya? Kakek rasa itu pilihan yang tepat, karena hanya Arkan lah satu-satunya cucu kakek yang belum menikah," ucap Kakek Gala memberitahu."Tapi, Arkan itu bukan cucu kandung Kakek. Dia itu hanya sampah yang kakek pungut dan di jadikan cucu, untuk apa menganggap dia sebagai cucu, hah?! Apalagi, dia bocah idiot yang pasti nyusahin!" sentak Agra kesal."Tutup mulutmu, Agra! Kalau saja bukan karena kelakuanmu, sudah pasti Arkan tak akan menjadi yatim piatu dan berkebutuhan khusus seperti sekarang," ucap Om Nathan menambahkan."Tapi, Pa--," Om Nathan langsung melambaikan tangannya seolah tak ingin dibantah.Agra menggelengkan kepalanya pelan. Wajahnya nampak kecewa berat dengan keputusan yang diberikan oleh sang kakek.Ia pun segera beranjak dari duduknya, dan langsung menghampiri Andri disana. Ia memegang lembut lengan Andri dan membelainya."Ndri, aku mohon, men
Andri terdiam untuk beberapa saat, ia seperti mengenali suara itu tapi entah dimana. Otaknya pun seakan buntu, hingga tak tau apa yang akan ia lakukan. "Kenapa diem disitu? Masuk aja, anggep aja kamar sendiri," ucap lelaki itu lagi tanpa menoleh sedikit pun pada Andri. Andri pun menghembuskan napasnya panjang, dan berusaha mencari sesuatu agar ada alasan untuk dia mendekat. Beruntung, sebuah mobilan berada tepat didekat pintu. Andri pun segera mengambil mobil itu dan menghampiri lelakinya. "Ini punyamu?" tanya Andri ramah, seraya menaruh mobilan itu dekat dengannya. "Terimakasih," jawab lelaki itu singkat. Andri hanya mengangguk dan setelah itu suasana pun kembali hening. Ia bingung harus bilang apa dan bagaimana, apalagi lelaki itu sepertinya sama sekali tak tergubris oleh kehadirannya. "Gimana soal persiapan pernikahannya? Apa kamu suka? Atau, ada yang mau diganti?" tanya lelaki itu bertubi-tubi. Andri tak langsung menjawab, ia masih diam dan menunduk, namun tangannya ikut m