Andri terdiam untuk beberapa saat, ia seperti mengenali suara itu tapi entah dimana. Otaknya pun seakan buntu, hingga tak tau apa yang akan ia lakukan.
"Kenapa diem disitu? Masuk aja, anggep aja kamar sendiri," ucap lelaki itu lagi tanpa menoleh sedikit pun pada Andri. Andri pun menghembuskan napasnya panjang, dan berusaha mencari sesuatu agar ada alasan untuk dia mendekat. Beruntung, sebuah mobilan berada tepat didekat pintu. Andri pun segera mengambil mobil itu dan menghampiri lelakinya. "Ini punyamu?" tanya Andri ramah, seraya menaruh mobilan itu dekat dengannya. "Terimakasih," jawab lelaki itu singkat. Andri hanya mengangguk dan setelah itu suasana pun kembali hening. Ia bingung harus bilang apa dan bagaimana, apalagi lelaki itu sepertinya sama sekali tak tergubris oleh kehadirannya. "Gimana soal persiapan pernikahannya? Apa kamu suka? Atau, ada yang mau diganti?" tanya lelaki itu bertubi-tubi. Andri tak langsung menjawab, ia masih diam dan menunduk, namun tangannya ikut memainkan sebuah lego dan menyusunnya. "Mumpung masih ada waktu sampai esok, siapa tau ada konsep yang mau kamu ubah. Bicarakan saja," ucap Arkan kembali. Andri menghembuskan napasnya pelan, lalu mencoba mengangkat kepalanya untuk melihat lelaki yang akan menjadi calon suaminya itu. "Arkan, kenapa kamu ada disini? Maksud aku, apa kita akan tetap jadi menikah?" tanya Andri ambigu. Mendengar ucapan Andri, Arkan pun segera menaruh mainannya, dan merubah posisi duduknya. Kini, posisi duduk mereka nampak berhadapan-hadapan. "Kenapa? Apa kamu masih mau nikah sama Mas Agra?" tanya Arkan balik. Andri menggeleng pelan, ia bingung, ia kalut, semuanya nampak terasa begitu cepat dan ia sama sekali tak diberi pilihan untuk memilih. "Terus, kamu mau nikah sama siapa? Sama Om Nathan? Atau jangan-jangan, Kakek?" tanya Arkan sedikit sarkas. "Arkan! Gak gitu konsepnya astaga," jawab Andri seraya memanyunkan bibirnya. Arkan terkekeh sesaat lalu segera bangkit dari duduknya. Tak lama, ia kembali datang membawa dua kotak minuman kemasan dan beberapa cemilan. "Minum dulu, siapa tau nervousmu sedikit berkurang abis ini," ucap Arkan seraya membuka minuman miliknya. "Aman gak nih? Gak dicampur macem-macem kan?" tanya Andri sedikit khawatir. "Ambil sendiri sana di kulkas kalau takut diapa-apain mah," gerutu Arkan sedikit kesal membuat Andri menjadi salah tingkah. Andri pun mengambil minuman itu, dan langsung meminumnya. Tenggorokan yang tadinya terasa kering pun saat ini sudah lebih nyaman. "Jadi, gimana soal persiapan pernikahannya? Ada yang mau diubah?" tanya Arkan kembali. "Nggak ada," jawab Andri singkat. Arkan mengangguk sesaat lalu tangannya kembali mengambil mainan lego dan mulai menyusunnya kembali. "Arkan," panggil Andri lirih. "Mas. Panggil aku, Mas, sekarang, Ndri. Kamu sebentar lagi akan jadi istri aku, jadi mulailah terbiasa memanggil aku dengan sebutan itu," ucap Arkan sedikit mengoreksi. Andri pun menghembuskan napasnya kasar dan berdecak kesal. "Mas Arkan, kamu belum jawab pertanyaan aku. Kenapa kamu bisa ada disini?" tanya Andri penasaran. Arkan menghembuskan napasnya kasar lalu menaruh minumannya ditengah. "Sama seperti kamu. Aku disini, karena Kakek berhutang budi dengan kedua orangtuaku. Ah, tepatnya, kecelakaan yang merenggut kedua orangtuaku. Setelah kedua orang tuaku meninggal, Kakek Gala mengadopsi ku sebagai salah satu cucunya," jelas Arkan kemudian. Andri pun hanya mengangguk paham dan mengerti. "Mas, kita gak bener-bener nikah, kan? Maksud aku, kita hanya nikah diatas kertas aja, kan?" tanya Andri sedikit ragu. "Apa mau kamu, Ndri?" tanya Arkan kembali yang langsung membuat Andri menjadi salah tingkah. "A-aku mau kita bikin surat perjanjian, Mas," ucap Andri setelahnya. Arkan kembali menoleh ke arah Andri, untuk sesaat pandangan keduanya pun nampak beradu, sampai akhirnya, Andri membuang wajahnya ke samping. "Surat perjanjian? Boleh juga, kamu bisa bikinnya? Aku serahkan sama kamu," ucap Arkan kembali. "Em, apa ada syarat dari kamu?" tanya Andri kembali. Arkan mendongakkan kepalanya sebentar, menatap langit-langit kamarnya yang biru. "Anak. Aku ingin anak dari kamu, Ndri, setelah itu kita bercerai. Kejar impian kamu sendiri, dan biarkan anak itu sama aku," ucap Arkan lirih. "A-anak? Mas, aku tuh gak subur, gimana bisa mau punya anak? Argh, ini mah sama aja boong, bilang aja kamu gak mau pisah," gerutu Andri kesal dan hanya mendapat kekehan saja dari Arkan. *** Lagi, Andri merobek sebuah kertas yang baru saja ia tulis beberapa kata dan langsung menaruhnya di tempat sampah. Tempat sampah itu pun hampir penuh oleh kertas yang sama seperti yang Andri buang barusan. "Huft, kenapa otakku jadi buntu gini? Biasanya kalau soal urusan nulis suka cepet dan sat set, tapi udah hampir satu jam satu poin aja belum ada yang ke tulis," gerutu Andri kesal. Andri beranjak dari duduknya dan memilih untuk bersantai sebentar di balkon lantai 2. Keluarganya masih sibuk berada dilantai bawah, selain menyiapkan pesta pernikahan untuk esok, mereka pun tengah sibuk merencanakan pesta untuk Arsy bulan depan. Andri menghembuskan napasnya kasar, tubuhnya berayun mengikuti irama ayunan yang ia duduki saat ini. 'Apa yang harus aku tulis? Setidaknya, harus bisa menguntungkan bagi aku maupun Mas Arkan,' lirih Andri pelan. Saat ini, Andri benar-benar bingung harus menulis apa, selain poin yang diminta Arkan tadi. Arkan bersedia mengganti permintaannya untuk memiliki anak asal Andri mau menemaninya menjalani proses terapi dan minum obat, sampai akhirnya Arkan dinyatakan benar-benar sembuh oleh dokter. Tangan Andri bergerak lincah di layar smartphone-nya, mencari bagaimana contoh surat pra nikah yang menguntungkan bagi kedua belah pihak, hingga akhirnya, belaian lembut di pundaknya membuyarkan aktifitasnya. "Lagi apa, Mbak?" tanya Ayah lembut lalu duduk disebelah Andri. "Lagi santai, Yah. Ayah masih sibuk?" tanya Andri berusaha mengalihkan perhatiannya. Revan menggeleng pelan lalu membelai lembut rambut sang anak. "Ada apa, Mbak? Mau cerita sama ayah?" tanya Ayah kembali. Andri menggigit bibirnya dan mengangguk pelan. Percuma ia menyembunyikan semuanya dari sang ayah, pasti akan ketahuan juga. Daripada menyulut kemarahan ayah nantinya, Andri pun akhirnya memilih untuk bercerita saja, termasuk dengan rencana surat perjanjian yang akan ia buat bersama Arkan. Ayah mendengarkan semuanya tanpa menyela sedikit pun, setelah Andri selesai bercerita, barulah ia mulai bersuara. "Udah ceritanya?" tanya Ayah dan mendapat anggukan dari Andri. Ayah mengulum senyumnya dan membelai lembut lengan Andri seolah memberinya sedikit semangat. "Bukankah Arkan itu teman sekolahmu saat kecil, Mbak?" tanya Ayah kembali dan lagi-lagi mendapat anggukan dari Andri. "Pikirkan semuanya baik-baik, Mbak. Ayah rasa, gak perlu kamu buat surat perjanjian seperti itu. Percaya sama Ayah, pelan namun pasti, terkadang cinta itu bisa datang dengan sendirinya. Yang ayah takut kan, andai suatu saat kalian saling mencintai, sementara disurat perjanjian kalian, sudah waktunya untuk berpisah, apa tak membuat kalian akan terluka?" tanya Ayah lembut. "Apa ayah yakin, Mbak akan bahagia dengan Mas Arkan?" tanya Andri kembali seolah tak percaya. "Yakin, Mbak. Ayah yakin, Mbak akan lebih bahagia sama Arkan dibanding sama Agra," jawab Ayah dengan senyum tulusnya. Andri pun mengangguk dan mengucapkan terimakasih. Setelah itu, Ayah pun segera pamit, karena masih harus mengurus yang lain. Seperginya Ayah, Andri mencoba untuk memantapkan kembali hatinya. Meyakinkan dirinya, bahwa ia pasti bisa melalui semuanya. Setelah hatinya merasa lebih baik, ia pun segera beranjak dari duduknya, dan memilih untuk segera menemui Arkan. Ia tak jadi membuat surat perjanjian yang terlihat konyol itu, dan memilih menjalani semuanya seperti air mengalir. Namun, baru saja ia hendak mengetuk pintu kamar Arkan, pundaknya serasa ditepuk oleh seseorang, dan dalam sekejap bayangan, tubuhnya pun langsung ditarik paksa untuk menjauh, bahkan mulutnya pun langsung dibekap, agar ia tak bersuara. Deg! 'Ya Tuhan, apa lagi ini?'Tubuh Andri terhuyung membentur dinding dekat lemari kaca. Napasnya sedikit tercekat, ingin berteriak namun tak bisa karena mulutnya dibekap kuat.Andri membelalakkan matanya tak percaya saat mengetahui siapa yang menarik tadi."Jangan teriak, ini aku, Ndri," ucap Agra dengan wajah tanpa dosa."Gimana gak kaget. Kamu tiba-tiba narik aku gitu aja. Mau apa lagi kamu, Mas?" tanya Andri sedikit ketus.Kedua matanya nampak beradu dengan pandangan Agra yang tajam, hingga akhirnya ia memilih untuk membuang wajahnya ke samping."Apa kamu benar-benar mau menikah dengan Arkan, Ndri?" tanya Agra dengan sedikit memelas."Apa urusanmu?" tanya Andri ketus."Ndri, pikirkan baik-baik, Arkan itu hanya anak idiot, dia juga gak kerja. Aku yakin, kamu pasti gak akan pernah bahagia sama dia," bujuk Agra kembali."Terus, apa dengan aku nikah sama kamu, aku akan bahagia?" tanya Andri sedikit ragu.Agra mengangguk mantap, kedua tangannya kini menyentuh dinding dan berada disisi kanan kiri Andri, sehingga mem
“Ah, Sayang – terus, lebih cepat ....” Andri terdiam di ambang pintu kamar Agra, tunangannya. Tangannya sedikit gemetar sambil memegang gagang pintu, sementara telinganya masih bisa mendengar jelas suara rintihan dan desahan dari dalam kamar. Dengan perlahan, ia mulai membuka pintu kamarnya sedikit, membuat celah agar ia bisa melihat apa yang terjadi disana. Namun, seketika jantungnya pun seolah berhenti saat melihat pemandangan itu Disana, ia melihat Agra tengah memadu kasih dengan seseorang. Dan yang lebih menyesakkannya lagi, perempuan itu adalah Arsy, adiknya sendiri. “Ah, Sayang, aku hampir ....” Andri sudah tak kuasa mendengar kalimat yang menjijikan itu kembali. Ia pun berusaha menguatkan hatinya, hingga akhirnya .... Brak! Pintu kamar pun terbuka cukup lebar, membuat kedua insan yang sedang memadu kasih itu langsung terkesiap kaget dan menoleh ke arah pintu. “Mbak.” “Sayang.” Ucap kedua orang itu secara serempak. Agra segera melepaskan tubuhnya dari tubuh Arsy,
"Apa maksud kamu bilang aku mandul, Mas?" tanya Andri dengan raut wajah yang sedikit syok."Benar. Apa maksudmu, Nak? Kalian saja belum menikah, tapi kamu sudah bisa bilang kalau dia mandul?" tanya Om Nathan seolah tak percaya."Aku punya buktinya, kok. Tunggu sebentar, akan aku ambilkan," ucap Agra angkuh.Agra beranjak dari duduknya dan segera berlalu ke salah satu ruangan yang berada tak jauh dari sana."Nak, apa yang Agra bilang itu benar?" tanya Ayah Revan penasaran.Andri menggeleng pelan lalu mengambil lengan sang ayah dan membelainya dengan lembut."Andri gak tau, Yah. Andri aja bingung kenapa Mas Agra bisa bilang begitu sama Andri," jawab Andri lirih.Ayah Revan pun menggenggam erat lengan sang anak dan tersenyum, seolah memberikan sedikit kekuatan agar sang anak mampu menghadapi ujian ini.Tak lama, Agra pun kembali, membawa dua buah amplop panjang berwarna coklat lalu menaruhnya diatas meja sana."Kalau Papa dan Kakek gak percaya, kalian bisa lihat sendiri disini," ucap Agr
"A-Arkan? Kakek yang bener aja! Masa mau nikahin Andri ke dia sih?" tanya Agra seolah tak terima."Kenapa? Apa ada masalah dengannya? Kakek rasa itu pilihan yang tepat, karena hanya Arkan lah satu-satunya cucu kakek yang belum menikah," ucap Kakek Gala memberitahu."Tapi, Arkan itu bukan cucu kandung Kakek. Dia itu hanya sampah yang kakek pungut dan di jadikan cucu, untuk apa menganggap dia sebagai cucu, hah?! Apalagi, dia bocah idiot yang pasti nyusahin!" sentak Agra kesal."Tutup mulutmu, Agra! Kalau saja bukan karena kelakuanmu, sudah pasti Arkan tak akan menjadi yatim piatu dan berkebutuhan khusus seperti sekarang," ucap Om Nathan menambahkan."Tapi, Pa--," Om Nathan langsung melambaikan tangannya seolah tak ingin dibantah.Agra menggelengkan kepalanya pelan. Wajahnya nampak kecewa berat dengan keputusan yang diberikan oleh sang kakek.Ia pun segera beranjak dari duduknya, dan langsung menghampiri Andri disana. Ia memegang lembut lengan Andri dan membelainya."Ndri, aku mohon, men