Mbok Puji langsung tertawa geli melihat perubahan wajah majikannya yang nampak pucat pasi itu."Wajar kok, Non. Yang namanya abis malam pertama pasti begitu emang. Nanti, Mbok bikinin jamu deh, biar tambah kuat dan segera ada dedek kecil yang lari-larian disini," ucap Mbok Puji sambil tersenyum senang."Duh, jadi gak sabar untuk nunggu kehadirannya, pasti rumah ini bakalan lebih rame, dan Kakek Gala pasti akan bahagia banget," ucap Mbok Puji kembali.Andri hanya tersenyum samar, ah harapan Mbok Puji terlalu tinggi. Andai saja dia tau bahwa dirinya tak bisa memiliki anak, mungkin ia akan meralat kata-kata itu."Mbok, biar Andri yang bereskan aja ya, Takutnya, nanti malah bikin tangan Mbok luka. Mbok biar bebenah yang lain aja," ucap Andri kemudian.Mbok Puji menggelengkan kepalanya pelan sambil tersenyum tipis."Gak usah, Non. Non mendingan istirahat aja, kan capek abis nikahan dan malam pertama juga. Di tambah, semalam juga ada drama kan? Duh, baru tau kalau Den Arkan ternyata bisa ma
Arkan menahan tawa sambil mengulurkan tangannya pada Andri, yang masih sibuk menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Udah, nggak usah malu gitu, Dek, Mbok Puji juga pasti paham kok, namanya juga pengantin baru," ucap Arkan santai seolah tak terjadi apa-apa. "Ya, tapi gak gitu juga, Mas. Gak bisa kah, Mas sopan dikit kalau ngomong? Jujur yah, aku tuh malu tau digituin," gerutu Andri sedikit kesa seraya membuka sela-sela jarinya. Arkan hanya tersenyum, rasanya gemas sekali melihat Andri yang terus menutupi wajahnya itu. "Loh, namanya juga nikah sama orang idiot, ya harus terima konsekuensinya kalau aku kadang sopan, kadang nggak. Lagian ya, kalau aku terlalu sopan sama kamu, nanti malah gak seru, soalnya gak bisa liat mukamu yang kek tomat itu haha," kata Arkan seraya mencubit pipi Andri dengan gemas. "Ih, Mas sakit tau," ucap Andri seraya menggembungkan pipinya seperti anak kecil. "Udah, yuk, k
Tak lama, keduanya pun tiba di lantai bawah, dan langsung menuju ruang makan. Disana, hanya ada Kakek Gala dan juga kedua orangtua Andri saja. Entah kemana keluarga Om Nathan dan Arsy mereka tak tahu."Pagi, Kek. Pagi, Ayah, Bunda," salam Arkan dan Andri serempak."Pagi," jawab mereka bersamaan.Setelah itu, Arkan segera mengambil tempat duduk untuk istrinya dahulu, baru setelah itu untuknya. Setelah keduanya duduk, Andri pun segera menyiapkan piring untuknya dan juga sang suami."Mas, mau sarapan apa?" tanya Andri ramah.Arkan menatap sebentar menu yang terhidang didepannya itu. Ada roti dan teman-temannya, nasi goreng, telur mata sapi dan juga segelas susu yang baru saja di hidangkan oleh Mbok Puji."Nasi goreng pake telor mata sapi aja, Dek," ucap Arkan dan mendapat anggukan dari Andri.Andri pun segera menyendokkan satu centong nasi ke dalam piring Arkan, dan juga sepotong telur untuknya."Tambah lagi, Dek," ucap Arkan kembali.Andri mengernyitkan dahinya, apa suaminya selalu maka
"Tenang saja, kakek tak melihat permainan kalian berdua kok," ucap Kakek Gala santai.Namun, Andri dan Arkan terlanjur malu dibuatnya. Apalagi, saat Andri mengingat kejadian semalam. Itu artinya, Kakek Gala pun berhasil melihat tubuhnya.Andri menundukkan pandangannya. Perasaannya berkecamuk, antara malu dan marah kepada sang kakek."Andri, Kakek hanya ingin tau apa yang semalam terjadi di lantai atas. Kamu tenang saja, kakek tak melihat apa yang kamu dan Arkan lalukan semalam," ucap Kakek Gala mencoba menenangkan Andri.Namun, Andri seolah kecewa, Arkan hanya bisa diam sambil membelai punggung sang istri. Sementara, Ayah Revan nampak memijat pelan pelipisnya."Saya tidak melihat tubuh kamu, Andri. Saya hanya memutar rekaman saat Arkan marah saja, mulai dari Arkan yang mengetuk pintu kamar, dan perkelahian antara Agra dan Arkan saja," ucap Kakek Gala kembali."Hm, iya, Kek," jawab Andri sedikit lemah.Andri nampak mengaduk-aduk sarapannya tanpa berniat untuk memakannya lagi. Begitupun
Arkan kembali tersenyum lalu mengacak rambut sang istri dengan pelan dan penuh cinta."Kontrakan kamu dimana, Dek? Eh, tapi gimana kalau misalnya kita pindah ke rumah orang tua aku aja?" tanya Arkan memberi usulan."Rumah orang tua kamu? Emang ada, Mas?" tanya Andri dengan raut wajah yang sedikit antusias.Arkan tersenyum lalu mengangguk pelan, "ada, Dek. Tapi rumahnya agak kecil, gak terlalu gede seperti rumah Kakek. Ada tiga kamar disana, ada garasi dan taman kecilnya juga di depan. Kamu suka bunga? Kita bikin taman nanti disana," jawab Arkan sambil tersenyum."Taman? Boleh, Mas. Aku pernah pingin punya rumah yang banyak bunganya, terus nanti di tengahnya ada ayunan, buat tempat santai," ujar Andri.Arkan mengangguk antusias, senyum di wajahnya semakin lebar. "Wah, itu ide yang bagus, Dek! Nanti, kita beli dan rawat bareng-bareng gimana? Kalau untuk ayunan ... gimana kalau misalnya kamu liat dulu tempatnya? Aku rasa kalau ayunan gak akan cukup tempatnya. Tapi kalau bangku taman, sep
*Flashback tiga tahun lalu*"Arkan, Papa punya sesuatu," ucap Pak Gerry sambil tersenyum."Apa, Pa?" tanya Arkan.Arkan segera mengalihkan perhatiannya kepada sang papa yang masih saja tersenyum disana. Sebelah tangannya berada di belakang punggungnya seolah menyembunyikan sesuatu."Tada," ucap Papa seraya menyerahkan godie bag kepada sang anak.Arkan mengernyitkan dahinya sebentar, lalu mengambil godie bag itu. Begitu membuka isinya, senyumnya pun nampak terbesit di wajah tampannya itu."O -- Optimus Prime. Papa seriusan ngasih ini buat Arkan? Ini kan mahal banget, Pa," ucap Arkan dengan nada tak percaya.Pak Gerry tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya pelan, lalu membelai lembut pucuk kepala sang anak. Tak lama, Bu Vany pun datang dari belakang dan langsung memeluk tubuh putranya."Gak ada kata mahal buat kamu, Nak. Itu adalah hadiah terakhir dari Mama Papa untuk kamu," ujar Bu Vany lembut. "Eh, bukan terakhir sih, tapi ada satu lagi, cuma nanti kita kasih pas kamu udah nikah
Arkan mengerjapkan matanya beberapa kali. Kelopak matanya terasa berat, tapi ia harus memaksakan diri untuk membuka mata. Saat matanya terbuka, kilauan cahaya yang terang begitu menyilaukan mata, tak hanya itu, aroma alkohol dan obat-obatan pun nampak menguar tajam. Ditambah, suara lembut monitor detak jantung menjadi irama pertama yang didengar Arkan saat kesadarannya perlahan kembali. "Arkan ... akhirnya kamu bangun juga," suara lembut seseorang mampu menyadarkan Arkan akan kebimbangannya."Tan -- Tante Adel?" gumamnya pelan, suaranya begitu serak.Wanita itu mengangguk sambil tersenyum kecil, dan matanya tampak sembab."Iya, Kan, ini Tante Adel. Kamu udah sadar? Tunggu sebentar ya, Nak, jangan banyak gerak dulu," titahnya.Arkan hanya mengangguk kecil, dan tak lama, bayangan kecelakaan tadi berkelebat di benak Arkan. Suara rem mobil, teriakan, tubuh yang terpental — semuanya terasa nyata kembali. Rasa panik mulai menyelimuti dadanya. "Mama!" teriak Arkan begitu dirinya ingat.Ia
Beberapa jam berlalu, tangisan Arkan pun mulai mereda. Rasa sesak di dadanya pun perlahan berkurang, meskipun hati masih terasa nyeri.Arkan menatap langit-langit kamar yang terasa begitu sunyi dan hening. Ia menoleh kesamping, dan tak jauh darinya Autobots pemberian sang papa berdiri tegak di atas nakas.Ia pun berusaha untuk meraih mainan terakhirnya, namun saat ia mencoba menggerakkan kakinya, rasanya aneh sekali.Arkan mencoba lagi, namun tetap sama. Kedua kakinya sama sekali tidak bisa di gerakkan."Arkan, apa kamu butuh sesuatu?" tanya Oom Wisnu seraya mendekat.Tante Adel nampak terlelap di atas sofa ruang tunggu, sepertinya ia lelah karena menemani Arkan sejak tadi."Aku mau ngambil mainan aku, Oom, tapi kaki aku gak bisa digerakkin. Kaki aku kenapa, Oom?" tanya Arkan dengan suara yang gemetar. Oom Wisnu terdiam sejenak, mencoba mengambil napas agar bisa mengatakan kenyataan yang akan kembali membuat dunia kepon
Arsy terdiam sambil menatap layar monitor yang menampilkan bagian dalam perutnya."Selamat ya, Bu Arsy. Ibu benar-benar hamil. Ini sudah terlihat kantung janinnya dan usia janin diperkirakan sudah masuk minggu ke 7," ujar sang dokter dengan ramah.Tak lama, layar monitor pun berubah menampilkan detak jantung."Nah, ini detak jantungnya si dedek, kedengaran kan, Bu?" tanya dokter sambil tersenyum.Arsy hanya mengangguk pelan, matanya masih terpaku pada layar monitor itu yang menampilkan garis tak beraturan itu.Setelah proses pemeriksaan USG selesai, Arsy pun kini sudah boleh kembali duduk di kursinya."Apa ada yang ingin ditanyakan, Bu Arsy?" tanya sang dokter kembali sebelum mengakhiri sesi konsultasi mereka berdua."Sepertinya tidak ada, Dok, terimakasih banyak ya," jawab Arsy lirih."Baik, kalau begitu, ini resep obat dan vitamin untuk ibu. Jangan lupa diminum, dan jangan sampai stress ya, Bu. Usia kehamilan trisemester awal sangat rentan stress. Jika mual, dan tak bisa makan, maka
Arkan merasa gamang, saat harus mengambil keputusan saat ini.Sebenernya, ia tidak terlalu suka disini, meskipun memang suasananya sejuk dan dekat dengan kantor, baik kantornya maupun kantor Kakek Gala, tapi disini banyak anak-anak yang mungkin bisa berisik dan mengganggu mereka, apalagi jika Arkan membawa lemari kacanya yang berisi mainan koleksinya. Berbagai pikiran buruk pun langsung berkecamuk disana.Tapi, begitu melihat Andri yang begitu antusias, ia pun sedikit bingung harus bagaimana.Arkan menghembuskan napasnya kasar, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Oom Wisnu."Ya udah, Oom, karena Andri suka sama rumahnya, jadi aku ambil rumah ini aja, ya. Oom bisa urus surat-suratnya, kan? Aku gak mau jika suatu saat ada permasalahan antara aku dan Yudha, terus ungkit-ungkit rumah ini," ujar Arkan kemudian.""Kamu yakin, Kan, ambil rumah ini? Kalau soal surat-surat gampang nanti Oom urus. Tapi, kalau gak salah harga rumah ini lebih rendah dibanding rumahmu, itu gimana? Berarti Oom ha
Saking asyiknya mereka bercengkrama, hingga tanpa sadar mereka pun sudah tiba di daerah tempat tinggal Oom Wisnu."Oom, ini kavling-nya yang mana ya? Arkan lupa," ujar Arkan sambil tersenyum samar.Oom Wisnu tertawa pelan, ternyata, keponakannya itu sudah lupa jalan kerumahnya."Masih di depan, Kan. Nanti perempatan belok kiri, gak jauh dari situ," ujar Oom Wisnu memberi petunjuk.Arkan hanya manggut-manggut sambil memelankan laju mobilnya. Kawasan ini sedikit sempit, hanya cukup untuk dua mobil saja, mana di beberapa ruas jalan nampak mobil terparkir sembarangan juga."Ck, kalau gak mampu beli garasi, setidaknya mbok gak usah beli mobil kek. Emang, ini jalanan mbahmu yang bisa di jadiin parkiran," gerutu Arkan sedikit sebal.Oom Wisnu tak menanggapi gerutuan itu, hanya tertawa sambil menggelengkan kepalanya pelan. Memang benar, kesadaran disini masih sedikit tipis, jika malam tiba, maka sisi jalan sebelah kiri akan berisi banyak mobil, membuat jalanan yang sempit semakin sempit saja.
Sekitar pukul 10.00 WIB, Andri dan Arkan telah bersiap untuk pergi ke rumah Oom Wisnu, tinggal menunggu kapan Oom Wisnu akan berangkat saja."Mas, ini gak masalah kalau misalnya kita langsung pergi? Aku gak enak sama Tante Adel, soalnya di rumah gak ngapa-ngapain. Dari tadi subuh, aku langsung masuk kamar, terus baru keluar tadi jam 9an," ucap Andri tak enak hati.Arkan menggeleng pelan lalu membelai lembut rambut sang istri, "nggak apa, Dek. Namanya juga tamu, pasti dia maklumin kalau misalnya kamu nggak ngapa-ngapain," ujarnya berusaha menenangkan gemuruh di hati Andri.Andri mendengus pelan, perasaannya masih tetap sama, ia tak enak karena dia tidak melakukan apapun di rumah itu.Tak ingin berdebat dengan Arkan, ia pun memilih untuk keluar dari kamar itu duluan, meninggalkan Arkan yang masih sibuk untuk berkemas.Begitu keluar kamar, suasana disana nampak sepi, hanya terdengar suara televisi yang menampilkan animasi si botak dari negri sebrang saja.Andri celingukan mencari siapa y
Andri dan Naima berteriak sambil mundur dua langkah. Dan saat keduanya berbalik dan hendak lari, tiba-tiba tangan Andri terasa ada yang mencengkram dengan kuat."Aaa, Naima tolong!" ujar Andri panik dan tak lama ...Bugh!"Berisik banget sih, Dek! Kamu ngapain sih?!" seru seseorang yang tak lain adalah Arkan sambil memukul kepala Andri menggunakan sejadah kecil."Ma -- Mas Arkan?" tanya Andri, suaranya sedikit bergetar, seolah tak percaya dengan apa yang didengarnya.Andri dan Naima perlahan berbalik, memastikan suara itu benar-benar milik Arkan atau bukan.Dan benar, Arkan berdiri dengan alis terangkat dan ekspresi bingung campur kesal. Sementara di belakangnya, nampak Oom Wisnu yang berdiri sambil menahan tawa. Wajah pria paruh baya itu tampak terkekeh geli melihat situasi yang entah kenapa terlihat sedikit lucu baginya."Mas Arkan dari mana?" tanya Naima kali ini dan mendapat anggukan dari Andri.Kedua wanita itu masih sedikit syok sambil berpegangan tangan seolah masih takut denga
Andri menggelengkan kepalanya pelan, lalu menatap lurus ke depan.Sekelebat bayangan masa lalu kembali berputar, bagai proyektor yang mereply film itu.Andri menghembuskan napasnya lalu menggeleng pelan."Kita tidur aja, yuk. Udah malem," ajak Andri mengalihkan pembicaraannya.Naima menggeleng pelan, bibirnya nampak mengerucut karena Andri tak jadi cerita."Mbak mah, ih, bikin aku kepo aja," gerutu Naima kembali.Andri hanya terkekeh pelan lalu mengacak rambut sang adik dan memilih untuk merebahkan dirinya saja."Mbakk," rajuk Naima sambil menggoyangkan lengan Andri Namun, Andri tetap menggeleng, dan memilih untuk memejamkan matanya saja.Melihat itu, Naima kembali cemberut, rasanya ia belum ngantuk, tapi mau bagaimana lagi, Andri dan juga Tante Adel sudah terlelap lebih dahulu.***Keesokan paginya, Andri terpaksa bangun karena guncangan yang cukup keras di tubuhnya."Andri, bangun, Ndri," ujar Tante Adel dengan nada panik.Dengan kepala yang sedikit terasa berdenyut, akhirnya Andri
Yudha kembali menghisap rokoknya dan menawarkan kepada Arkan di sana."Mas nggak ngerokok, Yud. Lah, tadi kamu kenapa pindah ngerokoknya?" tanya Arkan penasaran."Tadi ada Mama di sini. Kasian dede bayi kalau misalnya ada asep rokok," jawab Yudha.Arkan hanya mengangguk lalu kembali memanggang beberapa potong daging di atas sana. Suara bara yang terkena lelehan minyak kembali terdengar membuat malam itu kembali hangat.Keheningan pun akhirnya pecah karena getaran ponsel Yudha yang sedikit mengganggu. Yudha melihat siapa yang menelponnya dan langsung berdecak kesal.Tak ingin terlalu lama bergetar,ia pun segera mengangkat panggilan telpon itu."Jangan hubungin aku sekarang. Naima nginep di rumah," bisik Yudha setengah berbisik.[ ... ]"Gak usah ngadi-ngadi deh!" gerutu Yudha seraya menutup telponnya dan melemparnya ke sembarang arah.Yudha menghisap rokoknya kuat-kuat berusaha meredakan amarah yang sepertinya bergejolak di dadanya."Punya cewek lagi, Yud?" tanya Arkan sedikit penasar
"Tante, boleh ya?" rajuk Naima lagi, kali ini suaranya terdengar lebih memelas dari sebelumnya.Tante Adel menghela napas panjang. Wajahnya memancarkan keraguan, sementara matanya diam-diam melirik ke arah Oom Wisnu, seolah meminta jawaban tanpa harus mengucapkan sepatah kata pun.Oom Wisnu balas menatapnya, memahami kegelisahan yang tersirat. Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Akhirnya, Oom Wisnu mengangguk perlahan, memberi tanda persetujuan."Kasih aja, Ma, udah malem juga.Tapi, harus kamu yang ijin sama orang tuanya Naima jangan Yudha," ujar Oom Wisnu pada akhirnya.Tante Adel tersenyum tipis, meski rasa ragu belum sepenuhnya hilang."Ya udah, karena udah dapet ijin dari Papanya Yuda, kamu boleh nginep disini. Tapi ... inget, kamu tidur sama Tante di kamar utama, dan gak boleh ada di kamar Yudha, paham?" tanyanya Tante Adel akhirnya.Mendengar ucapan itu, raut wajah Naima yang tadi sempat sayu pun kembali berbinar."Makasih, Tante. Tante emang pengertian banget," jawab Naim
Malam mulai menyapa, Andri dan Arkan tampak betah berada di rumah itu. Rumah yang penuh kenangan baginya, sehingga membuat mereka seolah kembali ke masa lalu, mengingat momen-momen sederhana yang pernah ia lalui.Sekitar pukul 20.00 WIB, saat sedang asyik bercengkrama di ruang keluarga sambil menonton Tv, Yudha dan kekasihnya pulang entah dari mana dan membawa banyak tentengan."Yuhuuu, Tante, Oom, ayok kita barbaque-an," ujar Naima--Kekasih Yudha saat keduanya tiba."Eh, ada Mas Arkan dan Mbak Andri juga tah? Udah lama disini, Mas, Mbak?" tanya Yudha ramah seraya menyalami mereka berempat."Lumayan, dari tadi sore. Cie, adek gua sekarang udah gede, udah ngerti pacaran nih yee," goda Arkan kepada sang adik.Yudha hanya tertawa pelan mendengar ledekan itu, sementara Naima nampak salah tingkah dibuatnya."Ah iya, tadi kamu bilang apa? Barbeque-an? Ayo, gas, dimana?" tanya Arkan mengalihkan pembicaraannya dengan nada yang penuh semangat."Iya, Mas. Mama tadi WeA katanya pingin barbeque-