Arkan menahan tawa sambil mengulurkan tangannya pada Andri, yang masih sibuk menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
"Udah, nggak usah malu gitu, Dek, Mbok Puji juga pasti paham kok, namanya juga pengantin baru," ucap Arkan santai seolah tak terjadi apa-apa. "Ya, tapi gak gitu juga, Mas. Gak bisa kah, Mas sopan dikit kalau ngomong? Jujur yah, aku tuh malu tau digituin," gerutu Andri sedikit kesa seraya membuka sela-sela jarinya. Arkan hanya tersenyum, rasanya gemas sekali melihat Andri yang terus menutupi wajahnya itu. "Loh, namanya juga nikah sama orang idiot, ya harus terima konsekuensinya kalau aku kadang sopan, kadang nggak. Lagian ya, kalau aku terlalu sopan sama kamu, nanti malah gak seru, soalnya gak bisa liat mukamu yang kek tomat itu haha," kata Arkan seraya mencubit pipi Andri dengan gemas. "Ih, Mas sakit tau," ucap Andri seraya menggembungkan pipinya seperti anak kecil. "Udah, yuk, kTak lama, keduanya pun tiba di lantai bawah, dan langsung menuju ruang makan. Disana, hanya ada Kakek Gala dan juga kedua orangtua Andri saja. Entah kemana keluarga Om Nathan dan Arsy mereka tak tahu."Pagi, Kek. Pagi, Ayah, Bunda," salam Arkan dan Andri serempak."Pagi," jawab mereka bersamaan.Setelah itu, Arkan segera mengambil tempat duduk untuk istrinya dahulu, baru setelah itu untuknya. Setelah keduanya duduk, Andri pun segera menyiapkan piring untuknya dan juga sang suami."Mas, mau sarapan apa?" tanya Andri ramah.Arkan menatap sebentar menu yang terhidang didepannya itu. Ada roti dan teman-temannya, nasi goreng, telur mata sapi dan juga segelas susu yang baru saja di hidangkan oleh Mbok Puji."Nasi goreng pake telor mata sapi aja, Dek," ucap Arkan dan mendapat anggukan dari Andri.Andri pun segera menyendokkan satu centong nasi ke dalam piring Arkan, dan juga sepotong telur untuknya."Tambah lagi, Dek," ucap Arkan kembali.Andri mengernyitkan dahinya, apa suaminya selalu maka
"Tenang saja, kakek tak melihat permainan kalian berdua kok," ucap Kakek Gala santai.Namun, Andri dan Arkan terlanjur malu dibuatnya. Apalagi, saat Andri mengingat kejadian semalam. Itu artinya, Kakek Gala pun berhasil melihat tubuhnya.Andri menundukkan pandangannya. Perasaannya berkecamuk, antara malu dan marah kepada sang kakek."Andri, Kakek hanya ingin tau apa yang semalam terjadi di lantai atas. Kamu tenang saja, kakek tak melihat apa yang kamu dan Arkan lalukan semalam," ucap Kakek Gala mencoba menenangkan Andri.Namun, Andri seolah kecewa, Arkan hanya bisa diam sambil membelai punggung sang istri. Sementara, Ayah Revan nampak memijat pelan pelipisnya."Saya tidak melihat tubuh kamu, Andri. Saya hanya memutar rekaman saat Arkan marah saja, mulai dari Arkan yang mengetuk pintu kamar, dan perkelahian antara Agra dan Arkan saja," ucap Kakek Gala kembali."Hm, iya, Kek," jawab Andri sedikit lemah.Andri nampak mengaduk-aduk sarapannya tanpa berniat untuk memakannya lagi. Begitupun
Arkan kembali tersenyum lalu mengacak rambut sang istri dengan pelan dan penuh cinta."Kontrakan kamu dimana, Dek? Eh, tapi gimana kalau misalnya kita pindah ke rumah orang tua aku aja?" tanya Arkan memberi usulan."Rumah orang tua kamu? Emang ada, Mas?" tanya Andri dengan raut wajah yang sedikit antusias.Arkan tersenyum lalu mengangguk pelan, "ada, Dek. Tapi rumahnya agak kecil, gak terlalu gede seperti rumah Kakek. Ada tiga kamar disana, ada garasi dan taman kecilnya juga di depan. Kamu suka bunga? Kita bikin taman nanti disana," jawab Arkan sambil tersenyum."Taman? Boleh, Mas. Aku pernah pingin punya rumah yang banyak bunganya, terus nanti di tengahnya ada ayunan, buat tempat santai," ujar Andri.Arkan mengangguk antusias, senyum di wajahnya semakin lebar. "Wah, itu ide yang bagus, Dek! Nanti, kita beli dan rawat bareng-bareng gimana? Kalau untuk ayunan ... gimana kalau misalnya kamu liat dulu tempatnya? Aku rasa kalau ayunan gak akan cukup tempatnya. Tapi kalau bangku taman, sep
*Flashback tiga tahun lalu*"Arkan, Papa punya sesuatu," ucap Pak Gerry sambil tersenyum."Apa, Pa?" tanya Arkan.Arkan segera mengalihkan perhatiannya kepada sang papa yang masih saja tersenyum disana. Sebelah tangannya berada di belakang punggungnya seolah menyembunyikan sesuatu."Tada," ucap Papa seraya menyerahkan godie bag kepada sang anak.Arkan mengernyitkan dahinya sebentar, lalu mengambil godie bag itu. Begitu membuka isinya, senyumnya pun nampak terbesit di wajah tampannya itu."O -- Optimus Prime. Papa seriusan ngasih ini buat Arkan? Ini kan mahal banget, Pa," ucap Arkan dengan nada tak percaya.Pak Gerry tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya pelan, lalu membelai lembut pucuk kepala sang anak. Tak lama, Bu Vany pun datang dari belakang dan langsung memeluk tubuh putranya."Gak ada kata mahal buat kamu, Nak. Itu adalah hadiah terakhir dari Mama Papa untuk kamu," ujar Bu Vany lembut. "Eh, bukan terakhir sih, tapi ada satu lagi, cuma nanti kita kasih pas kamu udah nikah
Arkan mengerjapkan matanya beberapa kali. Kelopak matanya terasa berat, tapi ia harus memaksakan diri untuk membuka mata. Saat matanya terbuka, kilauan cahaya yang terang begitu menyilaukan mata, tak hanya itu, aroma alkohol dan obat-obatan pun nampak menguar tajam. Ditambah, suara lembut monitor detak jantung menjadi irama pertama yang didengar Arkan saat kesadarannya perlahan kembali. "Arkan ... akhirnya kamu bangun juga," suara lembut seseorang mampu menyadarkan Arkan akan kebimbangannya."Tan -- Tante Adel?" gumamnya pelan, suaranya begitu serak.Wanita itu mengangguk sambil tersenyum kecil, dan matanya tampak sembab."Iya, Kan, ini Tante Adel. Kamu udah sadar? Tunggu sebentar ya, Nak, jangan banyak gerak dulu," titahnya.Arkan hanya mengangguk kecil, dan tak lama, bayangan kecelakaan tadi berkelebat di benak Arkan. Suara rem mobil, teriakan, tubuh yang terpental — semuanya terasa nyata kembali. Rasa panik mulai menyelimuti dadanya. "Mama!" teriak Arkan begitu dirinya ingat.Ia
Beberapa jam berlalu, tangisan Arkan pun mulai mereda. Rasa sesak di dadanya pun perlahan berkurang, meskipun hati masih terasa nyeri.Arkan menatap langit-langit kamar yang terasa begitu sunyi dan hening. Ia menoleh kesamping, dan tak jauh darinya Autobots pemberian sang papa berdiri tegak di atas nakas.Ia pun berusaha untuk meraih mainan terakhirnya, namun saat ia mencoba menggerakkan kakinya, rasanya aneh sekali.Arkan mencoba lagi, namun tetap sama. Kedua kakinya sama sekali tidak bisa di gerakkan."Arkan, apa kamu butuh sesuatu?" tanya Oom Wisnu seraya mendekat.Tante Adel nampak terlelap di atas sofa ruang tunggu, sepertinya ia lelah karena menemani Arkan sejak tadi."Aku mau ngambil mainan aku, Oom, tapi kaki aku gak bisa digerakkin. Kaki aku kenapa, Oom?" tanya Arkan dengan suara yang gemetar. Oom Wisnu terdiam sejenak, mencoba mengambil napas agar bisa mengatakan kenyataan yang akan kembali membuat dunia kepon
Tak terasa, tiga bulan telah berlalu sejak kecelakaan yang mengubah hidup Arkan. Berkat terapi intensif yang ia lakukan serta doa yang tiada henti dari keluarga Oomnya itu, keajaiban kecil pun akhirnya datang dalam hidupnya.Kakinya kini sudah bisa ia gerakkan dan melangkah sedikit demi sedikit meskipun kadang sesekali ia kembali terjatuh. Tak hanya itu, sifat cerianya mulai muncul kembali, meskipun masih kekanak-kanakan.Siang itu, Arkan tengah asyik bermain Autobots kesayangannya, bahkan ia pun berpura-pura menjadi Sam, menggunakan panci sebagai pelindungnya dan tak lupa sebuah senapan mainan yang ia pegang.Bunyi "pew pew" dari suara tembakan pun nampak menggema di ruang keluarga, Arkan pun nampak fokus mengarahkan 'senjatanya' pada target dalam imajinasinya.Sementara itu, Tante Adel nampak tersenyum melihat tingkahnya sambil membereskan meja makan mereka."Arkan, kalau udah selesai mainannya, jangan lupa balikin ke lemari kaca ya," ucap Tante Adel setengah berteriak."Siap, Tante
Setelah kepergian keluarga Agra, Tante Adel pun memeluk tubuh Arkan dengan erat."Arkan, dengerin Tante. Tante tau ini itu berat banget. Gak cuma untuk kamu, tapi juga untuk tante. Jujur, tante juga syok waktu tau siapa yang datang. Tapi, Tante harap, kamu mau belajar memaafkan kesalahan mereka. Tante tau kalau ini gak mudah, tapi kamu harus berusaha. Tante yakin, Papa sama Mama gak mau kamu jadi orang pendendam," bujuk Tante Adel lembut.Namun, Arkan tetap menggeleng, rasa sakit itu masih terlalu nyata bahkan terlalu dalam. Dalam hati kecilnya, ia masih butuh waktu yang sepertinya akan sedikit lama untuk melupakan semuanya.Beberapa hari setelah kejadian itu, Tante Adel menerima panggilan lagi dari keluarga Agra. Mereka meminta kesempatan untuk bertemu lagi, kali ini dengan penawaran yang lebih serius. Tante Adel tak bisa memutuskannya sendiri, ia pun harus berkonsultasi dahulu dengan Arkan dan juga suaminya.Pagi itu, semua nampak berkumpul di ruang keluarga, ada Arkan, Yudha, Oom W
Arkan mengalihkan pandangannya ke arah langit-langit. Ia memijat pelan pelipisnya, mencoba mencerna setiap kata-kata yang ada. Ia bukanlah orang bodoh meskipun sedikit idiot terkadang. Namun, kata-kata Agra tadi jelas bukan hanya sekedar nasihat. Namun, ada juga sebuah peringatan di dalamnya."Kau terlalu naif, Arkan. Kau terlalu polos dan mudah percaya," kata-kata itu kembali Agra ucapkan, membuat Arkan benar-benar tertekan karenanya.Namun, Arkan tahu jelas, kedua orang itu hanya memperingatkannya, namun juga menasihatinya. Menjadi pion atau pemain, itulah yang Arkan pertanyakan sekarang.Agra mengetuk jari jarinya di meja kerja Arkan, membuat suasana di sana semakin canggung dan juga tegang.Namun, sebelum Arkan bisa menjawab, sebuah suara berat kembali terdengar dari arah pintu"Ikut saja dulu permainannya."Mereka bertiga langsung menoleh dengan cepat. Kakek Gala berdiri di sana, lalu segera melangkah dengan tegas dan juga perlahan. Meskipun jalannya sudah menggunakan tongkat, n
Arkan mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, menahan gemuruh di dadanya. Ia menatap Oom Nathan dengan tajam, mencoba membaca maksud tersembunyi di balik kata-kata yabg terlontar dari mulut lelaki itu "Apa maksud Oom?" tanya Arkan tak paham, bahkan suaranya terdengar lebih berat dari biasanya.Oom Nathan melangkah lebih dekat, lalu segera menarik kursi yang berada di depan Arkan. Ia mengamati wajah keponakannya itu, seolah ingin menilai seberapa jauh ia akan tenggelam dalam kekacauan ini."Arkan, bukankah kau telah lama bersahabat dengan Kevin?" tanyanya datar, namun penuh penekanan. "Coba kau pikirkan, apa mungkin Kevin bisa melakukan semuanya sendiri? Maksud Oom, Oom tak yakin jika dia cukup berani untuk melakukan ini semua. Pasti ada sosok lain dibelakangnya," jawabnya menganalisa.Arkan mengerutkan kening, mencoba mengingat semua memori tentang Kevin."Tapi, bukan kah seseorang bisa berubah? Maksud Arkan, jika ia terbakar dendam, maka ia akan berubah menjadi jahat? Bukankah banya
["Arkan, bagaimana?"] tanya Kevin kembali dari seberang telpon sana.Arkan mendengus pelan, menatap layar laptop dengan tatapan kosong."Kau bawel sekali, Kevin! Bukan kah kau memberikanku waktu 3x24 jam untuk berpikir? Ini baru 1x24 jam!" gerutu Arkan kesal.Tawa Kevin terdengar begitu jelas dari sana.["Kau masih sama seperti dulu, Arkan. Selalu polos dan mudah percaya. Ah, sayang sekali Andri harus menikah dengan pria idiot macam kau,",] ucapnya kembali.Gigi Arkan nampak gemertluk mendengar hinaan itu kembali. Ia menghela napas panjang dan dengan berat hati akhirnya ia memberikan keputusan."Hanya PT Dirgantara, kan?" tanya Arkan memastikan.["Ya, karena perusahaan itu yang paling besar di antara perusahaanmu. Meskipun anak cabang, tapi perusahaan itu paling banyak memiliki saham dan juga keuntungan, benarkan?"] tanya Kevin penuh percaya diri."Sepertinya kau tahu banyak tentang perusahaan ku yah? Oke, baiklah, aku akan menyerahkannya. Tapi, aku mohon beri aku waktu," jawab Arkan
Setelah menuntaskan hasratnya, Andri kembali tertidur. Mungkin ia sedikit kelelahan karena permainan mereka kali ini terasa lebih panas dan juga bergairah.Sepertinya, benar kata orang, apapun masalah yang terjadi dalam rumah tangga, ranjang adalah tempat mereka kembali menemukan suatu kedamaian.Melihat sang istri yang nampak begitu terlelap, Arkan pun ikut tertidur sebentar. Siapa tau, setelah beristirahat pikirannya bisa lebih fress dan juga lebih tenang.Namun, tidur Arkan tidak lah lama, hanya sekitar tiga puluh menit saja, karena ponselnya terus berdering menandakan panggilan.Arkan terpaksa bangun untuk mengambil ponselnya. Di layar sana, nama 'Sinta' tertera dengan jelas.Arkan segera mengangkat telponnya dan tak lama Sinta nampak marah-marah dari sebrang sana.["Bapak tuh kenapa sih? Kenapa harus nggak masuk? Bapak nggak tahu apa kalau ada banyak laporan yang perlu di tandatangani dan di cek?"] omel Sinta panjang lebar."Ck! Saya jadi heran, sebenernya disini yang bosnya kamu
"Kamu serius dengan apa yang kamu ucapkan itu, Dek?" tanya Arkan masih belum percaya sepenuhnya kepada sang istri.Andri tersenyum lembut, ia tahu, tak mudah bagi Arkan untuk kehilangan semuanya. Ia pernah kehilangan kedua orangtuanya, kehilangan sedikit ingatan dan juga mentalnya, dan kali ini ia kembali di hadapkan dengan sesuatu yang mungkin sedikit sulit ia terima, dan Andri paham akan semua itu.Andri kembali membelai lengan sang suami, dan tersenyum lembut. Ia mengecup pelan pipi Arkan sebentar lalu kembali masuk ke dalam pelikan lelakinya."Mas, jangan pernah merasa sendiri lagi sekarang. Kamu punya aku sekarang, Mas," lirih Andri pelan seraya keluar dari pelukan suaminya."Aku memang hanya orang baru yang kebetulan datang di dalam hidupmu. Tapi aku, aku nggak akan membiarkanmu menghadapi semuanya sendiri kembali, Mas. Aku akan selalu ada di sampingmu dalam suka maupun duka mu," ujar Andri kembali.Arkan menarik napas dalam, lalu mencium pucuk kepala istrinya. "Terimakasih suda
Sekan terdiam dan terpaku mendengar jawaban yang terlontar dari mulut istrinya itu. Andri melangkah lebih dahulu ke gazebo halaman belakang, lalu menepuk pinggiran yang masih kosong.Arkan mengerti apa yang dimaksud istrinya. Ia pun segera melangkah dan duduk bersama wanitanya itu."Apa yang sebenernya terjadi, Mas? Dari semalam kamu selalu bertanya seperti itu? Apa yang kamu sembunyikan sebenernya, Mas?" tanya Andri bertubi-tubi.Arkan menunduk sebentar, memainkan jari jemarinya, seolah menguatkan hatinya dahulu sebelum akhirnya ia bercerita kepada sang istri.Andri menunggunya dengan sabar, membelai lembut lengan sang suami seolah memberinya sedikit ketenangan.Arkan mengangkat wajahnya, menatap wajah wanita didepannya yang terlihat begitu kuat dan juga tegar."Aku ... Kevin kemarin ngancem aku, Dek," ucap Arkan pada akhirnya."Kevin? Apa ancaman Kevin ke kamu, Mas?" tanya Andri penasaran.Arkan pun lalu menceritakan tentang telpon Kevin kemarin di kantor. Tentang ancamannya dan jug
"Mas, gua mau nanya sesuatu sama lu. Tapi, janji ya jangan diketawain," ucap Arkan tiba-tiba memecah keheningan diantara mereka berdua.Agra mengernyitkan dahinya sebentar, lalu mengangguk mantap. "Ada apa?" tanyanya datar."Gimana kalau misalnya lu di suruh milih antara dua hal sesuatu yang sulit?" tanya Arkan kembali."Apa dulu sesuatunya itu?" tanya Agra balik, suaranya terdengar santai dan juga datar.Arkan kembali menatap langit malam yang begitu terang. Ia menghembuskan napasnya pelan sebelum akhirnya ia kembali berbicara."Kalau misalnya lu disuruh milih antara wanita yang lu cintai sama perusahan yang udah dibangun susah payah sama ortu lu, lu bakal milih mana?" tanya Arkan ambigu.Agra memiringkan kepalanya untuk melihat raut wajah Arkan. Wajahnya terlihat menyimpan suatu beban yang begitu berat sepertinya."Siapa saingan gua yang mau ngerebut Andri dari lu? Emang ada? Wah, nggak bisa dibiarin ini. Harusnya, saingan lu dalam merebut Andri cuma gua aja," ujar Agra sambil terke
"Nggak apa-apa kok, Dek. Mas cuma mau nanya doang," ucap Arkan sambil tersenyum masam.Andri menghembuskan napas panjang, lalu mengecup pelan pipi sang suami."Yakin cuma nanya doang? Nggak ada yang lain?" tanya Andri mulai curiga.Arkan kembali menggelengkan kepalanya pelan. Namun sepertinya Andri mulai cukup peka terhadap apa yang terjadi dengan suaminya.Dengan lembut ia mulai mengambil lengan Arkan dan membelainya dengan mesra."Apapun yang terjadi, aku akan mencintaimu, Mas. Aku akan selalu bersama denganmu dalam suka dan duka. Aku tak masalah hidup susah ataupun jatuh miskin," ucap Andri pelan."Mas, asal kamu tahu, aku sudah terbiasa hidup susah. Jadi, kamu nggak perlu khawatirkan aku. Justru, aku yang harus khawatirin kamu, sanggup atau nggak? Asal kamu tau, Mas, bahkan dulu sehari cuma makan sekali saja aku pernah merasakannya. Kamu tenang saja, Mas, jika hanya harta dunia, kita bisa cari bersama-sama. Kita akan kerja sama-sama untuk kembali mengembalikan keadaan," ucapnya pe
Arkan masih terdiam di mejanya. Kepalanya ia tangkupkan ke atas meja, seolah ia tiduran disana. Kepalanya sedikit pening sekarang. Keputusan apa yang harus ia ambil kini, semuanya terasa begitu berat.Dalam lamunannya, tiba-tiba belaian lembut hinggap di punggungnya. Arkan mengangkat wajahnya, mencoba tersenyum tenang, meskipun sorot matanya masih menyimpan badai.Nampak Andri disana dengan wajah teduhnya."Mas, ada apa? Siapa yang telpon?" tanya Andri lembut, suaranya pelan dan penuh kekhawatiran."Nggak ada apa-apa, Dek. Hanya telpon iseng yang mencoba menguji kesabaranku," ucap Arkan dengan tenang.Andri mengernyitkan dahinya. Tentu saja ia tak percaya begitu saja. Tak mungkin ada apa-apa, wajah Arkan tidak bisa bohong jika ia memendam suatu masalah yang besar.Andri menghela napas pelan, lalu kembali membelai lembut pundak sang suami, "Kalau Mas sudah siap cerita, cerita aja, ya. Adek akan selalu siap untuk denger semua keluh kesah Mas," ucap Andri sambil tersenyum.Arkan mengangg