Di dalam kamar, Andri diam terpaku melihat respon yang Arkan tunjukkan tadi. Ia pun menundukkan kepalanya lalu segera mengambil ponselnya yang terletak di atas nakas.Ia lalu menghubungi adik iparnya itu seraya menutupi tubuhnya dengan selimut yang berada di atas kasur.["Kenapa lagi, Mbak?"] tanya Natasya dari sebrang telpon sana."Tadi aku udah coba pake baju yang kamu kasih. Tapi, Mas Arkan malah pergi dan langsung nutup pintu kamar. Apa aku terlalu jelek atau ...?" Andri tak meneruskan ucapannya.Rasanya, kata-kata itu tercekak di dalam tenggorokannya dan sulit untuk keluar.["Kok bisa? Coba kita VC, aku mau lihat,"] ucap Natasya dengan tak percaya."VC? Aku malu, Sya. Masih pake baju ini soalnya," ucap Andri ragu.["Gak apa-apa, Mbak. Mumpung disini juga gak ada Mas Andre, soalnya aneh aja. Pas aku pake baju itu, Mas Andre langsung napsu liat aku, masa iya Mas Arkan enggak sih? Pasti ada yang salah ini,"] ucap Natasya.Andri pun menghembuskan napasnya pelan, lalu mengganti mode t
Arkan menghembuskan napasnya perlahan, lalu ia pun mengetuk pintu kamarnya.Tok! Tok! Tok!"Dek, kok pintunya di kunci?" tanya Arkan lirih dari luar kamar.Arkan merasa jantungnya berdebar cukup kencang, perasaannya entah mengapa mengatakan bahwa ada sesuatu yang tak beres.Ia pun akhirnya menyadari sesuatu, karena rasa gelisah yang begitu mendera, ia pun mengetuk pintu lebih keras.Sementara di dalam kamar, Andri yang saat itu pura-pura untuk tidur pun tersentak dalam kebingungan.'Kenapa Mas Arkan ngetuk pintu dan manggilin aku? Kalau Mas Arkan diluar, terus yang ada dikamar siapa?" batin Andri lirih.Andri mencoba mengabaikan perasaan tidak enaknya dan membuka matanya secara perlahan. Ia menggeliat sebentar, dan pura-pura mengucek matanya agar terlihat baru bangun tidur.Agra yang menyadari bahwa Andri telah bangun karena ketukan pintu dikamar pun berusaha berpikir cepat bagaimana agar Andri tetap tunduk padanya.Rajang pun kembali bergerak, namun kali ini, seperti ada sesuatu yang
Agra bangkit, menyeka darah yang keluar dari sudut bibirnya dan tertawa pelan."Haha, bocah idiot sepertimu mana bisa melindungi dia? Melindungi diri sendiri saja sepertinya tak akan mampu," ledek Agra.Arkan berdiri tegak, otaknya berpikir cepat, apa iya begitu? Tapi melihat darah yang keluar dari sudut bibir Agra, nalurinya seakan mengatakan bahwa itu tidak benar.“Tak peduli aku bisa melindungi diriku sendiri atau tidak. Yang pasti, jika kau menyentuh apa yang telah menjadi milikku, aku tak akan tinggal diam!" sentak Arkan."Aku pernah kehilangan orangtuaku dan juga kewarasanku karena kelakuan kamu. Dan saat ini, aku tak akan lagi mentolerir kelakuanmu, Mas!" ucap Arkan kembali.Tanpa membuang waktu, mereka kembali terlibat dalam pertarungan sengit. Suara pukulan dan desahan napas berat memenuhi ruangan.Andri berdiri ketakutan di depan pintu kamarnya. Namun, pandangannya tertuju pada Arkan yang tak menyerah, meskipun Agra men
Andri segera menghampiri Arkan dan langsung memeluknya."Mas, ada apa?" tanya Andri lembut.Arkan hanya menunjuk ke arah tangga, darah pun nampak menetes dari telapak tangannya."Ya Allah, tangan kamu berdarah, Mas. Kita ke kamar dulu yuk, bersihin lukamu," ucap Andri kembali.Arkan hanya menggelengkan kepalanya pelan. Ia masih tetap saja duduk terpaku sambil menatap pilu ke arah tangga."Mas Agra jatuh, dia kek bola, gelinding ke bawah tangga. Terus, Om Nathan teriak manggil namanya dan lari," ucap Arkan dengan suara yang sedikit serak seperti anak kecil yang nampak syok.Mata Andri membola, sepertinya ia sadar apa yang terjadi. Ia pun lalu merangkul tubuh suaminya, dan memintanya untuk berdiri."Kita ke kamar ya, Mas," bujuk Andri kembali.Kali ini, Arkan nampak mengangguk dan menurut pada sang istri."Pelan-pelan jalannya, Mas. Banyak pecahan kaca, takut kaki kamu kena," ucap Andri memberi peringatan.Arkan hanya mengangguk patuh, seperti layaknya anak kecil yang ketakutan karena t
Setelah beberapa saat, akhirnya Arkan pun bisa lebih tenang. Andri pun membelai lembut rambut sang suami, sambil tetap memeluknya erat tanpa sedikitpun berniat untuk melepasnya.Perlahan, Arkan menurunkan lengannya yang tadi menutupi telinga, lalu balas memeluk tubuh istrinya dengan erat."Andri, aku takut," ucap Arkan dengan suara yang bergetar."Jangan takut, Mas. Ada adek di sini," balas Andri lembut.Ini adalah pertama kalinya Arkan memanggil dirinya dengan nama kembali. Setelah membuat surat perjanjian itu, keduanya sudah sepakat menggunakan panggilan 'Mas dan Adek' untuk saling menyapa.Arkan masih saja tergugu, bahkan Andri dapat merasakan ada kehangatan yang merembes di belakang punggungnya. Ternyata, itu adalah air mata Arkan yang tak bisa lagi ia tahan.Andri akhirnya melonggarkan pelukan mereka. Benar saja, mata Arkan tampak basah oleh tangis. Dengan lembut, Andri menghapus air mata itu dan mengecup kedua pipinya perlahan. Wajah Arkan langsung merona merah. Perlakuan mani
Permainan keduanya berakhir bersamaan dengan keluarnya cairan kenikmatan dan lenguhan panjang yang keluar dari mulut mereka berdua.Setelah itu, tubuh Arkan pun langsung ambruk di atas tubuh sang istri.Andri sudah memejamkan matanya duluan karena kelelahan setelah meneguk kenikmatan surga dunia bersama sang suami. Sementara Arkan, sekuat tenaga menarik tubuhnya agar tak menimpa tubuh sang istri."Makasih ya, Dek. Enak banget," lirih Arkan dengan suara yang lemah."Sama-sama, Mas. Sekarang kita bobok yuk," ajak Andri dan mendapat anggukan dari Arkan.***Lantunan ayat suci Alquran sayup-sayup terdengar dari masjid dekat rumah Kakek Gala, menandakan bahwa hari sudah mulai mendekati fajar.Andri mengerjapkan matanya berkali-kali, berusaha agar segera bangun dari tidurnya. Dan saat, matanya terbuka sempurna ia sedikit kaget melihat sebuah tangan kekar melingkar di area perutnya.Tak hanya itu, ia pun baru tersadar bahwa dirinya tak mengenakan apapun malam itu. Hanya tubuh polos yang tert
Setelah selesai mandi, Arkan pun kembali menggendong Andri hingga tempat tidurnya. Ia masih tak tega untuk membiarkan istrinya itu berjalan karena takut masih sakit."Mas, biar Adek yang siapin bajunya aja," ucap Andri lembut."Emang kamu udah gak sakit lagi, Dek?" tanya Arkan ragu.Andri tersenyum lalu mengangguk pelan."Insyallah udah gak terlalu sakit kok, Mas. Lagi pula, perbanmu basah, harus segera di ganti. Takutnya kalau gak buru-buru di ganti malah bikin infeksi," ucap Andri kembali.Arkan pun mengangguk, membiarkan sang istri untuk melakukan tugasnya.Andri segera menuju tasnya dan mengambil baju ganti untuknya. Tak hanya itu, ia pun lalu beralih ke lemari untuk mengambil baju ganti untuk Arkan."Ini, Mas, baju gantinya. Bisa pake sendiri, kan?" tanya Andri.Arkan menggeleng pelan, lalu berkata, "perbannya basah, nanti malah bikin bajunya basah lagi," jawabnya dengan wajah yang sendu.Andri mengembuskan napasnya kasar, baru saja ia hendak melepaskan handuk yang melilit tubuhn
Mbok Puji langsung tertawa geli melihat perubahan wajah majikannya yang nampak pucat pasi itu."Wajar kok, Non. Yang namanya abis malam pertama pasti begitu emang. Nanti, Mbok bikinin jamu deh, biar tambah kuat dan segera ada dedek kecil yang lari-larian disini," ucap Mbok Puji sambil tersenyum senang."Duh, jadi gak sabar untuk nunggu kehadirannya, pasti rumah ini bakalan lebih rame, dan Kakek Gala pasti akan bahagia banget," ucap Mbok Puji kembali.Andri hanya tersenyum samar, ah harapan Mbok Puji terlalu tinggi. Andai saja dia tau bahwa dirinya tak bisa memiliki anak, mungkin ia akan meralat kata-kata itu."Mbok, biar Andri yang bereskan aja ya, Takutnya, nanti malah bikin tangan Mbok luka. Mbok biar bebenah yang lain aja," ucap Andri kemudian.Mbok Puji menggelengkan kepalanya pelan sambil tersenyum tipis."Gak usah, Non. Non mendingan istirahat aja, kan capek abis nikahan dan malam pertama juga. Di tambah, semalam juga ada drama kan? Duh, baru tau kalau Den Arkan ternyata bisa ma
Arkan mengalihkan pandangannya ke arah langit-langit. Ia memijat pelan pelipisnya, mencoba mencerna setiap kata-kata yang ada. Ia bukanlah orang bodoh meskipun sedikit idiot terkadang. Namun, kata-kata Agra tadi jelas bukan hanya sekedar nasihat. Namun, ada juga sebuah peringatan di dalamnya."Kau terlalu naif, Arkan. Kau terlalu polos dan mudah percaya," kata-kata itu kembali Agra ucapkan, membuat Arkan benar-benar tertekan karenanya.Namun, Arkan tahu jelas, kedua orang itu hanya memperingatkannya, namun juga menasihatinya. Menjadi pion atau pemain, itulah yang Arkan pertanyakan sekarang.Agra mengetuk jari jarinya di meja kerja Arkan, membuat suasana di sana semakin canggung dan juga tegang.Namun, sebelum Arkan bisa menjawab, sebuah suara berat kembali terdengar dari arah pintu"Ikut saja dulu permainannya."Mereka bertiga langsung menoleh dengan cepat. Kakek Gala berdiri di sana, lalu segera melangkah dengan tegas dan juga perlahan. Meskipun jalannya sudah menggunakan tongkat, n
Arkan mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, menahan gemuruh di dadanya. Ia menatap Oom Nathan dengan tajam, mencoba membaca maksud tersembunyi di balik kata-kata yabg terlontar dari mulut lelaki itu "Apa maksud Oom?" tanya Arkan tak paham, bahkan suaranya terdengar lebih berat dari biasanya.Oom Nathan melangkah lebih dekat, lalu segera menarik kursi yang berada di depan Arkan. Ia mengamati wajah keponakannya itu, seolah ingin menilai seberapa jauh ia akan tenggelam dalam kekacauan ini."Arkan, bukankah kau telah lama bersahabat dengan Kevin?" tanyanya datar, namun penuh penekanan. "Coba kau pikirkan, apa mungkin Kevin bisa melakukan semuanya sendiri? Maksud Oom, Oom tak yakin jika dia cukup berani untuk melakukan ini semua. Pasti ada sosok lain dibelakangnya," jawabnya menganalisa.Arkan mengerutkan kening, mencoba mengingat semua memori tentang Kevin."Tapi, bukan kah seseorang bisa berubah? Maksud Arkan, jika ia terbakar dendam, maka ia akan berubah menjadi jahat? Bukankah banya
["Arkan, bagaimana?"] tanya Kevin kembali dari seberang telpon sana.Arkan mendengus pelan, menatap layar laptop dengan tatapan kosong."Kau bawel sekali, Kevin! Bukan kah kau memberikanku waktu 3x24 jam untuk berpikir? Ini baru 1x24 jam!" gerutu Arkan kesal.Tawa Kevin terdengar begitu jelas dari sana.["Kau masih sama seperti dulu, Arkan. Selalu polos dan mudah percaya. Ah, sayang sekali Andri harus menikah dengan pria idiot macam kau,",] ucapnya kembali.Gigi Arkan nampak gemertluk mendengar hinaan itu kembali. Ia menghela napas panjang dan dengan berat hati akhirnya ia memberikan keputusan."Hanya PT Dirgantara, kan?" tanya Arkan memastikan.["Ya, karena perusahaan itu yang paling besar di antara perusahaanmu. Meskipun anak cabang, tapi perusahaan itu paling banyak memiliki saham dan juga keuntungan, benarkan?"] tanya Kevin penuh percaya diri."Sepertinya kau tahu banyak tentang perusahaan ku yah? Oke, baiklah, aku akan menyerahkannya. Tapi, aku mohon beri aku waktu," jawab Arkan
Setelah menuntaskan hasratnya, Andri kembali tertidur. Mungkin ia sedikit kelelahan karena permainan mereka kali ini terasa lebih panas dan juga bergairah.Sepertinya, benar kata orang, apapun masalah yang terjadi dalam rumah tangga, ranjang adalah tempat mereka kembali menemukan suatu kedamaian.Melihat sang istri yang nampak begitu terlelap, Arkan pun ikut tertidur sebentar. Siapa tau, setelah beristirahat pikirannya bisa lebih fress dan juga lebih tenang.Namun, tidur Arkan tidak lah lama, hanya sekitar tiga puluh menit saja, karena ponselnya terus berdering menandakan panggilan.Arkan terpaksa bangun untuk mengambil ponselnya. Di layar sana, nama 'Sinta' tertera dengan jelas.Arkan segera mengangkat telponnya dan tak lama Sinta nampak marah-marah dari sebrang sana.["Bapak tuh kenapa sih? Kenapa harus nggak masuk? Bapak nggak tahu apa kalau ada banyak laporan yang perlu di tandatangani dan di cek?"] omel Sinta panjang lebar."Ck! Saya jadi heran, sebenernya disini yang bosnya kamu
"Kamu serius dengan apa yang kamu ucapkan itu, Dek?" tanya Arkan masih belum percaya sepenuhnya kepada sang istri.Andri tersenyum lembut, ia tahu, tak mudah bagi Arkan untuk kehilangan semuanya. Ia pernah kehilangan kedua orangtuanya, kehilangan sedikit ingatan dan juga mentalnya, dan kali ini ia kembali di hadapkan dengan sesuatu yang mungkin sedikit sulit ia terima, dan Andri paham akan semua itu.Andri kembali membelai lengan sang suami, dan tersenyum lembut. Ia mengecup pelan pipi Arkan sebentar lalu kembali masuk ke dalam pelikan lelakinya."Mas, jangan pernah merasa sendiri lagi sekarang. Kamu punya aku sekarang, Mas," lirih Andri pelan seraya keluar dari pelukan suaminya."Aku memang hanya orang baru yang kebetulan datang di dalam hidupmu. Tapi aku, aku nggak akan membiarkanmu menghadapi semuanya sendiri kembali, Mas. Aku akan selalu ada di sampingmu dalam suka maupun duka mu," ujar Andri kembali.Arkan menarik napas dalam, lalu mencium pucuk kepala istrinya. "Terimakasih suda
Sekan terdiam dan terpaku mendengar jawaban yang terlontar dari mulut istrinya itu. Andri melangkah lebih dahulu ke gazebo halaman belakang, lalu menepuk pinggiran yang masih kosong.Arkan mengerti apa yang dimaksud istrinya. Ia pun segera melangkah dan duduk bersama wanitanya itu."Apa yang sebenernya terjadi, Mas? Dari semalam kamu selalu bertanya seperti itu? Apa yang kamu sembunyikan sebenernya, Mas?" tanya Andri bertubi-tubi.Arkan menunduk sebentar, memainkan jari jemarinya, seolah menguatkan hatinya dahulu sebelum akhirnya ia bercerita kepada sang istri.Andri menunggunya dengan sabar, membelai lembut lengan sang suami seolah memberinya sedikit ketenangan.Arkan mengangkat wajahnya, menatap wajah wanita didepannya yang terlihat begitu kuat dan juga tegar."Aku ... Kevin kemarin ngancem aku, Dek," ucap Arkan pada akhirnya."Kevin? Apa ancaman Kevin ke kamu, Mas?" tanya Andri penasaran.Arkan pun lalu menceritakan tentang telpon Kevin kemarin di kantor. Tentang ancamannya dan jug
"Mas, gua mau nanya sesuatu sama lu. Tapi, janji ya jangan diketawain," ucap Arkan tiba-tiba memecah keheningan diantara mereka berdua.Agra mengernyitkan dahinya sebentar, lalu mengangguk mantap. "Ada apa?" tanyanya datar."Gimana kalau misalnya lu di suruh milih antara dua hal sesuatu yang sulit?" tanya Arkan kembali."Apa dulu sesuatunya itu?" tanya Agra balik, suaranya terdengar santai dan juga datar.Arkan kembali menatap langit malam yang begitu terang. Ia menghembuskan napasnya pelan sebelum akhirnya ia kembali berbicara."Kalau misalnya lu disuruh milih antara wanita yang lu cintai sama perusahan yang udah dibangun susah payah sama ortu lu, lu bakal milih mana?" tanya Arkan ambigu.Agra memiringkan kepalanya untuk melihat raut wajah Arkan. Wajahnya terlihat menyimpan suatu beban yang begitu berat sepertinya."Siapa saingan gua yang mau ngerebut Andri dari lu? Emang ada? Wah, nggak bisa dibiarin ini. Harusnya, saingan lu dalam merebut Andri cuma gua aja," ujar Agra sambil terke
"Nggak apa-apa kok, Dek. Mas cuma mau nanya doang," ucap Arkan sambil tersenyum masam.Andri menghembuskan napas panjang, lalu mengecup pelan pipi sang suami."Yakin cuma nanya doang? Nggak ada yang lain?" tanya Andri mulai curiga.Arkan kembali menggelengkan kepalanya pelan. Namun sepertinya Andri mulai cukup peka terhadap apa yang terjadi dengan suaminya.Dengan lembut ia mulai mengambil lengan Arkan dan membelainya dengan mesra."Apapun yang terjadi, aku akan mencintaimu, Mas. Aku akan selalu bersama denganmu dalam suka dan duka. Aku tak masalah hidup susah ataupun jatuh miskin," ucap Andri pelan."Mas, asal kamu tahu, aku sudah terbiasa hidup susah. Jadi, kamu nggak perlu khawatirkan aku. Justru, aku yang harus khawatirin kamu, sanggup atau nggak? Asal kamu tau, Mas, bahkan dulu sehari cuma makan sekali saja aku pernah merasakannya. Kamu tenang saja, Mas, jika hanya harta dunia, kita bisa cari bersama-sama. Kita akan kerja sama-sama untuk kembali mengembalikan keadaan," ucapnya pe
Arkan masih terdiam di mejanya. Kepalanya ia tangkupkan ke atas meja, seolah ia tiduran disana. Kepalanya sedikit pening sekarang. Keputusan apa yang harus ia ambil kini, semuanya terasa begitu berat.Dalam lamunannya, tiba-tiba belaian lembut hinggap di punggungnya. Arkan mengangkat wajahnya, mencoba tersenyum tenang, meskipun sorot matanya masih menyimpan badai.Nampak Andri disana dengan wajah teduhnya."Mas, ada apa? Siapa yang telpon?" tanya Andri lembut, suaranya pelan dan penuh kekhawatiran."Nggak ada apa-apa, Dek. Hanya telpon iseng yang mencoba menguji kesabaranku," ucap Arkan dengan tenang.Andri mengernyitkan dahinya. Tentu saja ia tak percaya begitu saja. Tak mungkin ada apa-apa, wajah Arkan tidak bisa bohong jika ia memendam suatu masalah yang besar.Andri menghela napas pelan, lalu kembali membelai lembut pundak sang suami, "Kalau Mas sudah siap cerita, cerita aja, ya. Adek akan selalu siap untuk denger semua keluh kesah Mas," ucap Andri sambil tersenyum.Arkan mengangg